Perkembangan informasi media penyiaran yang pesat berakibat pada beragamnya arus informasi yang muncul dan diterima publik. Saat ini jumlah televisi di Indonesia menurut catatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat sampai dengan Mei 2013 sebanyak 2.590 lembaga penyiaran, baik yang telah mendapatkan IPP Tetap, IPP Prinsip maupun Eksisting.

 

Keberadaan media penyiaran yang memproduksi informasi yang begitu besar, di satu sisi memudahkan masyarakat mengonsumsi informasi, tapi di lain, pihak publik juga dibuat bingung dengan meningkatnya informasi tersebut. Akibatnya, mana berita, mana opini, mana yang valid dan objektif sulit dijelaskan. Kemudian, mana informasi bernada provokasi, propaganda, menghujat dan membuat fitnah pun tipis jaraknya. Sulit membedakan antara informasi hiburan dengan pendidikan. Itu semua trkesan bercampur aduk dalam kanalisasi informasi yang belum ditata secara baik.

 

Fenomena tersebut mestinya diberikan perhatian serius, terutama terhadap media televisi yang memiliki pengaruh luas dan menggunakan frekuensi publik. Apalagi, dewasa ini penetrasi publik terhadap TV cukup tinggi.

 

Di Indonesia, dari data Nielsen menunjukkan pada tahun 2012 pertumbuhan konsumsi media televisi (94 persen), mobile phone (60 persen), internet (29 persen), radio (25 persen), surat kabar (13 persen), film (13 persen), tabloid (7 persen), dan majalah (6 persen). Data tersebut menunjukkan televisi masih menduduki tempat utama dari konsumsi masyarakat di antara media lainnya.

 

Konsentrasi masyarakat terhadap TV yang tinggi bukan tak mungkin akan membuat publik semakin bingung. Bahasa lain, bukan malah tercerahkan penontonnya. Malah menimbulkan "kegaduhan" di tengah realitas sosial. Media mana yang dapat menjadi rujukan atas suatu informasi yang dahsyat itu? Bahkan, tak jarang suatu peristiwa didapat publik dengan beragam versi baik data, analisis, maupun paparan media. Informasi yang berseliweran telah membingungkan masyarakat, siapa dan mana yang pantas dijadikan rujukan atau bahkan tuntunan.Di lapangan kita seringkali mendengar pendapat atau lebih tepat keluhan masyarakat tentang perkembangan media televisi. Sekarang, informasi yang diproduksi televisi (TV) cepat tapi kadang membuat pusing, mengaduk-aduk emosi, membikin masyarakat marah, hiburan tidak jelas tentang pesan pendidikan/moral yang penting tertawa, serta humor melecehkan fisik seseorang, dan lain-lain. Tayangan media yang jauh dari nilai-nilai kebangsaan, yakni filsafat dan ideologi bangsa, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sejatinya telah diminimalkan.

Belum Maksimal

 

 

 

Harus diakui kini kebutuhan masyarakat akan media sangat tinggi. Namun begitu, pengaturan terhadap informasi yang pantas didapatkan masyarakat belum dikelola secara optimal oleh negara atau lembaga yang memiliki kompetensi. Tujuannya, supaya masyarakat tercerahkan dengan informasi media televisi, bukan malah kian dibuat bingung khalayak.

 

Terhadap pelayanan publik di media penyiaran memang tak dapat dipungkiri hingga kini masih belum maksimal dirasakan. Dominannya kepentingan bisnis-politik, orientasi kepentingan kelompok yang masih menguat, dan masih minimnya keberpihakkan sosial, menjadi tantangan tersendiri bagi terpenuhinya kebutuhan frekuensi publik tersebut.

 

 

Oleh karenanya, kondisi tersebut sewajarnya diberikan catatan dan koreksi sebab hal tersebut tak sesuai dengan semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran yang mengamanahkan agar industri penyiaran memberikan pelayanan utama pada masyarakat di atas kepentingan ekonomi, bisnis, pribadi, maupun golongan. Hal ini mengingat, frekuensi yang digunakan industri penyiaran adalah milik publik dan TV menjangkau berbagai ruang. Itu artinya, kebutuhan akan frekuensi sebesar-besarnya bagi kepentingan publik luas.

 

 

Saya berpikir, sembari mengupayakan terwujudnya frekuensi publik dengan maksimal baik melalui pendekatan regulatif-politis, melakukan negosiasi dengan industri penyiaran, bekerja sama dengan pemerintah dan stakeholder lain, tampaknya perubahan baru perlu kita gagas untuk mempercepat kebutuhan frekuensi publik bisa terlaksana.

 

 

Dalam bayangan saya, penting adanya frekuensi untuk public service content. Yaitu, layanan kepada publik melalui media televisi dengan channel khusus untuk informasi emergensi, sosialisasi penanggulangan bencana alam, informasi pendidikan, soal penegakan hukum, sosialisasi tentang pemberantasan korupsi, informasi mengenai perlindungan anak dan perempuan, topik tentang perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan lain-lain termasuk layanan kesehatan masyarakat. Mengapa hal itu dilakukan? Alasannya, agar masyarakat lebih cepat mendapatkan informasi yang dikelola secara khusus. Yaitu, terpenuhinya kebutuhan akan layanan informasi, edukasi melalui media televisi yang valid, objektif.

 

Channel tersebut dikelola oleh negara melalui lembaga independen yang diperintahkan undang-undang (UU) supaya terjaga netralitasnya dan tidak ada unsur komersil untuk slot iklan di dalamnya. Semata-mata menjadikan media sebagai sarana informasi dan edukasi. Oleh karenanya, hemat saya perlu dimasukkan salah satu lembaga penyiaran jasa public service content dalam perubahan UU Penyiaran yang sampai sekarang masih dalam proses judicial review di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). ***

 

Mochamad Riyanto Rasyid

Ketua KPI Pusat

*dimuat di harian Suara Karya

 

 

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.