Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat kedatangan mahasiswa Program Studi (Prodi) Produksi Media Politeknik Tempo Jakarta, Senin, (30/10/2023). Dalam kunjungan ini, KPI menjelaskan dinamika dan regulasi penyiaran di tanah air kepada mahasiswa .

Anggota KPI Pusat Amin, yang menemui langsung mahasiswa menyampaikan substansi dari Undang-Undang Penyiaran No.32 tahun 2002 adalah menjadikan sebuah program siaran mengandung hal-hal yang informatif, mendidik, hiburan sekaligus bermanfaat untuk masyarakat. 

“KPI tentunya tidak berdiri dengan tanpa adanya peraturan-peraturan yang tertulis seperti Undang-Undang. KPI harus berdiri dengan berlandaskan peraturan-peraturan yang tertulis dalam Undang-Undang yang tertuang pada Pasal 36 Ayat 1,” kata Amin. 

Dia juga menjelaskan, saat ini KPI mempunyai kebijakan mengembangkan ekosistem penyiaran yang lebih adaptif terhadap dunia digital. Bahkan, ungkap dia, pihaknya saat ini sedang berusaha untuk mengatur siaran Netflix. “Selama KPI berusaha, KPI meminta teman-teman Politeknik Tempo dan masyarakat untuk melakukan screening tayangan sendiri,” ujar Amin sekaligus menambahkan jika KPI memiliki tim pengawasan langsung untuk memantau jalannya program televisi sesuai undang-undang. 

Amin mengklaim, pihaknya selalu berkolaborasi dengan pemerintah, LSM, dan industri terkait untuk melancarkan kegiatannya. “KPI tentunya akan selalu melakukan kolaborasi-kolaborasi yang tujuannya untuk melancarkan kegiatan penyiaran di Indonesia seperti LSM, dengan industri-industri terkait tentang penyiaran agar terciptanya penyiaran yang kondusif,” katanya.

Sementara itu, Tenaga Ahli Pemantauan Isi Siaran, R. Guntur Karyapati juga menjelaskan tentang upaya KPI dalam melakukan proses pengawasan. Ia menyebut, KPI berupaya untuk menaikkan jam tayang sehingga anak-anak di bawah umur tidak dapat menyaksikan tayangan yang dinilai bisa berdampak negatif.

“KPI tentunya selalu memperhatikan prime time untuk mencegah terjadinya anak-anak menyaksikan langsung apa yang sedang ditonton. Bisa saja dalam tontonan tersebut terdapat adegan-adegan negatif seperti adegan kekerasan, kissing, minum alkohol, merokok, dan lain-lain sebagainya,” kata Guntur.

Sebelum kunjungan ini selesai, mahasiswa Politeknik Tempo melihat langsung proses bagaimana KPI bekerja dalam memantau penyiaran-penyiaran yang sedang tayang melalui televisi. **

 

Pandeglang -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara independen terus menggalang kekuatan masyarakat untuk mengawasi siaran pemilihan umum (pemilu). Penyiaran adalah tempat strategis yang memberi pengaruh kuat pada masyarakat. Jangan sampai penyiaran dikuasai oleh kelompok tertentu, terlebih dalam persaingan di pemilu. 

Terkait hal itu, KPI menyelenggarakan bimbingan teknis (bimtek) yang ditujukan bagi masyarakat Pandeglang pada Kamis (26/10/2023). Bimtek yang digelar di Pendopo Kabupaten Pandeglang dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat mulai dari mahasiswa, kelompok masyarakat, organisasi wartawan/media, hingga tokoh masyarakat. 

Narasumber dalam kegiatan ini antara lain Aliyah selaku Komisioner KPI Pusat, Subhan Nur Ulum  selaku Praktisi Penyiaran, Fery Hasnudin selaku Tokoh Masyarakat, A. Solahudin selaku Wakil Ketua KPID Banten, serta Rizki Natakusumah selaku Anggota Komisi I DPR RI.

Penyampai pertama sekaligus penanggungjawab kegiatan, Aliyah, mengatakan bahwa dunia penyiaran televisi dan radio masih menjadi ladang utama dalam pemberitaan pemilu. Ia menyatakan KPI berupaya terus menjamin informasi yang ada di televisi dan radio bebas dari hoaks mengingat pengawasannya yang ketat. KPI juga mengutamakan independensinya sekaligus mewakili masyarakat. 

“KPI merupakan wakil dari Aa dan Teteh semua terkait pengawasan penyiaran, itu adalah tugasnya KPI. Tugas wewenang KPI adalah memastikan informasi yang diberikan ke masyarakat adalah benar. Apalagi ini tahun politik, jelang pemilu 2024 yang tentunya banyak informasi di luar lembaga penyiaran yang disinformasi, misinformasi, dan sebagainya,” jelas Aliyah. 

Aliyah juga meminta lembaga penyiaran (LP) untuk melakukan edukasi kepada masyarakat. Lembaga penyiaran memiliki kewajiban menyiarkan informasi yang berimbang dengan acuan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS).

“Lembaga penyiaran bisa mengedukasi masyarakat melalui informasi yang disampaikan. Untuk lembaga penyiaran pasti sudah familiar dengan P3SPS, utamanya pasal 71 yg terkait penyiaran kepemiluan (berimbang, netral, dan sebagainya),” tambah Aliyah. 

Penyampai kedua yakni Solahudin selaku Wakil Ketua KPID Banten menekankan agar peserta turut mengawasi dan melaporkan jika terjadi dugaan pelanggaran di isi siaran. Meskipun KPI telah tergabung dalam gugus tugas pemilu, partisipasi masyarakat masih sangat dibutuhkan untuk mendukung kinerja KPI. 

“Pemantauan kita adalah pemantauan langsung oleh analis KPID Banten. Yang terpenting adalah partisipasi masyarakat melalui aduan yang bisa menjadi salah satu instrumen kita. Partisipasi masyarakat dalam dunia penyairan menjadi tanggungjawab kita bersama sebagai amanah Undang-Undang 32 tahun 2002. Jika hanya diamanahkan pada KPI tanpa masyarakat, maka akan sulit,” ujar Solahudin. 

Subhanul Ulum selaku penyampai ketiga meminta masyarakat untuk terus meningkatkan perannya dalam dunia penyiaran. Dia menjelaskan bahwa pengawasan masyarakat terhadap pemberitaan pemilu di TV dan radio adalah wujud nyata partisipasi.

“Saya ingin mengajak bapak ibu semua untuk menyimak dan mendengarkan TV dan Radio di Pandeglang karena hanya dengan itu kita bisa turut serta mengawasi penyiaran pemilu,” jelas Subhanul.

Subhanul juga menyebutkan bahwa pengawasan tersebut akan mendorong lembaga penyiaran memuat informasi yang berimbang terkait pemilu.

Peran tokoh masyarakat dalam menggerakkan pengawasan siaran pemilu tidak kalah penting. Fery Hasanudin selaku tokoh masyarakat di Pandeglang menyatakan tokoh masyarakat adalah penggerak pendidikan politik di masyarakat. Secara tidak langsung tokoh masyarakat turut memberi kontribusi dalam proses pemilu melalui edukasi. 

“Tugas tokoh masyarakat meningkatkan kualitas pemilu partisipasinya dan kualitasnya. Edukasi pemahaman dari tokoh masyarakat kepada warganya, pentingnya pemilihan, lalu adanya kesadaran, dan hal-hal ini bisa disugestikan kepada masyarakatnya,”  jelas Fery.

Terakhir yang menyampaikan paparan adalah Anggota Komisi I DPR RI, Rizki Natakusumah yang membidangi komunikasi dan informasi. Dia juga mendengarkan aspirasi langsung dari organisasi media yang fokus pada pengawasan KPI. 

Dalam kesempatan itu, Rizky menjelaskan bahwa KPI perlu diberi regulasi yang kuat. Terlebih menghadapi perubahan teknologi yang pesat salah satunya dengan revisi UU penyiaran yang ada saat ini. Dia mengaku perlu adanya kajian yang matang. 

“Terobosan yg menjadi pemikiran saat ini adalah agar semua bisa berjalan seiringan. Bagaimana memisahkan UU 32 yang didalamnya banyak pro dan kontra tidak hanya ada KPI. Tapi, disitu juga ada berbagai stakeholder sampai kominfo,” papar Rizki. Abidatu Lintang

 

 

Banda Aceh - Sebagai negara yang berada pada posisi geografis dengan sebutan “Ring of Fire”,  bencana alam di Indonesia memang tidak bisa dihindari. Namun demikian, resiko dampaknya dapat dikurangi dengan cara memanfaatkan teknologi yang sudah berkembang dengan pesat. Salah satunya penggunaan fitur deteksi dini bencana (Early Warning System/ EWS) pada perangkat Set Top Box dalam sistem penyiaran digital.  Hal ini disampaikan Ubaidillah, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, dalam kegiatan simulasi fitur EWS yang diselenggarakan KPI Aceh di Museum Tsunami, (26/10)/ 

Menurut Ubaidillah, dengan adanya fitur ini, informasi dini mengenai bencana dapat segera sampai ke masyarakat untuk mengambil tindakan persiapan dalam rangka menyelamatkan diri.  “Harapan kita, tentunya resiko yang timbul dari bencana ini dapat diminimalisir,” ujarnya.  

Lebih jauh dari itu, Ubaidillah mengingatkan tentang urgensi pemberitaan tentang lingkungan lewat lembaga penyiaran. “Saya pernah mengajukan alternatif agar lembaga penyiaran tidak hanya membicarakan tentang bencana, tapi juga terkait mitigasi, pengurangan resiko bencana sampai dengan solusi alternatif yang dapat ditempuh,”tambahnya. Usulan ini dinamai dengan Ecobroadcasting, yakni penyiaran yang ramah terhadap lingkungan, termasuk mengangkat isu perubahan iklim dan cara lain yang dapat dilakukan dalam menyelamatkan lingkungan. 

Ubaidillah mengapresiasi inisiatif KPI Aceh menggelar simulasi EWS yang dihadiri berbagai elemen masyarakat termasuk siswa siswi dari sekolah yang ada di Banda Aceh. Menurutnya, tragedi tsunami di Aceh pada tahun 2004 silam, juga menjadi sebuah momentum hadirnya jurnalisme model baru yakni jurnalisme lingkungan dan juga jurnalisme warga (citizen journalism). Harian Kompas mencatat, munculnya jurnalisme warga dimulai sejak bencana tsunami Aceh. “Yakni ketika masyarakat memvideokan bencana tersebut dan membagikannya di sosial media dan juga lembaga penyiaran,” ujarnya. 

Menurut Ketua KPI Aceh, Faisal Ilyas, EWS ini merupakan ikhtiar untuk menghadirkan alternatif teknologi yang membantu masyarakat membangun kesiapsiagaan dalam rangka pengurangan resiko bencana. Pada kegiatan simulasi ini, siswa dan guru mendapatkan literasi peringatan dini tentang siaran digital dengan tiga status, yakni waspada, siaga dan awas, ujarnya. Para siswa juga diedukasi tentang langkah yang harus ditempuh saat peringatan muncul di layar televisi, pada masing-masing status. 

Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika, Nezar Patria turut hadir dalam simulasi di Museum Tsunami Aceh. Dia berpendapat, dengan adanya sistem informasi ini melalui peringatan dini EWS yang disiarkan di seluruh saluran perangkat komunikasi, sangat berguna untuk memberi informasi pada publik, sehingga masyarakat jadi tanggap tentang bencana dan tahu apa yang akan dilakukan. "Kalau sistem informasinya baik, kemungkinan korban jiwanya tidak akan banyak," tambahnya.

Nezar mengungkapkan jika dikaji dari kejadian bencana alam 19 tahun lalu di Aceh, banyak masyarakat tidak mengetahui bahwa akan terjadi bencana tsunami yang akan menggulung setelah goncangan gempa. Kata dia, masyarakat hanya mengetahui tentang adanya gempa gempa bumi dan mereka bingung hendak evakuasi kemana.

Lebih jauh, Ketua KPI Pusat berharap, simulasi EWS ini dapat menjadi percontohan untuk daerah lain. Harapannya, ujar Ubaidillah, terjadi peningkatan kapasitas masyarakat dalam hal mitigasi bencana lewat sebaran informasi dan konten edukasi dari lembaga penyiaran. (Foto: Dokumentasi KPI Aceh)

 

 

Jakarta – Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 Lembaga Penyiaran Publik (LPP) seperti TVRI dan RRI harus menjadi rumah pembersih (clearing house) terhadap pemberitaan palsu atau hoaks yang beredar di media sosial. Tidak hanya itu, kedua media penyiarannya ini harus berlaku adil dan memberikan porsi yang sama untuk semua kontestan Pemilu.

Keinginan tersebut mengemuka dalam diskusi kelompok terpumpun (fokus grup diskusi) bertajuk “Media Publik Pemerintah dalam Mensukseskan Pemilu Damai 2024”, Kamis (26/10/2023) di Hotel Mercure Batavia, Jakarta.

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen IKP Kominfo), Usman Kansong, mengatakan dalam konteks media negara momentumnya mengambil posisi sebagai clearing house  bagi media-media sosial. Menurutnya, media penyiaran publik memiliki peran penting untuk memitigasi peredaran konten hoaks, termasuk deef fake selama tahun politik 2024 mendatang.

Dia memberi contoh konten hoaks terbaru beredarnya video Presiden Joko Widodo yang berpidato dengan membaca teks dalam bahasa mandarin di media sosial TikTok, yang ternyata adalah deep fake memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI).

“Nah itu suatu fenomena yang kita khawatirkan menjelang Pemilu yakni deep fake. Jadi Artificial Intelligence ataupun kecerdasan buatan itu harus kita antisipasi karena bisa digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang tidak baik,” jelas Dirjen IKP.

Kejadian serupa juga terjadi pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Chicago, Amerika Serikat, dimana seorang kandidat juga mendapat serangan deep fake, yang pada akhirnya menyebabkan dia kalah dalam pilkada tersebut.

Oleh karena itu, Usman yang baru saja menerima video tersebut langsung berkoordinasi dengan Dirjen Aplikasi Informatika (Dirjen Aptika) Kominfo, Semuel A Pangerapan, untuk segera menindaklanjuti dengan melakukan langkah pemutusan akses atau take down atau memberi stemple bahwa konten tersebut hoaks.

“Tidak mungkin presiden bicara dalam bahasa Mandarin kendati baca teks, pasti juga dalam tulisan mandarin kan begitu,” kata Usman sekaligus menyatakan untuk menjadi clearing house tentu saja ada prasyarat umum bagi media yang melakukannya, seperti harus independen.

Anggota KPI Pusat Amin Shabana, yang hadir dalam FGD tersebut, mengatakan hal yang sama terkait posisi LPP menghadapi Pemilu mendatang. Proporsional, berimbang serta adil memberi ruang yang sama bagi peserta Pemilu adalah hal yang mutlak dilakukan LPP. “LPP hadir untuk mengangkat tingkat kepercayaan publik pada informasi,” tambahnya. 

Meskipun begitu, Amin meminta LPP untuk mengikuti aturan di P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) KPI terkait kepemiluan. Selain itu, dia juga meminta agar LPP tidak menjadikan media baru sebagai sumber informasi utama.

Harapan lain yang disampaikannya terkait pemilu agar siaran TVRI dan RRI dapat menjangkau wilayah 3T (terdepan, tertinggal dan terluar). Menurutnya, tiga daerah ini memerlukan siaran kepemiluan yang kebenarannya dapat dipercaya. “Berdasarkan pantauan kami, daerah-daerah ini masih banyak yang terpapar siaran asing,” ujar Amin.

Disampaikan juga bagaimana program Indeks Kualitas Program Siaran TV (IKPSTV) KPI tahun 2023 ini menganalisis siaran kepemiluan di TV. “Kami memantau bagaimana netralitas dan keberimbangan lembaga penyiaran. Kami juga mengajak 12 perguruan tinggi dalam riset ini dan hasilnya sangat penting bagi lembaga penyiaran,” tandasnya. 

Diskusi ini menghadirkabn narasumber antara lain Direktur Utama TVRI Iman Brotoseno, Direktur Utama RRI Hendrasmo, dan Direktur Utama LKBN Antara Akhmad Munir. Adapun yang bertindak sebagai moderator Prof. Widodo Muktiyo. ***

 

 

 

 

Jakarta – Media penyiaran berperan penting dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) mendatang. Menyajikan informasi yang adil, proporsional, menyehatkan sekaligus menyejukan adalah bagian dari peran itu. Hal ini selaras dengan amanah yang dituangkan dalam Undang-Undang (UU) Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 bahwa penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, serta kontrol dan perekat sosial. 

Terkait hal ini, Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Amin Shabana mengatakan KPI hadir dalam tugas dan fungsinya sebagai pengawas konten siaran pasca tayang dan dipastikan tidak menghambat industri kreatif. Adanya Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), lanjutnya, adalah acuan dalam memproduksi produk siaran yang sehat sekaligus mendidik masyarakat. 

“P3SPS adalah rambu–rambu untuk industri, salah satunya perlindungan terhadap publik. Mengajak lembaga penyiaran yang kreatif untuk mengutamakan kepentingan publik, tidak untuk kepentingan tertentu,” kata Amin saat menjadi narasumber dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Direktorat Politik dan Komunikasi Bappenas di Jakarta, (25/10/2023).

Amin juga menerangkan, KPI secara langsung melakukan pengamatan terhadap program siaran dengan hasil analisa dari tim pemantauan KPI. Mengukur kualitas program siaran bukanlah sebuah pekerjaan mudah bagi KPI. Salah satu yang menjadi program prioritas nasional adalah Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (IKPSTV) dengan melibatkan 12 perguruan tinggi se-Indonesia. 

Menurutnya, berdasarkan data hasil IKPSTV tahun 2022, ada dua program siaran televisi yang masih di bawah standar kualitas 3,00 yang ditetapkan KPI yakni sinetron dan infotaimen. “Hasil IKPSTV secara umum tahun 2022 hasilnya 3,20 standar tetapi dari 8 kategori belum semua kategori aman atau berkualitas. Kategori sinteron dan infotaimen selama 3 tahun ini masih dibawah 3,00,” katanya. 

Pada kesempatan itu, Anggota Dewan Pers Yadi Hendriana mengatakan, dunia penyiaran hari ini didominasi tayangan entertainmen dan sinetron. Hal ini berbanding kecil dengan kategori acara berita. Menyikapi pemilu, dia melihat maraknya temuan efektivitas media untuk berkampanye. 

“Pers yang dipersepsikan sebagai pilar ke empat demokrasi seharusnya memiliki porsi yang lebih dibandingkan dengan kategori tayangan hiburan. Secara undang-undang pun, pers memiliki velue of freedom yang terukur, bertanggung jawab dan berada dilingkungan demokrasi,” tegas Yadi.

Berdasarkan data hasil temuannya, jika di rata-rata tiap pasangan calon yang mengikuti pemilu dengan berbagai tingkatan minimal memiliki 1 media online. Yadi melihat para peserta calon pemilu mendirikan atau membeli sebuah media sebagai sebuah cara yang efektif namun memiliki resiko besar ketika media itu terbengkalai setelah kontestasi. “Hampir setiap paslon ketika ikut pemilu memiliki minimal 1 media online,” katanya.

Dalam acara ini, turut hadir Direktur Komunikasi dan Politik Bappenas, Astri Mayasari, Ketua Umum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution, Sekretaris Jenderal ATVSI, Gilang Iskandar. Syahrullah

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.