- Detail
- Dilihat: 25231
Jakarta - Film dokumenter berjudul 'Di Balik Frekuensi' garapan Ucu Agustin memaparkan bukti-bukti berupa salinan tayangan bagaimana stasiun televisi menggunakan frekuensi dan menyalahgunakan jurnalisme untuk kepentingan politik pemilik usaha. Film ini masih diputar di berbagai komunitas untuk mendorong masyarakat peduli terhadap tayangan televisi.
Pada saat penayangan perdana film tersebut, Komisioner KPI Pisat Ezki Suyanto memberikan kata pengatar dan memaparkan soal banyaknya iklan politik dan potongan-potongan berita partai milik pengusaha televisi.
Mantan Ketua IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) Iman Wahyudi mengatakan semakin beragamnya kepemilikan harusnya kian beraneka konten televisi. "Independensi adalah amanat undang-undang, sudah jelas," katanya seperti ditulis di merdeka.com.
Dia mengatakan KPI bisa melakukan klarifikasi jika ada pengaduan dari masyarakat. Dia menilai saat ini penyiaran sudah menjadi industri dan pemodal bisa mengintervensi isi siaran. Sebab itu, jangan heran ada pimpinan televisi tidak pernah menjadi wartawan. Bahkan, di tingkat bawah bisa juga ditempatkan orang tidak berkualitas dalam dunia jurnalistik. Yang dibutuhkan saat ini adalah pelaku industri penyiaran yang profesional. "Ini mempengaruhi hasil," ujarnya.
Karena itu, Iman mengusulkan membentuk ombudsman di semua lembaga penyiaran untuk menangani pelbagai kasus, termasuk berkaitan dengan penonton. Rekomendasi ombudsman ini nantinya bisa menjadi pertimbangan bagi lembaga terkait, termasuk KPI dan Dewan Pers.
Ketua Dewan Pimpinan Serikat Perusahaan Pers Amir Efendi Siregar mengakui isi stasiun televisi menggunakan frekuensi publik lebih ditujukan terhadap penduduk kota bersifat seragam dan elitis. Mayoritas stasiun televisi, 218 dari 300 lembaga penyiaran swasta, dikuasai sepuluh stasiun televisi berpusat di Jakarta.
Dia menegaskan kepemilikan satu orang atau badan hukum atas lebih dari satu stasiun jaringan harus dibatasi. Hal ini berlaku juga terhadap stasiun televisi lokal.
Salah satu perumus undang-undang penyiaran ini setuju netralitas isi media harus jelas dan tegas, termasuk batasan intervensi pemilik atas berita disiarkan. Para pemodal dan pemilik stasiun televisi menggunakan ranah publik ini juga memakai stasiun televisi mereka buat kepentingan pribadi, termasuk politik. "Di pabrik tahu pun harus ada undang-undang antimonopoli. Apalagi di frekuensi milik publik, sampai hari ini masih terbatas dan akan tetap terbatas," tutur Amir.
Saat ini terdapat lima perusahaan menguasai jaringan televisi di tanah air, yakni MNC mempunyai RCTI, Global TV, dan MNC TV, Emtek memiliki SCTV dan Indosiar, Trans Corp menaungi Trans TV dan Trans 7, Visi Media Asia (VIVA) yang merajai ANTV dan TV One, serta Metro TV.
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Hayono Isman mengakui pemerintah perlu menata aturan soal penyiaran, selain peningkatan sumber daya produksi serta komitmen, idealisme, dan isi siaran tidak berorientasi kepada pemilik. "Keberagaman dan kualitas isi siaran terkendala pemilik, dimana faktor modal menjadi kunci keberagaman. Isi siaran saat ini masih sangat Jakarta," ujarnya. Red