- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 2272
Jakarta - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatika berimplikasi pada perlunya regulasi turunan yang disusun oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Denda administratif dalam PP tersebut, dijatuhkan atas pelanggaran pemenuhan persyaratan dan/ atau kewajiban yang terkait pelanggaran isi siaran berdasarkan pengawasan KPI. Ketua KPI Pusat Ubaidillah mengatakan, penyusunan PKPI ini tidak dilandasi untuk memberi beban tambahan bagi lembaga penyiaran, tapi memang amanat sebagai aturan pelaksana PP tersebut. Selain itu, KPI sendiri lebih fokus pada peningkatan kualitas siaran di televisi dan radio, bukan pada target PNBP. Hal ini disampaikannya dalam diskusi kelompok terpumpun/ FGD Penyusunan PKPI tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Pelanggaran Isi Siaran, (6/12), juga dihadiri perwakilan KPID dan asosiasi lembaga penyiaran.
Peri Farouk selaku Ahli Pengembangan Kebijakan KPI Pusat menjelaskan, kewenangan membuat regulasi tentang sanksi denda sudah ada dalam undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Jadi, penyusunan PKPI ini menjadi kesempatan bagi KPI melaksanakan kewenangan yang sudah berusia 21 tahun. Dalam undang-undang penyiaran, sanksi denda ditempatkan di urutan keempat setelah teguran tertulis, penghentian sementara dan pengurangan durasi. Namun dengan direvisinya undang-undang penyiaran melalui Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang memiliki aturan turunan dalam PP tentang Postel Siar, sanksi denda berada dalam urutan kedua. Dalam PP disebutkan kewenangan Kemenkominfo dan KPI terkait pengenaan sanksi. Kewenangan pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran sekarang ada di Kemenkominfo. KPI yang di undang-undang sebelumnya diberi kewenangan pencabutan izin, sekarang tidak lagi. Hanya dapat memberi rekomendasi pencabutan izin berdasarkan dua hal, yaitu tidak bersiaran dan pelanggaran isi siaran. Jika sanksi denda sudah berlaku, maka lembaga penyiaran yang mendapat sanksi tersebut akan berurusan dengan negara, bukan dengan KPI lagi, tegas Peri.
Febriyanto selaku KPID Lampung menyambut baik rencana penyusunan aturan terkait sanksi denda. Dalam pandangannya, regulasi ini dapat membantu penegakan aturan terkait konten lokal, sehingga peluang hadirnya keberagaman konten dan informasi bagi masyarakat, menjadi lebih terbuka. Febri pun menyampaikan beberapa pertanyaan pada penerapan sanksi denda pada kesalahan yang berulang, terutama tentang konten lokal. Dari KPID Sulawesi Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Riau dan Kalimantan Selatan, juga ikut menyampaikan beberapa pertanyaan teknis tentang sanksi denda ini. Termasuk tentang mekanisme penarikan denda tersebut dan kaitannya pada pendapatan daerah.
Pendapat berbeda disampaikan oleh perwakilan lembaga penyiaran dan asosiasi. Dari Kompas TV misalnya, Deddy Risnandi memaparkan kondisi industri penyiaran saat ini yang pendapatannya tergerus oleh media dengan platform internet yang belum ada regulasinya sama sekali. Senada dengan Kompas TV, Partogi Matondang dari MNC Group menilai keberadaan sanksi administratif denda ini tidak sejalan dengan apa yang menjadi cita-cita UUCK. Menurutnya, UUCK menginginkan iklim investasi yang sehat. “Tiba-tiba dari UUCK ini ada aturan yang sifatnya dapat membuat investor menjadi bimbang karena adanya aturan yang bersifat mengerikan,” ujarnya. Dari asosiasi televisi berharap, aturan ini dipertimbangkan kembali. Jangan sampai terburu-buru mengeluarkan aturan, tapi tidak melihat secara keseluruhan. Dia juga memaparkan simulasi penerapan denda tersebut yang dinilai akan menyulitkan pelaku di industri penyiaran, termasuk juga lembaga penyiaran swasta (LPS) lokal.
Sementara itu Candi Sinaga dari Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) mengungkap, kondisi saat ini sangat memprihatinkan untuk pelaku bisnis radio di Indonesia. Saat pandemi covid yang lalu, kami pernah meminta bantuan dari pemerintah untuk mendapatkan keringanan terkait beberapa hal. Misalnya, untuk penggunaan listrik yang tidak dikategorikan sebagai industri, agar beban biaya lebih ringan. Di samping itu, Candi menilai KPI tidak memberi gambaran yang jelas tentang kondisi penyiaran saat ini, khususnya radio, pada pembuat kebijakan pemungut cukai. “Kalau buat radio sebenarnya, semua no issue,” ujarnya. Pembatasan iklan maksimal 20% misalnya, buat radio saat ini bisa ditanyakan pada dua radio terbesar, iklannya tidak sampai 20%. Sedangkan untuk kewajiban Iklan Layanan Masyarakat (ILM), Candi mengungkap bahkan jatah iklan pun diisi oleh ILM, lantaran memang kurangnya pengiklan di radio. Lebih jauh, Candi menilai seharusnya revisi undang-undang penyiaran harus segera disahkan, agar ada perlakuan setara bagi seluruh pelaku media.
Sedangkan dari Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) menilai, kondisi saat ini memang membuat radio ditinggal oleh pendengar. Sedangkan bagi radio komunitas, andalan strategis adalah pendengar. Jika pendengar tidak ada, maka tidak ada lagi yang bisa diajak berbagi kewajiban BHP Frekuensi. Jika membahas sanksi denda untuk radio komunitas, JRKI berharap aturannya sampai nol rupiah.
Pada kesempatan tersebut, hadir pula Koordinator Bidang Pengelolaan Kebijakan dan Sistem Penyiaran KPI Pusat, Hasrul Hasan. Dalam proses penyusunan PKPI ini, Hasrul berharap dapat menghasilkan regulasi yang implementatif. Lewat diskusi ini, baik KPI atau pun lembaga penyiaran dapat bersepakat dan tidak ada lagi penolakan. Ruang diskusi atas aturan sanksi denda ini juga menurut Peri, masih sangat terbuka. “Termasuk dalam penentuan nilai indeks untuk setiap jenis pelanggaran yang ditetapkan dalam PP 43 tersebut,” ujarnya.
Thomas Bambang Pamungkas dari KPI DKI Jakarta selaku moderator mengatakan, LP diberi kesempatan mengusulkan pendapat sandingan atas PKPI untuk menghadirkan titik temu. Dia menegaskan semangat KPI adalah tetap menjaga industri penyiaran untuk tetap tumbuh dan berkembang, termasuk juga menjaga iklim persaingan yang sehat sebagaimana amanah undang-undang.
Sebagai penutup, Ubaidillah mengatakan, masukan dari LP pada diskusi ini akan memperkaya PKPI dalam mencapai titik temu yang mengakomodir kepentingan industri penyiaran dan regulator. Dia berharap, baik KPID atau pun asosiasi lembaga penyiaran berkomitmen untuk mengawal PKPI. Prinsipnya, bukanlah capaian PNBP miliaran. Kalau perlu PNBP ini nol rupiah, yang artinya semua taat pada regulasi, tegasnya.