Solo -- Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berjanji akan menyelesaikan revisi UU Penyiaran No.32 Tahun 2002 pada tahun ini. Penguatan kelembagaan KPI dan keadilan berusaha bagi industri penyiaran menjadi prioritas utama dalam revisi UU yang telah lama mandek tersebut.

Kepastian ini disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari, saat menjadi narasumber acara Diskusi Kelompok Terarah (atau FGD) yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Monumen Pers, Solo, Jawa Tengah, Sabtu (29/1/2022).

Kabar gembira ini tentunya telah ditunggu sejak lama oleh seluruh elemen penyiaran di tanah air. Hadirnya UU baru ini diharapkan dapat memberi keadilan berusaha bagi seluruh pelaku industri siaran termasuk mengisi kekosongan regulasi yang tegas untuk media berbasis internet dan media sosial.

“Memang perlu ada keadilan. Soal penyiaran diatur dan yang satu tidak. Insya Allah tahun ini kita selesaikan. Kami inginnya hal ini jalan bareng-bareng agar ada kesetaraan dan equilibrium,” kata Kharis.

Pembahasan mengenai aturan penyiaran dan media baru dilakukan secara bersamaan karena pokok masalahnya yang sama yakni soal isi siaran. Hal ini juga terkait dengan pendapatan yang diperoleh dari konten meskipun distribusi beda platform. Artinya, penerimaan negara tidak hanya berasal dari TV tapi juga dari media baru atau platform lainnya.

Lantas seperti apa penguatan terhadap regulatornya, Kharis mengatakan akan masih terbuka seperti apa terutama perlakuan kepada Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID). “Oleh karena itu, silahkan memberikan masukan kepada Komisi I,” pintanya. 

Rencananya, Komisi I DPR akan membuat naskah akademis dan mulai menampung masukan dari publik. Untuk itu, berbagai upaya sudah dilakukan dengan terjun ke sejumlah daerah seperti Yogyakarta dan Padang. “Kita akan ke Bandung, Bogor dan Serang. Berikutnya ke Sulawesi. Menggali masukan dari masyarakat akan kami lakukan hingga awal Maret nanti. RUU ini kita harapkan selesai dalam satu dua masa sidang,” kata Kharis.

Sementara itu, Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, dalam sambutan acara mengatakan, kebutuhan sebuah regulasi baru yang memayungi penyiaran termasuk media terbaru sebuah keniscayaan. Banyak negara telah melakukan hal ini karena berbagai pertimbangan yang kuat dan sangat beralasan. 

Contoh yang bisa dipetik seperti kebijakan yang dikeluarkan Uni Eropa yang meminta Netflik memproduksi kontennya di Eropa. Alasan yang menjadi dasar kebijakan ini adalah untuk memberdayakan budaya Eropa melalui TV streaming. 

“Ini menarik karena kita akan melihat film di Netflik yang ada di sana ada yang berbahasa Jerman, Perancis dan lainnya. Ada proteksi budaya bangsa dan upaya mempromosikannya ke luar negeri. Turki juga mengadopsi aturan ini. Mereka harus berbadan hukum Turki dan ini menarik untuk dibuat. Australia juga demikian yang mewajibkan Netflix, Youtube, dan Facebook berbadan hukum Australia. Aturan ini memang membuat gaduh Amerika Serikat,” ungkap Agung.

Agung menilai apa yang dilakukan negara-negara tersebut sangat realistis. Adanya refresentasi dari Netflix, Youtube maupun Facebook adalah bagian dari tanggungjawab dan keharusan ketika terjadi sebuah masalah di negara tersebut. “Jika kontennya bermasalah seperti rasialis dan tidak segera di take down, maka direktur utamanya bisa dikenakan sanksi hukum,” ujarnya.

Selain itu, kekosongan regulasi yang mengatur media baru tersebut menimbulkan ketimpangan perlakuan terhadap media yang sudah eksis atau mainstream. “Jika ada masalah di TV maka  KPI akan beri sanksi dan ketika media baru tersebut bermasalah tidak ada sanksi yang juga menerima iklan,” kata Agung.

Berbagai desakan agar lahir UU yang memberi kesetaraan perlakuan ini juga disampaikan Anggota Mastel (Masyarakat Telematika), Neil Tobing. Pasalnya, koor bisnis yang dilakukan  kedua media ini adalah memproduksi konten dan mendapatkan uang atas usahanya dari iklan. 

“Keduanya juga memperebutkan viewers yang sama. Tapi, tidak ada aturan untuk media OTT dan mereka bebas,” tutur Neil dalam acara tersebut. 

Dia menyampaikan bahwa nilai dari industri digital di Indonesia mencapai 70 milyar dollar. Sayangnya, sebanyak 6,3 milyar dollar diambil oleh global capital. Ini terjadi karena mereka  tidak disyaratkan memiliki badan hukum Indonesia dan mereka tidak dikenai pajak. 

“Padahal, Google dan Youtube itu mendapat pendapatan terbesar keduanya dari Indonesia, tapi sayang tidak ada devidennya ke kita. Oleh karena itu, kita berharap UU Penyiaran ini disahkan dengan memasukan aturan OTT di dalamnya,” ujar Neil seraya berharap.

Berbagai masukan dan permintaan soal pengaturan media baru ini turut dilontarkan berbagai asosiasi seperti ATVNI (Asosiasi Televisi Nasional Indonesia), ATSDI (Asosiasi Televisi Swasta Digital Indonesia), PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia), hingga JRKI (Jaringan Radio Komunitas Indonesia). Alasannya, agar media ini diatur adalah memberi keseimbangan dan pembelaan terhadap media yang sudah ada.

Dalam diskusi tersebut, turut hadir Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, Mimah Susanti, Irsal Ambia, Mohamad Reza. Adapun moderator diskusi dikawal Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano. ***/Editor: MR

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.