Bekasi -- Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat meminta lembaga penyiaran utamanya televisi untuk lebih variatif menyiarkan program siaran religi. Hal ini disampaikan saat menghadiri acara Focus Group Discussion (FGD) Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (IKPSTV) kategori religi di Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (1/6/2024).
“Jadi tidak hanya agama tertentu, tetapi juga semua agama yang ada di Indonesia,” kata Ubaid.
Gus Ubaid, panggilan akrabnya, mendengarkan masukan para informan dari 12 Universitas di Indonesia yang konsen mendiskusikan siaran religi di televisi. Selain program religi yang variatif, juga perlu ditekankan adalah kesadaran narasumber agar tidak menyinggung atau berpotensi menimbulkan ketersinggungan terhadap ajaran agama lain.
“Kita ingin wajah penyiaran juga menampilkan toleransi, keberagaman, dan saling menghargai. Jadi selain variasi program religi, subtansi konten jangan sampai menyinggung keyakinan umat lain,” imbuhnya.
Menurutnya, menambah keimanan merupakan satu hal dianjurkan oleh agama masing-masing. Akan tetapi ketika sudah tayang di lembaga penyiaran yang merupakan ranah publik, jangan sampai menyinggung keyakinan agama lain.
“Siaran religi ini sudah menjadi ranah publik. Jangan sampai membuat kelompok lain tersinggung. Kita harus menguatkan narasi keberagaman dan semangat toleransi,” sambungnya.
Dengan menampilkan siaran religi yang bermuara nilai-nilai toleransi, diharapkan juga bisa berdampak pada perilaku masyarakat. Sehingga masyarakat bisa saling menghargai, menjaga kerukunan, dan bisa hidup berdampingan di dalam keberagaman.
“Jadi saya mendorong lembaga penyiaran menjadi bagian integral membangun toleransi tumbuh di masyarakat. Tidak membangun ekslusivitas nilai dan ajaran agama tertentu. Agar masyarakat bisa hidup berdampingan dengan damai dan rukun,” pungkasnya. Memet/Foto: Agung R
Bekasi – Upaya peningkatan kualitas isi siaran lembaga penyiaran khususnya TV terus dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Salah satu program utama kegiatan KPI yang konsen mendorong peningkatan kualitas isi siaran TV yakni Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (IKPSTV) yang secara periodik digelar bersama 12 Peguruan Tinggi Negeri (PTN) di 12 kota di tanah air.Menj
Memasuki tahun ke 10 penyelenggaraan program ini, KPI tak berhenti memunculkan inovasi dan ide baru agar kualitas isi siaran lembaga penyiaran dari waktu ke waktu makin membaik, meningkat dan tentunya menjadi referensi bagi masyarakat dan para stakeholder.
PIC kegiatan IKPSTV sekaligus Anggota KPI Pusat Amin Shabana mengatakan, pihaknya akan mengembangkan program baru indeks dengan cakupan yang lebih luas. Program yang saat ini disebut IKPSTV akan berubah menjadi Indeks Penyiaran Indonesia (IPI). Rencananya, program indeks baru ini akan dimulai tahun depan.
“Indeks ini akan kita lakukan jauh lebih besar. Kalau misalnya tahun ini kita melibatkan 12 perguruan tinggi dari 12 provinsi, maka indeks penyiaran penyiaran ini akan melibatkan 33 provinsi, dimana di dalamnya juga ada perguruan tinggi dan KPID,” jelas Amin sebelum pembukaan kegiatan diskusi kelompok terpumpun atau FGD (fokus grup diskusi) IKPSTV Periode 1 tahun 2024 di Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (1/6/2024).
Indeks penyiaran baru ini diharapkan dapat menjawab dan mewujudkan kualitas penyiaran yang sejalan dengan regulasi yang berlaku, keinginan publik juga industri penyiaran. “Ini wujud dari pengembangan bagaimana indeks ini bisa mengukur industri penyiaran di 33 provinsi tadi,” tambah Amin Shabana.
Dalam kesempatan itu, Amin menyampaikan apresiasi tinggi atas keterlibatan para ahli dari perguruan tinggi dalam program IKPSTV selama ini. Keseriusan dan profesionalitas dari para ahli di perguruan tinggi ini menjadi rekomendasi positif untuk meningkatkan kualitas isi siaran TV.
“Sekali lagi terima kasih. Kami berharap dukungan dari bapak ibu semua perguruan tinggi yang semua merupakan mitra dari KPI dalam mendukung kerja-kerja kami ke depan,” pintanya.
Saat membuka kegiatan FGD, Ketua KPI Pusat Ubaidillah, menyandingkan bobot kualitas siaran TV dengan dinamika penyiaran yang terjadi sekarang. Menurutnya, ada kritik terkait perbedaan kualitas antara media penyiaran dan media baru yang perlu direspon.
“Kritik ini tidak bulat kita terima karena penilaian terhadap kualitas penyiaran bisa dilatari dengan beragan faktor, mulai aktivitas mereka di ruang teknologi yang saat ini lebih intens. Sehingga saat ini mereka tidak punya prospektif obyektif untuk memilih kualitas lembaga penyiaran secara konferhensif, Tapi yang jelas pandangan mereka terhadap kualitas harus direspon secara obyektif,” katanya.
Ubaid menyatakan, pihaknya terus melakukan kerja-kerja koheren untuk meningkatkan kualitas layar kaca Indonesia. Melalui FGD ini, dirinya berharap ini akan menghasilkan rekomendasi yang bersifat organik dengan kebutuhan masyarakat.
“Dengan apa yang terjadi belakangan. FGD ini, baik dari proses perencanaan sampai dengan hasilnya, tidak berjalan sendiri, tidak merasa mapan sendiri, sehingga sudaah merasa telah melakukan hal yang terbaik,” harap Ubaidillah.
Ubaid juga mengucapakan terima kasih kepada seluruh konsultan pengendali, para informan dan seluruh komisioner yang terus mendidikasian diri memberikan pandangan dan pemikiran terbaik agar kualitas siaran tumbuh berkembang dengan baik. “Saya berharap ibu dan bapak dapat merekam apa yang diharapkan publik, lalu menjadikannya sebagai aktivitas kelembagaan yang dalam hal ini terimplementasi melalui IKPSTV,” tutupnya.
Sementara itu, Plt Direktur Politik dan Komunikasi Badan Perencanaan Pembagunan Nasional (Bappenas), Nuzula Anggeraini, menyoroti dua kategori program yakni sinetron dan infotainment yang penilaiannya bertolak belakang. Menurutnya, secara rating (Nielsen) dua kategori itu termasuk yang baik, namun secara kualitas masih di bawah standar yang diharapkan KPI.
“Apakah perlu kita melakukan survei minat dan survei khalayak serta peningkatan literasi dan juga edukasi siaran terhadap masyarakat untuk program sinetron dan infoteimen,” katanya yang disampaikan secara daring.
Terkait hal ini, Bappenas mendorong KPI terus meningkatkan pemahaman P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) kepada lembaga penyiaran. Upaya lain yang perlu juga dilakukan yakni peningkatan SDM penyiaran serta managemen lembaga penyiaran. “Ini merupakan hal lain yang dapat dilaksanakan untuk mendukung peningkatan kualitas penyiaran Indonesia,” kata Nuzula.
Secara khusus menyangkut peningkatan kualitas SDM, Bappenas berharap KPI dapat memberikan pelatihan kepada rumah-rumah produksi (production house) dan lembaga penyiaran. Pelatihan ini dengan tujuan setiap program yang dibuat selaras dengan standar KPI serta kultur budaya bangsa.
“Asosiasi periklanan diharapkan juga turut mendukung program-program siaran yang berkualitas, misalnya dengan memasang iklan pada program yang berkualitas tersebut dan tentunya juga disesuaikan dengan standar dari KPI. Hal ini diperlukan untuk mewujudkan penyiaran yang sehat dan berkualitas,” papar Nuzula.
Narasumber FGD IKPSTV yang pernah menjabat Ketua KPI Pusat Periode 2016-2019, Yuliandre Darwis, mengatakan kepuasan publik terhadap tayangan merupakan mandat yang harus dipenuhi KPI. Karenanya, pengukuran kualitas siaran itu diperlukan untuk melihat sejauhmana mutu dari siaran tersebut.
Dalam kesempatan ini, Andre (panggilan akrabnya) berharap hasil FGD indeks ini dapat dieksplorasi sehingga muncul data analisa baru. Selain itu, lanjutnya, kolaborasi dalam kegiatan indeks juga diperlukan. “Harapannya akan memperkuat indeks, sehingga menghasilkan penguatan siaran,” ujarnya.
Pada kesempatan diskusi di kelas yang dibagi menjadi 8 kategori program, seluruh pengendali dan para informan diberi kesempatan menyampaikan pandangan, penilaian serta masukannya. Seluruh Komisioner KPI Pusat ikut terlibat dalam diskusi ini antara lain Ketua KPI Pusat Ubaidillah, Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza, Anggota KPIn Pusat Aliyah, Amin Shabana, Evri Rizqi Monarshi, I Made Sunarsa, Muhammad Hasrul Hasan, Mimah Susanti, dan Tulus Santoso. Adapun ke 8 kategori yang dimaksud yakni infotainment, sinetron, wisata dan budaya, berita, religi, variety show, talk show dan anak. ***/Foto: Agung R
Bogor – Pembahasan substansi draft revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standai Program Siaran (P3SPS) terus dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Hal ini untuk memastikan draft revisi sesuai dengan dinamika penyiaran saat ini sekaligus juga dapat diterima semua pihak khususnya publik.
Pandangan ini disampaikan Akademisi dari Universitas Padjajaran Dadang Rahmat Hidayat, dalam forum diskusi kelompok terpumpun atau FGD tentang Masukan Revisi P3SPS yang digelar KPI Pusat di Bogor, awal pekan ini.
Menurut Dadang, publik menjadi alasan utama regulator untuk melakukan proses revisi P3SPS. Karenanya, proses revisinya harus dilakukan secara terbuka dan membuka ruang masukan dari luar. “Jangan dilakukan sembunyi-sembunyi,” katanya.
Selain itu, kebutuhan untuk merivisi pedoman ini cukup dilihat dari aspek substantifnya. Jadi melihatnya dari apa saja yang belum diakomodir dalam pedoman tersebut. “Menambahkan hal-hal yang ada namun belum diatur dan menghapuskan hal-hal yang tidak perlu diatur,” ujar Dadang yang pernah menjabat Anggota KPI Pusat periode 2010-2013 lalu.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan KPI terkait penerimaan usulan dari stakeholder (publik dan lembaga penyiaran). Pelibatan ini untuk memastikan pedoman ini ketika ditetapkan dapat diterima semua pihak.
“Perlu berhati-hati, sebab pihak lembaga penyiaran khususnya radio merasa tidak dilibatkan atau dianaktirikan. P3SPS adalah sarana yang memiliki fungsi imperatif. KPI sebagai regulator administrator. Jangan sampai dalam P3SPS muncul pasal-pasal yang bisa menimbulkan wacana penolakan revisi P3SPS,” usul Dadang Rahmat Hidayat.
Dalam kesempatan itu, Dadang mengingatkan KPI adalah lembaga yang menjalankan perintah dan memiliki kewenangan. Namun demikian, lanjutnya, jangan juga KPI berjalan melampaui kewenangannya.
Di tempat yang sama, narasumber lain yang juga Ketua KPI Pusat Periode 2019-2022, Agung Suprio, menyampaikan harapannya agar revisi P3SPS segera selesai. Dia juga berharap penyiaran di tanah air makin berkembang dan maju.
Pada forum diskusi ini, berbagai pandangan dan masukan disampaikan dari para peserta diantaranya Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, Anggota KPI Pusat, Amin Shabana, Muhammad Hasrul Hasan, Evri Rizqi Monarshi, Aliyah, Tulus Santoso dan Mimah Susanti. ***/Foto: Teddy
Jakarta – Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) adalah momentum yang menjadi tonggak hidupnya penyiaran nasional. Dimulai dari Surakarta, dengan berdirinya perkumpulan radio pribumi pertama, Solosche Radio Vereeniging (SRV) pada 1 April 1933. Semenjak itu, wajah penyiaran nasional telah banyak berubah. Peringatan hari penyiaran menjadi refleksi bagi penyiaran nasional dari tahun ke tahun.
Peringatan hari jadi penyiaran juga dilaksanakan di tingkat daerah, seperti di Provinsi Jawa Barat (Jabar). Saat berkunjung ke Kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Jumat (31/5/2024), rencana tersebut disampaikan langsung Ketua KPID Jabar Adiyana Slamet ke Anggota KPI Pusat, Tulus Santoso dan Mimah Susanti.
Dalam kesempatan itu, Ketua KPID Jabar menyampaikan undangan ke KPI Pusat untuk hadir dalam peringatan Hari Penyiaran di Jawa Barat. Dia menjelaskan bahwasanya KPID Jabar akan menyelenggarakan berbagai rangkaian kegiatan.
“Kami datang untuk mengundang langsung Harsiarda termasuk undangan permohonan sambutan untuk Ketua KPI Pusat,” ucap Adiyana.
Menanggapi permohonan tersebut, Anggota KPI Pusat sekaligus Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran, Tulus Santoso, menyatakan niatnya untuk turut meramaikan peringatan Harsiarda tersebut. Mengingat, KPI saat ini tengah fokus menyiapkan penyelenggaraan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI seluruh Indonesia.
“Semoga kita bisa hadir ditengah tengah padatnya jadwal dan kegiatan kami. Tanggal 8 semoga kami bisa ikut meramaikan acara. Setelah kegiatan di beberapa kota, kami fokus ke Rakornas dan Harsiarnas,” ucap Tulus.
Rangkaian kegiatan Harsiarda melibatkan banyak pihak. Kegiatan telah dimulai sejak 14 Mei lalu. Adapun rangkaian acaranya antara lain kegiatan bersama komunitas pemberdayaan masyarakat, roadshow ke perguruan tinggi dan penanaman pohon, broadcast expo, hingga kampanye bertajuk “Ayo Nonton TV & Dengarkan Radio Terus." Puncak peringatan Harsiarda akan digelar pada 9 Juni dan rencananya akan dihadiri Penjabat Gubernur Jabar. Abidatu Lintang
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama pemangku kepentingan penyiaran mendorong adanya Revisi Undang-Undang Penyiaran sejak 2010. Revisi ini sangat penting dalam rangka menghadirkan ekosistem penyiaran yang sehat dan berkualitas serta bermanfaat bagi masyarakat, negara, maupun tumbuh kembangnya industri penyiaran Nasional. Upaya Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 pada prinsipnya lahir dari masukan berbagai pihak mulai dari kelompok masyarakat sipil (civil society), industri, akademisi dan pemerhati penyiaran lainnya. Secara resmi usulan revisi undang-undang ini sudah disampaikan pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI tahun 2015 di Makassar. Secara umum, usulan KPI atas revisi undang-undang terkait tiga hal yaitu:
1. Penguatan kelembagaan internal KPI yang terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah dalam rangka optimalisasi kerja pengawasan konten siaran yang jumlahnya semakin berlipat sejak pelaksanaan ASO.
2. Membangun rasa keadilan bagi ekosistem penyiaran melalui usulan pengawasan konten di platform digital.
3. Mengusulkan audit rating demi menghindari adanya tafsir tunggal atas kualitas program siaran di televisi.
Tiga hal ini disuarakan KPI secara simultan dalam berbagai bentuk kegiatan ataupun dialog resmi setelah mendengar aspirasi berbagai pemangku kepentingan penyiaran. Adapun rekam peristiwa yang dilakukan, KPI ini dapat diakses publik dalam website resmi KPI.
Secara yuridis, Revisi Undang Undang Penyiaran adalah keniscayaan
Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, memiliki dampak terhadap pola struktur dan dukungan manajemen kesekretariatan yang melemahkan posisi KPI di daerah sebagai sebuah lembaga negara. Atas beberapa diskusi yang melibatkan beberapa pihak, maka solusi terbaiknya adalah melakukan revisi atas Undang-Undang Penyiaran.
Selanjutnya kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, mengoreksi 9 pasal pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Koreksi dimaksud berkaitan dengan perubahan beberapa kewenangan KPI dan tata laksana digitalisasi penyiaran yang tidak ada pengaturannya dalam Undang-Undang Penyiaran. Atas dasar itu juga dibutuhkan regulasi yang baru untuk penyiaran.
Terkait dinamika Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran, KPI menilai secara teknis RUU ini masih akan berproses sesuai dengan peraturan perundangan yang akan melibatkan segenap stakeholders. Dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi penyiaran dan perubahan peraturan perundang-undangan, Revisi Undang-Undang Penyiaran adalah sebuah kebutuhan. Spirit dari revisi Undang-Undang Penyiaran ini tetap ingin menjamin ruang kebebasan bersuara dan berpendapat demi demokratisasi media dan penyiaran di tanah air. (Siaran Pers ini dikeluarkan oleh Humas KPI Pusat)
Menampilkan dan mengajarkan secara gamblang tentang pembuliyan dimana TV tersebut merupakan TV nasional yang ditonton oleh seluruh masyarakat
Pojok Apresiasi
Dwi E N
Tayangan ini menampilkan pernikahan anak usdia dini (dan juga secara paksa). Hal tersebut melanggar UU yang telah menetapkan batas minimal usia pernikahan 19 tahun (UU No. 16 Tahun 2019). Kemudiam cerita poligami tokoh pria (39) tahun dan tokoh anak jelas melanggar UU Perlindungan Anak terkait denfan isu pedofilia (UU No. 23 Tahun 2002). Oleh karena itu program/tayangan ini tidak layak ditayangkan di saluran TV Nasional.