Jakarta -- Kemajuan teknologi dan berkembangnya media baru menyebabkan semua orang bisa memproduksi sekaligus menyampaikan informasi ke masyarakat tanpa harus melalui, atau bahkan memiliki institusi media resmi. Situasi ini dikenal sebagai era disrupsi informasi, yang sedikit banyak mengubah alur informasi media lama menjadi lebih cepat supaya mampu mengimbangi kecepatan informasi dari media baru.
Meskipun harus berjibaku dengan media baru seperti sosial media, media massa konvensional seperti media TV dan radio tidak lantas mengorbankan prinsip-prinsip jurnalistik dalam produksi program berita. Fungsi chek dan rechek, tunduk pada etika dan aturan yang berlaku, hingga memastikan ketepatan informasi harus senantiasa menjadi komitmen para jurnalis. Harapannya insan jurnalistik dan pers tetap dipercaya sebagai instrumen kontrol sosial, pilar ke empat demokrasi serta akselerator perubahan.
Pandangan tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, saat menjadi pemateri pertama kegiatan Sekolah P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) secara daring yang diselenggarakan KPI Pusat bersama Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI), Jumat (30/7/2021).
“Dinamika seperti ini menjadi tantangan media lama atau konvensional. Setiap menit terdapat jutaan informasi yang diposting di intenet melalui berbagai aplikasi. Informasi menjadi sangat cepat tersebar dan dalam skala yang luas. Namun untuk menjadikan berbagai informasi tersebut sebagai berita harus tetap melalui proses jurnalistik yang benar. Kecepatan untuk membuat berita harus disertai dengan ketepatan. Informasi yang viral, harus dilihat kemanfaatanya sebelum dijadikan topik pemberitaan. Karenanya, KPI menekankan seluruh program siaran jurnalisitik di lembaga penyiaran harus senantiasa berada pada koridor kode etik jurnalistik dan P3SPS, serta berorientasi kepentingan publik,” ujar Hardly.
Informasi jurnalistik bisa didapat dari manapun, baik dari masyarakat, media lain, sumber anonim, dokumen yang diperoleh, fakta dari lapangan, maupun media sosial. Menurut Hardly, hal itu tidak jadi masalah asalkan diproses dengan menggunakan kaidah jurnalistik. Jangan sampai peran jurnalis tidak ada bedanya dengan masyarakat biasa atau netizen.
“Terkait video yang viral melalui sosial media yang akan dijadikan berita, harus melalui proses verifikasi informasi yang meliputi 5W1H, serta cover both side. Semua pihak yang terkait dengan peristiwa yang viral, sejauh mungkin mendapat kesempatan untuk menyampaikan informasi,” kata Hardly.
Dalam kesempatan itu, Hardly menegaskan jika kerja insan pers dilindungi oleh UU yang memberikan kebebasan untuk mendapatkan dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Namun dia mengingatkan bahwa kebebasan tersebut harus disertai dengan tanggungjawab. Dalam konteks itulah dilakukan pengaturan program siaran jurnalistik dalam P3SPS. “Sehingga media penyiaran dapat menjadi kontrol sosial, sekaligus instrumen kohesi sosial. Dapat menyampaikan kritik yang konstruktif,” tuturnya.
Hardly juga menjelaskan kepada para peserta soal pengaturan siaran jurnalistik dalam penyiaran. Menurutnya, pengaturan ini untuk meminimalisir ada produk jurnalistik yang mengandung hoaks, ujaran kebencian dan SARA. “Jika sudah ada kalimat makian, infomasi yang tidak benar dan menyinggung SARA maka akan kami beri sanksi. Saat ini, sejauh pengawasan kami, produk berita atau jurnalistik di lembaga penyiaran aman dari hal-hal itu,” ungkapnya.
Namun begitu, pada dasarnya prinsip dalam penyiaran tidak berbeda dengan UU Pers yakni mengedepankan kebebasan berekspresi dan tetap bisa menyampaikan apa saja selama masih dalam koridor aturan.
Terkait pengawasan yang dilakukan oleh KPI, Hardly menjelaskan bahwa dilakukan setelah tayang, bukan sebelumnya. Melalui mekanisme pemantauan langsung dan juga pengaduan masyarakat. Jika pengawasan dilakukan sebelum tayang, itu berarti kembali pada sistem otoritarian seperti dulu. "Saya juga berharap lembaga penyiaran khususnya yang tergabung dalam ATSDI bisa menjadi pencernih informasi di era digital. Harus menjadi penyeimbang informasi yang ada di media sosial. Kami pun berharap ATSDI, membekali hal-hal ini, bisa dimengerti dan dipahami oleh insan penyiaran agar informasi yang disampaikan kepada masyarakat, bisa bermanfaat dan berkualitas,” pinta Hardly.
Disela-sela paparannya, Hardly menayangkan sejumlah contoh tayangan jurnalistik yang melanggar kepada para peserta dan meminta mereka menanggapinya. Sejumlah peserta antusias menyampaikan pandangan mereka terhadap contoh tayangan sehingga proses diskusi dan pembelajaran berjalan menarik dan dinamis. Selain mendapatkan materi jurnalistik, para peserta memperoleh materi tentang kekerasan di hari pertama mereka sekolah P3SPS. ***/Editor:MR