Jakarta – 4 stasiun TV (RCTI, SCTV, Trans TV dan PT Cipta TPI) mendapat teguran KPI Pusat terkait penayangan iklan “PT Djarum Edisi Bulan Ramadhan versi merawat orangtua” di stasiun TV tersebut. Iklan di atas dinilai melanggar ketentuan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI tahun 2012. Hal itu disampaikan KPI Pusat dalam surat tegurannya yang ditandatangani Ketua KPI Pusat, Mochamad Riyanto, Kamis, 25 Juli 2013.
Pelanggaran yang dilakukan dalam iklan itu adalah ditampilkannya bentuk dan strategi promosi yang dibuat oleh produsen rokok, yakni PT Djarum, yang ditayangkan di luar pukul 21.30 – 05.00 waktu setempat. Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan siaran iklan dan perlindungan anak dan remaja.
Adapun iklan yang melanggar ditayangkan oleh stasiun RCTI pada tanggal 23 Juli 2013 pukul 17.45 WIB. Stasiun SCTV pada tanggal 23 Juli 2013 pukul 17.47 WIB. Stasiun Trans TV pada tanggal 23 Juli 2013 pukul 12.47 WIB. PT Cipta TPI pada tanggal 23 Juli 2013 pukul 17.53 WIB.
Beberapa waktu lalu, KPI Pusat telah mengirimkan surat No. 389/K/KPI/07/13 tertanggal 16 Juli 2013 perihal peringatan tertulis atas iklan tersebut kepada seluruh stasiun TV. Dalam surat tersebut, KPI Pusat telah meminta Saudara untuk segera melakukan evaluasi internal dengan cara tidak lagi menayangkan iklan tersebut di luar pukul 21.30 – 05.00 waktu setempat
Menurut Mochamad Riyanto, tindakan penayangan iklan tersebut melanggar P3 KPI Pasal 14 dan Pasal 43 serta SPS Pasal 15 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), dan Pasal 59 ayat (1) dan (2).
“Kami meminta kepada semua stasiun TV agar menjadikan P3 dan SPS KPI tahun 2012 sebagai acuan utama dalam penayangan sebuah program siaran, termasuk iklan, dan diharapkan terdapat perbaikan pada program siaran yang sesuai dengan ketentuan P3 dan SPS sehingga program siaran bermanfaat bagi kepentingan masyarakat,” jelas Riyanto. Red
Perkembangan informasi media penyiaran yang pesat berakibat pada beragamnya arus informasi yang muncul dan diterima publik. Saat ini jumlah televisi di Indonesia menurut catatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat sampai dengan Mei 2013 sebanyak 2.590 lembaga penyiaran, baik yang telah mendapatkan IPP Tetap, IPP Prinsip maupun Eksisting.
Keberadaan media penyiaran yang memproduksi informasi yang begitu besar, di satu sisi memudahkan masyarakat mengonsumsi informasi, tapi di lain, pihak publik juga dibuat bingung dengan meningkatnya informasi tersebut. Akibatnya, mana berita, mana opini, mana yang valid dan objektif sulit dijelaskan. Kemudian, mana informasi bernada provokasi, propaganda, menghujat dan membuat fitnah pun tipis jaraknya. Sulit membedakan antara informasi hiburan dengan pendidikan. Itu semua trkesan bercampur aduk dalam kanalisasi informasi yang belum ditata secara baik.
Fenomena tersebut mestinya diberikan perhatian serius, terutama terhadap media televisi yang memiliki pengaruh luas dan menggunakan frekuensi publik. Apalagi, dewasa ini penetrasi publik terhadap TV cukup tinggi.
Di Indonesia, dari data Nielsen menunjukkan pada tahun 2012 pertumbuhan konsumsi media televisi (94 persen), mobile phone (60 persen), internet (29 persen), radio (25 persen), surat kabar (13 persen), film (13 persen), tabloid (7 persen), dan majalah (6 persen). Data tersebut menunjukkan televisi masih menduduki tempat utama dari konsumsi masyarakat di antara media lainnya.
Konsentrasi masyarakat terhadap TV yang tinggi bukan tak mungkin akan membuat publik semakin bingung. Bahasa lain, bukan malah tercerahkan penontonnya. Malah menimbulkan "kegaduhan" di tengah realitas sosial. Media mana yang dapat menjadi rujukan atas suatu informasi yang dahsyat itu? Bahkan, tak jarang suatu peristiwa didapat publik dengan beragam versi baik data, analisis, maupun paparan media. Informasi yang berseliweran telah membingungkan masyarakat, siapa dan mana yang pantas dijadikan rujukan atau bahkan tuntunan.Di lapangan kita seringkali mendengar pendapat atau lebih tepat keluhan masyarakat tentang perkembangan media televisi. Sekarang, informasi yang diproduksi televisi (TV) cepat tapi kadang membuat pusing, mengaduk-aduk emosi, membikin masyarakat marah, hiburan tidak jelas tentang pesan pendidikan/moral yang penting tertawa, serta humor melecehkan fisik seseorang, dan lain-lain. Tayangan media yang jauh dari nilai-nilai kebangsaan, yakni filsafat dan ideologi bangsa, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sejatinya telah diminimalkan.
Belum Maksimal
Harus diakui kini kebutuhan masyarakat akan media sangat tinggi. Namun begitu, pengaturan terhadap informasi yang pantas didapatkan masyarakat belum dikelola secara optimal oleh negara atau lembaga yang memiliki kompetensi. Tujuannya, supaya masyarakat tercerahkan dengan informasi media televisi, bukan malah kian dibuat bingung khalayak.
Terhadap pelayanan publik di media penyiaran memang tak dapat dipungkiri hingga kini masih belum maksimal dirasakan. Dominannya kepentingan bisnis-politik, orientasi kepentingan kelompok yang masih menguat, dan masih minimnya keberpihakkan sosial, menjadi tantangan tersendiri bagi terpenuhinya kebutuhan frekuensi publik tersebut.
Oleh karenanya, kondisi tersebut sewajarnya diberikan catatan dan koreksi sebab hal tersebut tak sesuai dengan semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran yang mengamanahkan agar industri penyiaran memberikan pelayanan utama pada masyarakat di atas kepentingan ekonomi, bisnis, pribadi, maupun golongan. Hal ini mengingat, frekuensi yang digunakan industri penyiaran adalah milik publik dan TV menjangkau berbagai ruang. Itu artinya, kebutuhan akan frekuensi sebesar-besarnya bagi kepentingan publik luas.
Saya berpikir, sembari mengupayakan terwujudnya frekuensi publik dengan maksimal baik melalui pendekatan regulatif-politis, melakukan negosiasi dengan industri penyiaran, bekerja sama dengan pemerintah dan stakeholder lain, tampaknya perubahan baru perlu kita gagas untuk mempercepat kebutuhan frekuensi publik bisa terlaksana.
Dalam bayangan saya, penting adanya frekuensi untuk public service content. Yaitu, layanan kepada publik melalui media televisi dengan channel khusus untuk informasi emergensi, sosialisasi penanggulangan bencana alam, informasi pendidikan, soal penegakan hukum, sosialisasi tentang pemberantasan korupsi, informasi mengenai perlindungan anak dan perempuan, topik tentang perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan lain-lain termasuk layanan kesehatan masyarakat. Mengapa hal itu dilakukan? Alasannya, agar masyarakat lebih cepat mendapatkan informasi yang dikelola secara khusus. Yaitu, terpenuhinya kebutuhan akan layanan informasi, edukasi melalui media televisi yang valid, objektif.
Channel tersebut dikelola oleh negara melalui lembaga independen yang diperintahkan undang-undang (UU) supaya terjaga netralitasnya dan tidak ada unsur komersil untuk slot iklan di dalamnya. Semata-mata menjadikan media sebagai sarana informasi dan edukasi. Oleh karenanya, hemat saya perlu dimasukkan salah satu lembaga penyiaran jasa public service content dalam perubahan UU Penyiaran yang sampai sekarang masih dalam proses judicial review di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). ***
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memberi surat peringatan pada 11 stasiun TV (ANTV, Trans7, Trans TV, RCTI, PT Cipta TPI, Global TV, TV One, SCTV, Indosiar, Metro TV, dan TVRI) terkait siaran iklan “Tri Indie+ (semua versi; versi Anak Laki-laki dan Anak Perempuan)”. Menurut penilaian KPI Pusat, iklan yang sudah ditayangkan oleh sejumlah stasiun televise tersebut, tidak memperhatikan peraturan tentang siaran iklan dan ketentuan tentang perlindungan kepada anak. Hal itu ditegaskan dalam surat peringatan KPI Pusat yang keluar hari ini, Rabu, 24 Juli 2013.
Dalam siaran iklan tersebut ditampilkan adegan dan narasi yang tidak layak diperankan dan ducapkan oleh anak-anak. Iklan tersebut juga mengajarkan anak-anak tentang hal di luar kapasitas mereka untuk berpikir dan meniru perilaku orang dewasa, tanpa adanya proses pendampingan dari orang tua/orang dewasa.
Ketua KPI Pusat, Mochamad Riyanto mengatakan, KPI Pusat mengingatkan semua stasiun TV bahwa siaran yang melibatkan anak-anak wajib mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika yang mengatur tentang hal tersebut.
Sebelumnya, KPI Pusat telah menerima surat dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) No. 0123/UM-PP/VII/2013 tertanggal 16 Juli 2013 perihal tanggapan P3I terkait TVC Tri Indie+. Dalam surat tersebut P3I menyatakan telah menerima masukan dari Badan Pengawas Periklanan P3I (BPP P3I). BPP P3I menilai bahwa iklan tersebut melanggar Etika Pariwara Indonesia Bab III.A. Butir 3.1.1. Iklan tersebut memberi pernyataan yang jelas bahwa produk Indie+ adalah “Buat kamu yang sudah gede” sehingga dapat disimpulkan produk ini bukan untuk anak-anak. Dalam seluruh jalan cerita iklan tersebut, iklan ini sangat didominasi oleh pemeran anak-anak. Iklan tersebut tidak sejalan dengan Etika Pariwara Indonesia Bab III.A. Butir 3.1.2. Beberapa ucapan yang disampaikan oleh anak-anak pada iklan tersebut dinilai tidak pantas diucapkan oleh anak-anak (di mana potensi iklan ini ditonton oleh anak-anak menjadi cukup besar karena tokoh utamanya semuanya anak-anak dan iklan ini ditayangkan pada sembarang waktu) dapat memberikan persepsi yang salah pada anak-anak (surat terlampir).
Keputusan memberi peringatan tertulis ini, menurut KPI Pusat dalam surat peringatannya, bertujuan agar stasiun TV segera melakukan evaluasi internal dengan cara melakukan editing pada adegan dan narasi dalam siaran iklan sebagaimana yang dimaksud di atas dan mengikuti ketentuan sebagaimana yang dimaksud P3I, bila stasiun televisi tersebu telah menayangkan iklan tersebut. “Bagi stasiun televisi yang tidak atau belum menayangkan siaran iklan tersebut, surat peringatan ini bertujuan sebagai informasi bila suatu saat hendak menayangkan iklan tersebut. Selain itu kami juga meminta agar lembaga penyiaran berhati-hati dengan penayangan iklan yang berkaitan dengan anak-anak,” kata Riyanto.
Dalam kesempatan itu, KPI Pusat meminta kepada semua stasiun TV agar menjadikan P3 dan SPS KPI tahun 2012 sebagai acuan utama dalam penayangan sebuah program siaran, termasuk iklan, dan diharapkan terdapat perbaikan pada program siaran yang sesuai dengan ketentuan P3 dan SPS sehingga program siaran bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Red
Jakarta – Selama bulan Ramadhan tahun ini, KPI Pusat telah memberikan teguran kepada program yang tidak sesuai dengan spirit Ramadhan. Sedikitnya ada enam program yang diberikan teguran oleh KPI.
"Kami telah memberikan teguran tertulis kepada enam program yang tidak sesuai dengan spirit ramadan," kata Anggota KPI Pusat Idy Muzayyad di Jakarta, Selasa, 23 Juli 2013.
Keenam program tersebut adalah Sahurnya Pesbukers (ANTV), Hafidz Indonesia (RCTI), Sahurnya OVJ (Trans 7), Yuk Kita Sahur (Trans TV), Karnaval Ramadhan (Trans TV), dan Mengetuk Pintu Hati (SCTV).
Idy menuturkan, keenam program tersebut diberikan teguran tertulis terkait komedi atau guyonan yang melecehkan fisik. Selain itu ada juga program yang ditegur karena sponsornya adalah perusahaan rokok yang ditayangkan pada saat di luar aturan jam penayangan rokok.
Namun KPI berharap, teguran tersebut dapat menjadi cambuk semangat di sisa Ramadhan. Menurutnya, bila program tersebut bukan siaran langsung maka bisa diantisipasi dengan proses editing yang lebih baik."Diharapkan program yang ditegur tersebut dapat memperbaiki disisa Ramadhan," katanya ditulis hidayatullah.com.
Pantauan MUI
Tim Pemantau Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, ada tiga program sahur yang masuk kategori konyol. Tiga program sahur tersebut ditayangkan masing-masing televisi yang berbeda.
"Tiga program sahur yang masuk kategori konyol adalah 'Yuk Kita Sahur' (Trans TV), 'Sahurnya OVJ' (Trans 7), dan 'Sahurnya Pesbukers' (ANTV)," kata Anggota Infokom MUI, Usman Yatim di Jakarta, Selasa (23/07/2013).
Usman menuturkan, program 'Yuk Kita Sahur' tidak jauh beda dengan program tahun lalu, 'Waktunya Kita Sahur'. Konten yang ditampilkan tidak terkait nuansa Ramadhan. Pesannya hanya mengajak penonton tidak mengantuk.
"Isinya mulai gelak tawa, saling ledek, omelan, pertengkaran, sindirian, tudingan dengan kata-kata bernada negatif, memasukkan makanan ke mulut sampai melemparkan tepung ke wajah," ujarnya.
Usman mengatakan, untuk program Sahurnya OVJ problemnya sama dengan berbagai acara komedi lainnya. Usman mencontohkan, pada edisi 17 Juli 2013 Sule menumpahkan sepiring tepung ke muka Bopak. Itu 'adegan tetap' tiap tayang. Lalu pada segmen selanjutnya, Andre memelesetkan kalimat Tukul Arwana yang harusnya 'Kembali ke Laptop' menjadi 'Kembali ke Tanktop'.
"Semua aksi konyol OVJ ini tidak berbeda dengan tayangan di luar Ramadhan. Tempelan 'sahur' pada nama program tidak memperlihatkan perbaikan," katanya, dilansir Tribunnews.
Lebih jauh Usman menjelaskan, mirip dengan komedi di Trans TV dan Trans 7, catatan serius di ANTV tidak memperlihatkan itikad baik membenahi diri. Program 'Sahurnya Pesbukers' ada adegan tak pantas dalam konteks Ramadhan.
"Adegan tersebut adalah ketika Daus Mini saling rayu dengan Kartika Putri, lalu Daus Mini diangkat dan digendong Kartika," ucapnya. Red
Jakarta - Tim Pemantau Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2013 menyatakan, tahun ini sejumlah tayangan program Ramadan cenderung positif. Itu berdasarkan penilaian dari 10 hari pertama puasa.
"Tahun ini Tim Pemantau MUI mencatat kecenderungan program yang positif," kata Usman yatim, anggota Infokom MUI di Jakarta, Selasa (23/7/2013).
Usman menuturkan, tahun ini sebagian besar televisi menyajikan program khusus Ramadan yang cenderung sejalan dengan spirit Ramadan.
Kondisi ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, saat banyak ditemukan program berkemasan Ramadan, tapi isinya justru kontra dengan nilai Ramadan.
"Tahun lalu hanya tiga televisi yang program Ramadan-nya sejalan dengan spirit Ramadan," ujarnya ditulis tribunnews.com.
Usman menuturkan, kesimpulan sederhana Tim Pemantauan MUI, bila tahun lalu hanya tiga televisi yang program puasanya sejalan dengan spirit Ramadan, kini tinggal tiga televisi yang program Ramadan-nya belum sejalan dengan spirit Ramadan. Tiga televisi yang program Ramadan-nya positif adalah TVRI, TVOne, dan Metro TV.
"Sedangkan tiga televisi yang kini masih menuai catatan serius adalah Trans 7, Trans TV, dan ANTV," ungkapnya. Red
Acara TV di Indosiar yang tayang setiap hari jam 18:00 - 20:30 ini kerap menampilkan tindakan kekerasan seperti berkelahi, saling pukul, dlsb. Jam tayangnya juga bersamaan dengan jam anak-anak seharusnya belajar.