Jakarta - Ketentuan alokasi Program Siaran Lokal (PSL) di setiap stasiun televisi berjaringan dinilai sebagai bentuk semangat menjaga desentralisasi. Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Agung Suprio dalam acara diskusin kelompok terpumpun atau Focus Group Discussion (FGD) yang digelar KPI Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Selasa (5/10/2021).
“Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ini beriringan dengan semangat desentralisasi. Konten lokal dalam televisi semisal, juga merupakan bagian dari semangat itu,” ungkapnya.
Agung menjelaskan bahwa dengan penerapan ketentuan 10 persen konten lokal akan hadir potensi-potensi lokal di layar TV seperti budaya, sosial, kearifan lokal. Selain itu, ketentuan ini bisa mendorong hadirnya rumah-rumah produksi atau production house (PH) di daerah, sehingga bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan serapan tenaga kerja di wilayah tersebut.
Memasuki era digitalisasi penyiaran, Agung optimis bahwa konten lokal juga sangat memungkinkan disalurkan di beragam media. “Konten lokal saat ini bisa dinikmati di layar-layar televisi. UU Ciptaker, membuka peluang untuk hadirnya televisi-televisi lokal dengan program-program yang terkait erat dengan lokalitas,” kata Agung.
Hadir dalam acara tersebut, Don Bosco Selamun Metro TV, Neil Tobing Wakil Ketua ATVSI, Prof Judhariksawan serta Sukamto dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI sebagai narasumber. Met/Editor:MR
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengapresiasi langkah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Barat (Sulbar) yang telah menyiapkan proses seleksi anggota KPI Daerah Sulbar secara tepat waktu. Ketepatan waktu seleksi ini menurut Komisioner KPI Pusat bidang Kelembagaan Nuning Rodiyah saat menerima perwakilan Komisi I DPRD Sulbar yang berkonsultasi tentang rekruitmen KPID Sulbar.
Hadir dalam pertemuan tersebut Ketua Komisi I DPRD Sulbar Syamsul Samad dan anggota lainnya, Firman Argo. Syamsul menyampaikan pada forum bahwa pihaknya sudah membentuk tim seleksi KPID Sulbar yang terdiri atas berbagai unsur masyarakat di antaranya, budayawan, akademisi dan perwakilan perempuan. Dalam kesempatan itu, Syamsul mempertanyakan tentang posisi petahana yang akan ikut lagi dalam proses seleksi. Selain itu, terkait pergantian antar waktu untuk anggota KPID, dimintakan pula oleh Syamsul keterangan prosesnya.
Komisioner KPI Pusat BIdang Kelembagaan, Nuning Rodiyah yang juga merupakan koordinator wilayah Sulbar menyampaikan beberapa hal terkait seleksi anggota KPID. Jika merujuk pada peraturan kelembagaan KPI, maka petahana tetap mengikuti proses seleksi administratif. Jika lulus dalam proses ini, petahana dapat langsung ikut fit and proper test di DPRD. Untuk proses fit and proper test ini, Nuning berpendapat setiap tahapan seeksi harus dilakukan secara terbuka untuk menjaga transparansi proses seleksi.
Kepada Komisi I DPRD, Nuning mengingatkan agar anggota KPID yang terpilih dapat memenuhi proporsi minimal 30% perempuan. Dirinya sangat menyayangkan dalam seleksi KPID di beberapa daerah, ada yang tidak menjaring satu pun perempuan yang duduk sebagai komisioner KPID
Masukan lain kepada Komisi I DPRD Sulbar adalah terkait keluasan wawasan yang harus dimiliki calon anggota KPID. Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Hardly Stefano Pariela menegaskan pengetahuan tentang isu konten lokal merupakan sebuah keharusan, karena KPID akan menjaga kepentingan masyarakatnya. Selain itu, tambah Hardly, literasi media dan digitalisasi penyiaran juga harus dipahami betul oleh mereka yang berkenan menjadi regulator penyiaran di daerah.
Syamsul sendiri menjelaskan posisi penjadwalan seleksi KPID Sulawesi Barat. Harapannya, proses ini dapat berjalan lancar dan selesai tepat waktu, agar tidak ada kepentingan masyarakat terkait penyiaran yang diabaikan di daerah KPI termuda ini./Editor:MR
Jakarta -- Proses revisi terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2012 terus berjalan. Saat ini, pembahasan revisi memasuki tahapan akhir yakni menyelaraskan berbagai masukan dari berbagai instansi, asosiasi hingga kelompok masyarakat ke dalam draft P3SPS yang baru. Terkait hal itu, beberapa asosiasi TV dan radio meminta waktu untuk membahas isi draft revisi P3SPS secara internal.
Permintaan ini mengemuka dalam pertemuan antara KPI dengan berbagai asosiasi TV dan radio yang berlangsung pada Kamis (30/9/2021). Dalam pertemuan itu, hadir perwakilan dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI), Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI), Asosiasi Televisi Digital Indonesia (ATVDI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) dan Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI).
Sebelum pertemuan ini, awal bulan September 2021, secara estapet KPI telah mengundang 72 lembaga dan instansi serta kelompok masyarakat untuk mendengarkan masukan dan pandangan soal perubahan pedoman penyiaran yang dibuat pada 2012 lalu. Pandangan dan masukan dari sejumlah lembaga, instansi dan kelompok masyarakat itu telah dibahas dan dikompilasi KPI bersama ahli dan pakar hukum dalam draft revisi P3SPS.
Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, di awal pertemuan, menyampaikan maksud dari perubahan pedoman penyiaran ini ditenggarai kondisi dan dinamika hukum serta sistem penyiaran yang banyak berubah. Karena itu, perlu ada perubahan terhadap P3SPS sebagai upaya antisipasi dan penyesuaian dari adanya perubahan tersebut. “Ini agar produk hukum yang dikeluarkan KPI ada kekuatan landasan hukumnya. Karena itu, kita perlu menyesuaikan,” katanya.
Irsal juga menyampaikan revisi aturan P3SPS sesuai hukum dan UU Penyiaran yang menjadi dasarnya. Dia memahami posisi TV dan radio sebagai obyek hukum karenanya KPI akan mempertimbangkan keinginan dan harapan industri terkait revisi ini.
“KPI punya kebutuhan hukum dan ada hal yang harus diselesaikan melalui revisi ini. Dalam rencana kita dalam antisipasi penyelenggaraan dalam banyak hal mengubah aturan penting seperti pola siaran jaringan dan ini punya kaitan erat dengan revisi,” tuturnya.
Namun begitu, Irsal menegaskan, proses revisi aturan ini tetap akan berjalan. Karenanya, KPI mempersilahkan industri untuk merumuskan acuan tersebut secara internal. Rumusan tersebut akan diterima KPI sebagai bahan masukan. “Kalau ada permintaan waktu dan sebagainya, waktu yang lebih baik agar bisa diimplementasikan,” ujarnya.
Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan masukan dari asosiasi sangat penting karena posisi industri sebagai obyek hukum. Menurutnya, KPI sangat menjaga prosedur perubahan aturan ini dengan salah satunya mengundang pihak terkait seperti asosiasiTV dan radio.
Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, menuturkan bahwa revisi ini untuk mewujudkan konten siaran yang berkualitas. Namun demikian, revisi ini juga harus membawa kemanfaatan maksimal jadi perlu waktu yang cukup memadai.
“Semangat merevisi tapi semangat dalam proses pembahasan. Teknis harus ada kesepakatan, semangatnya berujung pada kesepakatan yang sama dalam legacy mendorong penyiaran yang lebih baik,” harapnya.
Sementara itu, Wakil dari ATVSI, Gilang Iskandar, berharap revisi P3SPS dapat menunggu perubahan dari UU Penyiaran. Selain itu, ATVSI juga meminta waktu untuk menyelesaikan usulan tentang pedoman penyiaran ini secara internal. “Saat ini, kami sedang usulkan P3SPS jadi biar dulu kami selesaikan,” pintanya.
Ketua Umum ATVNI, Rikard Bagun, mengatakan proses revisi P3SPS dapat berjalan pararel antara draft yang dibuat KPI dengan industri yang ujungnya akan disinkronisasi. Dia pun meminta proses revisi ini tidak berjalan cepat. “Karena saat ini situasinya pandemi, mestinya harus ada pertemuan, kalau bicara lewat zoom kurang rasanya jadi lebih baik ketemu langsung. Kalau dari pihak KPI sedang menyusun, lalu industri memproses, tinggal finalisasi dipadukan dalam sintesa yang kita butuhkan,” katanya.
Ketua Umum ATVDI, Eris Munandar, menyatakan secara prinsip pihaknya sepakat dengan perubahan P3SPS karena memang harus. Namun begitu, dia berharap agar produk ini mendekati sempurna maka harus memperhatikan hal lain yang punya pengaruh yakni revisi UU Penyiaran. “Kita belum jelas apa yang dibongkar habis, kalau revisi ditetapkan maka akan ada adaptasi lagi dan perlu waktu yang tidak sedikit,” ujarnya.
Selain itu, KPI juga mendapat masukan dari perwakilan ATVLI, ATVJI, PRSSNI dan JRKI. Rata-rata masukan yang disampaikan ke KPI hampir sama yakni perlunya waktu dan menunggu perubahan dari UU Penyiaran. ***/Editor:MR
Jakarta - Proses revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) yang tengah dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), saat ini masih tetap menerima masukan dari berbagai pihak, termasuk para pemangku kepentingan dunia penyiaran dalam penataan regulasi penyiaran yang lebih detil dan responsif terhadap perubahan zaman. Ketua KPI Pusat Agung Suprio menjelaskan, revisi ini dilakukan untuk mengaktualisasikan P3 & SPS dalam konteks sekarang. Dalam melakukan revisi ini, proses yang dilakukan KPI adalah dengan cara bottom up. Yakni memberi ruang aspirasi bagi masyarakat untuk menyampaikan masukan, termasuk seperti yang dlakukan KPID Jawa Barat yang mengantarkan aspirasi masyarakat di Jawa Barat. Hal itu disampaikan Agung saat menerima KPID Jawa Barat yang menyampaikan masukan dari Masyarakat Peduli Penyiaran Jawa Barat untuk revisi P3 & SPS, (4/10).
Sebagai sebuah revisi regulasi yang akan mengikat banyak pihak, KPI tentu harus memperhatikan berbagai kepentingan penyiaran, ujar Agung. Termasuk juga memberi ruang pada kalangan industri penyiaran sebagai obyek yang diatur oleh KPI, serta masyarakat umum sebagai stakeholder utama KPI.
KPI sangat mengapresiasi masukan dari masyarakat di Jawa Barat yang dikawal oleh KPID, ujar Agung. Harapannya, KPID juga dapat mengawal agar P3 & SPS yang ditetapkan nanti senafas dengan aspirasi masyakat Jawa Barat yang disampaikan hari ini.
Dalam pertemuan yang juga digelar secara daring melalui teknologi video conference, turut hadir perwakilan stakeholder penyiaran di Jawa Barat. Diantaranya Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Dadang Rahmat Hidayat, akademisi Universitas Padjajaran Eni Maryani, Dian Wardiana Zuchro, dan M Zen Al Faqih, perwakilan asosiasi penyiaran Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Jawa Barat, Asosiasi TelevisI Siaran Digital Indonesia, serta perwakilan dari Dinas Komunikasi dan Informatika Jawa Barat. Pada kesempatan ini, Ketua KPID Jawa Barat Adiyana Slamet yang memimpin delegasi mengungkapkan, bahwa masukan yang disampaikan kepada KPI Pusat ini merupakan hasil diskusi kelompok terpumpun atau Focus Group Discussion bersama beragam pemangku kepentingan penyiaran di Jawa Barat. Adiyana berharap revisi P3SPS bersifat bottom up, menerima masukan dari bawah, sehingga masukan ini dapat menjadi bahan penyempurnaan P3SPS yang sudah dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman, ambigu atau multi tafsir.
Komisioner KPID Jawa Barat bidang Isi Siaran, Jalu Priambodo menyampaikan poin-poin penting masukan tersebut. Diantaranya adalah tentang penguatan perlindungan terhadap kepentingan publik dalam program siaran, penegasan terhadap norma yang berlaku pada semua jenis program siaran, konsistensi pembatasan waktu siaran dengan pasal klasifikasi usia, serta mekanisme penyelesaian konflik isi siaran jurnalistik.
Sedangkan terkait revisi SPS, Eni Maryani mengingatkan bahwa KPI harus melakukan sinergi kekuatan sebagai lembaaga yang mengawasi konten agar punya pengaruh lebih besar dengan mengikutsertakan banyak pihak dan potensi yang terhimpun di sana. Belajar dari undang-undang yang ada, kita harus menerima bahwa wewenang KPI terletak pada pengawasan konten. Revisi SPS ini harus digunakan untuk menegaskan kewenangannya terkait pengawasan konten, meski tantangannya harus berhadapan tengan industri. Eni juga berharap jika revisi SPS ini sudah ditetapkan, masyarakat ikut disosialisasikan. “Masyarakat juga harus tahu aturan dari KPI yang harus diikuti oleh lembaga penyiaran,” ujarnya.
Catatan lain yang disampaikan adalah soal lokalitas konten di layar kaca. Komisioner KPID Jawa Barat yang merupakan Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P) Ellang Gantoni Malik mengingatkan agar KPID diberikan ruang di garis terdepan dalam menjaga lokalitas daerah. “Harapannya P3 & SPS ini mencerminkan karakter kenusantaraan dan NKRInya,” pungkasnya.
Selain membawa aspirasi masyarakat Jawa Barat untuk revisi P3 & SPS, KPID Jawa Barat juga menyampaikan hasil kajian tentang penggunaan frekuensi publik untuk kepentingan pribadi, problematika program sinetron serta siaran iklan yang menurut KPID Jawa Barat merupakan pengingkaran terhadap regulasi P3SPS. Adiyana menegaskan, pihaknya berkomitmen akan selalu menjaga mata dan telinga masyarakat Jawa Barat dalam bidang penyiaran./Editor:MR
Jakarta – Keragaman masyarakat di Indonesia seharusnya dapat tergambar dalam keragaman konten siaran televisi. Publik seharusnya mendapatkan banyak variasi konten siaran baik dalam variasi bentuk program atau pun variasi dan kreativitas dalam sebuah ide cerita. Namun kenyataan saat ini, justru konten siaran di televisi terjebak pada perilaku meniru, atau copy dan paste.
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Bidang Kelembagaan Yuliandre Darwis menyampaikan hal tersebut saat menerima perwakilan Parlemen Remaja dari daerah pemilihan Jawa Barat di kantor KPI Pusat, di Jakarta, (1/10). Dalam memaparkan realitas konten siaran tersebut, Yuliandre juga mengungkapkan bahwa sinetron di Indonesia dikenal sebagai program drama seri paling panjang di dunia. Ini dikarenakan adanya kecenderungan para pengelola televisi untuk memperpanjang jumlah episode sinetron yang berhasil mendapat rating tinggi. “Kita punya pengalaman bagaimana sebuah judul sinetron dapat diproduksi hingga ribuan episode,” ucap Yuliandre sambil menyebut judul sinetron dimaksud.
Sementara konten-konten luar negeri yang masuk ke ruang-ruang siar kita melalui berbagai platform media, justru punya strategi yang berbeda. Drama korea misalnya, ujarnya, mampu konsisten pada jumlah episode yang tidak terlalu panjang namun memiliki nilai dan pesan yang kuat bagi publik. Kepada perwakilan Parlemen Remaja yang merupakan siswa sekolah menengah atas ini, Yuliandre menegaskan bahwa dunia penyiaran di negeri ini membutuhkan sumber daya manusia dengan skill kreatif yang tinggi agar dapat mengubah wajah layar kaca menjadi tidak saja lebih menarik, tapi juga sarat dengan pesan positif yang kuat bagi publik. Selain itu, tentu saja, orisinalitas konten siaran kita harus lebih ditingkatkan, tegasnya.
Parlemen Remaja yang dipimpin oleh Ketuanya, M Azhar Zidane, menyampaikan beberapa pertanyaan diantaranya terkait revisi undang-undang penyiaran. Di awal diskusi, Zidane menyampaikan pendapatnya tentang dinamika regulasi penyiaran dan kewenangan regulator yang ditetapkan oleh undang-undang. “Ada penilaian bahwa makin kesini kewenangan KPI sebagai regulator penyiaran makin dikerdilkan. Hal ini dikarenakan tidak adanya kewenangan untuk KPI mencabut izin penyelenggaraan penyiaran,” ujarnya.
Untuk pertanyaan ini, Yuliandre memaparkan tentang pola pembagian kewenangan antara KPI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam menata penyiaran. “Bagaimana pun juga Kominfo tidak dapat mencabut izin kalau tidak ada rekomendasi dari KPI,” ujarnya.
Pertanyaan lain disampaikan Joya Josephine mengenai posisi KPI dalam rencana pengaturan konten media multiplatform. Adapun pertanyaan dari Megumi Shallominova tentang kesanggupan KPI menertibkan konten-konten siaran dari luar negeri, termasuk saat dimulainya penyiaran digital ke depan. Selain pertanyaan, Padli Yasin Fadillah selaku perwakilan dari Tasikmalaya mengusulkan tentang pengaturan konten mistik, horror dan supernatural. Padli berpendapat, seharusnya muatan MHS tersebut dapat dimintakan kepada lembaga penyiaran untuk dikemas lebih kreatif. Menurutnya, banyak khazanah lokalitas daerah di Indonesia yang sarat dengan konten MHS. “Jika dikemas lebih kreatif dan edukatif atau dalam bentuk animasi, tentu memungkinkan untuk disiarkan di luar jam 22.00 sehingga dapat ditonton lebih banyak orang,” ujar Padli.
Yuliandre menjawab dengan gamblang beragam pertanyaan Parlemen Remaja ini. Termasuk menjelaskan bagaimana proses penyusunan regulasi penyiaran yang mengikutsertakan berbagai pemangku kepentingan penyiaran. “KPI tidak membuat regulasi semaunya dan asal ketok saja. Kita harus memastikan seluruh stakeholder memahami regulasi yang disusun, sehingga ikut berkomitmen pula menaati aturan tersebut,” terangnya. Dirinya juga menegaskan bahwa regulasi yang dibuat bukan untuk mempersulit industri penyiaran. Secara pribadi, dia menilai pengaturan terhadap multiplatform media harus segera dibuat. “Tentu tidak adil jika televisi free to air milik dalam negeri harus menaati aturan penyiaran yang demikian ketat, tapi konten siaran dari luar yang hadir melalui teknologi over the top (OTT) dan streaming, dapat disiarkan secara bebas tanpa aturan sama sekali,” ujarnya. Yuliandre berharap dengan adanya aturan untuk siaran dan konten pada media multiplatform dapat memunculkan ruang kompetisi yang lebih adil dalam dunia penyiaran. /Editor:MR
Dalam cerita sinetron cinta dari surga memberikan pelajaran yang negative kepada para penonton semacam membunuh orang orang yang akan membongkar rahasia dari tokoh antagonis, merencanakan praktik pembunuhan berencana dan memberikan minum2xan pada orang yang dianggap melawan. Secara otomatis ini akan menjadi dampak yang negative meracuni atau mengajarkan penonton untuk berbuat salah. Seperti diketahui moral semakin sedikt berkurang di dunia ini.Mohon di tinjau ulang kenapa kok bisa lolos sensor. Secara etika tidak pantas ditayangkan dalam tv. Trimakasih