- Detail
- Dilihat: 12804
(Jakarta) - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat kembali memanggil Trans TV terkait program Sexophone yang dinilai kembali menayangkan pembahasan masalah seks yang melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) kemarin (26/6). Dalam forum klarifikasi tersebut, hadir Wakil Ketua KPI Pusat Ezki Suyanto, Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran Nina Mutmainah, Koordinator bidang Kelembagaan Azimah Subagijo, Komisioner bidang Perizinan dan Infrastruktur Penyiaran Dadang Rahmat Hidayat.
Di awal pertemuan, Nina yang memimpin forum tersebut menyampaikan hasil analisa dari KPI Pusat atas Sexophone. Dalam periode Maret-Juni 2013, Nina melihat ada beberapa topik Sexophone yang tampil demikian deskriptif atas perilaku seks tertentu, hingga tak heran banyak pengaduan yang masuk ke KPI menilai program ini mempromosikan seks bebas. Selain itu, dalam pengamatannya, Sexophone jarang menyebut kata suami-istri untuk bicara soal aktivitas seks ini, melainkan hanya menyebut “pasangan seksual”.
Senada dengan Nina, Azimah juga melihat adanya tendensi dari Sexophone untuk merendahkan institusi pernikahan. Lebih lanjut, menurut Azimah, dalam hasil analisa tim kajian pornografi KPI Pusat, banyaknya muatan seks yang menyimpang dan kecenderungan Sexophone menjadikannya sebagai bukan sesuatu yang bermasalah, menjadikan program ini seharusnya tidak ada lagi di layar TV.
Dalam pertemuan tersebut Ezki Suyanto juga mengingatkan pengategorian Sexophone sebagai program jurnalistik. Menurutnya, program jurnalistik haruslah menyangkut kepentingan publik, dan hal tersebut sudah jelas dalam P3 & SPS tentang apa yang disebut kepentingan publik. “Jangan sampai prinsip-prinsip jurnalistik dikaburkan dengan acara seperti ini hanya karena tidak mau adanya penyensoran”, tegasnya.
Sementara itu Dadang Rahmat Hidayat meminta Sexophone mempunyai ketegasan posisi dalam memberitakan masalah seks, terutama yang menyimpang dan bertentangan dengan norma kesusilaan yang ada. Menurutnya, sangat wajar media menyampaikan realitas yang ada di masyarakat, namun bukan berarti media demikian gamblang menjelaskan bahkan sampai mengajarkan masyarakat bagaimana cara mendapatnya. Justru, ujar Dadang, media harus mengambil posisi membantu mencarikan solusi atas permasalahan tersebut.
Azimah juga mengingatkan pada Sexopohone, yang mengaku melakukan perubahan besar atas konsep programnya itu. “Mata kamera yang muncul harus yang sedih, muram, dan penuh keprihatinan. Bukan mata kamera yang berbinar dan gembira atas realitas sosial yang menyimpang”, ujarnya. Sexophone juga harus punya pembelaan moral atas fenomena penyimpangan tersebut, tambah Azimah. Sebagai penutup, Nina kembali mengingatkan bahwa Sexophone sudah menerima dua kali sanksi dari KPI atas programnya. KPI memberikan kesempatan adanya perbaikan konsep program seperti yang dijanjikan pengelola acara. “Kami ingin Sexophone bisa hadir sebagai program sex yang edukatif dan bermanfaat bagi masyarakat”, tegasnya.