Depok – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sepakat membangun iklim penyiaran sehat dengan memperkuat pengawasan iklan obat tradisional dan suplemen kesehatan di media penyiaran. Terkait hal ini, Anggota KPI Pusat, Mimah Susanti mengatakan, frekuensi yang digunakan oleh lembaga penyiaran sewajarnya dimanfaatkan untuk kepentingan publik dengan dilandasi keseimbangan antara orientasi sosial dan kepentingan bisnis.

“Utamanya, KPI mengedepankan kepentingan publik dari berbagai aspek apa lagi yang berkaitan dengan konten siaran obat itu untuk kebermanfaatan masyarakat luas,” kata Mimah saat menjadi pemateri dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dengan tema “ Siaran Sehat Melalui Penyaringan Konten Positif di Media Penyiaran dalam Upaya Perlindungan Konsumen,”, Jumat (9/6/2023) di Depok, Jawa Barat.

Merujuk Undang-Undang (UU) Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 Pasal 36 ayat 1 dikatakan konten siaran wajib memperhatikan aspek informasi, pendidikan, hiburan untuk pembentukan intelektualitas bangsa, watak, moral, menjaga persatuan dan kesatuan dengan mengamalkan nilai agama dan budaya Indonesia. 

“Semua pihak memiliki peranan yang vital untuk mewujudkan hal tersebut, salah satunya kerja sama antara KPI dan BPOM yang merupakan bentuk kolaborasi mewujudkan visi misi penyiaran yang berkualitas,” tutur Mimah.

Dia menegaskan komitmen pihaknya dalam upaya pencegahan siaran iklan obat dan makanan yang tidak sesuai dengan kaidah, apalagi tayangan iklan obat dan makanan yang tidak terdaftar di BPOM. Terkait siaran iklan niaga, lanjut Mimah, media penyiaran tidak boleh menyembunyikan, menyesatkan, membingungkan atau membohongi publik sekaligus wajib mempertimbangkan manfaat dan jam tayang ketika iklan itu akan disiarkan. 

Disebutkan jika Tim Pemantauan KPI mengamati selama 24 jam setiap harinya apa yang terjadi di media penyiaran konvensional. “Dalam siaran iklan, bobot isi iklan tersebut wajib mempertimbangkan proposional kualitas produk dan juga harus disampaikan dengan sebenar-benarnya,” katanya

Di tempat yang sama, Direktur Pengawasan Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan BPOM, Rustyawati mengatakan, iklan di media penyiaran lokal memiliki kaitan dengan media penyiaran di pusat. Dia menilai masih banyak para produsen obat tradisonal beriklan di media penyiaran karena keefektifannya menyampaikan keakuratan dan fakta dari produk yang akan ditawarkan. “Sering ditemukan iklan obat di media lokal terbukti dari UMKM tradisional masih memanfaatkan radio dalam mempromosikan produknya,” kata Rustyawati.

Rustyawati memandang BPOM memiliki keterbatasan dalam melakukan pengawasan iklan di media penyiaran, salah satu faktornya yaitu sulit mendekteksi jam tayang iklan siaran. Selain itu, tidak ada wewenang BPOM untuk memberi teguran kepada rumah produksi iklan obat di daerah. 

Oleh karenanya BPOM berharap KPI Pusat pun Daerah dapat menjadi garda terdepan mensosialisasikan kaidah produksi siaran iklan yang bermanfaat. “Perlunya peningkatan koordinasi dan kerja sama yang bersifat masif antara KPI dan BPOM terkait sosialisasi regulasi penyiaran,” tandasnya. Syahrullah

 

 

 

 

Siaran Pers:

Nomor: 05/KPI/HM.02.02/06/2023

Tentang: 

Pemberitaan Penyalahgunaan Tindak Pidana Narkotika 

di Lingkungan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat

Menyikapi pemberitaan berbagai media massa mengenai kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika jenis ganja yang diduga terjadi di lingkungan KPI, maka disampaikan bahwa:

1. Tidak benar ada Anggota KPI terlibat dalam kasus penyalahgunaan narkotika dalam jenis apa pun yang saat ini ditangani oleh Kepolisian Resort (Polres) Metro Tangerang Kota.

2. Pernah terjadi penyalahgunaan narkotika oleh bekas staf Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPN) di lingkungan KPI Pusat dan saat ini yang bersangkutan dalam proses hukum.

3. KPI Pusat berkomitmen melakukan pencegahan terhadap segala tindakan penyalahgunaan narkotika di lingkungan kerja. Komitmen KPI tersebut terimplementasi dalam bentuk kerja sama berupa penandatanganan Nota Kesepahaman dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) pada bulan Januari tahun 2023.

Demikian informasi ini disampaikan.

Jakarta, 7 Juni 2023

 

Siaran Pers ini dikeluarkan oleh KPI Pusat

Narahubung: 

Mauludi Rahman

Sub Koordinator Humas dan Kerja Sama KPI Pusat 

08128511543

 

Jakarta - Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers diminta bersinergi dalam rangka penataan informasi yang beredar di media, terutama menjelang pesta demokrasi di tahun 2024, Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden secara langsung.  Hal ini disampaikan TB Hasanuddin, Anggota Komisi I DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi I DPR dengan jajaran Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) RI, termasuk juga KPI, Dewan Pers dan Komisi Informasi (KI) Pusat di Gedung Nusantara II, (5/6). 

Menurut Sturman, secara informasi di media saat ini, khususnya di media sosial sudah sangat memprihatinkan. Dia berharap, kedua lembaga ini dapat berkolaborasi dalam program kerja yang terkait dengan pengawasan dan pemantauan konten menjelang Pemilu. Senada dengan Sturman, anggota Komisi I DPR lainnya Muzzammil Yusuf juga mengusulkan agar berkah digital dapat dinikmati masyarakat Indonesia pada Pemilu 2024 mendatang. 

Mencermati program kerja baik dari Kemenkominfo, KPI dan juga Dewan Pers, Muzzammil menilai jika ketiga lembaga ini melakukan sinergi dalam melakukan penyuluhan pada publik dalam menepis informasi hoax yang beredar, harapannya Pemilu 2024 nanti akan memiliki kualitas yang lebih meningkat. Apalagi, tambah Muzzammil, jika kerja sama juga diluaskan dengan penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta Mahkamah Konstitusi, transformasi digital yang digagas Kemenkominfo akan menunjukkan berkahnya pada Pemilu dan bukan malapetaka digital.  

Dalam RDP tersebut, Ketua KPI Ubaidillah menyampaikan realisasi anggaran dari KPI di tahun 2022, termasuk juga rencana program KPI di tahun mendatang. Menurut Ubaidillah, dengan pagu anggaran yang ada saat ini, masih ada tiga program penting KPI yang belum dapat direalisasi. Tiga program tersebut adalah penguatan pengawasan siaran pemilu melalui penguatan partisipasi masyarakat dan pemantauan, pengawasan siaran digital dan penguatan diversity of content, serta penguatan kelembagaan KPI melalui adaptasi regulasi, kerja sama internasional, dan literasi dengan pemanfaatan teknologi. 

Pada kesempatan tersebut TB Hasanuddin mempertanyakan kemampuan pemantauan dan pengawasan KPI dan KPI Daerah di seluruh Indonesia, jika anggaran yang diberikan pemerintah daerah untuk KPID sangat terbatas. Hal ini merujuk pada hasil kunjungan kerja Komisi I DPR RI ke beberapa provinsi untuk menyerap informasi tentang kelembagaan KPID. “Di Jawa Timur misalnya, anggaran yang diterima hanya 1,5 miliar setahun untuk menjangkau pemantauan dan pengawasan di 29 kabupaten dan 9 kota, padahal sebelumnya KPID pernah menerima anggaran hingga 4,5 miliar setahun,” ungkap TB Hasanuddin.

Anggota Komisi I lainnya, Dave Laksono juga menyampaikan pertanyaan terhadap pengawasan konten oleh KPI, termasuk juga isu viral konten yang menampilkan laki-laki bergaya perempuan di salah satu televisi swasta yang mendapat kecaman banyak orang. Sementar itu, dari Christina Aryani, justru menanyakan kendali Kemenkominfo dalam menangani konten pornografi di media, terutama di internet dan juga over the top. Menurut Christina, meningkatkan kasus perkosaan anak yang juga dilakukan anak ternyata dipicu oleh paparan pornografi dari media. 

Menjawab pertanyaan dari anggota dewan ini, Ubaidillah  menyampaikan adanya dispute regulasi antara undang-undang penyiaran dan undang-undang otonomi daerah. “Dalam undang-undang penyiaran disebutkan penganggaran KPI Pusat oleh APBN dan penganggaran KPID oleh APBD,” ujarnya. Namun pada undang-undang otonomi daerah justru menyebut bahwa urusan penyiaran bukanlah kewenangan pemerintah daerah, yang berkonsekuensi dihapuskannya anggaran untuk KPID. “Yang terjadi saat ini, setiap tahun KPI Pusat bersurat kepada Kementerian Dalam Negeri untuk menyurati seluruh pemerintah daerah agar memberikan anggaran hibah untuk KPID,” terangnya. 

Adapun untuk isu yang viral terkait konten yang ditengarai bermuatan laki-laki bergaya perempuan di televisi, Ubaidillah mengungkap, pihaknya akan memanggil televisi yang bersangkutan untuk melakukan klarifikasi. “Jika ditemui memang terdapat pelanggaran, tentu KPI akan segera menjatuhkan sanksi,”tegasnya. 

Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari yang menjadi pimpinan dalam RDP kali ini turut memberi penjelasan pada anggota dewan lainnya. Menurut Abdul Kharis, isu tata hubungan antara KPI Pusat dan KPID berikut konsekuensi pengangggaran, akan dibahas dalam Revisi Undang-Undang Penyiaran. Termasuk juga penguatan kewenangan KPI dalam mengawasi media di luar teresterial seperti Netflix dan sejenisnya. 

Menjawab pertanyaan soal konten pornografi dan LGBT di internet, Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kemenkominfo Semuel Abrijani Pangerapan mengungkap kebijakan masing-masing platform media sosial terhadap konten porno. Menurutnya, hampir seluruh platform media sosial memiliki perangkat untuk mencegah munculnya konten porno. Misalnya di mesin pencari Google, ujarnya, pencarian konten porno sudah tidak memungkinkan. Yang masih belum dapat dikendalikan adalah pertukaran konten antar pribadi. Samuel juga menyampaikan, dalam pembahasan revisi undang-undang informasi dan transaksi elektronik (ITE) masih memungkinkan untuk ditambahkan pasal tentang perlindungan anak.

 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengingatkan kembali peran lembaga penyiaran khususnya radio dalam menjaga integritas dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peran ini harus terus dijaga dan dimaksimalkan melalui siaran yang tidak memecah belah persatuan, berbau radikalisme dan juga intoleransi.

“Saya mendapatkan informasi jika paham intoleran dan radikalisme banyak masuk lewat siaran radio. Karena itu, saya titip pesan, agar siaran radio, baik yang di pusat maupun di daerah, agar bisa sejalan dengan kebijakan negara,” kata Anggota KPI Pusat merangkap Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran, Tulus Santoso, saat menerima kunjungan kerja dari Anggota KPID Provinsi Lampung dan Sumatera Barat (Sumbar) di Kantor KPI Pusat, Senin (5/6/2023).

Tulus mengkhawatirkan, laporan yang diterimanya menjadi fenomena yang makin meluas, apalagi pendengar radio sangat lekat dengan historisnya. Ditambah lagi, pengawasan isi siaran radio, terutama di daerah, belum sepenuhnya maksimal atau dipantau secara menyeluruh. 

“Radio masih menjadi alat propaganda. Apalagi pengawasan siarannya agak kurang. Mengenai konten lokal, agar siaran radio menyiarkan konten-konten yang mempunyai nilai kebangsaan dan jauh dari hal-hal yang berbau intoleransi dan radikalisme,” tutur Tulus Santoso dalam dua kesempatan saat menerima kunjungan KPID Lampung dan Sumbar.  

Berdasarkan data di KPI, jumlah radio berizin di tanah air mencapai 2000 lembaga penyiaran. Jumlah ini belum termasuk radio yang tidak memiliki izin atau illegal. Sayangnya, keberadaan radio belum sepenuhnya terpantau pengawasan KPI dan KPID. Karenanya, KPI mengajak masyarakat untuk ambil bagian dalam pengawasan tersebut.

“Besarnya jumlah radio menandakan penetrasi radio masih cukup baik ketimbang media internet. Karenanya, penting sekali memasukkan nilai-nilai baik tersebut dalam siaran radio yaitu yang mengandung visi persatuan dan kesatuan bangsa,” paparnya. 

Dalam Undang-Undang (UU) No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 2 disebutkan bahwa penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab. Kemudian di pasal 3 dituliskan penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, sejahtera, serta menumbukan industri penyiaran Indonesia.

Poin dalam 2 pasal UU Penyiaran menjadi rujukan bagi lembaga penyiaran agar terhindar dari siaran yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, nilai kebangsaan dan demokrasi. 

Sebagai catatan, pada 2013 lalu, KPI pernah mengeluarkan teguran pada TVRI saat menyiarkan peringatan hari lahir organisasi masyarakat tertentu yang terindikasi bertentangan dengan demokrasi. Selain itu, KPI juga pernah menjatuhkan teguran terhadap pemberitaan yang tidak akurat tentang aksi teror bom di beberapa tempat. Sedangkan di program film, KPI menemukan adanya stigma perilaku teror kepada  agama tertentu pada sebuah film dari luar negeri.

Sementara itu, Anggota KPI Pusat merangkap Koordinator bidang Kelembagaan, I Made Sunarsa, menyikapi sejumlah keluhan KPID terkait status kelembagaan dan penganggarannya. Menurutnya, sumber masalah dari ini semua karena lampiran dari PP No.18 tahun 2016 yang menyebutkan jika penyiaran tidak lagi menjadi urusan daerah.

“Hampir 93.7% permasalahan KPID Sumatera Barat sama dengan KPID yang lain,” kata Made sekaligus memastikan jika solusi dari persoalan akan terjawab melalui revisi UU Penyiaran.

Mengenai revisi UU Penyiaran, Made menyampaikan berita baik untuk KPID jika hubungan dengan KPI Pusat dibuat hirarki. Model hubungan ini masuk dalam prolegnas dan belum ada perubahan.

“Tahun ini, kami juga membuat antisipasi program berkenaan dengan klasterasisi anggaran KPID, kita akan melibatkan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan dan Kominfo RI. Program tersebut akan dimulai Juni. Juli kita berharap bisa segera selesai mengenai klasterisasi anggaran,” papar Made.

Dalam dua pertemuan itu, KPI Pusat mendengarkan aspirasi dari KPID Sumbar dan Lampung terkait dinamika penyiaran daerah serta permasalahan kelembagaan seperti kesulitan penganggaran. Mereka berharap permasalahan yang banyak menimpa KPID ini dapat terselesaikan melalui penetapan UU Penyiaran yang baru. Saat ini, proses revisi UU Penyiaran dalam pembahasan di Komisi I DPR RI. 

“Kami berharap bisa segera terealisasi revisi UU Penyiaran. Undang-undang Penyiaran sudah “jadul” jadi wajar bila harus direvisi,” tegas Anggota KPID Lampung, Sylvia Wulansari. 

Dalam pertemuan secara terpisah dengan KPID Lampung dan Sumbar ikut hadir Anggota KPI Pusat, Muhammad Hasrul Hasan, Aliyah, Evri Rizqi Monarshi, dan Amin Shabana. ***/Foto: Agung R

 

 

 

 

 

Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) diminta memberi sanksi tegas pada lembaga penyiaran penyelenggara multipleksing yang belum memenuhi komitmen atas pengadaan set top box untuk masyarakat, sebagai konsekuensi migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital. Hal ini terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi I DPR RI dengan Kemenkominfo yang juga menghadirkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), di Gedung Nusantara II DPR RI, (5/6).

Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari, terungkap bahwa set top box yang terdistribusi kepada masyarakat baru mencapai lima persen dari target empat juta penduduk. Sturman Panjaitan dari Fraksi PDI Perjuangan mengatakan, dirinya khawatir hingga akhir 2024 pun, target yang telah ditetapkan tersebut tidak dapat terpenuhi. “Perlu ada tindakan agar operator swasta segera merealisasikan anggarannya, untuk set top box,” ujar Sturman. 

Menanggapi masalah STB, Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza berpendapat, minimal Kemenkominfo melalui PLT Menteri, secara tegas meminta semua penyelenggara multiplexer untuk menunaikan komitmen perjanjian terkait STB. Keberadaan STB sendiri akan membantu masyarakat mengakses informasi melalui televisi yang sudah bersiaran digital. Jika penyaluran STB gratis kepada masyarakat tidak mampu ini mandek, akan berimplikasi pada agenda pelaksanaan ASO di sejumlah wilayah. Menurut Reza, yang namanya komitmen, harus diselesaikan sejak jauh hari. Mengingat hak publik untuk mendapat informasi tidak boleh dikesampingkan sekalipun siaran televisi analog dihentikan.

Pada kesempatan tersebut, Kemenkominfo menegaskan akan terus mengejar ketersediaan STB di tengah masyarakat. PLT Menteri Kominfo Mahfud MD, di hadapan Komisi I DPR RI juga berjanji dalam waktu dekat akan mengungkap secara detil tentang kewajiban yang harus ditanggung para penyelenggara multiplekser terkait STB, termasuk tenggat waktu yang harus dipenuhi. 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.