- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 1519
Sembalun - Ketika pers diyakini sebagai pilar keempat demokrasi, apakah hal tersebut masih berlaku di Indonesia dengan adanya stagnasi indeks kemerdekaan pers selama satu dekade terakhir? Pertanyaan ini disampaikan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia saat menjadi narasumber kegiatan Konsolidasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Media: Press Camp 2024 yang berlangsung di Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, (25/2).
Dalam kesempatan tersebut, Sasmito mengurai indikator stagnasi kemerdekaan pers di Indonesia melalui beberapa hal. Pertama, pada kebijakan dan regulasi yang ada, ditemukan adanya undang-undang yang tidak pro dengan kemerdekaan pers. Diantaranya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dalam setahun ada 40 sampai 50 kasus yang dilaporkan. Serta Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang dalam beberapa pasalnya, dinilai cukup merepresi jurnalis.
Selanjutnya adalah sisi keamanan yang dalam catatan AJI terjadi 86 kasus kekerasan yang dialami oleh jurnalis. Sedangkan dari segi ekonomi, Sasmito mengakui media mendapat dua pukulan besar yakni disrupsi digital dan Covid 19. Ada realitas yang cukup paradoks saat ini, menurut Sasmito. Yakni ketika pembaca media siber meningkat, tapi pendapatan medianya justru menurun. Anomali ini diharapkan dapat diselesaikan dengan adanya Peraturan Presiden tentang Publisher Right.
Secara khusus Sasmito menyinggung regulasi dari Dewan Pers seperti Standar Perusahaan Pers yang mengatur jurnalis. Namun hingga saat ini, belum ada aturan yang membatasi pemilik media untuk tidak berpolitik. “Serta ruang-ruang intervensi dari pemilik media juga tidak pernah dilaporkan ke Dewan Pers atau pun organisasi jurnalis,” terangnya. Padahal, kalau membaca kembali undang-undang pers, yang dimaksud independen adalah tidak mendapat intervensi dari pihak mana pun, yang karena itu pula kita sebagai jurnalis dapat menulis dengan hati nurani. “Hanya saja, ternyata ekosistemnya saat ini tidak memungkinkan,” terangnya.
Mengutip dari hasil riset Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) di Yogyakarta, media kita hari ini terafiliasi dengan partai politik atau pun politisi. Ini tenteunya sangat berpengaruh pada independensi, ujar Sasmito. Kondisi intervensi pemilik kepada media yang dimiliki tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di daerah. “Ada logika sesat para politisi yang menyimpulkan jika ingin memenangkan pemilu, harus punya media,” ungkapnya. Padahal harusnya jika ingin memenangkan pemilu, ya menangkan hati rakyat. “Jadi yang harus dijaga independensinya bukan hanya jurnalis, tapi juga ekosistem media,” tegas jurnalis Voice of America ini.
Narasumber lain yang turut hadir dalam Press Camp KPI 2024 adalah Herik Kurniawan yang merupakan Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Najamuddin Amy Kepala Dinas Komunikasi Informatika dan Statistika NTB, serta Gaguk Santoso selaku General Manager Rinjani FM. Press Camp yang juga dihadiri oleh anggota KPI Pusat, diharapkan menjadi ruang berbagi tentang capaian kinerja KPI selama ini dan proyeksi agenda prioritas KPI ke depan. Di sisi lain, bagi peserta Press Camp yang merupakan perwakilan media baik di nasional atau pun di NTB, kegiatan ini menjadi sebuah kesempatan untuk menyampaikan pada KPI Pusat tentang jatuh bangun pelaku media termasuk juga lembaga penyiaran dalam menunaikan hak publik atas informasi.