Solo -- Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran saat ini sedang dalam pembahasan di Komisi I DPR RI. Sejumlah poin penting akan masuk dalam draft RUU Penyiaran seperti perlakuan yang sama antara lembaga penyiaran (media konvensional) dan media baru serta penguatan SDM (sumber daya manusia) dan kelembagaan KPI Pusat serta KPID. 

Perlakuan yang sama ini untuk memastikan media baru atau media sosial agar ikut memberikan edukasi yang baik bagi masyarakat. Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari, saat menjadi pembicara kunci (keynote speech) dalam Seminar Nasional bertajuk “Masukan Publik Untuk Revisi UU Penyiaran” yang diselenggarakan KPI Pusat di Monumen Pers Nasional di Solo, Jumat (16/6/2023). 

"Yang pertama kami memandang harus ada perlakuan yang sama antara siaran di dunia penyiaran dengan siaran di media sosial atau media baru. Jadi baik TV teresterial maupun juga media baru itu harus mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan aturan," kata Kharis yang Ketua Panja RUU Penyiaran.

Menurut Kharis, pihaknya tidak akan membedakan aturan karena ketika ada perbedaan aturan justru akan membingungkan (ruwet). “Contohnya TV-TV swasta termasuk TVRI, yang dipantau Mas Ubadillah dan teman-teman yang ada 9 orang (KPI). Mereka punya sekitar 200 orang yang memeloti yang setiap hari 24 jam. Salah sedikit disemprit. Salah sedikit kemudian dikasih surat. Sementara, di sisi lain yang tidak masuk dalam teresterial itu bebas. Nah, ini tidak adil," katanya.

Oleh karena itu, kata Kharis, apapun bentuk siarannya, baik dalam bentuk cuplikan maupun pernyataan dalam bentuk podcast, semua akan kena peraturan yang sama. Adapun cara mengawasi konten-konten tersebut, hal itu akan menjadi urusan KPI. “Teknis berbagai negara telah mengupayakan untuk melakukan pengawasan. Betapapun belum sempurna, namun langkah-langkah masyarakat teredukasi dengan baik dan akhirnya berjalan dengan baik,” tuturnya.

Kemudian, Komisi I mengharapkan dengan revisi UU penyiaran ini dapat menciptakan iklim siaran atau iklim penyiaran yang lebih berpihak pada edukasi masyarakat. "Jadi mendidik masyarakat untuk lebih baik, bukan kemudian memberikan kesempatan masyarakat menikmati hiburan yang kecenderungannya absurd," kata Kharis.

Dia mencontohkan ada sebuah chanel di media sosial yang menyiarkan dialog-dialog berbahasa kasar. "Dalam 15 menit, misuh-nya (mengumpat) bisa sampai 100 kali, tapi itu ditonton oleh ratusan ribu orang, aneh kan. Berarti ini ada yang salah, kenapa masyarakat suka nonton justru tontonan yang sepanjang acara misuh-misuh, bahasanya kasar pakai Jawa Timuran pula," katanya.

Menurut Kharis, tayangan tersebut tidak bisa ditegur KPI karena tidak melalui siaran teresterial. Dia pun tidak melarang kreasi atau kreartifitas, tapi harus memberi contoh yang baik. 

“Kita tidak ingin dunia penyiaran kita seperti itu. Kita ingin dunia penyiaran ini menjadi media untuk membawa, mendidik masyarakat agar menjadi lebih baik. Mengedukasi masyarakat menjadi lebih berakhlag kharimah atau mulia, sehingga hidup berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik,” ujarnya.   

Lalu penguatan SDM dan penguatan KPI Pusat dan KPID dalam UU Penyiaran. Menurut Kharis, seluruh fraksi di Komisi I sudah sepakat bahwa KPID akan menjadi struktural dengan KPI Pusat. Jadi, penganggaran KPID sepenuhnya ada di APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). 

“Tiga hal ini yang ingin saya sampaikan dalam kesempatan sekarang. Soal masukan, kami sangat membutuhkan masukan itu. Pada saatnya kami akan sampaikan ke KPI setelah didrafting terakhir sebelum kami akan sampaikan kepada Baleg (Badan Legislasi) untuk mendapatkan masukan. Nanti ketika pembahasan dengan pemerintah pun kami masih membuka kesempatan untuk masukan. Masukan setiap saat kami bisa layani,” katanya. 

Kharis menargetkan sebelum Pemilu 2024, pihaknya sudah selesai melakukan pembahasan. Kemudian setelah Pemilu akan dilakukan sinkronisasi dan harmoni, sehingga sebelum Mei  UU ini sudah dapat diundangkan. “Jadi nanti KPI sudah bisa bekerja dengan undang-undang yang baru,” tandas Kharis disambut tepuk tangan peserta seminar.  

Di tempat yang sama, Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, menyampaikan pentingnya penguatan kelembagaan KPI terkait pengembangan kewenangan di era digitalisasi. Selain itu, persoalan KPID terkait penganggarannya sebaiknya menjadi fokus utama dalam pembahasan RUU. Pasalnya, sejak dikeluarkannya PP (Peraturan Pemerintah) terkait pemerintah daerah pada 2016, berakibat KPID tidak lagi mendapat dukungan sekretariat termasuk anggaran. 

“Mengenai kelembagaan ini sangat kompleks, tidak hanya KPID, tetapi KPI Pusat juga kami nilai juga demikian. Kenapa demikian, dengan digitalisasi TV itu kian banyak, tapi kelembagaan KPI masih sama. Ada stagnasi kewenangan bagi KPI, tapi objek pengawasannya bertambah luas dan besar,” kata Ubaidillah.

Berbicara tentang kualitas konten dalam RUU Penyiaran, Ubaidillah berharap hal ini menjadi perhatian. Jangan sampai dengan adanya digitalisasi, TV makin banyak tapi kualitas penyiarannya justru menurun. 

“Saya kira perlu ada pengawasan terhadap lembaga pemeringkatan, yang mohon maaf harus saya katakan, menjadi berhalanya TV. Bisa jadi melalui pengawasan, atau kita membuat rating pembanding. Atau memoderasi keduanya,” papar Ubaidillah. 

Sementara itu, Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, mengatakan bahwa seminar nasional yang diselenggarakan KPI dimaksudkan sebagai wadah untuk mendapatkan masukan dari masyarakat terkait RUU Penyiaran. “Kami ingin mendapatkan masukan yang banyak terkait RUU Penyiaran dari seluruh masyarakat, stakeholder dan pemerhati,” tutupnya. *** 

 

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.