Jakarta - Penyelenggaraan penyiaran berlangganan harus ditata ulang dengan serius dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, dengan tujuan menjaga bisnis penyiaran agar memberikan manfaat untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Selama ini, banyak keluhan masuk ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat tentang Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB). Di antaranya soal konten isi siaran LPB yang banyak memuat pelanggaran atas Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Selain itu, penyelenggaran LPB sendiri di berbagai daerah, sekalipun diakui membantu pemerintah dalam pemenuhan hak-hak masyarakat atas informasi, namun diperoleh melalui cara yang ilegal sehingga melanggar hak-hak pihak lain. Hal itu terungkap dalam Diskusi Publik “Quo Vadis Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh KPI Pusat (17/9).

Dalam pemaparan yang disampaikan oleh Komisioner KPI Pusat, Azimah Subagijo, saat ini terjadi dispute regulasi dalam penyelenggaraan LPB. Undang-Undang Penyiaran saat ini memang mengakui keberadaan dari LPB sebagaimana juga menyebut tiga entitas lembaga penyiaran lainnya, yakni lokal, public dan swasta, ujar Azimah. Namun dalam peraturan pelaksanaan yang merupakan turunan dari undang-undang justru banyak hal yang tidak sinkron.

Soal pembiayaan misalnya, ujar Azimah. Dalam Undang-Undang Penyiaran, pembiayaan LPB didapat melalui iuran berlangganan dan usaha lain yang sah dan terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah menyebut pembiayaan LPB selain lewat iuran, juga diperoleh dari iklan. Hal lainnya yang bermasalah ada soal sensorship sebagaimana yang diwajibkan oleh Undang-Undang Penyiaran, bahwa film/ iklan wajib lulus sensor Lembaga Sensor Film (LSF). Namun Peraturan Pemerintah tidak menyebutkan kewajiban sensor tersebut.

Dalam regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah soal iklan di LPB, mengatur syarat-syarat iklan dengan ketat. Termasuk misalnya, kewajiban menggunakan sumber daya lokal untuk iklan-iklan produk luar negeri yang muncul di LPB. Azimah mengakui ada sanksi denda yang dapat diterapkan atas pelanggaran aturan ini. Namun sayangnya, belum ada peraturan  turunan yang mengatur penghasilan negara bukan pajak (PNBP) atas sanksi denda tersebut. “Jika KPI memaksa menjatuhkan sanksi, kemana denda yang  dipungut tersebut akan diserahkan?” tanyanya.

KPI sendiri, aku Azimah, juga mendapat masukan tentang melaporkan masuknya lembaga penyiaran asing baik lewat LPB ataupun yang free to air melalui satelit namun disalurkan oleh LPB.  Azimah menegaskan bahwa LPB tidak boleh jadi kepanjangan tangan lembaga penyiaran asing. Karena undang-undang penyiaran saat ini menyebutkan lembaga penyiaran asing dilarang didirikan Indonesia.

Dalam diskusi ini berkembang pula usulan untuk meninjau ulang tentang open sky policy yang dianut oleh Indonesia. Salah satunya dari Agung DM Sahidi (Telkomvision), yang berharap kebijakan tersebut ditinjau dari segi manfaat dan keburukan yang akan diperoleh bangsa ini. Pertimbangan Agung, dengan open sky policy ini seluruh masyarakat dapat menerima semua program siaran yang dipancarkan melalui satelit, hanya dengan bermodalkan antena parabola. Sementara regulasi terkait isi siaran untuk konten-konten yang dipancarkan melalui satelit tidak dapat menjangkau lembaga penyiaran yang tidak berdomisili di Indonesia. Menurut Agung, Indonesia dapat belajar dari Singapura dan Malaysia yang tidak menganut kebijakan open sky tersebut.

Dalam penutup, Azimah kembali menegaskan, penataan LPB saat ini sudah menjadi sebuah keharusan. Dirinya yakin, LPB yang sehat dan berkualitas dan mampu memberi pencerahan bagi masyarakat, pada akhirnya juga menguntungkan secara bisnis jangka panjang. Untuk itu, KPI berharap seluruh pemangku kepentingan mau duduk bersama menata ulang LPB untuk kemaslahatan bangsa.

 

 

 

Banten - Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) harus benahi kualitas isi siarannya, mengingat banyaknya program siaran televisi yang didominasi oleh hiburan yang tidak mendidik. Himbauan ini disampaikan oleh dua komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Danang Sangga Buwana dan Agatha Lily pada acara Evaluasi Uji Coba Siaran (EUCS) terhadap 6 lembaga penyiaran lokal di Hotel Le Dian, Banten pada 10 – 12 September 2013.

EUCS yang dihadiri pula oleh perwakilan dari Kemenkominfo dan KPI Daerah Banten merupakan proses mendapatkan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) Tetap yang akan berlaku selama 5 tahun untuk radio dan 10 tahun untuk televisi. Karenanya, hasil EUCS ini dihaapkan dapat sesuai dengan harapan masyarakat Banten untuk mendapatkan siaran program televisi dan radio yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagai komisioner bidang infrastruktur dan peizinan, Danang Sangga Buwana menegaskan hasil izin IPP Tetap nantinya harus dijadikan semangat baru bagi lembaga penyiaran di Banten untuk mencerdaskan masyarakat sekitar melalui program siaran yang berkualitas.

“Jangan sampai setelah mendapatkan IPP selanjutnya, lembaga penyiaran ini justru memanfaatkannya untuk kepentingan lain. Apalagi hanya dijadikan sebagai alat jualan saja. Karena fenomena selama ini, tidak sedikit lembaga penyiaran bersusah payah mencari izin tetap, namun setelah itu perusahaannya dijual kepada pihak lain. Ini motif mencari keuntungan besar dengan mempermainkan frekuensi milik Negara. Jelas tidak boleh,” tegas Danang.

Agatha Lily, selaku komisioner bidang isi siaran menggarisbawahi pentingnya hak publik untuk mendapatkan informasi dan program siaran yang jernih, mendidik dan bertanggungjawab. Termasuk diantaranya porsi siaran yang menggambarkan kearifan lokal.

“Banten merupakan Provinsi yang kaya akan budaya dan pesona panorama alamnya. Penting bagi lembaga penyiaran di Banten untuk memerankan diri sebagai gerbang informasi Provinsi Banten, tidak hanya bagi penduduk setempat, tetapi juga bagi masyarakat di luar Banten. Disinilah peran transformatif lembaga penyiaran Banten untuk kemajuan lokal.

Senada dengan Danang dan Lily, dua komisioner KPID Banten, Ade  dan Luthfi juga menegaskan pentingnya mengeskplorasi kearifan lokal tersebut. “Di daerah sini terdapat suku Badui yang bisa menjadi salah satu subjek siaran yang khas suku Banten. Ini penting untuk disiarkan secara jernih dan bertanggungjawab agar masyarakat tahu bahwa suku Badui penuh dengan kearifan lokal yang dapat dijadikan teladan hidup bagi masyarakat zaman sekarang yang cenderung kehilangan nilai moralitas dan keteladanan,” kata Ade. (Zet El)

Mataram - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan KPI Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB), gelar Rapat Pleno Evaluasi Uji Coba Siaran (EUCS) terhadap 8 (delapan) lembaga penyiaran di Mataram, selama tiga hari pada 26 hingga 28 Agustus 2013 lalu. Sebagai tahap akhir dari proses permohonan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) melalui evaluasi kelayakan operasional Lembaga Penyiaran dalam konteks pemenuhan syarat administratif, program siaran, dan data teknik untuk memeroleh IPP Tetap, maka EUCS di Mataram menjadi momentum penting memajukan dan menyehatkan dunia penyiaran di NTB.

Hadir dalam EUCS, dua komisioner KPI, Danang Sanggabuwana dan Fajar Arifianto Isnogroho. Keduanya duduk satu meja bersama perwakilan dari Ditjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemenkominfo, Ditjen Sumber Daya dan perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kemenkominfo, unsur KPI Daerah NTB,  dan 8 (delapan) lembaga penyiaran yang akan dievaluasi.

“Hadirnya lembaga penyiaran yang sehat dan edukatif akan mampu menjadi katalisator bagi peningkatan Sumberdaya Manusia masyarakat NTB, terutama dalam konteks perolehan informasi yang jernih dan berkualitas. Tak kalah penting, berseminya industri penyiaran di NTB, terutama bagi lembaga penyiaran swasta nasional yang membuka lembaga penyiaran berjaringan di daerah, menjadi starting point mendorong berkembangnya roda ekonomi di NTB,” ungkap komisioner bidang infrastruktur, Danang Sanggabuwana.

Danang menggarisbawahi pentingnya EUCS sebagai proses final bagi lembaga penyiaran seharusnya dilakukan secara detail, terperinci, proporsional dan akuntabel agar terlahir industri penyiaran daerah yang benar-benar berkualitas dan mapan.

Pada kesempatan yang sama, komisioner bidang kelembagaan, Fajar Arifianto menegaskan agar penyiaran tidak hanya melulu berisi hiburan. Penyiaran harus memuat informasi, pendidikan, dan serta kearifan lokal.

“Dalam rangka merumuskan program siaran yang berkualitas, lembaga penyiaran di NTB ini seharusnya menonjolkan aspek pendidikan, eksplorasi budaya local, ekspos kekayaan alam dan pariwisatanya. Sehingga industri penyiaran lokal di NTB ini tidak hanya memberikan perspektif pencerahan terhadap masyarakat NTB, tetapi juga mendorong berkembangnya berbagai potensi daerah yang mampu menarik wisatawan dan investor untuk mengembangkan potensi yang ada,” jelas Fajar.

Karena itulah, Danang dan Fajar sepakat, jika idealisme penyiaran dapat bersinergi secara proporsional dengan aspek industri, maka lembaga penyiaran di NTB akan mampu menjadi atmosfer postif yang dapat ditularkan kepada lembaga penyiaran lainnya di daerah. (ZL)

Banda Aceh - Keberadaan Lembaga Penyiaran Publik Lokal di Aceh hendaknya menjadi garda terdepan dalam memberi informasi pada masyarakat Aceh, terutama pendidikan menghadapi bencana. Hal tersebut disampaikan Azimah Subagijo Koordinator bidang infrastruktur penyiaran dan perizinan Komisi Penyiaran Indonesia  (KPI) Pusat, dalam acara Evaluasi Uji Coba Siaran beberapa lembaga penyiaran di Aceh (11/9).

Berdasarkan hasil amatan di beberapa lembaga yang menangani bencana,dan KPI sendiri, lembaga penyiaran selama ini hanya bersifat tanggap bencana. Padahal yang dibutuhkan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana tidak hanya itu, namun menyeluruh pada tiga tahapan.  Yakni, tahapan sebelum bencana, dengan  mempersiapkan masyarakat untuk selalu siaga akan bencana. Serta memberikan pendidikan sebelum bencana terjadi, ujar Azimah.

Selanjutnya pada tahapan terjadinya bencana. Lembaga penyiaran harus aktif memberikan informasi pada masyarakat untuk meminimalisir korban yang ditimbulkan dari bencana ini. Yang terakhir, ujar Azimah, adalah pada tahapan pasca bencana. Lembaga penyiaran bisa berperan dalam menyembuhkan trauma pada masyarakat, serta ikut membangun kembali lingkungan yang rusak akibat bencana.

Azimah menyadari, bahwa ada bencana yang tidak dapat diprediksi datangnya, seperti gempa dan tsunami. Namun dengan peran aktif lembaga penyiaran dalam mendidik masyarakat untuk siaga terhadap bencana, terutama di daerah-daerah yang memang sudah dinyatakan rawan, korban dan kerugian yang ditimbulkan bencana dapat diminimalkan.

Sementara itu, dalam EUCS yang juga dihadiri oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) ini, ikut diuji juga radio yang bersiaran di daerah perbatasan. Menurut Azimah, keberadaan radio di daerah perbatasan Indonesia dengan negara lain harus mampu menguatkan rasa kebangsaan bagi masyarakat setempat. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan membuat program-program yang menumbuhkan rasa cinta pada tanah air, selain juga memproduksi program dengan muatan yang mampu bersaing dengan radio-radio asing yang siarannya menerobos wilayah udara Indonesia.

Selain itu, Azimah mengusulkan adanya kerjasama dari radio-radio di perbatasan ini dengan Radio Republik Indonesia (RRI), untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang apa yang terjadi di daerah perbatasan. Bagaimanapun, ujar Azimah, keberadaan masyarakat di perbatasan tentu tidak sama dengan masyarakat secara umum. Sehingga masyarakat juga dapat merasakan perjuangan saudara-saudara sebangsanya di daerah-daerah terluar negeri ini. Dengan sendirinya,akan menguatkan rasa kebersamaan sebagai satu bangsa, pungkas Azimah.

Jakarta – Optimalisasi radio dalam Pemilihan Umum tahun 2014 dinilai banyak pihak mampu mendongkrak tingkat partisipasi masyarakat untuk ikut dalam pesta demokrasi lima tahun sekali tersebut. Namun demikian, pengoptimalan radio harus disertai dengan informasi yang baik, mendidik, berimbang, adil dan proposonal terutama dalam menyosialisasikan prosesi Pemilu 2014.

Anggota KPI Pusat, Idy Muzayyad, salah satu narasumber acara Bincang Ramadhan yang diselenggarakan PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia) di Hotel Ambhara, Rabu sore, 17 Juli 2013 menyatakan, peran radio dalam Pemilu mendatang sangat penting karena ini bagian dari hak dan juga kewajiban. Hak artinya radio memang berhak mendapatkan dan menyiarkan segala informasi mengenai Pemilu, begitu pula dengan kewajiban karena memang setiap media wajib menyiarkannya.

“Hak ini juga milik publik. Mereka juga berhak mendapatkan informasi mengenai Pemilu dengan informasi yang adil dan berimang,” katanya.

Menurut Idy, upaya optimalisasi media khususnya radio ada kaitan dengan tingkat elektabilitas atau angka keikutsertaan pemilih dalam pemilihan umum mendatang. Pasal, tren yang terjadi sekarang, dibeberapa Pilkada, angka keikutsertaan pemilihan kepala daerah mengalami gejala penurunan alias golput (istilah bagi yang tidak ikut Pemilu di Orba). “Posisi media dalam hal ini sangat penting untuk mendongkrak angka partisipasi. Apalagi jumlah radio yang ada dalam naungan PRSSNI kurang lebih 750 radio,” katanya yang juga disaksikan Komisioner KPI Pusat 2013-2016, Judhariksawan, Agatha Lily, dan Amirudin.

Dalam kaitan siaran Pemilu, Idy berpesan agar setiap radio menaati aturan yang berlaku seperti memberikan kesempatan yang sama bagi peserta Pemilu untuk beriklan dan dalam menggunakan media tersebut. “Jangan ada diskriminasi meskipun pemilik lembaga penyiaran tersebut berafiliasi dengan partai politik tertentu,” jelasnya.

Ferry Kurnia Rizkiansyah, Anggota KPU, salah satu narasumber acara bincang tersebut mengatakan, media dalam hal ini radio berperan penting dalam proses meningkatkan angka pemilih dalam Pemilu mendatang. Dirinya tidak menampik jika angka keikutsertaan pemilih di beberapa Pilkada mengalami penurunanmeskipun di sejumlah daerah angkanya stabil.

“Saat ini, KPU sedang mengumpulkan data pemilih sementara dan kita sudah mendapatkan angka yang masuk yaitu 110 juta pemilih. Tapi itu baru data pemilih sementara. Dalam kaitan itulah kita butuh dukungan radio untuk memberikan dan mengoptimalikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai Pemilu mendatang, ”kata mantan Ketua KPU Daerah Jawa Barat tersebut.

Sementara itu, Ketua PRSSNI, Rohmad Hadiwijoyo menyatakan, optimalisasi fungsi dan peran radio sangat mungkin mengangkat angka pemilih dalam Pemilu mendatang. Saat ini, jumlah radio swasta yang tergabung dalam PRSSNI berjumlah 758 stasiun radio yang tersebar di 29 provinsi, menjangkau 329 kabupaten serta 446 kota di seluruh Indonesia.

“Ini sarana yang cukup strategis dan potensial untuk menyukseskan Pemilu di Indonesia. Salah satu kuncinya, media radio sangat lokal dan punya kedekatan personal dengan masyarakat atau audiensnya.” Katanya dalam siaran pers yang dikeluarkan PP PRSSNI. Red

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.