Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyayangkan munculnya program siaran di televisi di bulan Ramadhan yang bermuatan kekerasan, melanggar norma kesopanan dan kesusilaan, serta merendahkan derajat manusia. Hal tersebut tentunya mengganggu kekhusyukan masyarakat dalam menjalankan ibadah di bulan suci Ramadhan. Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini menilai, tayangan tersebut juga sarat dengan makian dan celaan. Padahal yang diharapkan tentunya tayangan tersebut harus sesuai dengan spirit Ramadhan, kesederhanaan, kesabaran, dan kepedulian terhadap sesama.
Dalam pemantauan yang dilaksanakan selama 15 hari Ramadhan, KPI mengapresiasi insiatif pengelola televisi yang membuat program-program khusus Ramadhan yang bertujuan meningkatkan iman dan taqwa. Namun demikian, KPI menemukan adanya potensi pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) dalam konten siaran Ramadhan pada periode 15 hari tersebut.
Secara umum, pelanggaran yang dilakukan adalah pada pasal 9 Standar Program Siaran (SPS) KPI tentang penghormatan terhadap norma kesopanan dan kesusilaan, pasal 15 tentang perlindungan anak dan remaja, serta pasal 17 tentang perlindungan kepada orang dan masyarakat tertentu. “Selain tiga pasal tadi, KPI juga melihat adanya pelanggaran atas penggolongan program siaran dengan klasifikasi remaja,” ujar Dewi.
KPI akan menyampaikan secara detil program siaran apa saja yang berpotensi melakukan pelanggaran atas P3 & SPS kepada publik, pada Jumat 16 Juni 2017, di kantor KPI Jl Gajah Mada no 8 Jakarta Pusat. Selain itu, hasil evaluasi ini juga akan disampaikan kepada pengelola lembaga penyiaran agar dalam sisa waktu di bulan suci ini, dapat segera dilakukan perbaikan. KPI berharap, program Ramadhan yang hadir di layar kaca, selain dapat meningkatkan iman dan taqwa, juga mampu mengokohkan jati diri bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jakarta - Coba bayangkan, apa yang dialami pemirsa televisi tanpa kehadiran sebuah alat bernama remote control? Di era monopoli TVRI zaman dulu, mungkin, peran remote control tidak terlalu penting, karena pemirsa praktis tanpa pilihan. Namun, di era multichannel seperti sekarang, di mana pemirsa punya banyak pilihan terhadap stasiun televisi, ketiadaan remote control pasti membuat repot. Apalagi persaingan antarstasiun televisi demikian ketat, sementara pada sisi lain, kesetiaan pemirsa terhadap satu acara di sebuah stasiun televisi begitu tipis. Menjadi tidak praktis jika untuk sekadar ganti channel, penonton harus bangkit dari tempat untuk memijit tombol di pesawat televisi. Mondar-mandir terus tiap ganti channel. Di sinilah urgensi kehadiran remote control, nasib sebuah tayangan di televisi benar-benar berada di ujung jari pemirsa.
Bicara tentang remote control, tak mungkin melupakan jasa seorang ahli fisika bernama Robert Adler. Dialah orang yang berjasa menciptakan alat yang bukan saja membuat praktis dalam menonton televisi, tapi juga mempengaruhi peradaban umat manusia. Remote control temuan Adler diperkenalkan setengah abad silam, tepatnya pada tahun 1956, saat ia menjabat Direktur Riset Zenith Electronics, produsen televisi AS. Remote control bernama Space Command itu lahir ketika bangsa AS memasuki era emas pertelevisian, ketika fungsi televisi mengalami perubahan dari semula barang luks (mewah) menjadi sumber informasi dan hiburan masyarakat.
Memang, ketika pertama diluncurkan, Space Command tergolong bukan gadget yang “nyaman” jika diukur dengan standar zaman sekarang. Bagaimana tidak, beratnya saja hampir 1 kg (sekitar 8 ons), sementara harganya yang mencapai 100 dolar AS kala itu, setara dengan sepertiga harga pesawat televisi. Namun demikian, temuan remote control Space Command tercatat sebagai state of the art dan puncak penampilan dari sebuah pencarian yang panjang.
Harus diakui pula, Robert Adler bukanlah orang pertama yang menemukan remote control. Lebih tepat ia sebagai penyempurna atas temuan sebelumnya yang juga diluncurkan oleh Zenith. Remote control pertama Zenith adalah sebuah gadget yang dikaitkan dengan pesawat televisi menggunakan kawat. Namanya Lazy Bones, diluncurkan tahun 1950 dengan lagu iklan “Prest-o! Change-O! Just Press a Button… to Change a Stasiun”. Lima tahun kemudian, Eugene Polley, insinyur yang juga bekerja di Zenith memperkenalkan Flashmatic yang bisa berdiri bebas.
Prinsip kerjanya menggunakan pancaran cahaya pada sensor yang dibenamkan dalam pesawat televisi. Meski harganya murah, namun punya kelemahan, sensor tak hanya bereaksi terhadap remote, tapi juga terhadap sinar matahari, lampu listrik, atau apa saja yang memancarkan sinar yang mengarah ke pesawat televisi.
Kelemahan itulah yang kemudian mendorong Zenith merancang ulang produk mereka. Di sinilah konsep remote control Adler masuk. Berbeda dengan prinsip kerja remote hasil gagasan Polley, remote control Adler yang diberi nama Space Command menggunakan ultrasonik atau suara frekwnsi tinggi yang dihasilkan dengan cara menekan tombol yang teruat dari lempengan aluminium tipis. Alat ini tak butuh baterai dan dikenal sebagai “the clickers” karena tidak berisik. Kampanye atau promosinya cukup menarik, “Nothing between You and The Set, but Space” (Tak ada apapun antara Anda dan pesawat televisi, kecuali Space (ruang).” Remote ini dengan cepat menggantikan Flashmatic dan teknologi ini menjadi standar industri pertelevisian hingga tahun 1980-an, ketika sinyal infra merah menjadi standar remote yang baru. Siapa Robert Adler?
Robert Adler lahir di Wina pada tanggal 4 Desember 1913 dari sebuah keluarga kelas menengah yang mapan dari Austria. Ibunya adalah seorang dokter dan ayahnya ahli sosiologi. Setelah mendapat gelar PhD dalam bidang fisika dari Universitas Wina tahun 1937—saat NAZI menganeksasi Austria—ia kemudian berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, mulai dari Belgia, Inggris hingga akhirnya ke AS pada tahun 1941. Ia langsung bergabung dengan Zenith Electronics di Chicago, yang memberinya keleluasaan mengejar projek apa pun yang dia inginkan.
Selama PD II Adler bekerja pada bagian oskilator frekuensi tinggi dan filter elektro mekanik radio pesawat terbang. Usai PD II ia meneruskan pekerjaan pada teknologi televisi, di mana ia mampu menemukan sejumlah peralatan dan berjasa dalam revolusi petelevisian. Adler memelopori penggunaan teknologi penggunaan tabung hampa udara bercahaya yang meningkatkan kualitas transmisi audio televisi. Ia juga menjadi pelopor dalam pengembangan teknologi gelombang akustik permulaan yang menjadi dasar bagi pengembangan teknologi layar sentuh (touch screen).
Dalam kiprahnya selama 60 tahun di Zenith, mulai dari sebagai direktur riset dan menjadi konsultan lepas setelah ia pensiun pada tahun 1979, Adler telah mengantongi lebih dari 180 paten. Meskipun remote control adalah puncak temuan yang mengantarkannya pada ketenaran, ia mengaku bangga atas temuan lainnya.
Atas kerja keras dan prestasinya, berbagai penghargaan pun dianugerahkan kepada Adler. Atas temuan remote control Space Command, Adler menerima anugerah Outstanding Technical Achievement Award 1958 dari Institute of Radio Engineers atau sekarang dikenal dengan the Institute of Electronical and Electronics Engineerra (IEEE). Adler juga menerima anugerah dari IEEE berupa Outstanding Technical Paper Award tahun 1974, atas tulisannya berjudul “An Optical Video Dsc Player for NTSC Receivers”, yang merupakan presentasi awal atas kerjanya, yang kemudian dikenal dengan video cakram digital (digital video disc, DVD). Penghargaan lainnya adalah Edison Medal 1980 dan Ultrasonic Achievement 1981. Edison Medal adalah penghargaan tahunan yang diberikan kepada orang dalam kariernya berjasa dalam ilmu kelistrikan, rekayasa listrik, dan seni listrik.
Berkaitan dengan televisi dan remote control, ada yang unik dalam diri Adler. Di rumahnya ia hanya punya tiga remote control lebih sedikit dari jumlah remote control yang ada di rumah keluarga AS, yang rata-rata memiliki sedikitnya empat remote control. Soal televisi, saat bicara pada The Chicago Tribune pada tahun 1996, Adler berkata, “Aku hampir tak pernah menyalakan televisi dan berselancar channel (dengan remote control)”. Adler meninggal dunia di Idaho, AS, pada 15 Februari 2007 atau dua pekan setelah permohonan patennya yang terakhir mengenai teknologi touch screen (layar sentuh) disetujui Kantor Paten dan Merek Dagang AS 1 Februari 2007. Sumber : Pikiran Rakyat (8 Maret 2007)
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) menyelenggarakan proses evaluasi dengar pendapat (EDP) PT Yarsi Citra Mandiri, pemohon izin penyelenggaraan penyiaran radio dari Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, di Kantor KPI Pusat, Selasa (13/6/17).
Proses EDP merupakan salah satu rangkaian yang harus dilalui lembaga penyiaaran pemohon izin penyiaran untuk mendapatkan izin penyelenggaran penyiaran atau IPP. Biasanya, proses EDP dilakukan KPID setempat yakni KPID Sumbar. Namun dikarenakan KPID Sumbar statusnya belum berfungsi karena ketiadaan anggaran, proses EDP diambil alih oleh KPI Pusat.
Wakil Ketua KPI Pusat, Sujarwanto Rahmat Arifin, saat membuka acara EDP mengatakan, EDP merupakan langkah awal dari proses permohonan perizinan oleh lembaga penyiaran. Proses ini akan dilanjutkan dengan FRB yang akan mengeluarkan IPP Prinsip. “Setelah dilakukan uji coba siaran kemudian dilakukan Evaluasi Uji Coba Siaran sebelum dikeluarkan IPP Tetap,” tambah Rahmat.
Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio menambahkan, kewenangan EDP mestinya ada di tangan KPID Sumbar. Namun karena KPID Sumbar dibekukan untuk sementara waktu, proses EDP diambil alih KPI Pusat. Upaya ini dilakukan dalam rangka mempercepat proses permohonan izin penyiaran supaya tidak ada penumpukan.
Agung juga mengapresiasi langkah PT Yarsi Citra Mandiri membuat lembaga penyiaran di Kabupaten Pasaman Barat yang masuk dalam kategori daerah 3 T (Terdepan, Tertinggal, dan Terluar). Langkah itu selaras dengan tujuan Pemerintah dan KPI yang berupaya mendorong pertumbuhan daerah 3T melalui pemerataan informasi.
Sementara itu, Direktur PT Yarsi Citra Mandiri, Arozon Amir menceritakan, pendirian radio dengan nama udara Radio Surya bertujuan ingin memberikan informasi berupa pendidikan kesehatan sekaligus dakwah kepada masyarakat di Kabupaten Pasaman Barat.
“Kami tidak mungkin memberikan penyuluhan kesehatan orang per orang karena langkah itu tidak efektif. Penyuluhan melalui radio kami rasa sangat tepat karena mampu menjangkau banyak orang secara cepat dan mudah,” jelas Arozon yang juga berprofesi sebagai dokter.
Menurut Arazon, masyarakat di wilayah Kabupaten Pasaman Barat sangat haus akan informasi pendidikan dan juga hiburan. “Mereka sangat butuh adanya media siaran seperti radio untuk mewadahi keinginan akan informasi dan hiburan tersebut,” katanya.
Radio Surya telah memiliki kelengkapan perangkat siar seperti studio, pemancar, dan tower. Kelengkapan infrastruktur itu berasal dari Rumah Sakit Yarsi yang sangat mendukung pendirian lembaga penyiaran radio. “Kami tidak memiliki frekuensi. Namun demikian, kami sudah bersiaran melalui internet,” jelas Arazon. ***
Medan - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Sumatera Utara mengimbau lembaga penyiaran (televisi) tidak menayangkan unsur kekerasan, mistik atau kekuatan supranatural yang dikuatirkan dapat ditiru anak-anak dan remaja.
Soalnya, sepanjang 2016 KPID telah menemukan sejumlah pelanggaran yang menyalahi Undang-Undang No32 Tahun 2002 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Tahun 2012.
“Terkait persoalan ini, lembaga penyiaran tersebut telah diberikan sanksi administratif berupa teguran,” ujar Ketua KPID Sumatera Utara, Parulian Tampubolon kepada wartawan dalam jumpa pers, di Aula Kantor KPID Sumut, Senin (12/6).
Dalam pertemuan bertopik “Membangun Bangsa Melalui Program Siaran yang Sehat” ini dihadiri komisioner KPID Sumut, Ramses Manulang, Jaramen Purba, Muhammad Syahril, Andrian, Meutya dan Ahmad Karo-karo.
Parulian menyatakan, dalam membangun dan mempertahankan karakter bangsa dari arus globalisasi yang sangat terbuka dibutuhkan peran serta media cetak dan elektronik guna memberikan informasi akurat dan proporsional serta bertanggung jawab dalam membangun karakter bangsa.
Namun, harus menjadi perhatian khusus bagi lembaga penyiaran agar menyajikan informasi sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik yang akurat dan melakukan ralat jika informasi tidak akurat seperti tertuang dalam SPS Bab XVIII, Pasal 40 (cukup jelas). Sebab, penyiaran di-selenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa.
Koordinator Bidang Kelembagaan KPID, Muhammad Syahril mengatakan dalam upaya meningkatkan pengawasan pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku lembaga penyiaran, KPID Sumut akan memperpanjang tangan dengan membentuk gugus tugas di kabupaten/kota.
Ini dimaksudkan untuk memantau format siaran terutama menghadapi Pilkada 2018. Artinya dalam setiap pemberitaan, siaran kuncinya harus berimbang. Sebagai lembaga negara independen yang mengawasi isi siaran televisi berjaringan tersebut, KPID menekankan penayangan siaran konten lokal sesuai SPS Bab XXV Pasal 68.
“Namun, dalam pelaksanaannya masih ada lembaga penyiaran yang tidak memenuhi 10 % konten lokal dilihat dari jam tayang per hari,” papar Syahril, mantan Ketua Sumut ini seraya berjanji KPID akan memberikan award bagi lembaga penyiaran yang memenuhi kriteria siaran.
Menyinggung tentang konten lokal, Jaramen Purba menyebutkan siaran lokal bagi Radio harus menayangkan program siaran lokal 60% per hari dan siaran asing 30 % per hari. Namun, diakui masih dijumpai beberapa radio melebihi 30 % siaran asing per hari dan menayangkan program siaran konten lokal kurang dari 60 %.
“Selain itu kami juga me¬nemukan pada program siaran konten lokal yaitu informasi yang tidak akurat. Bahkan disiarkan re-run secara beru¬lang-ulang oleh televisi. Ini dinilai sebagai upaya mem¬bo¬hongi dan menyesatkan publik dengan informasi yang tidak akurat itu. Seperti konten lokal “Expedition-Gliding Above Samosir”, sebut Jaramen.
Bukan hanya itu katanya, konten lokal yang ditayangkan lembaga penyiaran bukan produksi lokal dan mencantumkan character generator (CG) di layar televisi sebagai konten lokal. Ini terindikasi lembaga penyiaran itu ingin mengelabui konten lokal yang terdapat pada program “Pagi-pagi”.
Hal senada diungkapkan Pengawas Isi Siaran KPID Sumut, Andrian. Dia menyebutkan program tayangan sinetron “Boy” menampilkan tindakan kekerasan di lingkungan remaja secara berulang-ulang. Begitu juga pro¬gram siaran “Gajah Mada” dari lembaga penyiaran lainnya menampilkan tayangan yang mengandung unsur kekerasan, mistik/kekuatan supranatural dan lainnya.
“Jajak pendapat KPID dengan masyarakat tentang 10 televisi swasta bulan Januari 2016 menilai, muatan televisi belum seluruhnya menayangkan program untuk mendidik, banyak muatan kekerasan program anak, sinetron berlatar sekolah, geng motor, infotaiment mengumbar aib, pemberitaan tidak netral, tidak akurat dan cenderung fitnah”,ujar Andrian.
Perizinan
Tentang perizinan, Koordinator Bidang Perizinan KPID Sumut, Meutya menjelaskan, ada perubahan penting dalam Permen Nomor 18 Tahun 2016 yakni percepatan proses perizinan yang semula 104 hari kerja menjadi 61 hari kerja. Namun, tidak ada perpanjangan izin prinsip penyelenggaraan penyiaran.
“Pendelegasian penandatanganan izin dari menteri ke dirjen, mempersingkat proses birokrasi. Sedangkan pengaturan tahapan perizinan lebih jelas, baik di sisi KPID, KPI dan Kominfo tidak lagi melibatkan pemda dalam proses perizinan. Ini sesuai dengan ketentuan UU No23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Proses perizinan secara elektronik,” katanya. Red dari analisadaily.com
MERAJUT KEBHINEKAAN DARI MEDIA PENYIARAN (Artikel dari Pos Bali) Oleh Ni Nyoman Sri Mudani
Pembahasan terhadap intoleransi, radikalisme, kebhinekaan seringkali menjadi ulasan awak media ketika ingin menggali lebih dalam tentang situasi dan kondisi bangsa, ketika mereka mewawancarai narasumber. Baik narasumber dari intlektual kampus, pengamat politik, politisi, para aktifis maupun masyarakat umum, yang akhirnya terekam dan tersaji dengan jelas ketika disajikan oleh media massa. Sebagaimana tujuan utamanya adalah memanfaatkan teknik dari media sehingga dapat mencapai pembaca, pemirsa maupun pendengarnya dalam jumlah yang tidak terhingga. Apa yang disajikan dan disampaikan oleh media tentang sesuatu kejadian bukan merupakan sesuatu hal yang polos, tetapi lebih memperhitungkan akibat dan pengaruh pemberitaan tersebut terhadap pembaca, penonton maupun pendengarnya.
Salah satu dari media tersebut adalah televisi. Sebagaimana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, secara lembaga merupakan penyelenggara penyiaran yang dalam melaksanakan tugas dan fungsi serta tanggungjawabnya berpedoman pada peraturan perudang-undangan yang berlaku. Lembaga penyiaran sebagai media komonikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi, memiliki kebebesan dan tanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan serta kontrol dan perekat sosial.
Dengan kata lain fungsi lembaga penyiaran khususnya televisi menjadi sangat penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa menuju tercapainya asas, tujuan, dan arah penyiaran sebagai upaya mewujudkan cita-cita nasional, yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Dalam implementasinya, siaran-siaran yang disajikan wajib dapat mengedukasi menjamin keanekaragaman serta kemajemukan masyarakat berbagi daerah agar tetap utuh dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Media penyiaran televisi menyajikan rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interakti maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat siaran, sangat kuat dan mudah memengaruhi pola pikir setiap pemirsa dan pendengarnya.
Terlebih saat ini adanya bibit – bibit perpecahan yang mulai mengancam rasa persatuan diantara anak bangsa. Kerukunan antar pemeluk agama yang terkoyak karena adanya pandangan-pandangan yang berbeda dari kelompok- kelompok tertentu, yang secara terang benderang disajikan oleh beberapa media massa. Demikian kuatnya arus informasi yang dapat disajikan oleh media penyiaran khususnya televisi, belum seutuhnya dibarengi dengan literasi media yang memadai. Seperti Iklan layanan Masyarakat (ILM) yang prosentasenya sangat kecil. Dari sisi regulasi jelas mengatur soal ILM. Dalam Pasal 46 (9) Waktu siaran iklan layanan masyarakat untuk Lembaga Penyiaran Swasta paling sedikit 10 % (sepuluh per seratus) dari siaran iklan niaga, sedangkan untuk Lembaga Penyiaran Publik paling sedikit 30 % ( tiga puluh per seratus) dari siaran iklannya.
Lembaga penyiaran tak hanya sekedar menyajikan ILM agar tidak melanggar aturan yang ada. Tetapi menjadi sebuah keharusan dengan kesadaran untuk mengajak masyarakat cerdas dan melek bermedia. Ada banyak pilihan isu dari ILM dapat berupa informasi yang persuatif yang mendidik publik melalui pesan yang bersifat sosial. Tentunya informasi yang tepat, akurat, memiliki nilai (velue) serta mempunyai efek yang luas. Selain itu, optimalisasi ILM sangat penting dan setrategis dalam kontek untuk kepentingan publik yang lebih luas. Khasali (1990:20) mengatakan di negara- negara maju, ILM telah dimanfaatkan untuk memperbaiki masalah-masalah yang menyangkut kebiasaan-kebiasaan masyarakat atau perubahan nilai. Selain itu ILM juga digunakan sebagai upaya untuk menggerakan solidaritas masyarakat terhadap masalah yang mereka hadapi yakni kondisi yang bisa mengancam keserasian dan kehidupan masyarakat.
Disaat bangsa Indonesia diterpa isu terpecahnya rasa persatuan, kebhinekaan yang terkoyak, radikalisme yang semakin membabibuta. Lembaga penyiaran bisa melalui ILM mengedukasi publik seperti isu indahnya perdamaian, persatuan dalam kemajemukan, bahaya teroris, kesiapsiagaan bencana maupun informasi sosial lainnya. Isu tentang ancaman kebhinekaan, intoleransi dan perpecahan nyaris mengoyak rasa persatuan dan kesatuan yang telah dibangun oleh pendiri bangsa dengan tetesan keringat dan darah beberapa puluh tahun silam, tak bisa dilepaskan dari apa yang disajikan oleh media penyiaran. Informasi yang masuk ke ruang-ruang publik yang disajikan oleh beberapa media tanpa di imbangi dengan gerakan literasi, memberi peluang lebih besar terjadinya gesekan dan perpecahan diantara anak bangsa. Salah satu dari peran media penyiaran sebagai perekat sosial , saat ini memerlukan perhatian khusus terutama bagi para jurnalis penyiaran. Para jurnalis akan berhadapan pula dengan media sosial. Berita-berita yang disajikan jurnalis di media televisi akan menjadi berita juga dimedia soial. Dan sebaliknya perlu diwaspadai dan cermat ketika mengolah informasi di media sosial yang bisa dijadikan bahan berita .
Pemanfaatan media sosial yang saat ini sulit dibendung. Dimana media sosial sebagai salah satu alat komonikasi yang efektip karena dapat diakses oleh siapapun dengan mudah dan cepat. Banyak berita Hoax yang terjadi. Berita Hoax jika tidak diawasi dan diluruskan, akan dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Walaupun sudah ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE), sebagian dari pengguna mendsos tetap saja menarikan jempolnya tanpa mempertimbangkan dengan akal sehatnya. Guna menangkal semua itu tidak masuk dimedia televisi, lembaga penyiaran sebagaimana Pasal 36 Ayat (1) isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan dan manfaat untuk pembentukaan intlektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-lnilai agama dan budaya Indonesia.
Informasi yang masuk ke ruang-ruang publik yang disajikan oleh beberapa media khususnya televisi tanpa di imbangi dengan gerakan literasi, memberi peluang lebih besar terjadinya perpecahan diantara anak bangsa. Selain hal tersebut, secara kasat mata tak dapat dipungkiri adanya campur tangan sang pemilik modal. Konten media penyiaran sangat mungkin dipengaruhi oleh pemilik modal yang ada di belakangnya. Apalagi mereka yang terlibat langsung dalam kegiatan politik praktis. Kepentingan-kepentingan politik ini nampak jelas tergambar kemana arah yang dituju. Suhu perpolitikan mereka, ikut memberikan gradasi bagi konten yang disajikan. Maka para jurnalis media televisi menjadi garda terdepan ruang edukasi publik.
Saat ini masyarakat sedang haus dengan informasi dan berita-berita yang menyejukan, yang mendidik, yang dapat meyatukan perbedaan diantara anak bangsa, sebagaimana yang telah bertumbuh sejak disepakati dan diucapkannya SUMPAH PEMUDA 28 Oktober 1928 yang lalu. Konten televisi pula yang dapat membuka beberapa ruang terjadinya berbagai pandangan dan pendapat masyarakat serta adu opini yang kemungkinan juga mempengaruhi keputusan-kaputusan bagi mereka yang berkepentingan. Informasi yang disajikan oleh media televisi patut menjadi perekat dan penguat Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) terlebih lagi televisi Publik TVRI.
Penulis; Ketua Kelompok Peduli Penyiaran Bali (KP2B)
Dalam cerita ini, syifa sdh menikah dgn dafri, mereka menikah krn terpaksa saat itu. Ayah dafri tau pernikahan itu, hanya saja dafri sdh memiliki tunangan, dan dafri berbohong kl Blm menikah, tp disini dia pun menyuruh istri ny untuk berbohong jg kl mrk blm menikah. Padalhan istri ny dafri msh sodara dgn tunangan dafri, bahkan disaat dafri dan tunangan ny mesra sepasang kekasih, istri ny melihat di dpn ny. Jd menurut sy ini sangat tdk etis di lihat, sdh menikah tidak serumah, bahkan mereka berbohong kesemua org kl mrk pdlhan sdh menikah. Dan menutupi ny bahkan rencana mau tunangan. Bahkan tunangan mrk pun di gelar di depan istrinya secara terang2an