Tarakan – Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2022 secara resmi dimulai di kota Tarakan, Kalimantan Utara, (3/2). Dipilihnya kota Tarakan sebagai lokasi GLSP karena posisi kota ini yang berada di provinsi perbatasan antarnegara sekaligus menjadi beranda negeri. Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Nuning Rodiyah mengatakan, KPI berkepentingan untuk menguatkan wilayah di perbatasan Indonesia dengan konten-konten siaran yang sesuai dengan budaya bangsa. “Kalau masyarakat di wilayah ini mendapat informasi yang cukup tentang ke-Indonesiaan, tujuan berbangsa kita akan terjaga dengan baik,” ujarnya.
Nuning juga menyampaikan agenda digitalisasi penyiaran yang dimulai pada 30 April 2022 mendatang serta konsekuensi yang dihadapi masyarakat saat siaran analog dihentikan pada 2 November 2022. Harapannya, ujar Nuning, dalam realisasi penyiaran digital ke depan, hak atas informasi bagi seluruh rakyat Indonesia dapat diperoleh dengan benar. “Jangan sampai, saat penyiaran analog berhenti, masyarakat kemudian mengeluh karena tidak lagi dapat menonton sinetron kesayangannya atau pun siaran berita favoritnya,” ujar Nuning.
Dalam konteks ini, Nuning menyinggung pentingnya keberadaan KPID di Kalimantan Utara. Sebagai provinsi paling bungsu di Indonesia, sekaligus provinsi yang bersebelahan dengan negara tetangga, keberadaan KPID tentu sangat diperlukan untuk menjaga penyiaran berjalan dengan baik. Termasuk untuk penyelenggaraan penyiaran digital, tambah Nuning. Sebagai wakil publik, KPID menjadi tempat masyarakat menyampaikan aspirasi dan juga keluhannya pada masa transisi sistem penyiaran ini.
GLSP yang digelar dengan tema “Cerdas Bermedia Menuju Siaran Berkualitas”, diselenggarakan di Universitas Borneo Tarakan (UBT). GLSP diawali dengan penandatanganan nota kesepahaman antara KPI Pusat dengan UBT tentang peningkatan kerja sama dalam mewujudkan penyiaran yang sehat di Indonesia. Hadir dalam acara tersebut Rektor UBT, Prof Dr Adri Patton, Dekan Fakultas Hukum UBT, Dr Yahya Ahmad Zein, serta Ketua Komisi I DPRD Kalimantan Utara yang juga menjadi narasumber GLSP, Fenry Alpius.
Kepada mahasiswa UBT yang menjadi peserta GLSP, Fenry mengharapkan kelembagaan KPI dapat diperkuat dan dikokohkan. Sebagaimana dalam undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran yang meletakkan KPI sebagai lembaga independen yang menjadi representasi publik di bidang penyiaran. Selain itu, dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat ini, KPI harus memastikan penyiaran memberikan kemanfaatan yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat.
Fenry menyambut baik keinginan Gubernur Kalimantan Utara saat pembukaan GLSP, untuk segera membentuk KPID di Kalimantan Utara. Dia menjelaskan, ada banyak kepentingan masyarakat di Kalimantan Utara terkait penyiaran yang dapat terlayani dengan baik jika KPID sudah terbentuk di provinsi ini. Termasuk dengan hadirnya televisi-televisi lokal di Kaltara yang juga akan memberi kontribusi besar bagi perekonomian lokal. Foto: AR
Tarakan - Gubernur Kalimantan Utara Zainal Arifin Paliwang meminta pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) segera direalisasikan. Salah satunya dengan membentuk panitia seleksi yang terdiri atas perwakilan masyarakat untuk memilih orang-orang yang akan menjalankan tugas menjadi regulator penyiaran di daerah. Bahkan Gubernur berharap, lebih cepat terealisasi pembentukan KPID tersebut, lebih baik. Hal ini disampaikan Zainal saat meresmikan pembukaan Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) KPI tahun 2022 di Universitas Borneo Tarakan (UBT), (3/2).
Kondisi penyiaran di Kalimantan Utara sendiri, menurut Zainal, dipenuhi dengan siaran asing, sehingga banyak masyarakat di wilayah perbatasan yang dengan mudah menangkap siaran dari negara tetangga. Dia bersyukur TVRI sebagai lembaga penyiaran publik, sudah hadir di provinsi paling muda ini. TVRI mulai besiaran tepat pada saat ulang tahun provinsi ini ke-9, pada 25 Oktober 2021 yang lalu. Selanjutnya TVRI pun akan membangun stasiun di kabupaten Bulungan. Harapannya, dengan kehadiran TVRI dan juga televisi lokal lainnya di Kaltara, konsumsi masyarakat terhadap siaran televisi asing dapat dikurangi.
Dalam kesempatan tersebut Zainal mengapresiasi KPI Pusat yang telah menggelar GLSP di Tarakan. “Literasi menjadi bentuk penguatan terhadap hak publik untuk ikut mengawasi dan meningkatkan kualitas konten-konten siaran di televisi dan radio,” ujarnya.
Zainal juga mengakui, dengan derasnya arus informasi melalui media seperti sekarang, masyarakat dibuat kebingungan dalam memilih, menyeleksi serta memanfaatkan informasi yang didapat. Melalui literasi ini, ujar Zainal, masyarakat mendapat bekal dalam menggunakan dan memanfaatkan media untuk kepentingannya.
Zainah juga berharap peserta yang merupakan mahasiswa di UBT ini dapat menjadi agen literasi media yang ikut mendidik dan mengedukasi masyarakat agar kritis menanggapi pesan media. “Saya berharap kita dapat menciptakan masyarakat atau khalayak media yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang kritis, sehingga tak mudah terperdaya oleh muatan informasi di televisi dan radio,” ujarnya.
Sementara itu Ketua Komisi I DPRD Kaltara, Fenry Alpius mendukung keinginan Gubernur terkait pembentukan KPID. Fenry menjanjikan segera mengomunikasikan hal ini dengan legislator di DPRD Kaltara. Dia berharap dengan hadirnya KPID, kepentingan masyarakat Kaltara dapat terepresentasikan dengan baik. Termasuk menjaga konten-konten siaran di televisi dan radio agar selaras dengan norma dan budaya yang berlaku di masyarakat sehingga keharmonisan dapat tetap terjaga. Termasuk juga harapan Fenry adalah wilayah yang masih terisolir dari siaran atau blank spot, dapat terlayani dan hak masyarakat atas informasi terpenuhi. “Yang penting KPID terbentuk segera, sehingga televisi lokal juga dapat tumbuh dan televisi yang sudah ada dapat lebih berkembang,” pungkasnya. Foto: AR
Jakarta - Dalam Evaluasi Tahunan untuk Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) Televisi yang bersiaran jaringan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga membahas persiapan migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital yang tengah dilakukan masing-masing televisi. Pada kesempatan Evaluasi Tahunan untuk Trans TV, Trans 7 dan Kompas TV yang digelar di kantor KPI Pusat (28/1 yang dipimpin Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo, masing-masing televisi diminta menyampaikan progress kesiapan menyambut Analog Switch Off (ASO).
Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P) Mohammad Reza menegaskan, tahun ini adalah tahun Migrasi Digital. Dalam Evaluasi kali ini, KPI juga meminta laporan dari masing-masing TV tentang persiapan dihentikannya siaran analog pada 30 April 2022.
Andy Budiman selaku Chief Excecutive Officcer (CEO) Kompas TV yang hadir dalam forum evaluasi mengatakan, pihaknya sudah membentuk proyek untuk menyongsong ASO. Salah satunya dengan melakukan simulcast (simultaneous broadcasting) atau siaran analog dan digital secara bersamaan, di beberapa dareah seperti Aceh, Palembang, Bandung, Semarang, Kediri dan Tenggarong. Untuk siaran digital ini Kompas TV bekerja sama dengan multiplekser dari Trans Media. Sedangkan untuuk wilayah yang tidak dilayani multiplekser dari Trans, maka Kompas menggandeng TVRI.
Sementara itu sebagai penyelenggara multiplekser, Trans Media mengaku sudah siap menghadapi migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital. Dalam forum evaluasi tahunan, Latief Harnoko selaku salah satu direktur Trans TV mengungkapkan bahwa pihaknya berkomitmen terhadap program pemerintah dalam rangka ASO. Termasuk melakukan distribusi Set Top Box (STB) dan memastikan diterima secara tepat sasaran. Hingga saat ini, data masyarakat tidak mampu mencapai 6,7 juta. Jumlah ini yang akan menjadi sasaran penerimaan bantuan STB dalam rangka menjamin hak-hak masyarakat mendapatkan informasi melalui frekuensi penyiaran.
Dalam kesempatan ini, KPI memaparkan perolehan sanksi, aduan masyarakat dan juga potensi pelanggaran dari masing-masing televisi, berdasarkan catatan dari bidang pengawasan isi siaran KPI Pusat. Trans TV, sekalipun jumlah sanksi yang diterima pada tahun 2021 sudah berkurang, ternyata masih memuncaki perolehan sanksi dari seluruh stasiun televisi yang dipantau oleh KPI.
Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Irsal Ambia menyampaikan, catatan besar pada Trans TV adalah sering tampilnya muatan gaya hidup konsumtif, hedonistik, pelanggaran terhadap perlindungan anak, norma kesopanan dan kesusilaan. “Ada tendensi adu domba serta meruncingkan masalah, dalam program infotainment,” ujar Irsal. Apalagi, aduan masyarakat pada KPI terkait konten siaran di Trans TV juga lumayan besar. Lebih jauh Irsal menegaskan, program siaran yang kerap memamerkan kekayaan harus dicarikan solusinya. “KPI sudah sering melakukan pembinaan dan memberi masukan, tapi belum ada respon untuk membuat program yang lebih baik,” ungkapnya. Koreksi KPI terhadap muatan hedonistik dan pamer harta juga disampaikan pada Trans 7 yang menjalani evaluasi di hari yang sama.
Evaluasi juga mencakup pelaksanaan siaran konten lokal sebanyak minimal 10%. Secara umum, baik Trans TV, Trans 7 atau pun Kompas TV telah memenuhi amanah regulasi tersebut. Harapannya, implementasi konten lokal yang bermuara pada pemberdayaan ekonomi dan SDM lokal, dapat ditingkatkan kualitasnya. Termasuk dengan meminimalisir pengulangan program konten lokal, agar informasi yang diterima terjaga validitasnya. (Foto: Agung R/ KPI)
Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyelesaikan evaluasi tahunan terhadap 14 (empat belas) Lembaga Penyiaran Swasta Televisi Berjaringan (LPS TV Berjaringan) selama empat hari, mulai Kamis (27/1/2022) hingga Rabu (2/2/2022) lalu. Evaluasi tahunan ini diharapkan jadi rapor kinerja sekaligus masukan TV untuk memperbaiki kualitas tayangan.
Ke-14 Stasiun TV yang dievaluasi yakni PT. Cakrawala Andalas Televisi (ANTV), PT. Cipta Megaswara Televisi (Kompas TV), PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (MNCTV), PT. Visi Citra Mulia (iNewsTV), PT. Duta Visual Tivi Tujuh (Trans7), PT. Global Informasi Bermutu (GTV), PT. Indosiar Visual Mandiri (Indosiar), PT. Lativi Media Karya (tvOne), PT. Media Televisi Indonesia (MetroTV), PT. Metropolitan Televisi (RTV), PT. Net Mediatama Televisi (NET.), PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), PT. Surya Citra Televisi (SCTV), dan PT. Televisi Transformasi Indonesia (TransTV).
Seperti evaluasi tahun sebelumnya, objek penilaian meliputi jumlah sanksi, penghargaan, serta pelaksanaan program siaran lokal sistem stasiun jaringan (SSJ). Untuk pelaksanaan SSJ, KPI mendapatkannya dari aplikasi SSJ. Aplikasi ini mencatat dan menghitung durasi seluruh siaran lokal pada anak jaringan LPS TV Berjaringan di seluruh wilayah Indonesia. KPI juga menerima laporan hasil pengawasan KPID yang ada di setiap provinsi.
“Maksud dari forum evaluasi tahunan ini adalah untuk meningkatkan kualitas siaran. Kami berharap kegiatan ini memajukan bobot siaran di masa mendatang. Hasil evaluasi ini juga akan diberikan kepada Komisi I DPR RI hingga masyarakat sipil,” kata Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, ketika membuka kegiatan Evaluasi Tahunan LPS Berjaringan di Ruang Rapat Utama Kantor KPI Pusat, Jakarta, Kamis (27/1/2022) lalu.
Evaluasi yang berlangsung secara daring dan luring, secara terinci KPI menyampaikan rekap jumlah sanksi masing-masing TV, jumlah apresiasi yang diperoleh dari berbagai anugerah yang diadakan KPI dan penghargaan lain, serta implementasi SSJ setiap TV menyangkut realisasi alokasi 10% konten siaran lokal di setiap TV anak jaringan di daerah.
Berdasarkan data KPI, jumlah sanksi yang dikeluarkan selama 2021 mencapai 57 sanksi administrasi yang terdiri atas sanksi teguran pertama (52 sanksi) dan sanksi teguran kedua (5 sanksi). Kabar baiknya, tidak ada sanksi penghentian program yang dikeluarkan KPI pada tahun ini. Dibanding tahun-tahun sebelumnya, jumlah sanksi kali ini cenderung menurun.
Menurut Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, rendahnya jumlah sanksi dan aduan masyarakat memberi kemungkinan bahwa lembaga penyiaran telah memahami dan menjalankan hasil evaluasi tahunan sebelumnya. “Artinya lembaga penyiaran telah peduli, memahami, dan menjalankan pedoman penyiaran sehingga jumlah pelanggaran dapat diminimalisir,” katanya dalam satu kesempatan.
Tak lantas menurunnya jumlah sanksi dan aduan ini dianggap memuaskan. Penyegaran dan pendalaman pedoman penyiaran di lembaga penyiaran harus berkelanjutan. Pengertian aturan klasifikasi program acara dan penempatan jam tayang yang tepat dinilai masih lemah. Kemudian, pemahaman pedoman tentang perlindungan anak dan remaja mesti dipertajam dan jadi acuan.
Masih soal yang sama, evaluasi tahunan KPI menyoroti tayangan program acara berita terutama di TV bergenre berita yang kedapatan tidak melakukan penyamaran (bluring) wajah atau identitas anak sebagai korban atau pelaku kejahatan. Padahal, perlindungan identitas ini sudah diatur dalam Pasal 43 poin f dan g Standar Program Siaran (SPS) KPI tahun 2002.
“Menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya. Menyamarkan gambar wajah, identitas pelaku, korban, dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya adalah anak dibawah umur,” bunyi pasal tersebut.
Perihal konten lokal, KPI memberi catatan tebal untuk seluruh TV mengenai kuantitas konten, kualitas, waktu penayangan siaran tersebut, bahasa, produksi hingga kategorinya serta penayangan kembali secara berulang-ulang. Berdasarkan pantauan KPID dan data aplikasi SSJ KPI, program lokal yang ditayangkan sering diputar berulang-ulang alias minim produksi. Pengulangan ini sering dikeluhkan masyarakat dan dianggap tidak serius membuat program lokal yang baru. Padahal, antusiame masyarakat lokal pada program daerahnya sangat tinggi.
Tidak hanya itu, KPI masih menemukan banyak siaran lokal tersebut yang disiarkan pada waktu atau jam yang tidak produktif (06.00 - 22.00). Mengambil istilah pamornya, disiarkan pada jam-jam hantu atau di atas pukul 12 malam. Jika melihat angka, pemenuhan kuota 10% konten lokal di semua TV telah tercapai. Secara kuantitas memang terpenuhi, tapi kualitasnya masih jauh api dari panggang.
“Komposisi pelaksanaan tayangan lokal melalui SSJ memang ada yang sudah sesuai, meskipun juga terdapat LPS TV yang belum memenuhi. Ini menurut kami, TV induk harus lebih memperhatikan kualitas konten lokalnya,” ujar Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, kepada salah satu TV dalam evaluasinya.
Hal lain yang tak kalah pentingnya dari pelaksanaan SSJ adalah ikut memberdayakan sumber daya manusia (SDM) di daerah. Berkah yang diperoleh daerah dari sistem jaringan ini harus bisa dirasakan secara rata. Masyarakat daerah jangan hanya menjadi penonton, tapi juga harus dilibatkan secara langsung, baik tenaga maupun pemikiran.
Dalam evaluasi, KPI mengingatkan seluruh TV tentang persiapan menghadapi ASO (Analog Switch Off) pada akhir tahun ini (2 November 2022). Peran TV menyambut suntik mati TV analog ini sangat krusial di antaranya menyosialisasikan kepada masyarakat. Bagaimana pun publik harus tahu agar tidak terkaget-kaget ketika siaran TV analog dimatikan.
Sebagai catatan, parameter yang digunakan KPI dalam mengevaluasi ke 14 TV sangat mengedepankan unsur objektifitas sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Laporan evaluasi tahunan ini akan diserahkan KPI ke Komisi I DPR RI sebagai bentuk pertanggungjawaban lembaga ini kepada perwakilan publik. Semoga evaluasi tahunan TV ini tidak hanya sekedar seremoni rutin, tapi juga dapat membawa kebaikan dan kemanfaatan bagi penyiaran di tanah air. ***/Foto: AR/Editor: MR
Solo -- Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berjanji akan menyelesaikan revisi UU Penyiaran No.32 Tahun 2002 pada tahun ini. Penguatan kelembagaan KPI dan keadilan berusaha bagi industri penyiaran menjadi prioritas utama dalam revisi UU yang telah lama mandek tersebut.
Kepastian ini disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari, saat menjadi narasumber acara Diskusi Kelompok Terarah (atau FGD) yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Monumen Pers, Solo, Jawa Tengah, Sabtu (29/1/2022).
Kabar gembira ini tentunya telah ditunggu sejak lama oleh seluruh elemen penyiaran di tanah air. Hadirnya UU baru ini diharapkan dapat memberi keadilan berusaha bagi seluruh pelaku industri siaran termasuk mengisi kekosongan regulasi yang tegas untuk media berbasis internet dan media sosial.
“Memang perlu ada keadilan. Soal penyiaran diatur dan yang satu tidak. Insya Allah tahun ini kita selesaikan. Kami inginnya hal ini jalan bareng-bareng agar ada kesetaraan dan equilibrium,” kata Kharis.
Pembahasan mengenai aturan penyiaran dan media baru dilakukan secara bersamaan karena pokok masalahnya yang sama yakni soal isi siaran. Hal ini juga terkait dengan pendapatan yang diperoleh dari konten meskipun distribusi beda platform. Artinya, penerimaan negara tidak hanya berasal dari TV tapi juga dari media baru atau platform lainnya.
Lantas seperti apa penguatan terhadap regulatornya, Kharis mengatakan akan masih terbuka seperti apa terutama perlakuan kepada Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID). “Oleh karena itu, silahkan memberikan masukan kepada Komisi I,” pintanya.
Rencananya, Komisi I DPR akan membuat naskah akademis dan mulai menampung masukan dari publik. Untuk itu, berbagai upaya sudah dilakukan dengan terjun ke sejumlah daerah seperti Yogyakarta dan Padang. “Kita akan ke Bandung, Bogor dan Serang. Berikutnya ke Sulawesi. Menggali masukan dari masyarakat akan kami lakukan hingga awal Maret nanti. RUU ini kita harapkan selesai dalam satu dua masa sidang,” kata Kharis.
Sementara itu, Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, dalam sambutan acara mengatakan, kebutuhan sebuah regulasi baru yang memayungi penyiaran termasuk media terbaru sebuah keniscayaan. Banyak negara telah melakukan hal ini karena berbagai pertimbangan yang kuat dan sangat beralasan.
Contoh yang bisa dipetik seperti kebijakan yang dikeluarkan Uni Eropa yang meminta Netflik memproduksi kontennya di Eropa. Alasan yang menjadi dasar kebijakan ini adalah untuk memberdayakan budaya Eropa melalui TV streaming.
“Ini menarik karena kita akan melihat film di Netflik yang ada di sana ada yang berbahasa Jerman, Perancis dan lainnya. Ada proteksi budaya bangsa dan upaya mempromosikannya ke luar negeri. Turki juga mengadopsi aturan ini. Mereka harus berbadan hukum Turki dan ini menarik untuk dibuat. Australia juga demikian yang mewajibkan Netflix, Youtube, dan Facebook berbadan hukum Australia. Aturan ini memang membuat gaduh Amerika Serikat,” ungkap Agung.
Agung menilai apa yang dilakukan negara-negara tersebut sangat realistis. Adanya refresentasi dari Netflix, Youtube maupun Facebook adalah bagian dari tanggungjawab dan keharusan ketika terjadi sebuah masalah di negara tersebut. “Jika kontennya bermasalah seperti rasialis dan tidak segera di take down, maka direktur utamanya bisa dikenakan sanksi hukum,” ujarnya.
Selain itu, kekosongan regulasi yang mengatur media baru tersebut menimbulkan ketimpangan perlakuan terhadap media yang sudah eksis atau mainstream. “Jika ada masalah di TV maka KPI akan beri sanksi dan ketika media baru tersebut bermasalah tidak ada sanksi yang juga menerima iklan,” kata Agung.
Berbagai desakan agar lahir UU yang memberi kesetaraan perlakuan ini juga disampaikan Anggota Mastel (Masyarakat Telematika), Neil Tobing. Pasalnya, koor bisnis yang dilakukan kedua media ini adalah memproduksi konten dan mendapatkan uang atas usahanya dari iklan.
“Keduanya juga memperebutkan viewers yang sama. Tapi, tidak ada aturan untuk media OTT dan mereka bebas,” tutur Neil dalam acara tersebut.
Dia menyampaikan bahwa nilai dari industri digital di Indonesia mencapai 70 milyar dollar. Sayangnya, sebanyak 6,3 milyar dollar diambil oleh global capital. Ini terjadi karena mereka tidak disyaratkan memiliki badan hukum Indonesia dan mereka tidak dikenai pajak.
“Padahal, Google dan Youtube itu mendapat pendapatan terbesar keduanya dari Indonesia, tapi sayang tidak ada devidennya ke kita. Oleh karena itu, kita berharap UU Penyiaran ini disahkan dengan memasukan aturan OTT di dalamnya,” ujar Neil seraya berharap.
Berbagai masukan dan permintaan soal pengaturan media baru ini turut dilontarkan berbagai asosiasi seperti ATVNI (Asosiasi Televisi Nasional Indonesia), ATSDI (Asosiasi Televisi Swasta Digital Indonesia), PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia), hingga JRKI (Jaringan Radio Komunitas Indonesia). Alasannya, agar media ini diatur adalah memberi keseimbangan dan pembelaan terhadap media yang sudah ada.
Dalam diskusi tersebut, turut hadir Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, Mimah Susanti, Irsal Ambia, Mohamad Reza. Adapun moderator diskusi dikawal Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano. ***/Editor: MR
Hallo KPI, selamat pagi. Pada tanggal 17 Oktober program pagi pagi ambyar mengundang salah satu nitizen Lesti dengan dengan agenda pembullyan hal ini yang sangat dilarang di seluruh dunia yang akan mengakibatkan korban jadi mempunyai mental health, saya sebagai warga Indonesia sangat sangat kecewa mengapa acara yang sangat tidak mendidik seperti ini bisa tayang yang bahkan bukan hanya orang dewasa yang menonton melainkan anak anak juga menonton apakah pantas pembullyan dipertontonkan oleh anak anak ? Jangan hanya ada yang lebih viral mereka mengundang orang yang tidak berpendidikan tayang di tv nasional demi rating , harusnya KPI menyeleksi mana acara yang benar benar memberikan pelajaran bagi semua warga Indonesia kedepannya mana yang mau menghancurkan orang lain. Bukankah sudah jelas KPI memboikot Rizky bilar ke tv tapi kenapa setiap hari di tv manapun Rizky bilar muncul termasuk Indosiar yang terang terangan sudah memboikot Rizky bilar tetap saja masih memperbincangkan Rizky bilar. Terimakasih kasih.