Jakarta - Keterlibatan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penyiaran digital harus dipertimbangkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Untuk itu, KPI mengharapkan Kemenkominfo sudah membuat kajian untuk pelibatan Pemda untuk mendukungpembangunan infrastruktur penyiaran. Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat, Azimah Subagijo menyampaikan hal tersebut dalam acara forum dialog penyelenggaraan digital yang diselenggarakan Kemenkominfo (24/3).
Dalam pertemuan yang dihadiri oleh jajaran Kemenkominfo, KPI Pusat, dan KPI Daerah se-Indonesia itu, Azimah menyatakan bahwa beberapa Pemda pernah mendatangi KPI dan menyatakan kesediaan untuk terlibat dalam pembangunan infrastruktur penyiaran. “Mereka dapat ditawarkan untuk mendidikan tiang join pool atau tower pemancar untuk digunakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) Multipleksing,” ujarnya.
Usulan ini sendiri, menurut Kemenkominfo dianggap sangat masuk akal. Menurut Ismail dari Kemenkominfo, Pemda sangat mungkin dilibatkan untuk infrastruktur pasif, yaitu berupa pembangunan tower atau tiang-tiang pemancar. Sedangkan untuk infrastruktur aktif, itu memang menjadi ranahnya LPS Multipleksing. Untuk itu, Kominfo menyatakan bersedia untuk duduk satu meja dengan KPI guna membahas mengenai keterlibatan Pemda dalam penyiaran digital ini.
Dalam forum dialog tersebut, Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Penyelenggaran Pos dan Informatika, Kalamullah Ramli turut hadir memberikan sambutan kunci. Selain itu, hadir pula komisioner KPI Pusat bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran, Danang Sangga Buwana. Sedangkan jajaran Kemenkominfo lain yang juga hadir adalah dari Ditjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI).
Jakarta - Pelaksanaan tayangan muatan lokal di lembaga penyiaran yang bersiaran secara jaringan harus segera direalisasikan pada 12 April 2014. Tenggat waktu tersebut didasarkan pada hasil rekomendasi Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI di Bali, 2013 lalu. Selain itu, tayangan konten lokal yang dibuat juga harus dekat dengan masyarakat sehingga dapat menumbuhkan perekonomian masyarakat setempat serta mengembangkan sumber daya lokal yang ada. Hal tersebut terungkap dalam diskusi implementasi konten lokal dalam stasiun siaran jaringan, yang diselenggarakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Jakarta (19/3). Hadir sebagai pembicara, Ardiansyah dari Nielsen, Agnes Widianti dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Azimah Subagijo Ketua Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran, dengan moderator Danang Sangga Buwana.
Dalam diskusi yang dihadiri KPI Daerah se-Indonesia ini juga menyepakati adanya jam bersama untuk program siaran lokal yang akan ditentukan oleh KPI dan lembaga penyiaran. Selama ini salah satu kesulitan yang ditemui lembaga penyiaran adalah tidak seragamnya penayangan konten lokal yang memengaruhi audience share mereka. Menurut Azimah, dengan adanya langkah ini diharapkan amanat regulasi tentang penayangan konten lokal sebanyak 10% dapat segera dilaksanakan.
Kehadiran muatan lokal di stasiun televisi juga menjadi hal yang penting untuk diperjuangkan oleh KPID. Pada diskusi yang juga diikuti lembaga penyiaran yang bersiaran jaringan secara nasional ini, Muhammad Iqbal Rasyid, Ketua KPID Lampung mengatakan, adanya ketentuan muatan lokal di undang-undang adalah menghormati semangat otonomi daerah di era reformasi. “Kalau muatan lokal yang sepuluh persen saja tidak bisa dijalankan oleh lembaga penyiaran, apa yang bisa dibanggakan di republik ini?,” ujar Iqbal. Tentang definisi muatan lokal yang kerap kali dipermasalahkan oleh lembaga penyiaran, Iqbal menjelaskan bahwa KPID Lampung sudah memberikan definisi sendiri atas konten lokal. “Konten lokal untuk lampung adalah materinya tentang kearifan lokal, diproduksi oleh sumber daya lokal, dan disiarkan oleh lembaga penyiaran lokal”, tutur Iqbal.
Suara serupa juga disampaikan oleh KPID Nusa Tenggara Timur. Ketua KPID NTT, Monica Wutun menyampaikan bahwa di provinsinya terdapat 10 stasiun televisi yang bersiaran jaringan, namun baru 50% saja yang menyiarkan muatan lokal. Lebih jauh Monica menilai, butuh itikad baik dari semua pihak untuk merealisasikan amanat regulasi ini. “KPI bisa berteriak tapi kalau LP punya beribu alasan maka SSJ ini tetap tidak akan terlaksana,” ujarnya. Dirinya juga mengkritisi adanya program-program lawas yang diputar berulang-ulang di NTT. Karenanya Monica meminta aktualitas informasi di lembaga penyiaran harus dijaga.
Dalam pandangan KPI sendiri, Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 memang telah mengubah sistem penyiaran di negeri ini dari yang bersifat sentralistik, bersumber dan Jakarta yang kemudian di-relay oleh daerah lain, menjadi sistem stasiun jaringan. Ketua KPI Pusat, Judhariksawan mengatakan, konsekuensi konsep ini melahirkan tatanan penyiaran yang harus desentralisasi. “Amanah Undang-Undang menyebut, lembaga penyiaran yang punya stasiun relay harus berubah menjadi stasiun lokal dengan badan hukum khusus di lokal daerah”, ujar Judha. Aturan di undang-undang ini kemudian diturunkan kembali dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya, termasuk juga Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI.
Dalam evaluasi yang dilakukan KPI, penayangan konten lokal oleh stasiun televisi yang berjaringan belum sepenuhnya dilakukan. Masih ada stasiun televisi yang belum memenuhi amanat regulasi ini. Sementara itu KPI melihat, muatan konten lokal yang ditayangkan oleh stasiun televisi ternyata masih kurang dekat dengan masyarakat. Misalnya tayangan lawas yang diulang-ulang, kuliner, dan wisata. Namun demikian, menurut Azimah, pada beberapa daerah terdapat muatan lokal yang layak dipuji. Seperti misalnya, tayangan Pudja Tri Sandya di Bali, azdan lima waktu di Aceh, serta tayangan berita lokal setempat. Harapan KPI jelas, ujar Azimah. Penayangan program lokal sebagai implementasi sistem siaran berjaringan harus segera dilaksanakan sebagai bagian penguatan nilai kebhinekaan, kebangsaan dan menghormati kearifan lokal masyarakat Indonesia yang beragam.
Jakarta - Saat ini perkembangan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB), terus mengalami peningkatan. Demikian juga dari jumlah pelanggan yang kenaikannya signifikan setiap tahun. Sedangkan terkait peraturannya masih belum diatur dengan detail dalam regulasi penyiaran.
Hal itu disampaikan Ketua KPI Pusat Judhariksawan dalam pembukaan Fokus Grup Diskusi (FGD) KPI Pusat yang bertajuk, "Pengaturan Lembaga Penyiaran Berlangganan dan Digitalisasi Penyiaran di Indonesia". Acara berlangsung pada Selasa, 11 Februari 2014 di Hotel Grand Mercure, Jakarta Pusat. Peserta FGD berasal dari industri Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) dan segenap komisioner KPI Pusat.
"Dari pertemuan ini, kami ingin mendengar masukan terkait konten penyiaran dan hal lainnya. Dari yang saya dengar, banyak acara bagus dan mendidik di layanan televisi berlangganan ini, jumlah kanal lainnya juga lebih banyak lagi. Nah, kami ingin mengajak saudara bagaimana ikut memikirkan itu, terutama tayangan yang tidak sesuai dengan kultur budaya kita dan bagaimana mestinya," kata Judha membuka pertemuan.
Sementara itu Komisioner Bidang Struktur dan Sistem Penyiaran Amiruddin mengatakan, pertemuan itu pada intinya membicarakan agar penyiaran di Indonesia lebih baik dan sesuai dengan amanah Undang-undang Penyiaran. Termasuk juga terkait dengan izin pendirian lembaga penyiaran berlangganan yang saat ini jumlahnya akan terus bertambah.
"Hal yang penting bagiamana tentang persyaratan pendirian lembaga penyiaran berlangganan. Apakah nanti dengan sistemnya bebas atau dengan selektif. Apakah nanti apa perlu ada pembatasan modal pendiriannya, juga terkait jumlah kanal, penjelasan tiap kanal yang ditawarkan, iklan, dan pendukung lainnya," ujar Amiruddin.
Saat acara diskusi di mulai, perwakilan dari Asosiasi Penguasaha Multi Media Indonesia, APMI, Agus Mulyanto mengatakan sepakat dengan yang disampaikan pimpinan KPI Pusat. Menurutnya hal yang terkait dengan lembaga penyiaran berlangganan sudah di atur dalam undang-undang nomor 52 dan Peraturan Menteri nomor 41 tahun 2012 Pasal 8 Ayat 1. Agus lebih banyak membicarakan hal yang terkait dengan iklan di lembaga penyiaran berlangganan.
"Dalam aturan perundangan kita sudah jelas, materi iklannya jelas harus bersumber dari dalam negeri. Tapi dalam televisi berlangganan banyak yang iklannya dari luar negeri dan masuk dengan bebas. Bagaimana menanggulanginya? Saya kira itu sudah jelas, itu tidak perlu dipertanyakan, tinggal bagaimana dorongan dari KPI dan dari Kominfo," papar Agus.
Terkait iklan dalam lembaga penyiaran berlangganan, perwakilan dari Indovicion, Handy juga mendukung hal itu. Pihaknya mengaku siap melaksanakan hal itu jika ada dorongan dari KPI Pusat. Selama ini dia tidak setuju dengan iklan dari luar negeri, menurutnya hal itu tidak ada relevansinya bagi penonton.
Selain membahas terkait iklan, diskusi itu juga membahas hal-hal yang terkait dengan lembaga penyiaran berlangganan. Seperti badan hukum LPB, bahasa dalam siaran, konsorsium, adanya kanal iklan, sistem distribusi siaran, sensor internal, minimal kanal, komposisi kepemilikan, dan lain-lainnya.
Komisioner Bidang Perizinan Danang Sangga Buana yang juga penanggung jawab acara FGD menegaskan, masukan dari pihak industri itu akan dijadikan bahan untuk keputusan KPI. "Semua masukan dari diskusi ini akan kami jadikan bahan masukan kebijakan untuk keputusan KPI tentang lembaga penyiaran berlangganan," terang Danang.
Sementara itu Komisioner KPI lainnya Azimah Subagijo meminta pertemuan dan komunikasi dengan pihak industri lembaga penyiaran tidak hanya akan berhenti pada pertemuan itu. Menurutnya KPI Pusat juga memiliki dan kewajiban tanggung jawab dalam pengawasan lembaga penyiaran berlangganan, tidak hanya kepada lembaga penyiaran publik.
Jakarta – Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Azimah Subagijo, menyatakan lembaganya sebagai refresentasi perwakilan publik harus dilibatkan dalam digitalisasi televisi yang sedang dilakukan pemerintah.
“Keterlibatan KPI ini harus dalam proses seleksi, penarifan, dan segala digitalisasi. KPI harus masuk tim pengendali dan pengawasan digitalisasi penyiaran,” kata Azimah dalam diskusi Terfokus bertema Problematika Siaran Televisi Digital di Indonesia, yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Yayasan Tifa, di Jakarta, Rabu (19/2).
Menurut Azimah, dari 15 poin Peraturan Menkominfo No.32/2013 tentang Penyiaran Digital, KPI sama sekali tidak dilibatkan. Padahal, selama ini di UU Penyiaran KPI selalu terlibat dalam perizinan penyiaran.
Azimah menegaskan KPI mendukung penuh digitalisasi penyiaran. Namun dengan kondisi saat ini, KPI, menurutnya, merasa perlu mengambil opsi akomodatif yakni mendukung dengan catatan KPI harus dilibatkan dalam tim digitalisasi.
Keterlibatan KPI, kata dia, diperlukan untuk memastikan adanya keberagaman isi siaran digital dan keberagaman pemilik izin penyiaran.
Dukungan DPR
Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq, mengatakan pihaknya secara gambling telah menyatakan mendukung digitalisasi televise. Namun, Komisi I sepakat digitalisasi wajib memiliki payung hukum jelas berupa perundang-undangan.
Jadi, Komisi I DPR telah menginisiasi inisiatif revisi UU Penyiaran, untuk turut memasukan digitalisasi penyiaran yang saat ini hanya diatur Peraturan Menkominfo No.32/2013.
“Terus terang kami terkejut begitu mengetahui digitalisasi ini diatur peraturan menteri,” ujar Mahfudz Siddiq. Ia mengaku sudah berbicara dengan Menteri Kominfo, Tifatul Sembiring, bahwa digitalisasi yang dipayungi peraturan menteri akan membawa konsekuensi tanggung jawab yang mesti dipikul kementerian bersangkutan. “Saya personal khawatir karena kalau terjadi apa-apa, yang harus menjadi bertanggung jawab adalah menteri. Itu karena ini payungnya peraturan menteri,” ujarnya.
Mahfudz tidak menyebutkan secara spesifik apakah dalam revisi UU itu akan memasukan KPI dalam digitalisasi penyiaran. Dia hanya menyebutkan langkah pemerintah yang seakan ingin bekerja sendiri dalam digitalisasi penyiaran ini layaknya fase ABG (anak baru gede/remaja).
“Digitalisasi ini kan baru dirintis, jadi pemerintah seperti dalam fase “ABG”, mau jalan sendiri. Tinggal nanti semoga saja kalau terjatuh tidak ternyata membawa implikasi yang berlebihan,” tutur Mahfudz Siddiq.
Seperti diketahui Indonesia sedang dalam proses beralih dari penyiaran TV analog ke TV digital, yakni sistem yang mentransmisikan audio maupun video melalui pemprosesan digital dan sinyal multifleksing, sinyal yang sangat berbeda dengan yang selama ini digunakan televisi analog. Red dari Antara/SH
Jakarta - Sistem Siaran Jaringan (SSJ) merupakan wujud dari desentralisasi penyiaran yang menjadi mandat regulasi penyiaran. Perintah SSJ sendiri ada dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2002, Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 2005, Peraturan Menteri nomor 43 tahun 2009 dan juga Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) 2013 di Bali, merekomendasikan KPI memberikan waktu pada lembaga penyiaran yang melakukan siaran secara berjaringan untuk memenuhi perintah regulasi atas konten lokal sebesar 10% selama setahun, hingga 12 April 2014. Dari data yang dimiliki oleh KPI Pusat berdasarkan masukan dari 14 KPI Daerah, ternyata lembaga penyiaran baru mulai menghadirkan konten lokal di rata-rata 10 kota dengan durasi rata-rata 30 menit. Untuk itu KPI Pusat melakukan rapat koordinasi dengan lembaga-lembaga penyiaran yang bersiaran jaringan yang tergabung dalam Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), guna mengevaluasi sejauh mana amanat regulasi penyiaran tentang konten lokal tersebut telah ditunaikan.
Hadir dalam rapat koordinasi tersebut, perwakilan dari RCTI, TPI, Global TV, ANTV, TV One, Metro TV, Indosiar dan SCTV. Sedangkan rapat dipimpin langsung oleh Koordinator bidang perizinan KPI Pusat, Azimah Subagijo yang didampingi komisioner bidang perizinan lainnya, Amiruddin dan Danang Sangga Buwana.
Dari pertemuan tersebut, lembaga penyiaran menyampaikan laporan pelaksanaan konten lokal yang telah mereka lakukan. Kendala yang ditemui lembaga penyiaran, diakui oleh perwakilan RCTI, adalah masalah infrastruktur, peralatan teknis serta sumber daya manusia dari daerah setempat seperti yang diwajibkan P3 & SPS. Selain itu, menurut perwakilan dari SCTV, lembaga penyiaran butuh guidance dari KPI tentang siaran konten lokal serta evaluasi atas pelaksanaan selama ini.
Sementara itu menurut Azimah Subagijo, KPI sendiri berkewajiban mengingatkan lembaga penyiaran yang bersiaran jaringan untuk melakukan upaya pemenuhan konten lokal sebanyak 10% secara optimal. “Urgensi konten lokal hakikatnya adalah desentralisasi penyiaran”, ujar Azimah. Dengan adanya kewajiban konten lokal ini, akan mendorong lembaga penyiaran untuk bekerjasama dengan industri terkait di tingkat lokal dan juga SDM setempat. “Tentunya akan menjadi sarana lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal”, tambah Azimah.
Dirinya menilai, konten lokal juga dapat mendekatkan lembaga penyiaran dengan masyarakat lokal, sehingga masyarat menjadi lebih memiliki atau merasakan manfaat keberadaannya di tengah mereka. Sehingga kebutuhan masyarakat akan informasi, hiburan dan kontrol sosial terkait dengan isu-isu yang dekat dengan mereka, dapat terpenuhi. “Jika pada saat nanti ada serbuan konten-konten siaran asing ke negara kita, masyarakat dapat lebih memilih konten lokal yang sudah mereka gemari, ketimbang konten asing”, ujar Azimah.
Selama ini, pelaksanaan sistem siaran jaringan sebenarnya sudah dilakukan lembaga penyiaran, namun sayangnya baru secara administratif. Sementara dalam konteks infrastruktur dan penyediaan konten lokal sebanyak 10% masih belum sepenuhnya terealisasi. Azaimah mengingatkan, bahwa dalam setiap proses perizinan, anggota jaringan dari lembaga penyiaran berjaringan diwajibkan untuk memenuhi syarat aspek administratif, program siaran dan aspek teknis penyelenggaraan penyiaran. “Sehingga seharusnya masalah infrastruktur teknis untuk pelaksanaan konten lokal, sudah selesai pada proses perizinan”, tegasnya.
Lembaga penyiaran sendiri mengakui bahwa pemenuhan konten lokal adalah sebuah keniscayaan. Sementara bagi KPI sendiri, menurut Azimah, konten lokal juga merupakan wujud ketahanan bangsa guna menguatkan masyarakat, bangsa dan industri penyiaran itu sendiri dari serbuan muatan-muatan asing yang belum tentu compatible dengan kepribadian Indonesia.
Saya ferdian selaku Pelestari Budaya dan pelestari Keris dari Organisasi Forum Pelestari Pencak Silat Keris Indoensia (FPPSKI), ingin melaporkan : Tayangan berwujud Film berjudul "Pesugihan Bersekutu dengan Iblis" yang mulai tayang di jaringan bioskop sejak 23 Februari 2023 menampilkan isi film yang bisa MENGGERUS Budaya Nasional secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara:
1. MENYELEWENGKAN fungsi utama dari keris sebagai bagian dari Budaya bangsa yang mempunyai nilai budi luhur yang tinggi malah menjadi suatu Objek yg dianggap buruk di mata umum secara fungsi.
2. MENGERDILKAN salah satu Budaya Luhur Nasional yang sudah diakui dunia, yaitu keris (dengan mengeksploitasi aspek mistis pada keris dan bersifat menyesatkan publik).
3. MELUNTURKAN apresiasi publik terhadap keris
Mohon untuk :
1. Segera ditarik dari peredaran, jika memungkinkan.
2. Jika tidak memungkinkan untuk ditarik mohon ada tindakan tegas untuk sensor pada bagian keris sejak warangka sampai kedalam bilah, baik itu di dalam film maupun dalam poster
3. Tidak meloloskan film yang berkonten demikian untuk tontonan publik di masa depan, DEMI KEBAIKAN INDONESIA.
Jika tidak tertangani, maka selain berakibat semakin beratnya tugas para pelestari keris, film-film sejenis dan serupa juga menjadi sarana MENYEBARKAN DAN MENYUBURKAN BENIH-BENIH RADIKALISASI dalam bentuk ajakan halus untuk menjauhi Budaya Nusantara dengan memelintir dan menyajikan CITRA NEGATIF atas Budaya Nusantara khususnya Keris.
Terimakasih.
Salam Budaya.
Pojok Apresiasi
Adielia
Sinetron ini menghadirkan Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, yaitu Ibu Heather Variava sebagai bentuk memperingati Hari Kartini.