Cikarang - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) menandatangani Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MOU), tentang Sosialisasi Penyiaran Digital di Hotel Grand Zuri, Cikarang, Kamis (12/11/2020). Penandatanganan tersebut dilaksanakan bersamaan dengan Rakornas ATSDI yang dihadiri oleh para pegiat penyiaran digital, termasuk Ketua ATSDI dan Ketua KPI Pusat secara daring.
Dengan ditandatangani Nota Kesepahaman ini, KPI dan ATSDI menunjukkan semangat dan komitmen yang sama untuk merealisasikan ASO pada tahun 2022 sebagaimana yang dicanangkan dalam UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah ditandatangani Presiden, awal bulan ini.
“Unsur penting keberhasilan ASO adalah sosialisasi yang merata kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Hal ini dilakukan agar siaran yang sehat dan adil dapat terwujud di seluruh Indonesia khususnya di daerah yang sampai saat ini masih merupakan blankspot area,” kata Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, memberi sambutan di awal acara, Kamis (12/11/2020).
Dalam paparannya, Agung percaya bahwa lembaga penyiaran digital mampu bersaing dengan lembaga penyiaran eksisting. Beliau menyatakan asosiasi seperti ATSDI harus bisa bersaing dalam kancah penyiaran. “Content is King, but Platform is The Kingdom, meskipun konten itu adalah hal yang utama, namun platform adalah yang terutama,” katanya.
Menurut Agung, siaran televisi digital mulai digalakkan pemerintah Indonesia pada 2012. Sayangnya, belum banyak siaran televisi digital yang mengudara. Ketertinggalan Indonesia dalam penerapan ASO menjadi latar belakang untuk menciptakan proses migrasi dari analog ke digital agar berjalan dengan baik dan memberi manfaat semua pihak.
“Sistem penyiaran digital juga dipercaya dapat meningkatkan perekonomian masyarakat indonesia disamping meningkatkan daya saing industri penyiaran. Pemerintah juga mempunyai formula dan strategi yang tepat untuk menjamin informasi diterima dengan baik pada saat ASO (Analog Switch Off) 2022,” tutur Agung.
Dalam kesempatan yang sama, turut hadir Geryantika Kurnia dari Dirjen PPI Kemkominfo, serta lembaga penyiaran digital daerah. Dwi/*
Denpasar - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengapresiasi kontribusi Universitas Udayana pada Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang sudah digelar sejak lima tahun yang lalu. Penilaian dari akademisi di Bali ini membantu memperkaya hasil riset, sehingga dapat memberikan potret yang lebih utuh tentang aspirasi masyarakat terkait program siaran di televisi. Hal tersebut disampaikan Yuliandre Darwis, Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan saat membukan Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) Panel Ahli dalam Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi tahun 2020 periode kedua yang digelar secara virtual, (13/11).
Dalam riset tahun 2020 periode pertama yang berlangsung di semester pertama tahun ini, diperoleh nilai indeks yang paling tinggi sepanjang penyelenggaraan riset oleh KPI. Tidak hanya itu, dalam riset yang lalu didapati pula enam program siaran yang mencapai standar n
ilai indeks yang telah ditetapkan. Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa televisi pun mulai berbenah memperbaiki diri. Selain itu, riset yang dilakukan KPI bersama dua belas perguruan tinggi di dua belas kota besar di Indonesia semakin diperhitungkan oleh para pemasang iklan. “Tentunya juga berdampak besar bagi pengelola televisi, jika pemasang iklan sudah menjadikan hasil riset KPI sebagai acuan utamanya,” ujar Andre.
Sebagai sebuah program prioritas nasional yang ditetapkan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan KPI, targetnya riset ini dapat menghasilkan setidaknya tujuh program siaran memenuhi indeks siaran berkualitas. “Dan pada periode lalu, sudah tercapai enam program siaran!” papar Andre. Harapannya ke depan tentu saja, semakin banyak program siaran di televisi yang dapat mencapai nilai indeks terbaik.
Dalam kesempatan tersebut Andre menegaskan tentang kontribusi riset bagi dunia pendidikan. Yakni semakin banyaknya publikasi ilmiah di Indonesia, terutama mengenai penyiaran. Pasalnya, publikasi ilmiah di Indonesia begitu minim, meski sejak tahun 2017 Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi sudah menargetkan Indonesia berada di tingkat pertama publikasi se-ASEAN, baik publikasi nasional maupun internasional.
Dirinya berharap, di tataran publik, data riset ini dapat menjadi rujukan bagi masyarakat dalam memilih siaran televisi yang akan dinikmati. Diingatkan pula olehnya, bahwa tujuan diselenggarakannya penyiaran menurut undang-undang adalah memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal yang seperti ini tentu saja tidak dapat dilakukan sendiri oleh KPI. Guna mencapai tujuan ini, tambahkannya, harus menjalin sinergi dengan semua pihak, baik itu lembaga penyiaran, masyarakat sipil ataupun kalangan akademisi. Termasuk juga, Universitas Udayana yang terlibat dalam kegiatan Riset ini, pungkasnya.
Riset periode kedua di tahun 2020 tengah memasuki tahapan diskusi dengan informan ahli, dan digelar secara virtual bersama dua belas perguruan tinggi. KPI mengagendakan hasil riset tahun 2020 ini, akan diumumkan pada Desember 2020. Harapannya, hasil riset KPI ini semakin kuat memberikan pengaruh dalam memperbaiki kualitas program siaran televisi.
Yogyakarta -- Setelah sukses dilakukan di beberapa kota, kegiatan Sosialisasi dan Publikasi Menjaga Indonesia dan Perbatasan Melalui Penyiaran Televisi Digital kembali diselenggarakan di Yogyakarta, (12/11/20). Membuka kegiatan, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almashary, persiapan Analog Switich Off (ASO) pada 2022 menjadi dasar pentingnya kegiatan sosialisasi ini dan harus dilakukan secara massif.
“Sosialisasi mengenai ASO menjadi tantangan tersendiri bagi KPI. Meski demikian DPR RI akan tetap mendukung langkah KPI salah satunya melalui pengesahan revisi undang-undang penyiaran,” jelasnya.
Abdul Kharis mengapresiasi langkah KPI menggandeng Badan Aksesibilitas Teknologi dan Informasi (Bakti) melakukan sosialisasi kepada masyarakat di berbagai kota khususnya di wilayah perbatasan. Namun, dia mengingatkan sosialisasi ini harus dilakukan secara merata untuk berbagai kalangan dan jangan hanya kepada kalangan millenial tapi juga kepada orang tua.
“Tidak bisa dipungkiri istilah penyiaran digital masih menjadi hal yang jarang dipahami orang tua. Namun untuk kalangan muda atau millenial sebagaian besar sudah memahami penyiaran digital,” paparnya sekaligus membuka kegiatan.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, menyatakan KPI siap untuk secara massif melakukan sosialisasi kepada masyarakat. “Kami siap melakukan beberapa kegiatan guna mendukung sosialisasi penyiaran digital yang dimulai sejak tahun ini dan akan terus bergulir hingga beberapa tahun ke depan.”
Dia juga menyampaikan beberapa alasan mengenai pentingnya penyiaran digital diantaranya meratakan dan menyebarluaskan informasi kepada masyarakat khususnya bagi masyarakat di daerah perbatasan. Menurutnya, selama ini masyarakat di wilayah itu sering mendapat luberan siaran asing yang berpotensi mengikis rasa nasionalisme. “Kami percaya dengan siaran digital masyarakat dapat alternatif tayangan televisi yang beragam dan menumbuhkan rasa nasionalisme,” pungkasnya.
Kegiatan Virtual yang bekerjasama dengan Bakti, DPR dan Kominfo ini dihadiri beberapa narasumber di antaranya Anggota Komisi I DPR RI Dave Akbarshah Fikarno, Komisioner KPI Pusat Irsal Ambia, Kepala Divisi Lastmile Bakti Kominfo, Asisiten CEO Media Group Wayan Eka Putra serta akan dimoderatori oleh Artika Amalia serta dihadiri ratusan peserta secara Online. Vel/*
Yogyakarta - Pelaksanaan penyiaran digital diyakini mampu menghadirkan akses informasi yang setara bagi masyarakat di wilayah perbatasan dan wilayah blank spot yang selama ini belum dapat dilayani dengan optimal. Jika selama ini industri penyiaran banyak didominasi oleh pemain besar dari Jakarta, dengan sistem siaran digital ke depan tentunya akan memberi kesempatan bagi pelaku industri penyiaran lokal untuk berkiprah, termasuk masyarakat di wilayah perbatasan. “Dengan demikian akan didapat akses informasi yang setara,” ujar Irsal Ambia, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Koordinator Bidang Kelembagaan, saat menjadi narasumber dalam Sosialisasi dan Publikasi Menjaga Indonesia dan Perbatasan Melalui Sistem Penyiaran Digital, di Yogyakarta (12/11).
Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran menganut prinsip diversity of content, sebagai salah satu syarat terwujudnya demokratisasi penyiaran.Diversity of content atau keberagaman konten ini sangat dimungkinkan mewujud melalui pelaksanaan penyiaran digital yang memungkinkan semakin banyaknya pihak yang terlibat dalam industri penyiaran. Dipaparkan Irsal, kalau sekarang kita menonton satu kanal dengan satu stasiun, pada saat digitalisasi frekuensi yang dapat digunakan menjadi lebih banyak. “Sehingga semakin banyak pula siaran yang dapat dihasilkan dalan digitalisasi,” ujarnya. Dengan demikian prinsip diversity of content akan berjalan karena banyaknya program siaran yang hadir telah memberi keleluasaan untuk pemirsa memilih siaran yang baik dan sesuai.
Digitalisasi ini, ujar Irsal, membuka peluang lebih besar untuk keterlibatan industri penyiaran lokal. Kalau selama ini banyak pelaku industri penyiaran berasal dari Jakarta, lewat digitalisasi ini ke depan akan tumbuh ekosistem penyiaran lokal yang terdiri atas rumah produksi, pembuat konten kreatif lokal, serta sumber daya manusia (SDM) penyiaran lokal yang menopang industri penyiaran di setiap daerah.
KPI sendiri, ujar Irsal tentunya akan tetap melakukan pengawasan konten siaran, apapun platformnya. Termasuk pada televisi yang bersiaran secara digital, tambahnya. Konsekuensi bagi KPI tentu saja meningkatkan jumlah tim pemantauan dari yang selama ini sudah mencapai 200 orang untuk pengawasan televisi analog. Meskipun jumlah televisi yang dipantau menjadi lebih banyak, Irsal meyakini kualitas siaran ke depan tentunya menjadi lebih baik karena munculnya kompetisi yang ketat. Publik akan memiliki kemampuan literasi lebih baik, industri juga akan menyediakan program yang lebih berkualitas. Sehingga muncul titik temu antara keinginan publik dan industri terhadap program siaran yang bermanfaat baik secara konten ataupun secara ekonomi.
Hadir pula sebagai narasumber dalam sosialisasi tersebut Feriandi Mirza selaku Kepala Divisi Infrastruktur Lastmile/ Backhaul Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang memaparkan capaian pemerintah dalam pemerataan informasi di perbatasan melalui penyiaran digital. Menurut Feriandi, guna mendukung penyiaran digital, pemerintah akan membuat regulasi terkait migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital atau Analog Switch Off. Diantaranya tentang pengaturan penggunaan multiplekser (mux), seperti jumlah kanal siaran yang dapat digunakan dalam satu mux. “Kalau siaran yang digunakan adalah standar definition, akan didapat sampai 13 kanal. Namun kalau menggunakan high definition, hanya 7 hingga 9 kanal saja untuk satu mux,” ujarnya.
Aturan lain yang sedang disiapkan adalah tentang transparansi penawaran kerja sama dari penyelenggara mux kepada lembaga penyiaran. “Akan diatur tarif slot siaran, standar kualitas siaran, serta penomoran saluran siaran,”ungkap Andi. Regulasi tersebut juga akan mengatur agar jangan sampai penyelenggara mux ini menggunakan seluruh kapasitas mux untuk dirinya sendiri.
Terkait tarif, Andi memaparkan kalau di penyiaran dikenal pembagian daerah ekonomi maju dan daerah ekonomi kurang maju. Jadi mungkin nanti akan dibagi terkait kategorisasi sebuah wilayah layanan siara itu aka nada di daerah mana. “Tentu saja untuk daerah ekonomi kurang maju, tariff sewa multiplekser akan berbeda dengan yang berada di daerah ekonomi maju,” jelasnya. Pengaturan ini dimaksudkan agar penyelenggaraan mux berjalan dengan adil (non-discriminatory dan open access) dan juga transparan.
Mengenai kesiapan industri televisi dalam digitalisasi, Andi menilai baik lembaga penyiaran publik (LPP) maupun lembaga penyiaran swasta (LPS), untuk di lokasi yang komersial tidak terlalu banyak masalah. LPP TVRI sekarang sudah memiliki 120 pemancar televisi digital di seluruh daerah. Hal serupa juga sudah disiapkan oleh televisi swasta. Yang harus diperhatikan, ujar Andi, adalah lokasi yang tidak layak secara ekonomi. Pada daerah seperti itu, pemerintah akan melakukan intervensi seperi lewat BAKTI yang melakukan pengadaan pemancar televisi digital untuk TVRI.
Sementara itu menurut Wayan Eka Putra dari Metro TV yang hadir sebagai narasumber, pihaknya sudah siap untuk digitalisasi penyiaran sejak bertahun-tahun lalu. Bahkan pada tahun 2012, Metro TV sudah on air multipleksernya. Namun setelah adanya berbagai masalah kepastian regulasi penyiaran digital, peralatan untuk siaran digital tidak digunakan lagi. “Kalau bicara kesiapan, Metro TV siap!” tegas Wayan. Dirinya juga menceritakan kondisi dilematis saat pergantian peralatan siaran harus dilakukan sementara sistem yang berlaku masih analog. Namun demikian Metro TV tetap mendukung hadirnya penyiaran digital. Siaran digital Metro TV pertama kali mengudara di wilayah perbatasan, Nunukan, pada Agustus 2019. Sosialisasi penyiaran digital ini juga dihadiri Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Al Masyhari dan anggota Komisi I DPR RI Dave Akbarshah Fikarno. Penyelenggaraan sosialisasi merupakan kerja sama antara KPI dan BAKTI Kemenkominfo.
Yogyakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melihat digitalisasi penyiaran sebagai peluang pemerataan informasi. Meski harus diakui, digitalisasi juga memberikan bonus digital yang dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas. Pemerataan informasi tentunya sangat dibutuhkan untuk masyarakat yang tinggal di beranda depan negeri ini. Menurut Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, selama ini wilayah perbatasan antar negara yang menjadi beranda negara, banyak yang kesulitan mendapatkan informasi dari televisi teresterial indonesia. “Sehingga mereka memenuhi kebutuhannya melalui informasi yang tersedia dari siaran luar negeri,” ujarnya. Tak heran jika bahasa Upin Ipin dan mata uang ringgit jauh lebih popular di sana. Dengan digitalisasi ini, diharapkan kondisi seperti itu dapat ditanggulangi sehingga kita dapat menjaga Indonesia dengan sebenar-benarnya. Bukan saja dalam tataran ekonomi, tapi yang jauh lebih penting juga menjaga negeri ini dalam tataran budaya.
Hal tersebut disampaikan Mulyo saat memberikan sambutan dalam acara sosialisasi dan publikasi Menjaga Indonesia dan Perbatasan Melalui Penyiaran Televisi Digital, yang diselenggarakan KPI bekerja sama dengan Badan Aksesibilitas Teknologi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia di Yogyakarta (12/11).
Mulyo menyampaikan pula yang sering didengungkan selama ini adalah banyaknya wilayah blank spot yang belum terlayani siaran. “Kami sangat berharap dan yakin bahwa BAKTI dan Kominfo berkomitmen membantu wilayah tersebut yang selama ini tidak dilirik oleh pengelola televisi” ujanya. Tiadanya televisi yang terlibat di wilayah blankspot karena secara ekonomi wilayah itu tidak cukup menarik dan tidak cukup potensial, sehingga kemudian dilewatkan oleh televisi dalam pendirian tower antena. KPI juga berharap, dengan digitalisasi serta konsep yang diusung BAKTI dan Kemenkominfo dapat menempatkan pemancar dan penguat antena televisi teresterial di BTS-BTS (Base Transceiver Station) yang ada di wilayah blankspot. Hal ini tentunya akan semakin memperluas dan memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Digitalisasi penyiaran ini, ujar Mulyo, harus dapat dimaknai dengan hadirnya peluang bagi masyarakat mendapatkan alternatif siaran televisi yang jauh lebih beragam. Saat ini di Jakarta, sudah ada saluran televisi baru digital dengan format siaran bisnis, olah raga, dan da’wah. “Mudah-mudahan ke depan dapat diikuti dengan hadirnya televisi dengan format siaran pendidikan, anak-anak, dan olah raga yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia,” ucapnya. Karena program olah raga banyak diminati oleh masyarakat kita.
Bapak/Ibu KPI yang terhormat saya mengadukan hak saya sebagai warga negara yang memiliki banyak anak didik. Kebetulan saya seorang guru di SD N 2 Tanjung. Anak didik saya sering bermain berantem-beranteman menirukan sinetron anak langit. Saya pun jadi tertegun melihatnya, karena tak jarang salah satu anak menangis kena tendang temannya.
Setelah saya lihat di youtube ternyata banyak sekali adegan kekerasan di anak langit. Memang menarik sih seperti film action. Tapi kan ini yang banyak menonton anak-anak. Mungkin kalu ditayangkan jam 1 malam tidak masalah.
Oleh karena itu saya sangat minta kebijaksanaan dari KPI untuk melakukan sensor dan teguran dana tau memindahkan jam tayang Anak Langit
Supaya lebih jelas silahkan Bapak/Ibu lihat sejenak cuplikan anak langit berikut ini.
https://www.youtube.com/watch?v=Tth0uOQFP9k
Pertanyaanya pantaskah adegan seperti itu dinikmati anak didik kita?
Bapak/Ibu KPI yang terhormat, Saya mohon dengan sangat lihatlah sesekali sinetron anak langit supaya Bapak/Ibu menyaksikan sendiri betapa banyak adegan yang tidak patut disajikan bagi anak-anak kita.
Sinetron anak langit sepanjang tayangan berisikan adegan kekerasan dan balapan. Sangat mendominasi adegan yang tak pantas dilihat anak-anak dari pada adegan yang mendidik. Apakah ini suatu kesengajaan yang dibiarkan begitu saja? Kan jelas sekali dalam Pasal 10 intinya larangan menayangkan adegan kekerasan, perkelahian, darah, pengeroyokan. Sudah sangat jelas bisa disaksikan di tiap episode menayangkan seperti itu, mengapa masih saja di biarkan?
Coba Bapak/Ibu yang di KPI ini buka kembali Peraturan KPI Nomor 02 Tahun 2007 pasal 10. Menyajikan program yang mendorong kekerasan saja dilarang apa lagi membiarkan acara yang jelas gamblang menyajikan kekerasan, adu jotos, dan saling keroyok. Dimana petugas KPI ini sebenarnya?
Pemerintah saat ini sedang megupayakan penegakan perlindungan terhadap anak-anak tapi di lain pihak KPI malah membiarkan tayangan yang bisa membuat anak-anak saling tawuran. Sangat disayangkan.
Pojok Apresiasi
Priska Sicilia Amir
Saya mengapresiasi dan turut berterima kasih atas peran KPI dalam membangun penyiaran Indonesia. Program sinetron anak remaja yang bertajuk perintaan memang sangat tidak pantas tayang karena akan menimbulkan efek negatif terhadap anak-anak remaja. Kini memang Indonesia harus lebih keras dalam memilih konten tayangan yang layak disuguhkan apalagi di jam tertentu. terima kasih