Jakarta - Perkembangan industri televisi saat ini tidak diimbangi dengan jumlah tenaga kerja yang tersedia. Ini bisa dilihat dari jumlah tenaga kreatif yang tersedia dan berputar pada lingkup tertentu, jumlah Rumah Produksi (PH) yang mampu menembus Prime Time, dan penerima penghargaan program acara terbaik yang jumlah masih sedikit. 

Hal itu mengemuka dalam Focus Discussion Group (FGD) Standar Kompetensi Penyiaran yang dilaksanakan oleh Bidang Kelembagaan KPI Pusat, Selasa, 30 September 2015. Pemateri FGD menghadirkan Ketua dan Komisioner KPI Pusat Judhariksawan, Bekti Nugroho, dan Fajar Arifianto Isnugroho, Hardiyanto Suroso dari SCTV, serta Komisioner dari KPID Jawa Tengah, KPID Banten, KPID Bangka Belitung, dan KPID Bali.

Ketua KPI Pusat Judhariksawan mengatakan di antara sekian banyak masalah pertelevisian ini adalah kesejahteraan pekerja, kualitas program siaran, jabatan yang tidak sesuai kapasitas, hanya bermodal kedekatan dengan pemilik. “Penyiaran kita membutuhkan SDM yang profesional, maka kita perlu standar profesi penyiaran,” kata Judhariksawan.

Bekti Nugroho menjelaskan dengan adanya standar kompetensi tenaga penyiaran diharapkan dapat meningkatkan kualitas program acara di Lembaga Penyiaran. Pembangunan SDM penyiaran, menurut Bekti, juga merupakan tugas dari KPI yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 8 ayat 3 huruf (f); KPI mempunyai tugas dan kewajiban: …Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.

Menurut Bekti, komponen kompetensi dalam penyiaran di antaranya, keahlian (skill), etos kerja (attitude), dan pengetahuan (Knowledge). Pembangunan kompetensi itu, menurutnya nanti akan menjadi bagian dari standar kompetensi penyiaran yang akan dirancang oleh KPI.

Sementara itu Fajar Arifianto Isnugroho mengatakan, sistem kompetensi penyiaran itu akan menjadi acuan dalam evaluasi lembaga penyiaran saat perpanjangan izin siaran, selain evaluasi bidang perizinan dan isi siaran. “Penilaian Bidang Kelembagaan KPI terhadap lembaga penyiaran akan menilai dari segi profesionalisme, kesejahteraan karyawan, sistem pengembangan SDM di internal lembaga itu sendiri,” ujar Fajar.

Hardiyanto dari SCTV mengakui, pertumbuhan jumlah lembaga penyiaran saat ini tidak diimbangi dengan munculnya tenaga kreatif yang dibutuhkan industri. Dalam industri penyiaran saat ini, menurut Hardiyanto, empat profesi yang sulit dicari dalam dunia pertelevisian, yakni sutradara, produser, penulis naskah, dan tim kreatif.

Menurut Hardiyanto, jumlah tenaga kreatif itu dibutuhkan ekosistem untuk menumbuhkan tenaga kerja kreatif pertelevisian dan standar kompetensi yang dibutuhkan. Selaku anggota tim Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang penyiaran yang diinisiasi Kominfo, Hardiyanto mendukung adanya standar kompetensi bidang penyiaran.

“Dibutuhkan komponen-komponen standar kompetensi masing-masing bidang profesi di penyiaran. Kemudian ada asosiasinya, dan Lembaga Standar Profesinya (LSP), ini seperti di bidang Akuntansi, Kedokteran, dan bidang-bidang lainnya,” kata Hardiyanto.

Komisioner KPI Pusat Amirudin regulasi untuk standar kompetensi penyiaran sudah mendesak. Menurut Amir, standar kompetensi itu dibuat sebagai bentuk penyetaraan, ditujukan terutama untuk calon pekerja penyiaran yang baru, bukan untuk yang sudah lama berkecimpung dan sudah diakui kemampuan dan karyanya.

Hal senada juga diungkapkan masing-masing Komisioner KPID yang hadir dalam pertemuan itu. Dalam FGD itu, mengemuka usulan agar KPI segera membuat konsep tentang standar kompetensi dan dibicarakan dengan seluruh pimpinan KPI. Dalam hal ini, KPI hanya menyediakan konsep, karena KPI sebagai regulator penyiaran tidak bisa menjadi LSP.

Ketua KPI Pusat Judhariksawan mengatakan standar kompetensi bidang penyiaran sudah dibutuhkan mengingat perkembangan penyiaran Indonesia saat ini. “Kebutuhan sekarang ada di regulasi, kita buat dulu regulasinya dan bahas dengan seluruh pimpinan KPID. Baru nanti ada LSP yang ditunjuk atau dibuat itu belakangan, dari situ kemudian lembaga LSP itu yang menyusun segala kebutuhannya,” ujar Judha menutup diskusi.

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus didukung keberadaannya demi menjaga kualitas isi siaran di layar kaca. Bahkan KPI diharapkan juga dapat melakukan pengawasan dalam media online.  Pernyataan tersebut disampaikan oleh CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo dalam pertemuan dengan KPI Pusat di kantor KPI Pusat di bilangan Jakarta, pagi tadi (28/9). 

Dalam kesempatan tersebut, Ketua KPI Pusat  Judhariksawan menjelaskan mengenai agenda KPI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika mengevaluasi izin penyelenggaraan penyiaran stasiun televisi yang bersiaran berjaringan secara nasional, termasuk RCTI, Global dan TPI yang ada dalam MNC Group. Kepada Hary bersama jajaran direksi dari MNC Group, KPI memutarkan rekaman tayangan dari RCTI, Global dan TPI yang diganjar teguran dari KPI. Judha menegaskan, jika memang MNC Group menginginkan izin penyelenggaraan penyiaran diperpanjang, maka pihak MNC harus memastikan tidak ada lagi tayangan yang melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI 2012 di tiga stasiun televisi tersebut.

Selain membicarakan pelanggaran isi siaran, KPI juga menyampaikan mengenai pelaksanaan penayangan konten lokal sebagai implementasi sisten stasiun berjaringan yang dilakukan oleh MNC Group. Komisioner KPI Pusat koordinator bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran, Azimah Subagijo menyampaikan bahwa tiga stasiun televisi yang tergabung dalam MNC Group masih belom memenuhi persyaratan tayangan lokal minimal sepuluh persen dari seluruh waktu siar. Untuk itu Azimah berharap, Hary selaku CEO MNC Group memperhatikan dengan baik perintah dari regulasi penyiaran ini.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat koordinator bidang kelembagaan Bekti Nugroho mengingatkan tentang pentingnya strategi kebudayaan dalam pengelolaan konten televisi. Bekti berharap, televisi tidak semata mengedepankan fungsi ekonomi. “Televisi harus pula mengedepankan fungsi edukasi pada masyarakat,” ujarnya. Hary sendiri berharap ada pengaturan yang lebih adil terkait penggunaan parabola, media online dan piracy, demi keberlangsungan industri penyiaran yang lebih baik. 

Hadir dalam pertemuan tersebut Komisioner KPI Pusat coordinator bidang pengawasan isi siaran, Agatha Lily. Selain menyampaikan program-program dari MNC Group yang bermasalah, Lily juga memberikan apresiasi terhadap konsistensi MNC Group menayangkan program-program televisi yang berkualitas. Komisioner KPI Pusat lainnya yang turut hadir adalah Amiruddin dan Fajar Arifianto Isnugroho.

Jakarta - Salah satu tujuan penyiaran nasional adalah sebagai alat integrasi bangsa. Dengan kata lain penyiaran sebagai medium penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial ke dalam kesatuan wilayah dan pembentukan suatu identitas nasional.

"Masalah terorisme adalah masalah krusial bagi bangsa Indonesia. Kami menyambut baik nota kesepahaman antara KPI dan Badan Penanggulangan Nasional Terorisme (BNPT). Semoga ada tidak lanjut yang berbentuk standar operasional prosedur untuk lembaga penyiaran atau dalam bentuk pemikiran lainnya," kata Ketua KPI Pusat Judhariksawan dalam pidato penandatanganan nota kesepahaman KPI dan BNPT yang berlangsung di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Jumat, 18 September 2015.

Dalam sambutannya Judhariksawan menambahkan, dalam pengawasan isi siaran Lembaga Penyiaran, KPI akan mewaspadai bibit yang mengarah pada hal-hal yang mengarah pada terorisme. Selain itu, KPI juga mewaspadai tayangan yang menampilkan adegan kekerasan dalam program siaran televisi. "Jangan sampai kekerasan dibenarkan dalam sejumlah tayangan dalam program acara, ini berbahaya bagi generasi muda kita," ujar Judha.

Dalam menanggulangi, menurut Judha, KPI bersama lembaga penyiaran akan saling bekerja sama dalam pencegahannya. Menurut Judha, peserta yang hadir, terutama dari kalangan lembaga penyiaran memiliki niat yang sama dalam penanggulangannya. 

Selain itu Judha juga meminta dalam peliputan terorisme oleh lembaga penyiaran tidak terjebak pada Stereotipe tertentu. Ini mengingatkan kasus yang menimpa Ahmed Mohamed, siswa MacArthur High School, Texas, Amerika Serikat yang terjadi kemarin karena berdasarkan Stereotipe semata. 

"Kami minta kepada lembaga penyiaran, jangan terjebak pada Stereotipe, baik itu atas dasar ras, golongan, agama, atau unsur lainnya," kata Judha.

Jakarta - Kegiatan perekrutan terorisme saat ini sudah menggunakan media sosial, siaran video dan medium media lainnya dalam melakukan aksinya hingga perekrutan anggota baru. Bila sebelumnya hanya berbasis ikatan kekerabatan dan komunal, saat ini justru penyebarannya massif melalui media.

Hal itu dikemukakan oleh Kepala Badan Penanggulangan Nasional Terorisme (BNPT) Saud Usman Nasution dalam talk show, "Peningkatan Peran Media Penyiaran dalam Pencegahan Paham ISIS", usai penandatanganan nota kesepahaman antara KPI dan BNPT. Acara yang dipandu oleh Fifi Aleyda Yahya itu juga menghadirkan Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad, Gun Gun Heryanto, dan Ikang Fawzi. Acara berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, Jumat, 18 September 2015.

Menurut Usman, pendekatan penanggulangan dan pencegahan terorisme oleh negara dalam setiap rezim mengalami perubahan. Pada masa Orde Lama menggunakan pendekatan militer, Orde Baru pendekatan intelijen, dan Reformasi dengan pendekatan hukum. "Pendekatan hukum ini belum mampu menyelesaikan masalah," kata Usman.

Dalam kondisi sosial masyarakat saat ini, menurut Usman, pendekatan yang paling baik dilakukan dengan model pendekatan kultural, budaya, deradikalisasi baik di dalam dan di luar tahanan. Dalam Usman menjelaskan, dalam penanggulangan terorisme juga memperhatikan banyak unsur, baik itu istri dan keluarga terduga/tersangka, pendukung dan para simpatisannya. Menurutnya, dalam penanggulangan lembaganya adalah yang mengurusi bagian kebijakan. "Ini menjadi tugas kita bersama dalam menanggulanginya. Untuk itu kami lakukan kerja sama dengan berbagai pihak sebagai upaya preventif," ujar Usman.

Untuk kalangan media, Usman berpesan, agar dalam peliputan jangan sampai media teledor dalam menyiarkan benih-benih terorisme, baik itu disengaja maupun tidak. Maka untuk kebutuhan pelipuan terorisme, menurut Usman, lembaganya siap menyiapkan narasumber yang kompeten di bidangnya, agar jangan sampai saat peliputan, apalagi dengan model siaran langsung, bila salah narasumber bisa menyesatkan penonton dalam melihat sebuah kasus.

Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad menceritakan, dua tahun lalu, KPI langsung menyikapi sebuah tayangan di televisi yang menghina dasar negara Pancasila. Menurutnya, program siaran televisi dan lembaga penyiaran lainnya harus selesai dari nilai-nilai fundamentalisme dan unsur fanatisme. "Ruang embrio sekecil apapun harus ditutup, kalau dibiarkan akan berkembang," kata Idy.

Dalam penyiaran kasus terorisme, Idy mengatakan, agar media berhati-hati. Ia menuturkan pada Agustus lalu, KPI mengeluarkan surat edaran ke seluruh lembaga penyiaran, agar dalam pemberitaan kasus terorisme lembaga penyiaran jangan malah memprovokasi keberadaannya. Selain itu, Idy juga menyinggung tentang tayangan yang diberi sanksi KPI karena membandingkan keyakinan intra dan antar agama dan bisa itu berakibat pada pengkafiran pihak lain.

Salah satu cara menanggulangi bibit fundamentalisme, menurut Idy adalah edukasi kepada masyarakat melalui literasi media. Literasi yang mendidik masyarakat dalam menerima dan mencerna informasi yang sehat. Menurutnya hal ini sudah dilaksanakan KPI dan masih belum maksimal, karena masih membutuhkan dukungan dari lembaga penyiaran melalui iklan layanan masyarakat agar mengarahkan publik dalam gerakan masyakat sadar media.

Sementara itu pengamat media Gun Gun Heriyanto menjelaskan dengan literasi media masyarakat akan lebih berdaya. Dengan masyakat yang berdaya akan mampu menghadapi segala informasi yang dianggap tidak sehat.

Gun Gun juga mengkritik media dalam sejumlah pemberitaan media dalam kasus terorisme yang terkadang terlalu simplikasi. "Iya, dalam tayangan itu butuh unsur-unsur drama dalam memikat pemirsa. Tapi dalam kasus terorisme pemberitaannya bukan malah menjadi simplikasi. Padahal ada proses di dalamnya. Saya kira media dalam peliputan itu lebih profesional dan proporsional menyampaikannya kepada publik, jangan sampai pemberitaannya menjadi resonansi atas keberadaan terorisme," kata Gun Gun.

Menurut Gun Gun simplikasi peliputan terorisme akibat dari lemahnya media melakukan pemetaan isu. Padahal, menurut Gun Gun, untuk kasus ISIS misalnya, peliputan yang berlebihan justru akan membuat keberadaan ISIS akan menjadi eksis. Ia juga mengingatkan, saat peliputan siaran langsung terorisme, media harus ekstra hati-hati, karena saat yang bersamaan publik semua tertuju ke sana dan jangan sampai informasi yang diterima salah.

Dalam acara itu Ikang Fawzi mengaku senang menerima ajakan preventif dalam penanggulangan terorisme. Menurutnya, masalah itu adalah masalah bersama dan harus melibatkan semua pihak. "Seniman kadang hanya diajak setelah kejadian, jarang diajak sebelum atau kegiatan preventif penanggulangan terorisme," ujar Ikang.

Ikang juga berpesan dalam menanggulangi terorisme agar publik menjaga lingkungan masing-masing. Menurutnya, terorisme bergerak dengan sistem berjejaring, maka masyarakat juga harus saling berkomunikasi satu sama lain. "Kalau ada teman atau tetangga kita yang merasa benar sendiri kalau diajak bicara, jangan ditinggalkan, dekati dia, ajak bicara baik-baik dan perlahan, jangan sampai dia sendirian, karena yang seperti itu mudah disusupi," kata Ikang. 

Jakarta - Perkembangan teknologi dan informasi tidak hanya mendorong perkembangan ilmu dan pengetahuan, juga berdampak pada pola pikir dan misi penyebaran informasi itu sendiri. Kemajuan teknologi informasi juga melahirkan perang wacana melalui berbagai medium media untuk tujuan-tujuan tertentu. Bahkan untuk tujuan dan aksi radikalisme sudah terang-terangan melalui teknologi informasi itu sendiri.

Media memiliki peran strategis dalam menentukan kemenangan perebutan wacana atau informasi. Selain memiliki kedekatan dengan publik, juga sebagai jembatan informasi terbuka akan sebuah kejadian atau peristiwa, serta pengawasan sistem pemerintahan. Kini media tidak hanya menjadi monopoli pemerintah, kemajuan teknologi ini juga menjadikan media bisa digunakan dan digerakkan oleh siapa saja untuk tujuan-tujuan tertentu. Termasuk untuk penyebaran paham-paham yang tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi, termasuk penyebaran paham radikalisme.

Televisi adalah sumber utama informasi dan edukasi masyarakat Indonesia. Dalam survei yang dilakukan oleh Center for the study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mayoritas masyarakat Indonesia menonton TV (94%), mendengarkan radio (30%) dan membaca koran (33%). Dengan jumlah penonton yang demikian besar, pengawasan konten televisi yang mengarah pada penyebaran paham-paham radikalisme patut untuk diwaspadai.

Sudah sewajarnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) selaku badan penanggulangan terorisme yang mencakup pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional memiliki perhatian khusus atas hal itu. Demikian halnya dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai salah satu regulator penyiaran yang salah satu tugasnya mengawasi konten isi siaran Lembaga Penyiaran, termasuk televisi dan radio juga mewaspadai hal itu. Dengan  pengawasan konten televisi atas siaran yang mengandung fanatisme sudah sepantasnya menjadi perhatian bersama. Kerja sama kedua lembaga dalam penanggulangan dan meminimalisir penyebaran paham radikalisme melalui media penyiaran antara BNPT dan KPI sudah menjadi kebutuhan.

Kerja sama antara BNPT dan KPI diharapkan dapat memberikan masukan dan arahan untuk lembaga penyiaran, rumah produksi (production house) dan stakeholder penyiaran lainnya untuk berpartisipasi dalam pencegahan radikalisme dan terorisme melalui media penyiaran. Kerja sama dua lembaga ini bukan hanya seremonial, namun juga telah merancang ke depan bahwa kualitas konten televisi harus terus ditingkatkan. Termasuk peningkatan kualitas program televisi yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia.

Penandatangan nota kesepahaman kedua lembaga berlangsung di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, Jumat, 18 September 2015 yang dihadiri kedua pimpinan lembaga, perwakilan lembaga penyiaran, sejumlah media, serta tamu undangan dari sejumlah lembaga.

Usai penandatangan nota kesepahaman kedua lembaga, acara dilanjutkan dengan talk show, "Peningkatan Peran Media Penyiaran dalam Pencegahan Paham ISIS" yang dipandu oleh Fifi Aleyda Yahya dengan narasumber Kepala BNPT Saud Usman Nasution, Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad, Gun Gun Heryanto, dan Ikang Fawzi.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.