- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 4908
Tarakan -- Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang menjadi program prioritas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ditujukan melecut penyadaran masyarakat Indonesia untuk kritis dan cerdas memilih tayangan atau siaran media yang baik, tepat dan bermanfaat.
Gerakan literasi yang sudah dicanangkan KPI sejak 2020 lalu ini juga difokuskan mencetak agen-agen literasi di berbagai elemen yang ada di kalangan pendidikan atau akademis hingga kelompok masyarakat. Mereka nantinya menjadi kepanjangan tangan KPI sebagai penyampai pesan-pesan literasi kepada masyarakat. Kapasitas literasi itu harus dimiliki oleh siapapun tanpa terkecuali.
Pencetus GLPS sekaligus Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, menyatakan niat kegiatan ini adalah membentuk masyarakat Indonesia yang cerdas. Cerdas di sini artinya masyarakat memiliki kemampuan menilai, memfilter, dan bisa menanggapi dalam koridor yang positif setiap siaran atau tayangan yang mereka terima atau nikmati. Selain juga ikut berpartisipasi membentuk siaran yang berkualitas.
“Bukan berarti pencerdasan ini mengajak masyarakat untuk tidak nonton TV atau matikan TV jika ada tayangan yang tidak sesuai atau buruk. Tapi bagaimana kita mengarahkan mereka untuk dapat mengalihkannya dengan memilih dan menikmati siaran atau tayangan yang baik, manfaat dan pantas. Artinya, hal ini juga akan memberi efek yang positif terhadap perkembangan TV atau radio tersebut. Bagaimanapun, KPI bertanggungjawab terhadap perkembangan lembaga penyiaran di tanah air,” kata Nuning di sela-sela kegiatan GLSP di Universitas Borneo Tarakan, Kota Tarakan, Kalimantan Utara, Kamis (3/2/2022).
Menurutnya, permasalahan tayangan itu ada pada kebutuhan pasar atau apa yang menjadi konsumsi masyarakat dan pengiklan. Publik gemarnya siaran atau tayangan seperti apa dan disitulah iklan ikut membuntuti.
Karenanya, lanjut Nuning, nilai-nilai positif ini harus terus dikedepankan dan didorong lewat gerakan literasi semacam ini. Supaya setiap orang bisa menyampaikan atau bicara apa yang baik dari siaran atau tayangan yang mereka terima.
“Sampaikan kembali apa yang baik-baik itu. Posting atau viralkan hal-hal baik tersebut dan yang baik lainnya. Jangan sungkan memberi apresiasi pada program yang baik. Dengan begitu, kita sudah membentuk budaya masyarakat yang baik pula dan tentunya membuat penasaran orang lain untuk melihat,” ajaknya kepada peserta literasi yang sebagian besar mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Borneo Tarakan.
Nuning juga menyinggung peran orangtua dalam membimbing anak-anak pada saat menonton TV. Menurutnya, setiap program acara TV telah terklasifikasi jenis penontonnya seperti D untuk Dewasa, R untuk remaja, SU untuk semua usia, hingga klasifikasi A bagi anak. Jadi, ketika ada tayangan berklasifikasi D kemudian anak didiamkan menonton, hal ini tentu ada yang salah pada pengawasnya.
“Karena itu, kami mengajak adek-adek semua untuk mengindentifikasi hal ini. D itu untuk siaran dewasa dan tayang pada jam 10 atau pukul 22.00 malam ke atas. Tidak boleh ditonton anak di bawah umur. Tidak boleh ada toleransi apapun soal ini. Ini adalah petunjuk yang harus diikuti,” tegas wanita yang aktif membela kepentingan anak dan perempuan dalam siaran ini.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Dekan Fakultas Hukum UBT, Nurasikin, menyampaikan kebutuhan informasi merupakan hak setiap warga negara. Namun dia menggarisbawahi informasi yang disampaikan dan menjadi kebutuhan masyarakat adalah yang memiliki nilai manfaat dan mendidik. “Tayangan itu harus memiliki nilai-nilai yang memberi edukasi bagi penontonnya,” katanya di acara literasi tersebut.
Sementara itu, sejumlah mahasiswa yang hadir meminta kepada lembaga penyiaran lebih banyak membuat tayangan yang berbobot dan berkualitas dari segi isi. Mereka mengeluhkan masih adanya TV yang menayangkan atau mengundang seleb-seleb yang viral di media sosial karena hal yang tidak memiliki nilai pendidikan. “Kembalikan fungsi TV yang sebenarnya. Jangan gelap mata karena rating,” tutup Yuni yang disambut tepuk tangan peserta lain. ***/Editor: MR/Foto: AR