Jakarta -- Komisi Penyiaran Pusat (KPI) mencatat pelanggaran oleh lembaga penyiaran selama Januari-Juni 2021 yang paling banyak terkait aturan tentang perlindungan kepada anak-anak dan remaja.
"Kita evaluasi karena program-programnya memang kurang sensitif terhadap anak. Angkanya sampai 48 persen," kata Komisioner KPI Mimah Santi dalam diskusi virtual Denpasar 12 bertemakan Kesetaraan Gender Sebagai Bagian dari Cita-Cita Pembangunan Berkelanjutan, Rabu (4/8/2021).
Kemudian pelanggaran penggolongan program siaran yang mencapai 26 persen. Lalu, pelanggaran penghormatan terhadap norma kesopanan dan kesusilaan sebesar 12 persen.
"Ini memang menjadi concern kita. Di tahun belakangan ini, angka ini (tiga pelanggaran penyiaran) memang cenderung tinggi dan ini menjadi perhatian kita," papar dia.
Mimah menyebut KPI telah mengupayakan sejumlah hal untuk mengatasi pelanggaran tersebut. Antara lain, mengedukasi masyarakat memilih program siaran yang berkualitas dan baik.
"Sehingga ke depan sudah tidak lagi menemukan pelanggaran tersebut," sebut Mimah.
KPI juga tengah merevisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Revisi untuk meningkatkan perlindungan terhadap perempuan, anak-anak, dan remaja.
"Ada pasal khusus untuk melindungi perempuan, anak, dan remaja," ujar dia. Red dari medcom.id
Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyampaikan apresiasi kepada seluruh peserta Sekolah P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) yang telah mengikuti kegiatan ini sejak Jumat (30/7/2021) hingga Sabtu (31/7/2021). KPI berharap pengetahuan dan ilmu yang diperoleh dalam sekolah singkat ini dapat meningkatkan kualitas dan kemampuan insan penyiaran terutama terkait pemahaman aturan penyiaran yakni P3SPS dan UU Penyiaran.
“Saya menyampaikan apresiasi kepada peserta yang luarbiasa telah mengikuti hal ini dari awal dan akhir. Apresiasi saya sampaikan untuk ATSDI dan Ketua Eris Munandar juga Sekjen ATSDI. Harapan saya, semoga melalui sekolah ini dapat menyiapkan teman teman di ATSDI memasuki era digital, era dimana semakin banyak konten yang beragam dengan harapan makin berkualitas. Kami harap dengan kegiatan dapat meningkatkan kualitas siaran khususnya di ATSDI sehingga ada alternatif konten siaran yang baik dan berkualitas,” kata Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, saat menutup kegiatan Sekolah P3SPS KPI secara daring ini, Sabtu (31/7/2021) sore.
Sebelum ditutup, para peserta sekolah yang berjumlah 111 mengikuti ujian akhir sebagai salah satu syarat kelulusan. Bentuk ujian yang diberikan berupa tes studi kasus dari cuplikan tayangan. Berdasarkan hasil ujian itu serta penilaian keaktifan dan kedisiplinan, sebanyak 93 peserta dinyatakan lulus. Adapun 18 peserta dinyatakan tidak lulus.
Dari semua peserta yang dinyatakan lulus, KPI menetapkan 3 orang lulusan terbaik Sekolah P3SPS yakni Silvya Wulan, Denny Chandra dan Murdiansyah. Pada kesempatan itu, mereka dimintakan kesan dan pesannya terhadap kegiatan sekolah P3SPS KPI hasil kerjasama dengan ATSDI (Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia).
Silvya Wulan yang berasal dari Lampung menyatakan terimakasih atas kesempatan yang diberikan KPI untuk ikut kegiatan sekolah ini. Menurutnya, semua materi yang diberikan sarat manfaat dan ilmu.
“Kesan terhadap narasumber, terutama dari KPI dan ATSDI, semuanya sangat menarik dalam pemaparan dan kita cukup terbantu untuk menambah keilmuan terutama dalam bidang penyiaran. Juga untuk panitianya sangat responsif dan cekatan. Semuanya keren,” katanya dan berharap kegiatan seperti ini terus diadakan agar dapat membantu insan penyiaran lebih fasih pemahamannya terhadap regulasi yang ada.
Hal senada juga disampaikan Denny Chandra, peserta terbaik sekolah P3SPS dari Inspira TV. Dia menyampaikan seluruh materi yang diberikan sangat berguna bagi dirinya. Menurutnya, kegiatan seperti ini sangat baik bagi pekerja di bidang penyiaran.
“Terimakasih atas kesepatan yang diberikan kepada kita pekerja industri penyiaran untuk ilmu barunya dan memperdalam P3SPS. Untuk pemateri terima kasih dan materi yang diberikan jos-jos semua dan luar biasa jadi menambah wawasan kita. Kami jadi ada sudut pandang baru,” tukasnya.
Denny juga menyampaikan, keikutsertaan ATSDI dalam sekolah ini merupakan komitmen dalam rangka menyambut ASO (Analog Switch Off) atau digitalisasi penyiaran di Indonesia. “Jadi ini merupakan suatu langkah untuk meningkatkan SDM kita supaya lebih siap dan berakselerasi di dunia digital,” paparnya.
Sementara itu, perserta terbaik lainnnya, Murdiansyah menyatakan, keikutsertaan dalam sekolah ini telah mengubah cara pandangnya. “Jujur saja ketika saya mengikuti sekolah ini jadi merubah apa yang saya pikirkan. Ternyata yang selama ini menurut saya baik belum tentu baik untuk masyarakat,” kata dia.
Menurut Murdiannsyah, setelah sekolah ini ada sebuah pesan penting bahwa setiap informasi yang kita sampaikan ke publik harus kaya manfaat dan meliterasi. “Terkait pasal-pasal, saya ini orang yang sulit menerima pasal karena terlalu banyak. Saya acuh tak acuh. Tapi di sini (Sekolah P3SPS) sedikit demi sedikit saya jadi lebih paham. Terima kasih kepada semua rekan-rekan di sini. Pesan saya tidak ada yang tidak bisa, dengan mendengar dan membuka diri kita bisa menerima hal itu,” tandasnya. ***/Editor:MR
Jakarta -- Pertimbangan dampak dari tayangan terhadap penonton menjadi hal yang mengemuka pada saat pemaparan materi sesi kedua kegiatan Sekolah P3SPS KPI dan ATSDI (Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia), Jumat (30/7/2021). Pemahaman soal aturan siaran dan kehati-hati sebelum menayangkan sebuah program siaran adalah keniscayaan untuk menepis dampak negatif dari siaran tersebut.
Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, menyatakan secara prinsip program acara harus memenuhi rasa nyaman, aman, manfaat, serta enak ditonton. Karena itu, pernik-pernik yang dianggap mencemari kenyamanan dan keamanan penonton harus diminimalisir pihak TV sebelum ditayangkan.
“Prinsipnya kalau bisa dibuat nyaman artinya tidak banyak ada pelanggaran. Siaran itu pun harus layak untuk anak dan remaja,” kata Mulyo Hadi kepada ppara peserta Sekolah P3SPS yang sebagian besar jurnalis dan kru produksi TV di bawah naungan ATSDI.
Menurut Komisioner bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat ini, setiap program harus ada aspek kemanfaatan dan mengandung nilai (value) yang baik. Sayangnya, lanjut Mulyo, belum banyak program siaran TV yang menempatkan kedua faktor tersebut dalam program acaranya.
“Nilai yang ada di setiap program harus disajikan. Penonton harus mendapat pesan baik tersebut dari setiap acara yang mereka tonton. Saya pikir hal ini yang harus ditingkatkan dan karena itu kami mengharapkan kepada ATSDI dapat meningkatkan nilai-nilai tersebut dalam tayangannya,” ujarnya.
Dalam pemaparan, Mulyo menyinggung siaran berbau kekerasan dalam program acara TV. Menurutnya, pemahaman aturan penyiaran tentang kekerasan dalam siaran dan kehati-hatian menjadi kunci untuk agar tidak terjadi pelanggaran.
“Kami mengingatkan untuk tidak mengeksploitasi siaran kekerasan meskipun itu gimik seperti di acara variety show. Apa nilai atas adanya muatan kekerasan itu dan apa yang bisa didapatkan masyarakat. Jangan hanya semata-mata untuk bumbu agar program itu menarik lalu mengeksploitasi hal itu,” tukas Mulyo.
Visualisasi kekerasan secara hati hati dan tidak eksplisit untuk menghindari peniruan oleh penonton terutama anak-anak dan remaja. Lembaga penyiaran harus menghitung dan memastikan secara tepat persentase kandungan kekerasan dalam tayangan terutama pada jam anak dan remaja menonton. Alangkah baiknya, jika selama waktu menonton anak dan remaja terbebas dari muatan kekerasan.
“Kita tidak ingin muatan kekerasan ditayangkan secara jelas. Anak dan remaja jangan sampai meniru hal ini,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Mulyo menekankan pentingnya negasi dalam setiap tayangan atas tindakan kekerasan dalam siaran. “Jadi tidak hanya produk kekerasannya saja yang ditampilkan. Makanya fungsi negasinya yang harus di kedepankan. Misalnya, ada negasi dari pihak yang berwenang. Bahwa atas kekerasan tersebut telah ditindak dengan proses hukum yang beradilan. Ini menjadi ukuran bahwa program tersebut mendapatkan sanksi atau tidak,” jelasnya.
Mulyo juga mengingatkan kru TV untuk memperhatikan jam tayang yang tepat khususnya untuk program yang mendapatkan STLS (Surat Tanda Lulus Sensor) dari Lembaga Sensor Film (LSF). Banyak lembaga penyiaran yang memanfaatkan perbedaan batas usia klasifikasi dewasa. “Jangan sampai STLS D-17 dari LSF ditayangkan di sembarang jam. LSF sudah memberi warning ada kecenderungan muatan dewasa di dalamnya” tegasnya. ***/Editor:MR
Jakarta -- Hari kedua Sekolah P3SPS, Sabtu (31/7/2021) diisi dengan pemaparan materi tentang perlindungan terhadap anak, remaja dan perempuan serta seksualitas dalam isi siaran. Materi ini diisi oleh Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti dan Nuning Rodiyah.
Dalam paparannya, Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti, menjelaskan tentang kewenangan KPI dalam pengawasan penyiaran terhadap lembaga penyiaran dimulai pada saat tayangan tersebut disiarkan. Pernyataan ini sekaligus menjawab pertanyaan publik yang sering dilayangkan ke KPI, kenapa kewenangan tersebut tidak dimulai pada saat sebelum tayang.
“KPI itu bekerja pasca ditayangkan. Setelah disiarkan TV dan radio baru kita kerja. Perjalanan program siaran itu ternyataa panjang. Ini untuk pengetahuan supaya tidak ada perdebatan mengenai ini,” kata Mimah yang juga Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat.
Dia juga menjabarkan tentang siapa atau lembaga mana yang berwenang melakukan sensor terhadap konten sebelum tayangan tersebut ditayangkan. Misalnya untuk tayangan film dan sinetron. Materi program acara ini harus memperoleh STLS (Surat Tanda Lulus Sensor) dari Lembaga Sensor Film (LSF) sebelum tayang di TV.
“Setelah itu ada quality control dan ada proses editing. Jika ada gambar atau kata yang tidak pantas akan di blur atau di bib. Proses tersebut merupakan proses internalisasi di lembaga penyiaran sebelum ditayangkan. Ketika sudah ditayangkan, argo yang jalan sudah di P3SPS. Dan, di dalam peraturan kita, walau sudah ada STLS tidak serta merta menghilangkan kewajiban yang lain,” jelas Mimah Susanti.
Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, menyampaikan pentingnya perlindungan anak dan perempuan dalam siaran. Selain itu, dia juga menekankan perihal pemberdayaan perempuan dalam semua aspek penyiaran.
“Lembaga penyiaran harus menjadi medium advokasi perlindungan bagi anak dan pemberdayaan untuk kaum perempuan selain juga tetap menegakkan fungsi edukasi kepada masyarakat,” kata Nuning.
Menurutnya, advokasi ini dapat dilakukan lewat pemberitaan yang menampilkan upaya penegakan hukum atas kasus perempuan dan anak, maupun muatan berita yang meningkatkan kepedulian masyarakat terharap perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan. Selain program berita, dia juga berharap hal ini diterapkan dalam setiap produksi program siaran, baik berupa sinetron, infotainment, variety show atau dan program siaran lainnya selalu menunjukkan prinsip yang mendukung perlindungan anak dan perempuan. “Negasi yang dilakukan jangan hanya tipis. Hal ini untuk meminimalisir penekanan terhadap perempuan,” ujarnya.
Dalam pemaparannya, Nuning menayangkan cuplikan sejumlah tayangan untuk dikomentari para peserta sekolah. Para peserta sangat antusias memberikan pandangan dan pendapat mereka terhadap cuplikan tayangan tersebut. Selain itu, mereka banyak bertanya terkait berbagai hal persoalan dan isu yang viral belakang ini. ***/Editor:MR
Jakarta -- Kemajuan teknologi dan berkembangnya media baru menyebabkan semua orang bisa memproduksi sekaligus menyampaikan informasi ke masyarakat tanpa harus melalui, atau bahkan memiliki institusi media resmi. Situasi ini dikenal sebagai era disrupsi informasi, yang sedikit banyak mengubah alur informasi media lama menjadi lebih cepat supaya mampu mengimbangi kecepatan informasi dari media baru.
Meskipun harus berjibaku dengan media baru seperti sosial media, media massa konvensional seperti media TV dan radio tidak lantas mengorbankan prinsip-prinsip jurnalistik dalam produksi program berita. Fungsi chek dan rechek, tunduk pada etika dan aturan yang berlaku, hingga memastikan ketepatan informasi harus senantiasa menjadi komitmen para jurnalis. Harapannya insan jurnalistik dan pers tetap dipercaya sebagai instrumen kontrol sosial, pilar ke empat demokrasi serta akselerator perubahan.
Pandangan tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, saat menjadi pemateri pertama kegiatan Sekolah P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) secara daring yang diselenggarakan KPI Pusat bersama Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI), Jumat (30/7/2021).
“Dinamika seperti ini menjadi tantangan media lama atau konvensional. Setiap menit terdapat jutaan informasi yang diposting di intenet melalui berbagai aplikasi. Informasi menjadi sangat cepat tersebar dan dalam skala yang luas. Namun untuk menjadikan berbagai informasi tersebut sebagai berita harus tetap melalui proses jurnalistik yang benar. Kecepatan untuk membuat berita harus disertai dengan ketepatan. Informasi yang viral, harus dilihat kemanfaatanya sebelum dijadikan topik pemberitaan. Karenanya, KPI menekankan seluruh program siaran jurnalisitik di lembaga penyiaran harus senantiasa berada pada koridor kode etik jurnalistik dan P3SPS, serta berorientasi kepentingan publik,” ujar Hardly.
Informasi jurnalistik bisa didapat dari manapun, baik dari masyarakat, media lain, sumber anonim, dokumen yang diperoleh, fakta dari lapangan, maupun media sosial. Menurut Hardly, hal itu tidak jadi masalah asalkan diproses dengan menggunakan kaidah jurnalistik. Jangan sampai peran jurnalis tidak ada bedanya dengan masyarakat biasa atau netizen.
“Terkait video yang viral melalui sosial media yang akan dijadikan berita, harus melalui proses verifikasi informasi yang meliputi 5W1H, serta cover both side. Semua pihak yang terkait dengan peristiwa yang viral, sejauh mungkin mendapat kesempatan untuk menyampaikan informasi,” kata Hardly.
Dalam kesempatan itu, Hardly menegaskan jika kerja insan pers dilindungi oleh UU yang memberikan kebebasan untuk mendapatkan dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Namun dia mengingatkan bahwa kebebasan tersebut harus disertai dengan tanggungjawab. Dalam konteks itulah dilakukan pengaturan program siaran jurnalistik dalam P3SPS. “Sehingga media penyiaran dapat menjadi kontrol sosial, sekaligus instrumen kohesi sosial. Dapat menyampaikan kritik yang konstruktif,” tuturnya.
Hardly juga menjelaskan kepada para peserta soal pengaturan siaran jurnalistik dalam penyiaran. Menurutnya, pengaturan ini untuk meminimalisir ada produk jurnalistik yang mengandung hoaks, ujaran kebencian dan SARA. “Jika sudah ada kalimat makian, infomasi yang tidak benar dan menyinggung SARA maka akan kami beri sanksi. Saat ini, sejauh pengawasan kami, produk berita atau jurnalistik di lembaga penyiaran aman dari hal-hal itu,” ungkapnya.
Namun begitu, pada dasarnya prinsip dalam penyiaran tidak berbeda dengan UU Pers yakni mengedepankan kebebasan berekspresi dan tetap bisa menyampaikan apa saja selama masih dalam koridor aturan.
Terkait pengawasan yang dilakukan oleh KPI, Hardly menjelaskan bahwa dilakukan setelah tayang, bukan sebelumnya. Melalui mekanisme pemantauan langsung dan juga pengaduan masyarakat. Jika pengawasan dilakukan sebelum tayang, itu berarti kembali pada sistem otoritarian seperti dulu. "Saya juga berharap lembaga penyiaran khususnya yang tergabung dalam ATSDI bisa menjadi pencernih informasi di era digital. Harus menjadi penyeimbang informasi yang ada di media sosial. Kami pun berharap ATSDI, membekali hal-hal ini, bisa dimengerti dan dipahami oleh insan penyiaran agar informasi yang disampaikan kepada masyarakat, bisa bermanfaat dan berkualitas,” pinta Hardly.
Disela-sela paparannya, Hardly menayangkan sejumlah contoh tayangan jurnalistik yang melanggar kepada para peserta dan meminta mereka menanggapinya. Sejumlah peserta antusias menyampaikan pandangan mereka terhadap contoh tayangan sehingga proses diskusi dan pembelajaran berjalan menarik dan dinamis. Selain mendapatkan materi jurnalistik, para peserta memperoleh materi tentang kekerasan di hari pertama mereka sekolah P3SPS. ***/Editor:MR
Selamat malam kepada Yth. Bapak/Ibu pimpinan KPI, mohon maaf situs ini saya pinjam sebentar untuk mengungkapkan pelaku tragedi Bintaro (Kereta Api Indonesia) tahun 1986 atas nama mbak Tutut dan mas Tommy Wahyu Prakoso-kota Probolinggo di masa mudanya.