*Banda Aceh* - Kegiatan peningkatan kapasitas literasi bagi masyarakat yang diinisiasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus dapat diluaskan jangkauannya. Untuk itu, KPI perlu melakukan sinergi dan kolaborasi dengan seluruh elemen masyarakat, baik itu kampus dan mahasiswanya, organisasi pemuda, atau bahkan organisasi kemasyarakatan lainnya guna meluaskan manfaat literasi dan menjadikan publik sadar bagaimana memanfaatkan media, khususnya televisi dan radio. Ditambah lagi dengan adanya agenda nasional Pemilu 2024, yang juga membutuhkan kejernihan hati dalam menerima informasi yang dengan mudahnya diakses dari segala penjuru. 

Dalam Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang digelar di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh (18/6), Anggota Komisi I DPR RI Tengku Riefky Harsya mengingatkan,  pemilu serentak di tahun 2024 harus berlangsung secara bermartabat. “Ini bukan sekedar pergantian kepemimpinan nasional,” ujar Riefky. Tapi juga momentum menjadikan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. 

Secara khusus Riefky mengungkap, titik rawan hubungan media dan pemilu adalah independensi dan proporsionalitas media. Dia berharap, dengan literasi ini dapat menguatkan partisipasi publik termasuk juga meredam segala bentuk kecurangan. Oleh karena itu, KPI dengan tugas dan fungsinya, harus dapat bersikap tegas dalam melakukan pengawasan konten siaran pemilu di televisi dan radio.  

Hingga hari ini, tambahnya, hampir semua lembaga penyiaran menyiarkan berita politik. KPI harus memastikan semua pemberitaan tetap berada pada koridor regulasi yang berlaku. “Kita berharap, pemilu dapat berlangsung dengan damai dan bermartabat, serta rakyat terinformasi secara utuh soal kepemiluan,’ pungkas Riefky menutup sambutan kuncinya yang disampaikan secara daring. 

Dalam kesempatan tersebut, Evri Rizqi Monarshi selaku penanggungjawab kegiatan GLSP menyampaikan harapannya kepada mahasiswa, agar dapat ikut serta menjadi agen literasi. “Bersama KPI, kita ikut serta menjaga siaran agar tersaji secara sehat dan bermartabat,” ujarnya.  Kepedulian mahasiswa terhadap konten siaran, akan menjadi penyeimbang bagi lembaga penyiaran dalam menyajikan informasi, khususnya terkait kepemiluan. 

Sedangkan secara khusus, Evri berpesan pada lembaga penyiaran untuk tetap menjaga independensi, netralitas dan bersikap proporsional pada seluruh kandidat yang ikut menjadi peserta Pemilu. Survey hari ini menunjukkan, media mainstream masih menjadi pilihan masyarakat untuk mengonfirmasi berita yang didapat dari platform lain. “Artinya, televisi dan radio masih jadi rujukan, “ujarnya. Evri berharap, disiplin verifikasi dan juga taat pada Kode Etik Jurnalistik dan juga Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, menjadi sebuah keharusan bagi jurnalis dalam menyajikan berita Pemilu.

Harapan Evri senada dengan M Gaussyah selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, yang memberikan sambutan di awal kegiatan GLSP. Menurut Gaussyah, mahasiswa sebagai agen perubahan harus dapat menyampaikan pada publik secara lebih luas dan masif tentang pentingnya penyiaran yang sehat terutama menjelang Pemilu 2024. “Termasuk meluruskan berita-berita hoax dan tidak meneruskannya,” tambah Gaussyah.  

Turut hadir dalam GLSP di Banda Aceh, Ketua KPI Aceh Feisal Ilyas dan Putri Nofriza yang menjadi moderator. Adapun narasumber GLSP adalah  Iskandar Gani selaku akademisi dari Universitas Syiah Kuala, Yusri Razali selaku anggota Komisi Independen Pemilu Aceh, dan juga Mimah Susanti selaku anggota bidang Kelembagaan KPI Pusat. 

 

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melayangkan surat teguran administratif pertama untuk dua program siaran yakni “Wedding Agreement: The Series” di RCTI dan “Tanpa Batas” di Trans TV. Dua program siaran berklasifikasi R (remaja) ini dinilai telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI Tahun 2012. Demikian disampaikan KPI Pusat dalam surat teguran untuk kedua acara yang telah disampaikan beberapa waktu lalu.

Dalam dua surat teguran tersebut dijelaskan, bentuk pelanggaran yang dilakukan dalam program siaran “Wedding Agreement: The Series” RCTI berupa adegan seorang pria sedang menghisap rokok. Adegan ini ditemukan Tim Pemantauan KPI Pusat pada tanggal 21 Mei 2023 mulai pukul 18.35 WIB. 

Akibat adegan itu, program siaran “Wedding Agreement: The Series” RCTI melanggar 9 (sembilan) pasal dalam P3SPS. Pasal-pasal yang dilanggar antara lain Pasal 14 Ayat (1) P3, Pasal 14 Ayat (2) P3, Pasal 18 P3, Pasal 21 Ayat (1) P3, Pasal 15 Ayat (1) SPS, Pasal 27 Ayat (2) huruf a SPS, Pasal 37 Ayat (1) SPS, Pasal 37 Ayat (2) SPS, dan Pasal 37 Ayat (4) huruf a SPS. Pasal-pasal tersebut menyangkut perlindungan anak, pembatasan muatan siaran rokok, dan penggolongan atau klasifikasi siaran.

Sementara bentuk pelanggaran dalam program siaran “Tanpa Batas” Trans TV berupa tampilan informasi tentang “Ayah Tiri Rudapaksa Anak Sambung Usia 9 Tahun Berkali-kali”. Bahkan, informasi tersebut memuat identitas keluarga yaitu wajah ibu kandung dan ayah tiri korban. Cuplikan tayangan pelanggaran tersebut ditemukan pada tanggal 19 Mei 2023 mulai pukul 21.18 WIB. 

Tampilan informasi tersebut melanggar 6 (enam) pasal dalam P3SPS KPI antara lain Pasal 14 Ayat (1) P3, Pasal 14 Ayat (2) P3, Pasal 21 Ayat (1) P3, Pasal 15 Ayat (1) SPS, Pasal 37 Ayat (1) SPS, dan Pasal 37 Ayat (2) SPS. Pasal-pasal tersebut menyangkut perlindungan anak dalam siaran hingga penggolongan program. 

Anggota KPI Pusat merangkap Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran, Tulus Santoso mengatakan, keputusan sanksi pada dua program tersebut merupakan hasil dari rapat pleno penjatuhan sanksi setelah sebelumnya melakukan analisa dan verifikasi atas tayangan yang melanggar. 

“Jelas ada adegan orang sedang merokok dalam program siaran Wedding Agreement RCTI dan tampilan identitas keluarga (orang terdekat) dari kasus rudapaksa terhadap anak dalam acara Tanpa Batas Trans TV. Hal-hal seperti ini jelas tidak diperbolehkan. Padahal, dalam P3SPS telah diatur mengenai pembatasan muatan rokok dalam siaran serta perlindungan anak dalam kaitan kasus seperti rudapaksa,” jelas Tulus.

Terkait teguran tersebut, KPI meminta RCTI dan Trans TV serta lembaga penyiaran lain untuk lebih jeli dan berhati-hati serta menjadikan P3SPS sebagai acuan sebelum tayang. "KPI berharap kejadian ini menjadi perhatian bagi lembaga penyiaran agar lebih memperhatikan kesesuaian tayangan dan P3SPS. Meski demikian, KPI juga akan melakukan pembinaan kepada lembaga penyiaran agar dapat memahami P3SPS dengan baik,” tandas Tulus. ***

 

 

Solo -- Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran saat ini sedang dalam pembahasan di Komisi I DPR RI. Sejumlah poin penting akan masuk dalam draft RUU Penyiaran seperti perlakuan yang sama antara lembaga penyiaran (media konvensional) dan media baru serta penguatan SDM (sumber daya manusia) dan kelembagaan KPI Pusat serta KPID. 

Perlakuan yang sama ini untuk memastikan media baru atau media sosial agar ikut memberikan edukasi yang baik bagi masyarakat. Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari, saat menjadi pembicara kunci (keynote speech) dalam Seminar Nasional bertajuk “Masukan Publik Untuk Revisi UU Penyiaran” yang diselenggarakan KPI Pusat di Monumen Pers Nasional di Solo, Jumat (16/6/2023). 

"Yang pertama kami memandang harus ada perlakuan yang sama antara siaran di dunia penyiaran dengan siaran di media sosial atau media baru. Jadi baik TV teresterial maupun juga media baru itu harus mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan aturan," kata Kharis yang Ketua Panja RUU Penyiaran.

Menurut Kharis, pihaknya tidak akan membedakan aturan karena ketika ada perbedaan aturan justru akan membingungkan (ruwet). “Contohnya TV-TV swasta termasuk TVRI, yang dipantau Mas Ubadillah dan teman-teman yang ada 9 orang (KPI). Mereka punya sekitar 200 orang yang memeloti yang setiap hari 24 jam. Salah sedikit disemprit. Salah sedikit kemudian dikasih surat. Sementara, di sisi lain yang tidak masuk dalam teresterial itu bebas. Nah, ini tidak adil," katanya.

Oleh karena itu, kata Kharis, apapun bentuk siarannya, baik dalam bentuk cuplikan maupun pernyataan dalam bentuk podcast, semua akan kena peraturan yang sama. Adapun cara mengawasi konten-konten tersebut, hal itu akan menjadi urusan KPI. “Teknis berbagai negara telah mengupayakan untuk melakukan pengawasan. Betapapun belum sempurna, namun langkah-langkah masyarakat teredukasi dengan baik dan akhirnya berjalan dengan baik,” tuturnya.

Kemudian, Komisi I mengharapkan dengan revisi UU penyiaran ini dapat menciptakan iklim siaran atau iklim penyiaran yang lebih berpihak pada edukasi masyarakat. "Jadi mendidik masyarakat untuk lebih baik, bukan kemudian memberikan kesempatan masyarakat menikmati hiburan yang kecenderungannya absurd," kata Kharis.

Dia mencontohkan ada sebuah chanel di media sosial yang menyiarkan dialog-dialog berbahasa kasar. "Dalam 15 menit, misuh-nya (mengumpat) bisa sampai 100 kali, tapi itu ditonton oleh ratusan ribu orang, aneh kan. Berarti ini ada yang salah, kenapa masyarakat suka nonton justru tontonan yang sepanjang acara misuh-misuh, bahasanya kasar pakai Jawa Timuran pula," katanya.

Menurut Kharis, tayangan tersebut tidak bisa ditegur KPI karena tidak melalui siaran teresterial. Dia pun tidak melarang kreasi atau kreartifitas, tapi harus memberi contoh yang baik. 

“Kita tidak ingin dunia penyiaran kita seperti itu. Kita ingin dunia penyiaran ini menjadi media untuk membawa, mendidik masyarakat agar menjadi lebih baik. Mengedukasi masyarakat menjadi lebih berakhlag kharimah atau mulia, sehingga hidup berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik,” ujarnya.   

Lalu penguatan SDM dan penguatan KPI Pusat dan KPID dalam UU Penyiaran. Menurut Kharis, seluruh fraksi di Komisi I sudah sepakat bahwa KPID akan menjadi struktural dengan KPI Pusat. Jadi, penganggaran KPID sepenuhnya ada di APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). 

“Tiga hal ini yang ingin saya sampaikan dalam kesempatan sekarang. Soal masukan, kami sangat membutuhkan masukan itu. Pada saatnya kami akan sampaikan ke KPI setelah didrafting terakhir sebelum kami akan sampaikan kepada Baleg (Badan Legislasi) untuk mendapatkan masukan. Nanti ketika pembahasan dengan pemerintah pun kami masih membuka kesempatan untuk masukan. Masukan setiap saat kami bisa layani,” katanya. 

Kharis menargetkan sebelum Pemilu 2024, pihaknya sudah selesai melakukan pembahasan. Kemudian setelah Pemilu akan dilakukan sinkronisasi dan harmoni, sehingga sebelum Mei  UU ini sudah dapat diundangkan. “Jadi nanti KPI sudah bisa bekerja dengan undang-undang yang baru,” tandas Kharis disambut tepuk tangan peserta seminar.  

Di tempat yang sama, Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, menyampaikan pentingnya penguatan kelembagaan KPI terkait pengembangan kewenangan di era digitalisasi. Selain itu, persoalan KPID terkait penganggarannya sebaiknya menjadi fokus utama dalam pembahasan RUU. Pasalnya, sejak dikeluarkannya PP (Peraturan Pemerintah) terkait pemerintah daerah pada 2016, berakibat KPID tidak lagi mendapat dukungan sekretariat termasuk anggaran. 

“Mengenai kelembagaan ini sangat kompleks, tidak hanya KPID, tetapi KPI Pusat juga kami nilai juga demikian. Kenapa demikian, dengan digitalisasi TV itu kian banyak, tapi kelembagaan KPI masih sama. Ada stagnasi kewenangan bagi KPI, tapi objek pengawasannya bertambah luas dan besar,” kata Ubaidillah.

Berbicara tentang kualitas konten dalam RUU Penyiaran, Ubaidillah berharap hal ini menjadi perhatian. Jangan sampai dengan adanya digitalisasi, TV makin banyak tapi kualitas penyiarannya justru menurun. 

“Saya kira perlu ada pengawasan terhadap lembaga pemeringkatan, yang mohon maaf harus saya katakan, menjadi berhalanya TV. Bisa jadi melalui pengawasan, atau kita membuat rating pembanding. Atau memoderasi keduanya,” papar Ubaidillah. 

Sementara itu, Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, mengatakan bahwa seminar nasional yang diselenggarakan KPI dimaksudkan sebagai wadah untuk mendapatkan masukan dari masyarakat terkait RUU Penyiaran. “Kami ingin mendapatkan masukan yang banyak terkait RUU Penyiaran dari seluruh masyarakat, stakeholder dan pemerhati,” tutupnya. *** 

 

 

 

 

Solo -- Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran menjadi salah satu agenda utama Komisi I DPR (Dewan Pewakilan Rakyat) Republik Indonesia (RI) di periode ini. Rencananya, proses pembahasan akan diselesaikan sebelum Pemilu 2024. Setelahnya, jika tak ada aral melintang, UU Penyiaran baru akan ditetapkan. Untuk itu, diperlukan masukan dari masyarakat dan kelompok kepentingan agar bentuk UU Penyiaran baru nanti selaras harapan. 

Usai Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari, menyampaikan pidato kunci dalam Seminar Nasional “Masukan Publik Untuk Revisi UU Penyiaran” yang diselenggarakan KPI Pusat di Museum Pers Nasional, Solo, Jawa Tengah, Jumat (16/6/2023) lalu. Acara dilanjutkan dengan seminar yang menghadirkan tiga narasumber antara lain Budayawan yang pernah menjadi Wakil Ketua KPI Pusat Periode 2019-2022, Mulyo Hadi Purnomo, Komisi Pakar Aliansi Jurnalis Video (AJV) juga mantan Ketua Komisi Yudisial (KY), Prof. Aidul Fitriciada Azhari, dan perwakilan Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP), Lintang Ratri Rahmiaji. Ketiganya memaparkan pandangan dan masukan tentang bentuk ideal dari UU Penyiaran yang akan datang.

Membuka paparan, Mulyo Hadi menyampaikan sejumlah masukan tentang penguatan kewenangan KPI dan KPID, kesetaraan perlakuan antara media baru dan penyiaran dalam RUU Penyiaran. Selain itu, perlu ada rating alternatif dan aturan tentang pengembangan konten serta perhatian terhadap konsentrasi kepemilikan lembaga penyiaran. 

“Peraturan konten harus lebih baik lagi. Pasalnya, jika kita bicara kualitas konten masih banyak kekurangannya. Selain itu, persoalan edukasi masyarakat juga harus menjadi perhatian,” katanya.

Terkait kualitas konten, lanjut Mulyo, ini berhubungan erat dengan keberadaan rating yang hanya ada satu di Indonesia. Karenanya, RUU Penyiaran harus memberi ruang yang mengatur keberadaan lembaga rating dengan ikut menambahkan adanya lembaga rating lain atau pembanding.

Pandangannya mengenai kewenangan KPI terkait eksistensi KPID, Mulyo Hadi mengusulkan UU Penyiaran baru memperjelas keberadaannya. Hal ini berkaitan dengan kepentingan pengawasan penyiaran di daerah yang tentunya membutuhkan penganggaran yang konsisten atau tetap. 

“Harus diperjelas agar tidak ada KPID yang mengalami kesulitan operasional. Mudah-mudahan dengan APBN jadi mapan,” harapnya.

Menyinggung adanya pengaturan media baru dalam RUU Penyiaran, Mulyo menilai perlu ditambahkan kategori lembaga penyiaran tersebut. Dalam materinya, kategori media baru diusulkan sebagai lembaga penyiaran multimedia. Adapun teknis aturan (semisal Netflix) perlu berizin dan berbadan hukum, kewajiban mendaftarkan konten secara reguler, melakukan sensor mandiri, hingga membuat kebijakan penggunaan artificial intelligent (AI). 

Untuk penyelenggara penyiaran multimedia seperti youtube dan sejenisnya, Mulyo memandang tidak perlu berizin tapi wajib mendirikan kantor perwakilan di Indonesia. Platform jenis ini harus membuat aturan internal sekaligus bertanggungjawab atas konten yang disiarkan. Membuat sistem layanan aduan dan melakukan sosialisasi. 

Kode etik dan perizinan

Pentingnya pengaturan media baru dalam RUU Penyiaran juga dikatakan Prof. Aidul Fitriciada Azhari. Pengaturannya meliputi perizinan, pelaksanaan dari peraturan, pembuatan kode etik dan pedoman perilaku serta standar program siaran yang sesuai dengan perkembangan media baru. “Saya pikir perizinan bagian dari pengawasan yang prefentif,” katanya.

Dia mengusulkan KPI dalam UU Penyiaran baru diberikan kewenangan membuat kode etik dan pedoman tentang media baru ini. Jika media baru sifat risikonya di level menengah, maka perlu rekomendasi dari lembaga terkait. Namun jika sifat risikonya rendah, maka cukup regitrasi NIB (nomor induk berusaha).

“Kode etik harus berisi asas-asas utama yang menjadi nilai yang menuntun perilaku dalam penyelenggaraan penyiaran. Adapun pedoman perilaku merupakan turunan dari kode etik tentang perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam penyelenggaraan penyiaran,” tutur Prof. Aidul. 

Selain itu, Prof Aidul meminta adanya tambahan satu bagian bab yang mengatur tentang lembaga penyiaran internet/digital. “Di beberapa negara perizinan melibatkan sejumlah pihak tertentu,” ujarnya. 

Sementara itu, Lintang Ratri Rahmiaji, mengatakan rekomendasi KNRP untuk RUU Penyiaran meliputi empat hal yakni tentang visi misi penyiaran nasiolnal, penguatan KPI, pengembangan LPP (lembaga penyiaran publik) dan regulasi bagi media baru. Dia juga berharap kewenangan KPI dapat dikembalikan sebagai regulator independen yang berfungsi sebagai perwujudan hak publik dalam pengaturan penyiaran di Indonesia. 

Menyikapi media baru, KNRP meminta agar prinsip penyiarannya dalam RUU Penyiaran relevan dengan situasi terkini. Untuk ini, kata Lintang, KPI harus menyiapkan diri menjadi regulator yang nantinya diharapkan menjadi registrasi dan verifikator terhadap media tersebut. 

Di akhir seminar, sekaligus menutup acara, Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, mengatakan seminar ini bertujuan untuk mendengar masukan dari masyarakat mengenai rancangan RUU Penyiaran. Nantinya, masukan yang diterima KPI akan disampaikan ke Komisi I DPR RI sebagai bahan pembahasan RUU. 

“Kami akan lebih banyak mendengarkan dari pada menyampaikan. Kami ingin publik betul-betul peduli terhadap penyiaran,” tandasnya. ***

 

 

Yogyakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bekerja sama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menyelenggarakan acara Diseminasi Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (IKPSTV) untuk kategori program siaran Infotainment di TV, Senin (12/6/2023). Diseminasi ini diharapkan mendorong peningkatan kualitas siaran TV khususnya pada program siaran infotainment.

Di awal acara, Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, menyatakan rasa terima kasihnya kepada UIN Sunan Kalijaga yang telah menjadi bagian dari KPI Pusat. Baik melalui partisipasi kampus maupun kontribusi para alumni yang telah memberikan banyak bantuan berarti bagi KPI.

Dalam diseminasi, tim pemantau siaran dan hasil riset terkait indeks kualitas siaran menyampaikan temuan-temuan mereka terkait tayangan infotainmen. Sayangnya, meskipun temuan tersebut telah disampaikan kepada lembaga penyiaran, namun kualitas siaran televisi dari tahun ke tahun belum mengalami peningkatan yang signifikan.

Untuk itu, Ubaidillah menjelaskan, bahwa riset dan pengawasan terkait penyiaran harus terus dikembangkan agar dapat memenuhi kebutuhan kajian akademik dan masyarakat serta menjadi acuan anugerah penyiaran, dan aturan-aturan yang dikeluarkan. Kerja sama dengan kampus, seperti UIN Sunan Kalijaga, memiliki peran yang penting dalam hal ini. Ia berharap adanya masukan yang beragam dari kampus tersebut guna memperbaiki kualitas penyiaran di Indonesia.

Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga, Prof. Dr. Iswandi Syahputra, menyampaikan bahwa media penyiaran, khususnya televisi, masih menjadi media dominan di Indonesia, bahkan di Asia. Televisi juga masih dipercaya sebagai tempat beriklan bagi perusahaan komersial.

Menurutnya, tingkat kepercayaan masyarakat pada televisi lebih tinggi daripada media digital, dan akses masyarakat terhadap televisi lebih mudah dan terjangkau dibandingkan dengan media penyiaran digital. Untuk itu, beberapa saran disampaikan olehIswandi yang pernah menjabat sebagai Anggota KPI Pusat 2010–2013, antara lain mengawasi kualitas sinetron, infotainment, dan variety show, termasuk pengawasan siaran religi. 

“KPI perlu memperkuat otoritasnya sebagai regulator penyiaran, terutama dalam pengaturan isi siaran dan pencabutan konten siaran yang tidak memenuhi standar,” ujarnya. 

Iswandi Syahputra menambahkan, sebagai lembaga regulator penyiaran yang independen, KPI perlu memiliki kewenangan khusus dalam memberi izin konten siaran dan memantau siaran Over The Top (OTT) kategori Video on Demand (VOD). Hal ini merupakan refleksi dari peran negara dalam melindungi kepentingan warga negara dari serbuan konten yang tidak sesuai.

Di tempat yang sama, Anggota KPI Pusat sekaligus Penanggungjawab Program IKPSTV, Amin Shabana, menyampaikan potret Indeks kualitas program siaran Infotainment dari tahun ke tahun. Menurutnya, nilai indeks kategori program infotainment masih stagnan dan berada di bawah standar kualitas yang ditetapkan KPI.

Data mengenai indeks program Infotainment Periode I tahun 2023 menunjukkan angka 2,80. Nilai ini sama dengan nilai indeks kualitas yang didapatkan infotainment pada 2022. Bahkan, dari 9 stasiun televisi yang memproduksi tayangan infotainment, rata-rata indeksnya berada di angka 2,80. Adapun standar kualitas yang ditetapkan KPI penanda tayangan berkualitas yakni 3.00.

Amin menambahkan, meskipun KPI telah mengundang lembaga penyiaran untuk melakukan evaluasi tahunan, tidak ada perubahan yang dilakukan. Hal ini disebabkan karena mereka lebih cenderung mempertimbangkan pasar dan data Nielsen. 

Sementara itu, Bono Setyo menyampaikan, diseminasi tahun ini difokuskan pada tiga kategori yang masih rendah, yaitu infotainment, sinetron, dan variety show. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar konten tersebut masih belum memenuhi standar kualitas yang diharapkan. Banyak tayangan yang mengeksploitasi privasi dan konflik pribadi, sementara kurang memberikan nilai edukatif.

Dia menyoroti beberapa hal, seperti adanya ghibah dalam acara infotainment, serta wawancara yang memprovokasi dan memperburuk konflik di depan publik. Bahkan, terdapat adegan mistis dalam salah satu tayangan yang menggunakan kartu tarot untuk meramal kehidupan rumah tangga selebriti.

Untuk meningkatkan kualitas siaran, Bono Setyo merekomendasikan adanya program-program literasi masyarakat yang melibatkan berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi. Hal ini diharapkan dapat menciptakan masyarakat yang cerdas dalam memilih tayangan yang berkualitas, sehingga siaran yang tidak bermutu akan ditinggalkan.

Sementara itu, Anggota KPI Pusat, Evri Rizqi Monarshi, menegaskan komitmennya dalam mewujudkan tayangan yang sehat dan berkualitas sesuai amanat Undang-Undang, demi kepentingan seluruh lapisan masyarakat.

“Dalam konteks televisi dan radio, yang menggunakan frekuensi milik publik, penting bagi KPI untuk melakukan pengawasan terhadap konten yang disiarkan. Salah satu aspek yang sering terlewatkan adalah perlindungan anak dan remaja,” tuturnya.

Anggota KPID DIY, Noviati Roficoh, menilai pentingnya keterlibatan masyarakat dalam meningkatkan kualitas program siaran. Adapun yang dapat dilakukan adalah meningkatkan literasi masyarakat dan juga pelaku produsen media. Adanya aduan dari masyarakat menunjukkan kepedulian dari masyarakat, untuk itu KPI juga harus bersemangat dalam mewujudkan komitmen untuk menghasilkan kualitas tayangan yang baik. 

Dalam konteks produksi konten, Noviati menyebutkan bahwa di Yogyakarta terdapat lebih dari 60 Production House (PH), sementara secara nasional terdapat lebih dari 7000. “Disini KPI memiliki peran penting dalam menjembatani kerja sama antara Production House dengan lembaga penyiaran,” usulnya. 

Selain kegiatan diseminasi, KPI Pusat bersama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta juga menyelenggarakan bedah buku “Religiositas dari Layar Kaca, Potret Program Siaran Religi di Televisi Indonesia”. ** 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.