Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melakukan koordinasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Lembaga Sensor Film (LSF),  Sejarawan, ANTV dan perwakilan masyarakat, terkait penayangan serial King Suleiman/ Abad Kejayaan di ANTV (9/1). Koordinasi tersebut dilakukan dalam rangka  menindaklanjuti permohonan dari Kantor Hukum TOSA & Partner yang memohon kepada KPI Pusat untuk mencabut izin tayang film King Suleiman/ Abad Kejayaan di ANTV.

Dalam kesempatan tersebut, Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat Rahmat Arifin menyampaikan bahwa telah sampai di KPI, 2788 aduan dari masyarakat yang dikirimkan baik melalui email, sms, twitter dan facebook, tentang film seri King Suleiman yang kemudian diganti menjadi Abad Kejayaan. Dikatakan oleh Rahmat, rapat koordinasi ini adalah usaha KPI untuk mendengarkan masukan dari semua pihak terkait tayangan film seri ini. Meskipun dari MUI sendiri sudah menyampaikan surat resmi yang menyatakan film ini sangat berpotensi meresahkan masyarakat. 

Azkarmin, Direktur Olah Raga dan Pemberitaan ANTV menyampaikan pihaknya meyakini tidak ada norma-norma regulasi yang dilanggar dalam penayangan King Suleiman/ Abad Kejayaan. Bahkan, pihak ANTV juga melakukan sensor yang sangat ketat pada setiap episode, sehingga yang aslinya berdurasi 120 menit menjadi tayang 80 menit saja per episode. “Tidak ada niat sama sekali untuk menistakan Islam,” ujar Azkarmin.

KPI juga menghadirkan sejarawan dari Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia , Alwi Alatas, untuk dimintakan pendapat. Dikatakan Alwi, Raja Suleiman dalam kekhalifahan Turki Utsmani dikenal sebagai khalifah yang memimpin puncak kebesaran Turki. “Dia memiliki posisi yang sangat istimewa bagi umat Islam,” ujar Alwi. Dirinya sangat memaklumi jika ummat Islam kemudian menjadi resah dengan film yang menggambarkan kehidupan pribadi Raja Suleiman. Alwi mengusulkan, kalau memang hendak membuat kisah fiksi, sebaiknya tidak diambil dari tokoh-tokoh yang nyata ada dalam sejarah, apalagi tokoh yang dihormati secara khusus oleh umat beragama. Lebih jauh lagi Alwi berpendapat, jangankan mengisahkan yang tentang keburukan seorang tokoh sejarah, meski berbalut fiksi, kisah yang baik dan positif pun juga berpotensi menimbulkan protes dari masyarakat.

Senada dengan Alwi, perwakilan dari MUI, Fahmi Salim, juga menyayangkan film yang mengeskpos hal-hal pribadi dari sosok sejarah. Apalagi sebenarnya penulisan tentang Hareem di kesultanan sangat sedikit, dan kebanyak ditulis oleh penulis Eropa terutama dari Venesia yang dalam sejarahnya banyak berurusan dengan kekhalifahan Turki Utsmani. “Kalau memang ANTV bertujuan untuk mengabarkan tentang abad kejayaan Islam, tunjukkanlah bagian kejayannya, bukan mengungkap sisi pribadi seorang tokoh!” tukas Fahmi.

Fahmi juga menegaskan kembali bahwa MUI melihat serial ini sangat meresahkan masyarakat, terutama kaum muslimin. Sevalid apapun film sejarah dikemas, tetap saja merupakan kisah fiksi, karena tokohnya sudah tidak ada ujarnya. Sementara, kita yang ada sekarang bukanlah saksi sejarah  yang dapat memverifikasi kisah itu.

Sementara itu Artadi Hasbi dari LSF mengakui bahwa lembaganya meloloskan serial ini dengan banyak sekali catatan yang harus diperhatikan oleh ANTV. “LSF berharap swasensor dari stasiun televisi dilakukan dengan baik,” ujarnya. Namun demikian Hasbi merasa bersyukur dengan adanya protes dari masyarakat terhadap serial ini.

Pada rapat tersebut hadir pula Ketua KPI Pusat Judhariksawan, Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad, Koordinator bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran Azimah Subagijo, serta komisioner KPI Pusat lainnya, Fajar Arifianto, Amiruddin dan Agatha Lily.

Idy Muzayyad menyampaikan pertanyaan tentang framing dari film seri ini. “Kalau bicara abad kejayaan, kenapa yang ditonjolkan adalah masalah pribadinya Sultan?” tanya Idy. Selain itu, apakah ada jaminan, sensor yang dibuat ANTV dapat merepresentasikan kekhalifahan yang sesuai. Karena masyarakat sekarang justru sudah kadung di-frame tentang kisah King Suleiman yang salah.

Senada dengan Idy, Amiruddin juga melihat bahwa film bukanlah barang yang bebas nilai. Karenanya harus dicek siapa yang menjadi produser film ini dan apa motivasinya. Amiruddin menilai bahwa film seri ini masuk dalam genre religi. Lembaga penyiaran harus berhati-hati dalam penayangan program siaran bersifat religi, jangan sampai ada distori dan menyesatkan.  Amiruddin juga mengingatkan jika ada tayangan yang bernilai menyesatkan, berarti telah melanggar bukan saja P3 dan SPS KPI, tapi aturan yang lebih tinggi, yakni undang-undang penyiaran.

Sementara itu Azimah Subagijo mempertanyakan motif dari ANTV menyiarkan serial ini. Menurutnya, serial film yang dinyatakan fiksi oleh ANTV ini, berpotensi mendistorsi sejarah. “Sehingga masyarakat mengkonsumsi informasi yang sesat tentang sejarah kekhalifahan Turki, karena tokoh dan setting yang digunakan film ini adalah nyata,” ujar Azimah pada kesempatan terpisah. Sedangkan menurut Fajar Arifianto, meskipun dinyatakan sebagai cerita fiksi, serial ini telah menimbulkan stigma negative tentang kesultanan Islam.

Sebelum menutup pertemuan, Judhariksawan mengingatkan pada pihak ANTV bahwa pendapat dari masyarakat, tokoh dan ahli sejarah ini harus dijadikan masukan yang berharga. Selain itu ANTV juga diharap tidak berpuas diri dengan rating tinggi yang didapat serial ini. “Ini adalah rating polemik!” ujar Judha. Banyaknya penonton serial ini dikarenakan adanya polemik yang melingkupinya, sehingga memancing keingintahuan orang untuk menonton. KPI sendiri, setelah mendengar masukan dari berbagai pihak, akan segera menggelar rapat pleno untuk memutuskan sikap atas serial King Suleiman/Abad Kejayaan.

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tengah mempertimbangkan untuk menyampaikan rekomendasi kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk melakukan peninjauan terhadap Izin Penyelenggaraan penyiaran (IPP) RCTI. Hal ini ditempuh KPI setelah memberikan teguran kepada RCTI atas program siaran “Ngunduh Mantu: Raffi & Nagita”.

Menurut Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, KPI menjatuhkan sanksi teguran tertulis kepada RCTI atas penayangan program siaran “Ngunduh Mantu: Raffi & Nagita” yang ditayangkan stasiun tersebut pada 30 Desember 2014 lalu. Dalam surat teguran tersebut, disebutkan bahwa berdasarkan pengaduan masyarakat, pemantauan dan hasil analisa yang dilakukan KPI, program ini melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS).

KPI menilai, program yang menayangkan prosesi ngunduh mantu Raffi Ahmad dan Nagita Slavina di Bandung selama 4 jam 33 menit, telah dimanfaatkan bukan untuk kepentingan publik. “Program tersebut juga disiarkan dalam durasi waktu siaran yang tidak wajar,” ujar Judha. Program ini melanggar P3 KPI tahun 2012 pasal 11 ayat (1) dan SPS KPI 2012 pasal 11 ayat (1).

Dijelaskan Judha, berdasar pada catatan dari KPI, RCTI juga telah mendapat teguran tertulis terkait penayangan program siaran pernikahan “Kamulah Takdirku Nagita dan Raffi” yang tayang selama tujuh jam, pada 19 Oktober 2014 lalu. KPI Pusat juga telah memperingatkan RCTI untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama pada program sejenis di kemudian hari. Namun munculnya program Ngunduh Mantu ini menunjukkan bahwa RCTI  tidak mengindahkan teguran ini.

Atas dasar pengabaian teguran yang telah dijatuhkan sebelumnya, KPI akan mengakumulasi sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan sanksi yang lebih berat sesuai dengan Pasal 75 ayat (2) SPS, diantaranya memberikan rekomendasi kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk meninjau Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia, atau memberikan sanksi pengurangan durasi  dan waktu siaran bagi RCTI.

Judha mengingatkan, bahwa frekuensi yang dipinjamkan untuk digunakan RCTI bersiaran merupakan ranah publik yang tidak dapat dipergunakan semena-mena. Karenanya KPI meminta RCTI menjadikan P3 dan SPS KPI Tahun 2012 sebagai acuan utama dalam penayangan sebuah program siaran.


Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjatuhkan sanksi teguran tertulis kepada stasiun TV One karena pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar program Siaran (P3 & SPS) yang dilakukan stasiun tersebut pada program siaran jurnalistik “Breaking News”, 30 November 2014 pukul 14.48. Dalam tayangan Breaking News itu, TV One menyiarkan gambar jenazah korban kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501 dalam proses evakuasi dengan kondisi mengapung di laut tanpa busana lengkap. Dalam surat yang ditandatangani oleh Wakil Ketua KPI Pusat, Idy Muzayyad pada 31 Desember 2014, KPI menilai gambar yang ditayangkan secara close up tanpa edit ini sangat tidak santun dan dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan rasa trauma pada masyarakat, khususnya keluarga korban. “Terbukti, di Surabaya, ada keluarga korban yang langsung pingsan begitu melihat tayangan tersebut,” ujar Idy.

Secara khusus Idy mengatakan bahwa tayangan Breaking News TV One ini telah melanggar P3 & SPS KPI, salah satunya Pasal 25 P3 KPI 2012 tentang peliputan bencana. Dalam pasal 25 ayat (1) P3 KPI menyebut,  “Lembaga penyiaran dalam peliputan dan/ atau menyiarkan program yang melibatkan pihak-pihak yang terkena musibah wajib mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. melakukan peliputan subyek yang tertimpa musibah dengan wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarganya.” Penayangan kondisi korban yang sedang dievakuasi dari laut tanpa proses editing jelas melanggar ketentuan yang ada dalam P3 tadi, terang Idy.

Saat munculnya berita duka hilangnya pesawar Air Asia, KPI sebenarnya sudah mengirimkan surat imbauan kepada seluruh lembaga penyiaran agar berhati-hati dalam melakukan peliputan bencana, terutama dengan memperhatikan kondisi psikologis keluarga korban yang tertimba musibah tersebut. “Kami tidak menginginkan kondisi duka yang dialami para keluarga korban akan semakin bertambah berat  dengan hadirnya tayangan langsung peliputan bencana yang tanpa empati”, tegasnya.

KPI menyesalkan masih adanya stasiun televisi yang tidak mengindahkan imbauan KPI dengan tetap menyiarkan muatan-muatan yang tidak layak dipertontonkan. Selain memberikan teguran tertulis kepada TV One, KPI juga memberikan peringatan kepada Metro TV dan TVRI atas tersiarnya gambar-gambar korban musibah jatuhnya pesawat Ari Asia QZ8501. KPI berharap teguran dan peringatan ini juga menjadi pelajaran bagi seluruh lembaga penyiaran agar berhati-hati dalam melakukan peliputan musibah, terutama memperhatikan kondisi psikologis dan traumatis keluarga korban.

KPI menerima banyak aduan dan keberatan dari masyarakat atas tayangan di beberapa televisi yang meliput langsung proses evakuasi korban musibah jatuhnya Air Asia QZ8501. Aduan itu disampaikan langsung ke KPI baik melalui sms, email, sosial media serta telepon langsung ke KPI. Untuk itu KPI berharap, seluruh lembaga penyiaran dapat lebih bijak lagi dalam melakukan liputan bencana. 

Jakarta - Sepanjang tahun 2014, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah menjatuhkan sanksi sebanyak 182 kali kepada seluruh 12 stasiun televisi yang bersiaran berjaringan. Jumlah ini meningkat dari sanksi yang dijatuhkan KPI pada tahun 2013 yang hanya berjumlah 108 kali. Peningkatan sanksi ini menurut Wakil Ketua KPI Pusat, Idy Muzayyad, salah satunya dikarenakan adanya momen pemilihan umum, baik legislatif ataupun presiden. Lembaga Penyiaran menjadi salah satu pilihan dalam melakukan kampanye bagi setiap kandidat dalam pemilu legilatif dan pemilu presiden.

Hal ini selaras dengan data penjatuhan sanksi yang ada di KPI Pusat, yang didominasi oleh iklan-iklan kampanye, baik dari partai politik, calon anggota legislatif ataupun dari kandidat calon presiden. “Jika dilihat secara keseluruhan, dari 182 sanksi yang dijatuhkan KPI, 47 diantaranya adalah iklan”, terang Idy.

Sebaran sanksi KPI juga banyak terdapat pada program sinetron dan variety show. Program sinetron mengumpulkan sanksi sebanyak 38 kali dan variety show sebanyak 29 kali. Bahkan terdapat dua sanksi penghentian sementara untuk masing-masing variety show dan sinetron.

Sanksi penghentian sementara untuk program variety show adalah Yuk Keep Smile yang tayang di Trans TV serta D’ Terong Show yang tayang di Indosiar. Sedangkan untuk program sinetron, sanksi penghentian sementara diberikan pada Ganteng-Ganteng Serigala yang tayang di SCTV. Terkait program Yuk Keep Smile, sanksi terakhir dijatuhkan pada bulan Juni lalu, akibat pelanggaran  atas ketentuan tentang penghinaan atau merendahkan martabat manusi, seperti yang ada dalam pasal 24 ayat (1) Standar Program Siaran (SPS)KPI 2012. KPI menjatuhkan sanksi penghentian sementara, namun kemudian  lembaga penyiaran memutuskan untuk tidak lagi menayangan program YKS.

Dijelaskan Idy, secara umum, sanksi yang diperoleh lembaga penyiaran sepanjang 2014 diakibatkan pelanggaran atas perlindungan terhadap anak dan remaja, serta pelanggaran atas norma kesopanan dan norma kesusilaan. Idy berharap, pada tahun selanjutnya, lembaga penyiaran lebih ketat lagi dalam melakukan sensor internal terhadap tayangan yang akan hadir di tengah masyarakat. “Jangan sampai masyarakat justru merasa tidak lagi nyaman dengan muatan tayangan-tayangan televisi,” ujarnya. Bagaimanapun, izin penyelenggaraan penyiaran yang diberikan kepada televisi salah satunya guna memberikan informasi sesuai dengan kebutuhan dan hak asasi masyarakat, bukan kebutuhan yang diorientasikan pada kepentingan dan kecenderungan pengelola lembaga penyiaran belakan, pungkas Idy. 
 
 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengeluarkan surat himbauan untuk semua lembaga penyiaran terkait siaran peliputan dan pemberitaan “Hilangnya Pesawat Air Asia”. Berikut di bawah surat himbauan yang disampaikan.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat berdasarkan tugas dan kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) berkewajiban untuk mengingatkan kepada seluruh lembaga penyiaran agar lebih berhati-hati dalam menayangkan berita hilangnya pesawat Air Asia QZ 8501 dari Surabaya menuju Singapura yang terjadi pada Minggu pagi tanggal 28 Desember 2014. KPI Pusat menghimbau kepada seluruh Lembaga Penyiaran tetap berpedoman kepada P3 dan SPS khususnya Peliputan Bencana yakni Lembaga Penyiaran dalam peliputan bencana atau musibah wajib mempertimbangkan keluarga korban serta Lembaga Penyiaran dilarang memaksa, menekan dan atau mengintimidasi untuk melakukan wawancara dan atau mengambil gambar keluarga korban yang dalam kondisi trauma/terpukul. Hal ini sesuai dengan aturan dalam Pasal 49 dan Pasal 50 huruf a Standar Program Siaran (SPS) KPI.

Perlu kami ingatkan, pada tanggal 15 Oktober 2014 KPI Pusat telah mengeluarkan Surat Edaran Jurnalistik yang salah satunya larangan kepada Lembaga Penyiaran memaksa, menekan/atau mengintimidasi untuk melakukan wawancara dan mengambil gambar dalam liputan bencana.

Demikian surat imbauan KPI Pusat ini kami sampaikan, agar Lembaga Penyiaran mematuhi dan melakukan peliputan yang mengedapankan empati dan etika serta bertanggung jawab. Terima kasih.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.