Jakarta - Konektivitas antarnegara ASEAN (Asociation South East of Asian Nation) yang menjadi amanat Presiden Joko Widodo dalam KTT ASEAN 2023 di Jakarta, ditindaklanjuti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan melakukan kolaborasi penanganan isu strategis di bidang penyiaran dengan negara-negara anggota ASEAN. Hal ini dikarenakan, ada banyak permasalahan penyiaran yang mengharuskan adanya koordinasi dan kolaborasi baik dalam kebijakan atau pun tindakan dengan negara-negara lain, terutama yang bersebelahan batas dengan Indonesia. 

Hal ini disampaikan Amin Shabana, Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan saat bertemu dengan Pusat Kelembagaan Internasional Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, di Jakarta, (12/9). Diantara isu penyiaran yang dimaksud Amin adalah luberan siaran asing di wilayah perbatasan antarnegara, regulasi konten siaran, peningkatan sumber daya manusia (SDM) penyiaran dan daya saing konten, serta pembajakan konten-konten siaran. 

Dalam pertemuan tersebut, Amin menyampaikan inisiatif KPI untuk membentuk forum regulator penyiaran antarnegara ASEAN. Hal ini, menurut Amin, juga tindak lanjut dari Indeks Kualitas Siaran Televisi yang sudah digelar KPI selama 8 tahun. “Responden ahli dari Indeks yang merupakan kalangan akademisi merekomendasikan penguatan ekosistem digital pasca ASO, hingga ke tingkat regional,” ujarnya. Dengan demikian ini juga menjadi usaha penguatan konten siaran di Indonesia secara komprehensif, dari hulu hingga ke hilir. 

Sambutan positif atas inisiatif KPI ini disampaikan oleh Kepala Pusat Kelembagaan Internasional, Ichwan Makmur Nasution. Dia menjelaskan bahwa posisi Pusat Kelembagaan Internasional merupakan focal point Indonesia di bidang Komunikasi dan Informatika pada fora Internasional. Sedangkan Kemenkominfo sendiri merupakan focal point atas dua organisasi di ASEAN, yaitu ASEAN Digital Senior Officials Meeting (ADGSOM) untuk sektor digital dan Senior Officials Meeting Responsible for Information (SOMRI) untuk sektor informasi. 

Ichwan juga memaparkan tentang keberadaan ASEAN Ministers Responsible for Information (AMRI) sebagai badan sektoral utama di sektor informasi dan media ASEAN yang dibantu SOMRI.  Organisasi ini bertujuan untuk menciptakan rasa memiliki kawasan serta mendorong dan mempromosikan ASEAN Identity serta kerja sama sektor informasi dan media. SOMRI bermitra dengan ASEAN Committee on Culture and Information (ASEAN COCI)  melalui Sub-Committee on Information (SCI) untuk implementasi inisiatif dan penanganan isu terkait penyiaran digital, informasi, media,  pelatihan, dan produksi konten.

Untuk pembentukan forum regulator sebagaimana yang diinisiasi KPI, Ichwan melihat ada dua pilihan realisasi. Forum ini dapat diusulkan lewat mekanisme yang ada dalam kesekjenan ASEAN. “Bisa juga KPI membentuk sendiri forumnya yang lepas dari ASEAN sebagai forum bilateral,” ujarnya.  Dia juga menilai perlu megidentifikasi kesamaan kewenangan antar regulator di masing-masing negara. “Karena bisa jadi, kewenangan regulator di Malaysia berbeda dengan KPI. Sebagaimana juga regulator di Singapura juga belum tentu sama dengan di Malaysia,” tambahnya.

Yang juga perlu diperkuat adalah isu-isu yang long lasting bagi seluruh anggota ASEAN, untuk urgensi pembentukan forum tersebut. Misalnya, apakah isu digitalisasi penyiaran akan tetap relevan untuk lima tahun ke depan? Di sisi lain, jika forum ini melekat pada ASEAN, berarti harus mendapat persetujuan dari seluruh anggota ASEAN yang biasanya harus meminta persetujuan dari lembaga legislatif di masing-masing negara. 

Pada kesempatan itu, Amin menyampaikan langkah-langkah yang sudah ditempuh KPI dalam realisasi gagasan forum regional. Termasuk melakukan pertemuan daring dengan MCMC (Malaysia Communication and Multimedia Commission) selaku regulator penyiaran di Malaysia sebagai penjajakan awal atas peluang kerja sama dua lembaga antarnegara ini ke depan. KPI sendiri mengagendakan pertemuan sejenis dengan regulator penyiaran dari negara anggota ASEAn lainnnya, sebagai bentuk penguatan hubungan dan percepatan realisasi pembentukan forum regulator penyiaran di ASEAN.  

 

 

Jakarta – Penguatan kelembagaan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan perlunya pengawasan media baru menjadi topik yang paling banyak dibicarakan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun bertajuk “Penguatan Keragaman dan Kualitas Konten dalam RUU Penyiaran 2023” di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), Minggu (10/9/2023). Penguatan KPI dalam RUU Penyiaran dinilai relevan dengan situasi penyiaran dan teknologi komunikasi saat ini, ditambah belum adanya pengawasan terhadap media baru. 

Ketua KPI Pusat Ubaidillah mengatakan, revisi atas UU Penyiaran tahun 2002 merupakan tuntutan atas berkembangnya zaman. Menurutnya, usia UU Penyiaran saat ini sudah 21 tahun dan perlu perubahan di beberapa substansi. “Banyak pasal maupun konten di pasal UU Penyiaran tidak sesuai dengan perkembangan zaman,” katanya saat membuka diskusi kelompok terpumpun tersebut.  

Menyangkut perubahan substansi tersebut, lanjut Ubaidillah, salah satunya soal penguatan kelembagaan KPI. Penguatan ini erat hubungannya dengan perkembangan teknologi diantaranya pengawasan TV digital. 

“Pengawasan siaran yang KPI Pusat lakukan sampai saat ini ada 20 lembaga penyiaran digital, 15 radio dan 5 lembaga penyiaran berlangganan. Penguatan kelembagaan penting bagi KPI. Ketika migrasi, kami jadi memantau banyak siaran TV. Tetapi kondisi kami secara kelembagaan dan dukungan belum maksimal,” ujarnya.  

Pandangan serupa turut dikemukakan Anggota KPI Pusat Amin Shabana. Menurutnya, penguatan konten harus diikuti dengan penguatan aturannya (UU Penyiaran) yakni menyesuaikan dengan kondisi sekarang. Saat ini, masyarakat mengakses informasi maupun hiburan tidak hanya lewat media penyiaran (TV dan radio) tapi juga melalui gawai. 

“Berbicara keragaman konten kita mengacu pada undang-undang penyiaran nomor 32 yang perlu penyesuaian dengan berkembangnya zaman. Fakta tersebut merupakan hal yang harus disikapi,” jelasnya.

Amin lalu mengaitkan perkembangan teknologi dengan munculnya penyiaran lain di platform  baru seperti over the top (OTT). Hal ini kemudian memunculkan keluhan dari media konvensional karena merasa tidak diperlakukan secara adil. 

“Teman-teman lembaga penyiaran mengeluh pada KPI, mereka diawasi sementara OTT tidak diawasi. Kantornya pun tidak ada di Indonesia. Ini penyebab kita melakukan perkembangan dalam revisi RUU penyiaran,” kata Amin.

Anggota Komisi I DPR RI Helmy Faishal Zaini menyatakan, RUU Penyiaran bertujuan agar lalu lintas informasi berjalan dengan baik. Sehingga informasi yang diterima masyarakat tidak menimbulkan dampak buruk. Terlebih dengan terjadinya pergeseran ke era digital. 

“Terjadi perubahan luar biasa. Era digital menggantikan berbagai macam fungsi informasi kepada publik. Saya kira media mainstream harus bercermin kepada citizen journalis, banyak kejadian yang viral di masyarakat, sekarang ini justru berangkat dari informasi yang dihadirkan oleh masyarakat,” kata Helmy. 

Dalam kesempatan itu, Helny meminta masyarakat menggunakan media sosialnya dengan baik. Kehati-hati memanfaatkan media ini penting karena akan membatasi terjadinya peredaran informasi yang tidak baik atau berdampak buruk. 

“Kesempatan hari ini, kita akan mendengar lebih banyak dari narasumber terutama sisi penyiaran. Masyarakat harus mendapatkan informasi yang edukatif dan informatif,” urainya melalui daring.

Ketua KPID NTB Ajeng Roslinda Motimori mengatakan, penghentian siaran TV analog merupakan langkah penting dalam perkembangan industri penyiaran di tanah air. Perubahan ini memberi banyak manfaat khususnya bagi masyarakat.

Kendati demikian, perubahan ini harus diikuti dengan makin beragamnya konten yang disuguhkan. “Keragaman konten adalah salah satu pilar utama dalam penyiaran yang sehat dan berbudaya. Ini tidak hanya mencakup berbagai genre dan tipe program, tetapi juga merepresentasikan beragam sudut pandang, latar belakang budaya, dan nilai-nilai yang berbeda. Keberagaman konten juga menciptakan ruang bagi informasi, hiburan, pendidikan, dan wacana publik yang seimbang,” jelas Ajeng.

Terkait itu, Ajeng mendorong lembaga penyiaran untuk lebih banyak memproduksi program-program yang inovatif dan kreatif. Sekaligus melakukan pengembangan konten lokal dan sumber daya manusianya. “Kami juga mendorong lembaga penyiaran untuk menghasilkan program yang mendukung budaya lokal dan nasional, serta melindungi nilai-nilai kultural,” katanya dalam diskusi yang dihadiri Prof. Hendri Subiakto dan Sahri Halim serta Anggota KPI Pusat,  I Made Sunarsa, Evri Rizqi Monarshi dan Mimah Susanti. ***

 

 

Bandung - Undang-undang (UU) sebagai penyelamat hidup masyarakat perlu disesuaikan dengan zamannya. Sama halnya dengan UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang saat ini sudah berusia 21 tahun yang mesti direvisi. Hal ini demi terciptanya asas keadilan bagi industri penyiaran berbasis frekuensi dan over the top dan negara harus mengawasi keduanya.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga hasil UU Penyiaran harus dikuatkan melalui revisi UU penyiaran yang baru. Guna menggali pendapat masyarakat, KPI menyelenggarakan diskusi publik “Dinamika Pengawasan Lembaga Penyiaran dan Media Baru” di Kecamatan Mandalajati, Kota Bandung, Jumat (8/9/2023).

Setelah dibuka Ketua KPI Pusat, Ubaidillah dan Camat Mandalajati, hadir memberikan pandangan, Anggota DPR RI Junico Siahaan, Pengamat Penyiaran Dadang Rahmat Hidayat, Komisioner KPI Pusat Aliyah, dan Ketua KPID Jawa Barat Adiyana Slamet.

Anggota DPR RI, Junico menegaskan perlunya pengawasan terhadap media baru oleh lembaga yang kuat. Terlebih menyambut konten era informasi yang kian beragam. “Kalau mau negara serius mau kontennya positif, tenaganya harus kuat. Kalau lembaganya banyak, harus banyak dukungan dan kewenangan yang lebih,” ungkap Anggota Komisi I DPR RI tersebut.

Sebagai bentuk perwakilan masyarakat, KPI Pusat dan KPID sepakat mendorong DPR RI untuk segera merevisi UU yang telah berusia 21 tahun itu.

Ketua KPID Jawa Barat Adiyana, mengungkapkan revisi undang-undang harus segera dilakukan untuk menyelamatkan keberagaman kepemilikan industri penyiaran. Kepemilikan yang terbatas dianggap sulit untuk mewujudkan keberagaman isi penyiaran ke depan. Hal ini rawan terjadinya monopoli, sehingga lembaga negara harus membatasi itu.

“Kelembagaan KPI menurut UU 32 tahun 2022, menurut saya negara menghendaki regulasinya negara ini kuat. Negara itu harus ikut andil, sedangkan untuk saat ini negara masih belum hadir, jika UU ini belum diperbaiki dari 20 tahun,” tegas Adiyana.

Aliyah Komisioner KPI Pusat menambahkan, selain kelembagaan yang kuat nantinya harus ada partisipasi masyarakat. Ini untuk ikut mengawasi industri penyiaran di Indonesia.

“Apabila bapak dan ibu melihat tayangan yang tidak sesuai mengandung unsur-unsur radikal, kekerasan dan lainnya dapat mengadukan ke saluran pengaduan KPI Pusat. Partisipasi Masyarakat terhadap penyiaran ikut menjadikan tontonan menjadi tuntunan,” ucap Aliyah kepada para peserta.

Selaku pengamat penyiaran dan akademisi Dadang Rahmat Hidayat, memberikan pandangan bahwa media baru harus diawasi supaya tercipta keadilan. Ditambahnya, media penyiaran lokal dan komunitas diharapkan dapat perhatian dalam revisi UU penyiaran nanti. “Penyiaran yang berkeadilan diharapkan jangan sampai didominasi oleh itu-itu lagi,” katanya.

Di akhir acara, peserta diskusi yang terdiri dari mahasiswa hingga masyarakat umum berharap kepada pemerintah dan DPR RI segera melakukan revisi UU penyiaran untuk menguatkan KPI. Sehingga kerja KPI dibarengi dengan dukungan dan regulasi yang kuat. Peserta diskusi juga mengharapkan KPI yang tegas dalam melaksanakan tugasnya kelak. Abidatu Lintang

 

Palu - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bersama Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Tengah (Sulteng) menggelar sosialisasi siaran TV digital di Kota Palu, Sulteng. Sosialisasi ini diselenggarakan di sekolah-sekolah di wilayah Kota Palu dengan mengusung tema “KPID Sulteng Fest 2023 school to school”.

KPID Sulteng Fest 2023 school to school menghadirkan Anggota KPI Pusat sekaligus Koordinator Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P), Muhammad Hasrul Hasan. 

Dalam paparannya, Hasrul menyatakan KPI menyambut baik pelaksanaan analog switch off (ASO) atau penghentian siaran TV analog berganti siaran TV digital secara menyeluruh di seluruh wilayah layanan siaran di tanah air per Agustus 2023. 

Menurutnya, perpindahan siaran digital ini penting untuk menerima informasi cepat termasuk deteksi atau peringatan dini bencana gempa atau tsunami di wilayah sekitar. “Teknologi dalam siaran digital terdapat sistem peringatan dini bencana namanya early warning system atau EWS dan itu cuman ada jika kita sudah beralih siaran digital,” jelas Hasrul. 

Menyangkut hal itu, Hasrul berharap seluruh stasiun TV yang belum melakukan ASO untuk secepatnya berpindah. Hal ini tidak lepas dari kepentingan utama dari pelaksanaan ASO yakni memberikan pelayanan dan pemenuhan informasi untuk masyarakat.

Tak hanya itu, Hasrul juga memaparkan keunggulan siaran digital yang memiliki potensi menyediakan layanan interaktif yang memungkinkan pemirsa untuk secara langsung mengevaluasi audio program siaran.

Dalam kesempatan ini, Ia mengharapkan lewat sosialisasi ini siswa-siswa bisa mengenal kemudahan dan manfaat siaran digital di masa sekarang. Apalagi menurutnya di wilayah Kota Palu adalah salah satu daerah yang mempunyai historis kebencanaan yang luar biasa. 

“Kota Palu ini adalah lingkaran api yang rawan bencana, karena kita ada diantara itu kita harus mengadaptasi dan mencari tahu cara mendeteksi dini kebencanaan untuk melindungi diri,” jelas Hasrul Hasan. Red dari berbagai sumber

 

 

 

 

 

 

 

 

Aceh Besar - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diharapkan ikut mengawasi konten-konten di platform media sosial yang ditengarai sarat dengan muatan negatif. Usulan ini didasarkan pada kewenangan KPI saat ini yang mengawasi konten di televisi dan radio. Harapannya, dalam regulasi ke depan, pengawasan konten di media sosial dilakukan oleh KPI juga. Hal tersebut terungkap dalam kegiatan Literasi Media yang digelar KPI Aceh di Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) Nahdlatul Ulama Dayah Mahyal Ulum Sibreh, Aceh Besar, (9/9). 

Menanggapi usulan yang berkembang dalam forum tersebut, Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan Amin Shabana mengatakan hingga saat ini undang-undang penyiaran belum memberikan kewenangan bagi KPI untuk mengawasi konten-konten di media sosial. Namun demikian, Amin sangat memahami kekhawatiran banyak pihak dengan fenomena konten media sosial yang tidak terkontrol. Untuk itu, dia mengajak mengajak masyarakat termasuk mahasiswa untuk mendorong DPR segera mengesahkan revisi undang-undang penyiaran, termasuk mengatur mekanisme pengawasan konten-konten di media sosial.

Turut hadir pula dalam literasi media ini, Guru Besar Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar Raniry, Prof Dr Ridwan Nurdin yang membahas tentang kewajiban perspektif syariah  untuk menghadirkan konten-konten siaran yang mencerdaskan. Sedangkan Amin Shabana membahas menyampaikan materi tentang “Literasi Media dalam Ekosistem Penyiaran”.

Jika menilik aturan terkait konten dalam undang-undang penyiaran, menurut Amin, semuanya memiliki dalil-dalil dari perspektif syari’ah. Larangan adegan kekerasan sejalan dengan Alquran surah An Nisa ayat 148, surah al-Maidah ayat 32 dan termasuk surah al-Hujurat ayat 10. Sementara larangan asusila terdapat dalam surah Al A’raf ayat 80 dan surah Al-Isra 32. Begitu juga larangan alkohol, rokok, Napza dan sebagainya yang diatur dalam pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran, ujarnya.  

Dalam kesempatan tersebut, Amin menyampaikan peran strategis yang dapat diambil mahasiswa dalam pengawasan program siaran kepemiluan sehubungan dengan tahun politik. Menurutnya, mahasiswa harus pro aktif mencari informasi yang akurat di TV maupun Radio dan menjadi agent of change dalam mewujudkan pemilu yang bermartabat melalui pengawasan siaran kepemiluan. “Saya juga berharap mahasiswa tidak ikut terprovokasi informasi HOAX, informasi yang menyesatkan dan menghasut, dan tidak ikut terlibat dalam menyebarluaskan black campaign, “ tegasnya.

Amin juga mengajak mahasiswa untuk dalam memantau siaran kepemiluan baik di televisi atau pun radio. KPI menyediakan saluran pengaduan bagi masyarakat yang menemukan potensi pelanggaran, termasuk terkait netralitas lembaga penyiaran dalam pesta demokrasi saat ini. Tak hanya itu, Amin mendorong produksi konten positif dari Pesantren, yang dapat hadir sebagai penjernih berbagai isu, termasuk isu keagamaan dan sosial masyarakat lokal.

 

Menurutnya, salah satu konten positif produksi content creator lokal yang dapat dirujuk adalah Layar SMONG. Film ini, ungkap Amin, mengangkat cerita kearifan lokal (local wisdom) yang diwariskan turun temurun di masyarakat Pulau Simeuleu dalam menghadapi bencana alam. Budaya SMONG juga yang menyelamatkan warga Simeuleu dari bencana dahsyat Tsunami tahun 2004, silam. Amin mengajak stasiun televisi yang bersiaran di Aceh, baik lokal ataupun jaringan, untuk menayangkan film Layar SMONG. “Harapannya, dapat menjadi contoh peran serta lembaga penyiaran dalam isu kebencanaan di daerah perbatasan,” pungkasnya.  (Foto: KPI Aceh)

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.