Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengajak masyarakat ikut serta dalam pengawasan penyiaran di Indonesia. Lembaga penyiaran dan masyarakat merupakan mata rantai yang tidak bisa dipisahkan. Semakin tinggi perhatian masyarakat, maka akan berimplikasi pada sajian siaran yang makin baik dan berkualitas. Hal tersebut disampaikan Aliyah, selaku Anggota KPI Pusat Bidang Pengawasan Isi Siaran pada kegiatan Partisipasi Masyarakat Memilih Siaran yang Berkualitas, (06/12).
Hadir sebagai keynote speaker atau pembicara kunci, Anggota Komisi I DPR RI Taufiq R Abdullah. Dia mengingatkan tentang sensitivitas para ulama di masa lalu terhadap konten-konten yang melanggar etika dan moral. “Langsung ada reaksi dari para ulama dan akhirnya terjadi perbaikan-perbaikan,” ujarnya. Namun begitu muncul lebih banyak televisi, sensitivitas mulai menurun, bahkan para host di lembaga penyiaran tidak lagi memerhatikan apa yang dulu yang jadi keprihatinan publik.
Dalam acara yang dihadiri berbagai elemen perempuan ini, muncul berbagai pertanyaan kepada KPI tentang konten siaran. Menurut peserta, dalam beberapa program televisi, pernah ditemui konten terkait LGBT yang dianggap meresahkan publik. Harapannya KPI dapat mengatur agar pembawa acara di program siaran televisi, lelaki tulen. Terkait tayangan LGBT ini, sebenarnya KPI sudah mengeluarkan surat edaran yang melarang promosi LGBT melalui spektrum penyiaran. Masukan dari masyarakat baik tentang keluhan ataupun apresiasi atas konten siaran, sangat bermanfaat bagi KPI Pusat dalam meningkatkan pengawasan.
“Dengan adanya agenda ini, kami tidak akan pernah lelah mengimbau publik untuk melapor pada KPI dan KPI Daerah jika menemukan adanya tayangan di televisi dan radio yang tidak sesuai dengan norma kepatutan,” ujar Ketua KPI Pusat Ubaidillah, yang turut hadir dalam kegiatan tersebut. Sementara itu dari Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat Tulus Santoso menjelaskan, dalam melaksanakan tugas dan wewenang, KPI tidak hanya memberi sanksi. Tapi juga memberi apresiasi pada lembaga penyiaran yang memang siarannya baik dan bekualitas.
KPI sendiri, secara kelembagaan juga memiliki mandat untuk selalu bekerja sama dengan masyarakat. Hal ini disampaikan Muhammad Nur Hayid selaku akademisi yang menjadi narasumber kegiatan. “Terutama menjelang tahun politik,” ujarnya. Jangan sampai frekuensi penyiaran yang sebenarnya milik publik ini, hanya dikuasai kelompok tertentu dan dijadikan alat untuk kooptasi. Disamping itu, penyiaran yang didesain secara produktif dan positif, dapat memberi motivasi pada pemirsa dan juga publik, untuk penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didasari Pancasila. “Makanya konten siaran yang isinya propaganda dan berpotensi memecah belah, harus kita tolak,” tegas Nur Hayid. Hadir juga sebagai pembicara pada kegiatan ini, Koordinator Bidang Kelembagaan KPI DKI Jakarta Muhammad Said, dan Tokoh Agama Nuryati Murtado.
Jakarta - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatika berimplikasi pada perlunya regulasi turunan yang disusun oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Denda administratif dalam PP tersebut, dijatuhkan atas pelanggaran pemenuhan persyaratan dan/ atau kewajiban yang terkait pelanggaran isi siaran berdasarkan pengawasan KPI. Ketua KPI Pusat Ubaidillah mengatakan, penyusunan PKPI ini tidak dilandasi untuk memberi beban tambahan bagi lembaga penyiaran, tapi memang amanat sebagai aturan pelaksana PP tersebut. Selain itu, KPI sendiri lebih fokus pada peningkatan kualitas siaran di televisi dan radio, bukan pada target PNBP. Hal ini disampaikannya dalam diskusi kelompok terpumpun/ FGD Penyusunan PKPI tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Pelanggaran Isi Siaran, (6/12), juga dihadiri perwakilan KPID dan asosiasi lembaga penyiaran.
Peri Farouk selaku Ahli Pengembangan Kebijakan KPI Pusat menjelaskan, kewenangan membuat regulasi tentang sanksi denda sudah ada dalam undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Jadi, penyusunan PKPI ini menjadi kesempatan bagi KPI melaksanakan kewenangan yang sudah berusia 21 tahun. Dalam undang-undang penyiaran, sanksi denda ditempatkan di urutan keempat setelah teguran tertulis, penghentian sementara dan pengurangan durasi. Namun dengan direvisinya undang-undang penyiaran melalui Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang memiliki aturan turunan dalam PP tentang Postel Siar, sanksi denda berada dalam urutan kedua. Dalam PP disebutkan kewenangan Kemenkominfo dan KPI terkait pengenaan sanksi. Kewenangan pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran sekarang ada di Kemenkominfo. KPI yang di undang-undang sebelumnya diberi kewenangan pencabutan izin, sekarang tidak lagi. Hanya dapat memberi rekomendasi pencabutan izin berdasarkan dua hal, yaitu tidak bersiaran dan pelanggaran isi siaran. Jika sanksi denda sudah berlaku, maka lembaga penyiaran yang mendapat sanksi tersebut akan berurusan dengan negara, bukan dengan KPI lagi, tegas Peri.
Febriyanto selaku KPID Lampung menyambut baik rencana penyusunan aturan terkait sanksi denda. Dalam pandangannya, regulasi ini dapat membantu penegakan aturan terkait konten lokal, sehingga peluang hadirnya keberagaman konten dan informasi bagi masyarakat, menjadi lebih terbuka. Febri pun menyampaikan beberapa pertanyaan pada penerapan sanksi denda pada kesalahan yang berulang, terutama tentang konten lokal. Dari KPID Sulawesi Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Riau dan Kalimantan Selatan, juga ikut menyampaikan beberapa pertanyaan teknis tentang sanksi denda ini. Termasuk tentang mekanisme penarikan denda tersebut dan kaitannya pada pendapatan daerah.
Pendapat berbeda disampaikan oleh perwakilan lembaga penyiaran dan asosiasi. Dari Kompas TV misalnya, Deddy Risnandi memaparkan kondisi industri penyiaran saat ini yang pendapatannya tergerus oleh media dengan platform internet yang belum ada regulasinya sama sekali. Senada dengan Kompas TV, Partogi Matondang dari MNC Group menilai keberadaan sanksi administratif denda ini tidak sejalan dengan apa yang menjadi cita-cita UUCK. Menurutnya, UUCK menginginkan iklim investasi yang sehat. “Tiba-tiba dari UUCK ini ada aturan yang sifatnya dapat membuat investor menjadi bimbang karena adanya aturan yang bersifat mengerikan,” ujarnya. Dari asosiasi televisi berharap, aturan ini dipertimbangkan kembali. Jangan sampai terburu-buru mengeluarkan aturan, tapi tidak melihat secara keseluruhan. Dia juga memaparkan simulasi penerapan denda tersebut yang dinilai akan menyulitkan pelaku di industri penyiaran, termasuk juga lembaga penyiaran swasta (LPS) lokal.
Sementara itu Candi Sinaga dari Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) mengungkap, kondisi saat ini sangat memprihatinkan untuk pelaku bisnis radio di Indonesia. Saat pandemi covid yang lalu, kami pernah meminta bantuan dari pemerintah untuk mendapatkan keringanan terkait beberapa hal. Misalnya, untuk penggunaan listrik yang tidak dikategorikan sebagai industri, agar beban biaya lebih ringan. Di samping itu, Candi menilai KPI tidak memberi gambaran yang jelas tentang kondisi penyiaran saat ini, khususnya radio, pada pembuat kebijakan pemungut cukai. “Kalau buat radio sebenarnya, semua no issue,” ujarnya. Pembatasan iklan maksimal 20% misalnya, buat radio saat ini bisa ditanyakan pada dua radio terbesar, iklannya tidak sampai 20%. Sedangkan untuk kewajiban Iklan Layanan Masyarakat (ILM), Candi mengungkap bahkan jatah iklan pun diisi oleh ILM, lantaran memang kurangnya pengiklan di radio. Lebih jauh, Candi menilai seharusnya revisi undang-undang penyiaran harus segera disahkan, agar ada perlakuan setara bagi seluruh pelaku media.
Sedangkan dari Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) menilai, kondisi saat ini memang membuat radio ditinggal oleh pendengar. Sedangkan bagi radio komunitas, andalan strategis adalah pendengar. Jika pendengar tidak ada, maka tidak ada lagi yang bisa diajak berbagi kewajiban BHP Frekuensi. Jika membahas sanksi denda untuk radio komunitas, JRKI berharap aturannya sampai nol rupiah.
Pada kesempatan tersebut, hadir pula Koordinator Bidang Pengelolaan Kebijakan dan Sistem Penyiaran KPI Pusat, Hasrul Hasan. Dalam proses penyusunan PKPI ini, Hasrul berharap dapat menghasilkan regulasi yang implementatif. Lewat diskusi ini, baik KPI atau pun lembaga penyiaran dapat bersepakat dan tidak ada lagi penolakan. Ruang diskusi atas aturan sanksi denda ini juga menurut Peri, masih sangat terbuka. “Termasuk dalam penentuan nilai indeks untuk setiap jenis pelanggaran yang ditetapkan dalam PP 43 tersebut,” ujarnya.
Thomas Bambang Pamungkas dari KPI DKI Jakarta selaku moderator mengatakan, LP diberi kesempatan mengusulkan pendapat sandingan atas PKPI untuk menghadirkan titik temu. Dia menegaskan semangat KPI adalah tetap menjaga industri penyiaran untuk tetap tumbuh dan berkembang, termasuk juga menjaga iklim persaingan yang sehat sebagaimana amanah undang-undang.
Sebagai penutup, Ubaidillah mengatakan, masukan dari LP pada diskusi ini akan memperkaya PKPI dalam mencapai titik temu yang mengakomodir kepentingan industri penyiaran dan regulator. Dia berharap, baik KPID atau pun asosiasi lembaga penyiaran berkomitmen untuk mengawal PKPI. Prinsipnya, bukanlah capaian PNBP miliaran. Kalau perlu PNBP ini nol rupiah, yang artinya semua taat pada regulasi, tegasnya.
Kebumen -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai keterlibatan masyarakat dalam mengawasi isi siaran sangat penting terlebih di saat proses kontestasi atau kampanye Pemilu sekarang. KPI Pusat dan sebagian KPID memiliki sistem pengawasan siaran, namun hal itu tidak sepenuhnya menjangkau semua lembaga penyiaran di Indonesia yang jumlahnya mencapai ribuan.
“Kami tentu tidak bisa menjangkau semua. Kami butuh dukungan masyarakat untuk bersama kami ikut melakukan pengawasan. Karena frekuensi ini adalah milik bersama yang juga menjadi tanggung jawab bersama,” ujar Anggota KPI Pusat Muhammad Hasrul Hasan, di sela-sela paparan di kegiatan Bimtek (Bimbingan Teknis) P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) untuk masyarakat di wilayah Kebumen, Jawa Tengah, Jumat (1/12/2023) lalu.
Tangggung jawab bersama ini adalah untuk mewujudkan siaran yang baik, bermanfaat dan tentunya aman bagi semua kalangan. Karenanya, peran serta berbagai pihak sangat diperlukan termasuk dari masyarakat. “Harapannya agar siaran ini bisa memberikan nilai positif bagi masyarakat Indonesia,” tambah Hasrul di depan seratusan peserta bimtek tersebut.
Dia juga menyampaikan komitmen arah penyiaran di tanah air yang semuanya bermuara pada nilai-nilai moral dan keagamaan. Karenanya, KPI mengarahkan penyiaran nasional sejalan dengan aturan yang berlaku agar beretika, berbudaya dan bermartabat.
Terkait pengawasan siaran terutama di masa kampanye pemilu, Anggota KPI Pusat Mimah Susanti mengajak masyarakat untuk aktif melakukan pemantauan jalannya kampanye di TV dan radio. Menurutnya, pengawasan ini bagian dari peran serta masyarakat dalam mewujudkan siaran pemilu yang adil, proporsional dan transparan.
Kendati demikian, Mimah menegaskan agar masyarakat tetap menjadikan informasi dari media penyiaran sebagai rujukan. Soalnya, informasi dari media ini dapat dipastikan kebenaran sumber informasinya dan di bawah pengawasan KPI.
Perkembangan media barunya turut disinggung Anggota KPI Pusat bidang Kelembagaan ini. Menurutnya, media lama seperti TV dan radio menghadapi kompetisi yang tidak seimbang. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya regulasi yang memayungi dari hadirnya media baru tersebut. “Media ini tidak ada aturannya dan tidak menjadi pengawasan kami,” ungkap Mimah Susanti.
Sementara itu, Anggota KPI Pusat Aliyah, meminta masyarakat untuk melaporkan ke KPI (KPI Pusat dan KPID) jika menemukan adanya pelanggaran dalam siaran TV dan radio. “Nantinya akan kami proses, analisa, dan tentunya akan kami tindak jika data aduan yang diberikan valid, bukan buzzer. Pengaduan bisa melalui website, email, facebook, instagram, twitter, dan whatsapp kami,” katanya.
Dalam kegiatan bimtek ini, turut hadir Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, Ketua KPI Pusat Ubaidillah, dan Anggota KPI Pusat Tulus Santoso. Dalam kesempatan itu, Wakil Ketua Komisi I ikut memberikan sambutan bersama dengan Ketua KPI Pusat. Sebelumnya, kegiatan ini dibuka dengan laporan dari Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat. ***
Tangerang – Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi menyebabkan adanya disrupsi media. Hal ini menuntut semua eleman masyarakat untuk beradaptasi, termasuk kalangan penyiaran.
Terkait hal itu, Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Amin Shabana mengungkapkan kabar baik bagi para pegiatan konten. Dia menyampaikan bahwa saat ini sistem penyiaran nasional di tanah air telah berganti dari siaran analog ke siaran digital.
Peralihan ini, lanjutnya, meningkatkan kualitas dari sistem penyiaran. Tidak hanya dari segi kebutuhan konten, juga dari sisi alokasi penggunaan frekuensi siarannya. Siaran digital dapat menampung 12 saluran standar, 6 saluran dengan kualitas tinggi dan 4 saluran biasa.
Sementara bagi lembaga penyiaran, peralihan ini akan membuat industri penyiaran menjadi lebih siap bersaing dengan media lain. Hal ini melalui adopsi teknologi baru dan pemanfaatan multi kanal siaran.
“Penyiaran digital sangat penting. Ragam keuntungan yang dimiliki. Kalau dahulu satu frekuensi hanya satu kanal. Saat ini bisa 12 kanal. Ini memberikan banyak kesempatan perusahaan tumbuh. Berdasarkan catatan setelah Analog Switch Off (ASO), muncul sekitar 3000-an media penyiaran yang ingin mendapatkan izin. Dan itu artinya dari 3000 ada 1300 perusahaan TV baru yang antri mendapatkan IPP (izin penyelenggaraan penyiaran), sisanya radio digital,” kata Amin saat menjadi narsumber dalam kegiatan Diskusi Publik dengan tema “Tantangan Penyiaran Di Era Digital” di Aula Fisip Universitas Muhammadiyah Jakarta, Tangerang Selatan, Senin (2/12/2023).
Amin juga mengatakan peluang lain terkait kebutuhan konten yang patut jadi perhatian. Peluang ini didukung melimpahnya sumber daya alam yang dimiliki Indonesia yang akan mengakomodir kebutuhan konten tersebut. Selama ini, ujarnya, porsi-porsi konten tersebut masih minim semisal konten lokal.
“Pemahaman budaya lokal dalam ruang penyiaran. Kemudian, konten lokal 10 persen disiarkan membutuhkan konten kreatornya sendiri. Ini peluang bagi setiap orang yang memiliki minat sebagai content creator di daerahnya masing-masing. Ini berlaku tidak hanya bagi mahasiswa lulusan penyiaran,’’ kata Amin.
Dalam kesempatan itu, Praktisi Media Roni Tabroni menyampaikan hal senada. Menurutnya migrasi dari penyiaran analog ke digital memiliki berbagai manfaat bagi masyarakat, Dengan peralihan ke televisi digital, masyarakat mendapatkan lebih banyak pilihan siaran dan tentunya dapat dinikmati secara gratis tanpa adanya biaya berlangganan.
Dia menambahkan, penguasaan teknologi digital adalah keharusan bagi siapa pun yang ingin berkembang di dunia penyiaran. “Proses alih siar ini harus dimanfaatkan dengan baik oleh mahasiswa. Fleksibilitas dan keterbukaan terhadap inovasi adalah kunci untuk tetap relevan dan sukses di tengah perubahan yang berlangsung pesat di dunia media digital,” katanya
Dalam diskusi itu, turut hadir Dekan Fisip UMJ, Prof. Dr. Evi Satispi, Direktur Uji Kompetensi Wartawan UMJ, Dr. Tria Patrianti, Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah, Roni Tabroni, Pemerhati Media, Dr. Makroen Sanjaya dan di moderator oleh Dosen Fisip UMJ, Dr. Nani Nurani Muksin. Acara ini dihadiri oleh mahasiswa Fisip UMJ yang berlangsung secara tatap muka dan daring. Syahrullah
Jakarta -- Memperingati Hari Disabilitas Internasional 2023, Komisi Penyiaran Indonesia bersama Minikino, Pokja Disabilitas dan RRI (Radio Republik Indonesia) menggagas kampanye tayangan yang mudah diakses (accessible) bertajuk “Film Radio: Terobosan Keragaman Konten Radio yang Inklusi”. Program ini merupakan wujud kolaborasi industri penyiaran dan industri perfilman tanah air bagi kelompok disabilitas (khususnya tuna netra) di hari istimewanya.
Pada program ini diputar film pendek pemenang film pendek terbaik FFI 2020 berjudul Jemari yang Menari di Atas Luka-luka karya Putri Sarah Amelia.
Anggota KPI Pusat Amin Shabana menyampaikan, hal ini merupakan program pertama di dunia dengan menggandeng sinergitas industri penyiaran dan industri perfilman ramah disabilitas melalui ketersediaan konten yang mudah diakses.
“Film yang diputar merupakan film yang sudah dilengkapi dengan Audio Description bagi kelompok tuna netra. Program Film Radio di putar secara live di RRINet, RRI Pro 3 FM dan direlay oleh lebih 70 stasiun RRI seluruh Indonesia,” katanya.
Selain Amin Shabana, hadir narasumber lain yakni Edo Wulia (Minikino), Dr. Ariani Soekanwo (Anggota Koalisi Nasional Pokja DPO) dan Mistam (Direktur Program dan Produksi RRI).
Dalam kesempatan itu, Edo menyampaikan bahwa pihaknya melalui Minikino telah melakukan pengembangan karya film yang diputar secara bertahap bagi disabilitas di festival film yang digelar.
Sementara Dr. Ariani sangat menyambut inisiasi Film Radio yang memberikan ruang rekreasi baru bagi disabilitas, khususnya tuna netra. Adapun Mistam menyatakan perlunya pengembangan program ini secara berkelanjutan di RRI sekaligus memberikan kesempatan yang sama bagi kelompok disabilitas dalam mengakses informasi di radio.
Terakhir Amin mengajak seluruh kelompok masyarakat menjadi bagian dari kampanye bersama Industri Penyiaran dan Perfilman yang inklusi melalui program Film Radio. **
Dalam siaran tersebut, ada pembacaan interpretasi MRI oleh Jeng Ana alias Ina Sofiana yang menyebutkan segala macam terminologi medis secara salah tanpa adanya konfirmasi dari ahli radiolog maupun dokter. Ini tidak hanya penipuan tetapi juga pembodohan massal karena disiarkan di saluran TV nasional.