Solo -- Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran menjadi salah satu agenda utama Komisi I DPR (Dewan Pewakilan Rakyat) Republik Indonesia (RI) di periode ini. Rencananya, proses pembahasan akan diselesaikan sebelum Pemilu 2024. Setelahnya, jika tak ada aral melintang, UU Penyiaran baru akan ditetapkan. Untuk itu, diperlukan masukan dari masyarakat dan kelompok kepentingan agar bentuk UU Penyiaran baru nanti selaras harapan. 

Usai Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari, menyampaikan pidato kunci dalam Seminar Nasional “Masukan Publik Untuk Revisi UU Penyiaran” yang diselenggarakan KPI Pusat di Museum Pers Nasional, Solo, Jawa Tengah, Jumat (16/6/2023) lalu. Acara dilanjutkan dengan seminar yang menghadirkan tiga narasumber antara lain Budayawan yang pernah menjadi Wakil Ketua KPI Pusat Periode 2019-2022, Mulyo Hadi Purnomo, Komisi Pakar Aliansi Jurnalis Video (AJV) juga mantan Ketua Komisi Yudisial (KY), Prof. Aidul Fitriciada Azhari, dan perwakilan Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP), Lintang Ratri Rahmiaji. Ketiganya memaparkan pandangan dan masukan tentang bentuk ideal dari UU Penyiaran yang akan datang.

Membuka paparan, Mulyo Hadi menyampaikan sejumlah masukan tentang penguatan kewenangan KPI dan KPID, kesetaraan perlakuan antara media baru dan penyiaran dalam RUU Penyiaran. Selain itu, perlu ada rating alternatif dan aturan tentang pengembangan konten serta perhatian terhadap konsentrasi kepemilikan lembaga penyiaran. 

“Peraturan konten harus lebih baik lagi. Pasalnya, jika kita bicara kualitas konten masih banyak kekurangannya. Selain itu, persoalan edukasi masyarakat juga harus menjadi perhatian,” katanya.

Terkait kualitas konten, lanjut Mulyo, ini berhubungan erat dengan keberadaan rating yang hanya ada satu di Indonesia. Karenanya, RUU Penyiaran harus memberi ruang yang mengatur keberadaan lembaga rating dengan ikut menambahkan adanya lembaga rating lain atau pembanding.

Pandangannya mengenai kewenangan KPI terkait eksistensi KPID, Mulyo Hadi mengusulkan UU Penyiaran baru memperjelas keberadaannya. Hal ini berkaitan dengan kepentingan pengawasan penyiaran di daerah yang tentunya membutuhkan penganggaran yang konsisten atau tetap. 

“Harus diperjelas agar tidak ada KPID yang mengalami kesulitan operasional. Mudah-mudahan dengan APBN jadi mapan,” harapnya.

Menyinggung adanya pengaturan media baru dalam RUU Penyiaran, Mulyo menilai perlu ditambahkan kategori lembaga penyiaran tersebut. Dalam materinya, kategori media baru diusulkan sebagai lembaga penyiaran multimedia. Adapun teknis aturan (semisal Netflix) perlu berizin dan berbadan hukum, kewajiban mendaftarkan konten secara reguler, melakukan sensor mandiri, hingga membuat kebijakan penggunaan artificial intelligent (AI). 

Untuk penyelenggara penyiaran multimedia seperti youtube dan sejenisnya, Mulyo memandang tidak perlu berizin tapi wajib mendirikan kantor perwakilan di Indonesia. Platform jenis ini harus membuat aturan internal sekaligus bertanggungjawab atas konten yang disiarkan. Membuat sistem layanan aduan dan melakukan sosialisasi. 

Kode etik dan perizinan

Pentingnya pengaturan media baru dalam RUU Penyiaran juga dikatakan Prof. Aidul Fitriciada Azhari. Pengaturannya meliputi perizinan, pelaksanaan dari peraturan, pembuatan kode etik dan pedoman perilaku serta standar program siaran yang sesuai dengan perkembangan media baru. “Saya pikir perizinan bagian dari pengawasan yang prefentif,” katanya.

Dia mengusulkan KPI dalam UU Penyiaran baru diberikan kewenangan membuat kode etik dan pedoman tentang media baru ini. Jika media baru sifat risikonya di level menengah, maka perlu rekomendasi dari lembaga terkait. Namun jika sifat risikonya rendah, maka cukup regitrasi NIB (nomor induk berusaha).

“Kode etik harus berisi asas-asas utama yang menjadi nilai yang menuntun perilaku dalam penyelenggaraan penyiaran. Adapun pedoman perilaku merupakan turunan dari kode etik tentang perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam penyelenggaraan penyiaran,” tutur Prof. Aidul. 

Selain itu, Prof Aidul meminta adanya tambahan satu bagian bab yang mengatur tentang lembaga penyiaran internet/digital. “Di beberapa negara perizinan melibatkan sejumlah pihak tertentu,” ujarnya. 

Sementara itu, Lintang Ratri Rahmiaji, mengatakan rekomendasi KNRP untuk RUU Penyiaran meliputi empat hal yakni tentang visi misi penyiaran nasiolnal, penguatan KPI, pengembangan LPP (lembaga penyiaran publik) dan regulasi bagi media baru. Dia juga berharap kewenangan KPI dapat dikembalikan sebagai regulator independen yang berfungsi sebagai perwujudan hak publik dalam pengaturan penyiaran di Indonesia. 

Menyikapi media baru, KNRP meminta agar prinsip penyiarannya dalam RUU Penyiaran relevan dengan situasi terkini. Untuk ini, kata Lintang, KPI harus menyiapkan diri menjadi regulator yang nantinya diharapkan menjadi registrasi dan verifikator terhadap media tersebut. 

Di akhir seminar, sekaligus menutup acara, Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, mengatakan seminar ini bertujuan untuk mendengar masukan dari masyarakat mengenai rancangan RUU Penyiaran. Nantinya, masukan yang diterima KPI akan disampaikan ke Komisi I DPR RI sebagai bahan pembahasan RUU. 

“Kami akan lebih banyak mendengarkan dari pada menyampaikan. Kami ingin publik betul-betul peduli terhadap penyiaran,” tandasnya. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.