Bandung – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tengah menyusun Peraturan KPI tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Pelanggaran Isi Siaran. PKPI ini akan menerapkan penjatuhan sanksi administratif berupa denda kepada lembaga penyiaran yang melanggar. 

Penerapan sanksi denda ini bagian dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) No.43 Tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatik (Kemenkominfo). 

Menurut Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta pihaknya untuk segera menyusun peraturan berkaitan dengan sanksi denda. Sanksi ini bagian dari pelaksanaan dari PP No.43 yang telah dikeluarkan Kemenkominfo beberapa waktu lalu. 

“Waktu kami tidak lama untuk diminta membuat peraturan ini. Kami juga mengapresiasi untuk teman-teman periode sebelumnya yang sudah menggarap dan mengusulkan terkait sanksi denda ini,” katanya saat membuka kegiatan Diskusi Kelompok Terpumpun atau FGD tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Pelanggaran Isi Siaran, Sabtu (21/10/2023) di Bandung, Jawa Barat.

Pembahasan soal sanksi denda sebenarnya telah jauh hari dikerjakan KPI bersama-sama Kemenkeu, Kemenkominfo dan stakeholder terkait. Hingga pada akhirnya Pemerintah cq Kemenkominfo mengeluarkan PP No.43  tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kemenkominfo.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, rencana ini disambut baik Pakar Hukum dari Universitas Hasanuddin Makassar (Unhas) Judhariksawan. Menurutnya, sanksi denda akan membuat KPI punya kekuatan baru dalam mengatur lembaga penyiaran. “KPI jadi punya senjata baru untuk menertibkan lembaga penyiaran agar berhati-hati dalam menampilkan tayangan di frekuensi publik,” kata Ketua KPI Pusat Periode 2013-2016. 

Namun begitu, sambung Judha, adanya sanksi administratif denda ini jangan dianggap sebagai bentuk tekanan terhadap lembaga penyiaran. Konteks dari sanksi ini lebih mengedepankan koreksi atau pencegahan terhadap pelanggaran siaran.   

“Kita harus menyampaikan kepada stakeholder terkait rencana ini bahwa denda administratif bukan dalam konteks balas dendam, namun lebih kepada korektif atau pencegahan. Sifatnya menjadi pengingat bahwa ada hal-hal yang sifatnya bisa mereka terima sebagai sebuah sanksi namun untuk mencegah,” jelas Judhariksawan.  

Dengan adanya PP No.43 ini KPI membutuhkan adanya PKPI baru. Sayangnya, ujar Judha, batas waktunya sangat ketat. Pasalnya, mekanisme keluarnya peraturan KPI memiliki hukum acara sendiri yakni melalui persetujuan dalam Rapat Koodinasi Nasional (Rakornas) KPI. 

“Saran dari saya, kita bisa mengamandemen ini dan bisa dilakukan Rakornas khusus melalui daring untuk mengubah 1 pasal. Isinya semua hal yang diwajibkan pada PNBP ini adalah indeks pelanggaran tadi,” usul Judha. 

Perlu segeranya KPI membuat aturan turunan teknis terkait sanksi denda ini turut disampaikan Irsal Ambia. Menurutnya, aturan ini akan melengkapi PKPI yang sudah dibuat KPI. 

Kendati demikian, lanjut Anggota KPI Pusat Periode 2019-2022, KPI harus membuat besaran angka dendanya. “Ini yang perlu kita buat. Perlu dilakukan besaran indeks diseluruh pelanggaran yang ada,” katanya.  

Selain itu, Irsal menekankan agar penyusunan PKPI ini berurutan dimulai dari pengawasan konten. Pasalnya, proses ini berujung di penetapan denda. “Maka kita harus memastikan pengawasan yang dilakukan bisa dipertanggungjawabkan. Kita harus melakukan pengawasan berdasarkan SOP serta terbuka untuk publik,” pintanya.

Irsal juga menegaskan penerapan sanksi ini jangan dipandang sebagai pemasukan, Menurutnya, mekanisme denda ini dilihat sebagai instrumen yang mendorong pengembangan kualitas siaran. 

Perwakilan Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kemenkeu Anas menjelaskan, adanya jenis PNBP denda dalam PP No.43 mengharuskan KPI untuk mengelolanya. Karena itu, dia mengingatkan agar pengeloaannya dilakukan dengan benar. “Dampak jika mengelola tidak tepat ada pelanggaran oleh karena itu kita harus berhati-hati dalam mengelola PNBP,” ujarnya sekaligus menambahkan proses penetapan penentuan tarif PNBP cukup Panjang.

Sementara itu, Ketua KPID Jabar Adiyana Slamet meminta adanya pelibatan lembaga penyiaran dalam pembahasan. “Ada beberapa asosiasi yang berdiskusi tentang PP No. 43 tahun 2023 karena dendanya cukup besar,” tutupnya.

Dalam diskusi ini, hadir Anggota KPI Pusat Muhammad Hasrul Hasan, Aliyah, Tulus Santoso, Evri Rizqi Monarshi, dan I Made Sunarsa. Turut hadir Anggota KPID dari sejumlah provinsi. ***/Foto: Teddy

 

 

 

Jakarta – Semangat dari hadirnya peraturan daerah (perda) tentang penyiaran adalah membentuk penyiaran yang selaras dengan keinginan daerah tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan upaya pengembangan dan pemberdayaan potensi yang ada di daerah diataranya sumber daya alam dan sumber daya manusia (SDM).

Hal itu disampaikan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Ubaidillah, saat menerima kunjungan kerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) dan Dinas Komunikasi dan Informatika (Disinfokom) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) di Kantor KPI Pusat, Jumat (20/10/2023). Kunjungan ini dalam rangka konsultasi rencana pembentukan perda tentang penyiaran di Kalsel.

Dia menjelaskan keberadaan perda ini akan ikut menguatkan penerapan aturan 10% siaran lokal di lembaga penyiaran (induk jaringan). Hal ini tentunya mendorong tumbuhnya konten lokal yang sejalan dengan konsep berjaringan. “Jadi produksi kontennya dilakukan di daerah, dikerjakan oleh SDM daerah, dan programnya disiarkan pada jam produktif,” ujar Ubaidillah.

Perda ini juga penting di tengah makin berkembangnya teknologi komunikasi dan penyiaran. Terlebih lagi hingga saat ini RUU Penyiaran belum selesai. “Perda ini bisa jadi payung. Apalagi sekarang ini sudah ada platform lain. Belum lagi soal iklan di lokal. Dalam konteks menumbuhkan konten lokal alangkah baiknya iklan tersebut di iklankan di siaran lokal,” tambah Ubaidillah yang mengatakan baru Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang sudah memiliki perda tentang penyiaran. 

Sementara itu, Anggota KPI Pusat, I Made Sunarsa, menyatakan dukungan hadirnya perda penyiaran di Kalsel. Menurutnya, aturan ini akan menguatkan peran daerah dalam penyiaran. Hal ini sejalan dengan upaya mencerdaskan masyarakat melalui penyiaran. 

“Tujuannya adalah untuk menjamin hak masyarakat mendapatkan informasi, mendorong iklim penyiaran, membuat keseimbangan dan pemerataan, hingga mendorong meningkatkan sumber daya manusia penyiaran,” jelas Koordinator bidang Kelembagaan KPI Pusat ini.

Sebelumnya, Ketua Pansus Perda DPRD Provinsi Kalsel, Fahruri menyampaikan, pihaknya ingin mendapat banyak masukan dan pendapat terkait rencana pembentukan Perda Penyiaran di Kalsel. “Kami sudah menemui berbagai pihak. Intinya, kami ingin menguatkan peran daerah dalam penyiaran,” katanya.

Menurut salah satu Anggota DPRD yang ikut hadir dalam pertemuan, adanya perda ini akan mengawal proses penayangan konten lokal di daerah. Sehingga lembaga penyiaran yang bersiaran di daerah akan memenuhi kewajiban tersebut secara baik dan benar. 

“Konten lokalnya hanya mengulang-ulang saja. Tidak ada konten lokal yang baru sehingga potensi yang kami miliki tidak terkondisikan dari dalam isi siaran. Padahal di Kalsel sangat banyak potensi termasuk SDM lokalnya,” lanjutnya.

Dia berharap hadirnya perda ini akan mendorong peran aktif masyarakat Kalsel dalam mengawal siaran di daerahnya. “Ruang relasi dengan publik harus dikuatkan agar berperan aktif. Ini salah satu spirit dari akan dibentuknya perda,” tandasnya. ***/Foto: Agung R

 

 

Serpong – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menggelar diskusi kelompok terpumpun atau FGD (fokus grup diskusi) kegiatan Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (IKPSTV) periode dua tahun 2023, Rabu (18/10/2023) di Serpong, Banten. Diskusi ini menggali masukan sekaligus penilaian dari para informan ahli yang berasal dari 12 perguruan tinggi terhadap 8 kategori program acara TV. Delapan kategori tersebut antara lain kategori anak, wisata dan budaya, variety show, berita, infotainment, sinetron, religi dan talkshow. 

Pada IKPSTV periode satu, dari 8 kategori terdapat dua kategori acara yang rata-rata nilainya masih di bawah angka kualitas yakni sinetron dan infotainment. Berdasarkan catatan, nilai indeks yang diperoleh kategori program sinetron di periode ini hanya 2,78. Sedangkan nilai indeks kualitas untuk kategori program acara infotainmen 2,80. Bahkan sepanjang pelaksanaan indeks selama 9 tahun, nilai keduanya belum pernah mencapai angka 3.00 (ambang batas angka kualitas yang ditetapkan KPI). 

Ketua KPI Pusat, Ubaidillah mengatakan, masih rendahnya indeks kualitas di dua kategori ini menjadikan pekerjaan rumah bagi pihaknya. Namun, tanggung jawab ini tidak hanya menjadi beban sepihak tapi juga beban para pihak terkait lainnya. 

“Dari dua kategori ini harus kita carikan solusinya seperti apa. Sinetron bisa kita dorong melalui diskusi dengan pihak-pihak terkait. Kita pun sudah berdiskusi dengan asosiasi iklan dan pengiklan supaya beriklan pada acara sinetron yang berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” kata Ubaidillah saat membuka diskusi tersebut. 

Pandangan serupa mengenai solusi di dua kategori acara ini turut disampaikan Anggota KPI Pusat Amin Shabana. Menurutnya, diskusi dengan kalangan asosiasi dan pengiklan terus dilakukan untuk menyatukan pandangan sekaligus mengawal atas masalah kualitas di dua kategori acara tersebut. 

“Jadi tidak hanya lihat popularitas yang dikeluarkan Nielsen yang jadi satu-satu referensi. Jadi kami berharap perusahan ikalan dan agensi memiliki kesadaran bersama untuk mau memasang iklan mereka di kategori yang menurut indeks KPI berkualitas. Nanti kita akan ajak mereka untuk berdisikusi,” kata Amin yang juga penanggungjawab program IKPSTV.

Selain itu, KPI sudah menjajaki upaya untuk berdiskusi dengan kalangan jurnalis infotainmen. Pertemuan ini untuk pencerahan dan mengelaborasi produk tayangan infotainment selaras dengan nilai-nilai dan rambu yang berlaku. “Kegiatan ini sebagai tindak lanjut rekomendasi FGD IKPSTV tahap pertama,” ujar Amin di diskusi yang sama.

Pengembangan hasil IKPSTV juga dilakukan melalui kegiatan diseminasi yang bekerjasama dengan berbagai kampus. Menurut Amin, hasil riset yang baik harus dikomunikasikan. “Jika program IKPSTV ini dapat mengubah dari yang tidak baik menjadi baik, artinya kita bisa dinilai lebih bermakna lagi,” tambahnya sekaligus berharap kegiatan ini akan direspon perguruan tinggi lain sehingga tujuan penyiaran yang bermartabat, berbudaya dan berkeadilan dapat tercipta. 

Apresiasi dari Bappenas 

Program IKPSTV yang dijalankan KPI dengan 12 perguruan tinggi mendapat apresiasi dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Program ini sejalan dengan upaya Bappenas untuk meningkatkan indeks kualitas penyiaran di tanah air. 

Direktur Politik dan Komunikasi Bappenas, Asri Kusuma mengatakan, program indeks ini sejalan dengan arah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2029 yaitu menyempurnakan regulasi penyiaran untuk memastikan iklim penyiaran yang demokratis. Bahkan, dalam RPJPN lima tahun berikutnya, Bappenas ditekankan tentang pengembangan industri konten siaran yang berkualitas berbasis lokal dan komunitas. “Kami mengapresiasi apa yang sudah dilakukan KPI dengan agenda-agenda yang sudah dilakukannya,” katanya melalui daring.

Terhadap dua kategori program yang belum berkualitas, Bappenas melalui Asri meminta agar menjadi pokok perhatian dalam kegiatan IKPSTV. Hal ini untuk memastikan seluruh informasi dan hiburan yang diterima publik sudah mendidik. “Perlu ada kerja sama dengan TV, production house, universitas, atau pihak lain untuk memberikan pelatihan penulisan naskah sinetron dan perbaikan konsep serta konten infotainment,” tambahnya. 

Sementara itu, akademisi sekaligus tim ahli IKPSTV, Mulharnetti berharap hasil IKPSTV tidak hanya digunakan untuk industri penyiaran tapi juga dapat dimanfaatkan masyarakat, kampus dan kalangan lainnya. Karenanya, dia menilai program indeks kualitas ini masih diperlukan hingga saat ini. 

Harapan serupa juga disampaikan Ketua KPI Pusat periode 2016-2019, Yuliandre Darwis. Bahkan indeks yang dulunya bernama riset ini, lanjutnya, harus makin diperkuat. “Apalagi KPI akan diperkuat di dalam platform digital. Ini menjadi PR khususnya di dunia riset untuk buat terobosan baru. Jika hari ini 12 PTN, ke depan bisa lebih banyak lagi kampus yang terlibat,” tandasnya. ***/Foto: Syahrullah

 

 

Depok - Salah satu sebab internet lebih disukai publik saat ini adalah ketersediaan informasi yang dirasakan lebih cepat dibanding televisi dan radio. Meski tingkat akurasi dari media yang berbasiskan internet belum dapat dipastikan, namun tingkat kecepatan inilah yang juga menjadi penyebab generasi Z lebih senang mengaksesnya dibandingkan lembaga penyiaran. Pernyataan ini mengemuka dalam kuliah umum yang diselenggarakan program Vokasi Kehumasan Universitas Indonesia dengan dosen tamu anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Amin Shabana, (19/10). 

Pada kesempatan ini Amin menjelaskan perbedaan kerja di lembaga penyiaran seperti televisi dan radio, dengan media-media yang berbasiskan internet dan juga media sosial yang bertumpukan pada konten pengguna. “Jurnalis di televisi dan radio memiliki kewajiban melakukan check and recheck terhadap semua konten yang disampaikan pada publik,” ujarnya. Hal ini untuk memastikan berita atau informasi yang disajikan sudah dipastikan validitas atau faktualitasnya. Dalam televisi dan radio juga ada ruang redaksi dengan mekanisme kurasi untuk menjaga konten tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik. “Inilah yang membedakan dengan informasi yang kita dapat di media sosial, saat semua orang bisa menyampaikan kepada dunia informasi apapun juga,” terangnya. 

Kepada mahasiswa vokasi, Amin juga menjelaskan prinsip komunikasi publik yang dilakukan KPI Pusat dalam setiap saluran komunikasi yang dimiliki. Hingga saat ini, ujarnya, ada media sosial, website, dan juga newsletter KPI yang menjadi sarana komunikasi kepada publik sebagai stakeholder utama lembaga ini. Seluruh konten di media KPI merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada publik tentang kinerja KPI sebagai regulator penyiaran. “Termasuk setiap sanksi yang dijatuhkan KPI kepada lembaga penyiaran, pasti dimuat di media sosial dan juga website KPI,” terang Amin. 

Beberapa fakta diungkap Amin kepada mahasiswa, terkait tugas pokok dan fungsi KPI. “Yang jelas KPI tidak menyensor”, terangnya. KPI membuat pedoman tentang prinsip-prinsip yang harus diikuti lembaga penyiaran dalam menyiarkan konten ke tengah publik, yakni Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS).

Menjawab pertanyaan mahasiswa tentang sepinya pemberitaan terkait kepentingan publik di televisi, Amin menjelaskan bahwa KPI tidak pernah melakukan pelarangan terkait suatu konten kepada lembaga penyiaran. KPI sangat menghormati prinsip kebebasan pers, ujarnya. Jadi kalau ada kondisi seperti yang disampaikan tadi, yang harus ditanyakan adalah redaksi dan lembaga penyiaran yang bersangkutan. 

Pertanyaan lain yang disampaikan mahasiswa adalah soal konten televisi yang sarat dengan kesia-siaan dan tidak bermanfaat. Jikalau KPI berkepentingan untuk mengajak publik kembali menonton televisi, menurut mahasiswa, harusnya konten televisi dibenahi dan ditingkatkan kualitasnya. 

Merespon hal ini, Amin menyampaikan program Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (IKPSTV) yang dibuat KPI sejak sembilan tahun terakhir. Pada program ini, ada delapan kategori program siaran televisi yang dinilai secara kualitatif oleh para ahli. Amin berharap, mahasiswa segera mencari tahu program-program siaran televisi yang mendapatkan penilaian baik dari KPI. Selain itu, dia juga mengajak mahasiswa untuk ikut mengawal konten siaran televisi dengan terus menyuarakan jika ditemukan nilai-nilai yang tidak layak hadir di ruang publik. Hal ini tentu menjadi bahan bakar juga bagi KPI untuk memaksa lembaga penyiaran terus berbenah diri memperbaiki kualitas siarannya. 

Terakhir, Amin juga menyampaikan agenda KPI dalam mengawal kepentingan publik di Pemilu 2024. KPI memiliki kepentingan untuk memastikan informasi kepemiluan yang hadir di televisi dan radio adil dan berimbang untuk seluruh kandidat dan kontestan Pemilu 2024. Termasuk juga yang menjadi concern KPI adalah informasi tentang seluruh tahapan pemilu yang akan dijalani. “Sehingga seluruh masyarakat termasuk mahasiswa dapat menyalurkan pilihan politiknya berdasarkan informasi yang valid, bukan dari sebaran hoax atau pun ujaran kebencian,” pungkasnya.

 

 

Cirebon - Kenapa masih banyak tayangan yang tidak bermanfaat muncul di televisi? Demikian pertanyaan yang muncul dalam Bimbingan Teknis Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (Bimtek P3 & SPS) yang digelar di Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC), 17/10. Menjawab pertanyaan peserta yang merupakan mahasiswa dari UMC, anggota KPI Pusat yang juga Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran Tulus Santoso mengungkap alasannya.

 “Pada kenyataannya, tayangan tersebut masih ada penontonnya. Dan dari data lembaga pemeringkatan siaran, penontonnya banyak,” ujar Tulus. Sedangkan logika pengiklan adalah penempatan dilakukan berdasar banyaknya penonton sebuah program siaran di televisi. Ini juga yang membentuk ekosistem penyiaran, tambahnya. 

Pada kesempatan tersebut, Tulus juga mengakui adanya tren penurunan konsumsi televisi saat ini yang kemudian berpindah ke media sosial. Namun Tulus mengingatkan, jika memang publik kecewa pada konten di televisi yang dinilai tidak mendidik dan tidak bermanfaat, perpindahan ke media sosial seperti platform Tiktok, sebenarnya tidak menyelesaikan masalah. “Hingga saat ini belum ada aturan untuk konten di media sosial. Jadi potensi terpapar dengan konten yang lebih tidak mendidik justru lebih besar saat mengonsumsi media sosial,” terangnya.

Lebih jauh Tulus juga menjelaskan, tidak ada alasan bagi KPI menghentikan sebuah program siaran hanya karena ketidaksukaan publik. “Kontennya gak jelas, misalnya,” ujar Tulus. Namun KPI akan melayangkan teguran pada lembaga penyiaran termasuk melakukan penghentian jika dalam sebuah program siaran terbukti melanggar P3 &SPS, misalnya memuat pornografi. 

Bicara soal tayangan di televisi menurut Tulus terkait erat dengan aspek supply dan demand. KPI, ujarnya, membuat pengaturan dan pemberian sanksi agar pada aspek supply yang dibuat lembaga penyiaran tetap sesuai dengan koridor kepatutan dari regulasi. Setiap tahun setidaknya KPI memberikan tiga apresiasi, yakni Anugerah Syiar Ramadhan, Anugerah Penyiaran Ramah Anak dan Anugerah KPI. Ini juga menjadi tuntunan bagi lembaga penyiaran, tentang program siaran yang ideal, tambahnya. Namun harus diakui pula, apresiasi yang diberikan KPI ini belum berbanding lurus dengan jumlah penonton. Kesinambungan program-program berkualitas ini juga butuh dukungan dari publik, salah satunya dengan meningkatkan jumlah penonton.

Sedangkan untuk aspek demand, KPI terus melakukan sosialisasi dan juga literasi ke masyarakat. Salah satu tujuannya juga memperbaiki selera masyarakat, terutama agar konten-konten yang dikatakan tadi tidak bermanfaat atau tidak berfaedah, tidak lagi menjadi kegemaran. Pada suatu saat, aspek supply dan demand ini akan bertemu di sebuah titik tengah, ujar Tulus. Harapannya, industri penyiaran juga akan mengikuti selera publik yang sudah lebih baik. 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.