Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengingatkan kembali peran lembaga penyiaran khususnya radio dalam menjaga integritas dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peran ini harus terus dijaga dan dimaksimalkan melalui siaran yang tidak memecah belah persatuan, berbau radikalisme dan juga intoleransi.

“Saya mendapatkan informasi jika paham intoleran dan radikalisme banyak masuk lewat siaran radio. Karena itu, saya titip pesan, agar siaran radio, baik yang di pusat maupun di daerah, agar bisa sejalan dengan kebijakan negara,” kata Anggota KPI Pusat merangkap Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran, Tulus Santoso, saat menerima kunjungan kerja dari Anggota KPID Provinsi Lampung dan Sumatera Barat (Sumbar) di Kantor KPI Pusat, Senin (5/6/2023).

Tulus mengkhawatirkan, laporan yang diterimanya menjadi fenomena yang makin meluas, apalagi pendengar radio sangat lekat dengan historisnya. Ditambah lagi, pengawasan isi siaran radio, terutama di daerah, belum sepenuhnya maksimal atau dipantau secara menyeluruh. 

“Radio masih menjadi alat propaganda. Apalagi pengawasan siarannya agak kurang. Mengenai konten lokal, agar siaran radio menyiarkan konten-konten yang mempunyai nilai kebangsaan dan jauh dari hal-hal yang berbau intoleransi dan radikalisme,” tutur Tulus Santoso dalam dua kesempatan saat menerima kunjungan KPID Lampung dan Sumbar.  

Berdasarkan data di KPI, jumlah radio berizin di tanah air mencapai 2000 lembaga penyiaran. Jumlah ini belum termasuk radio yang tidak memiliki izin atau illegal. Sayangnya, keberadaan radio belum sepenuhnya terpantau pengawasan KPI dan KPID. Karenanya, KPI mengajak masyarakat untuk ambil bagian dalam pengawasan tersebut.

“Besarnya jumlah radio menandakan penetrasi radio masih cukup baik ketimbang media internet. Karenanya, penting sekali memasukkan nilai-nilai baik tersebut dalam siaran radio yaitu yang mengandung visi persatuan dan kesatuan bangsa,” paparnya. 

Dalam Undang-Undang (UU) No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 2 disebutkan bahwa penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab. Kemudian di pasal 3 dituliskan penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, sejahtera, serta menumbukan industri penyiaran Indonesia.

Poin dalam 2 pasal UU Penyiaran menjadi rujukan bagi lembaga penyiaran agar terhindar dari siaran yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, nilai kebangsaan dan demokrasi. 

Sebagai catatan, pada 2013 lalu, KPI pernah mengeluarkan teguran pada TVRI saat menyiarkan peringatan hari lahir organisasi masyarakat tertentu yang terindikasi bertentangan dengan demokrasi. Selain itu, KPI juga pernah menjatuhkan teguran terhadap pemberitaan yang tidak akurat tentang aksi teror bom di beberapa tempat. Sedangkan di program film, KPI menemukan adanya stigma perilaku teror kepada  agama tertentu pada sebuah film dari luar negeri.

Sementara itu, Anggota KPI Pusat merangkap Koordinator bidang Kelembagaan, I Made Sunarsa, menyikapi sejumlah keluhan KPID terkait status kelembagaan dan penganggarannya. Menurutnya, sumber masalah dari ini semua karena lampiran dari PP No.18 tahun 2016 yang menyebutkan jika penyiaran tidak lagi menjadi urusan daerah.

“Hampir 93.7% permasalahan KPID Sumatera Barat sama dengan KPID yang lain,” kata Made sekaligus memastikan jika solusi dari persoalan akan terjawab melalui revisi UU Penyiaran.

Mengenai revisi UU Penyiaran, Made menyampaikan berita baik untuk KPID jika hubungan dengan KPI Pusat dibuat hirarki. Model hubungan ini masuk dalam prolegnas dan belum ada perubahan.

“Tahun ini, kami juga membuat antisipasi program berkenaan dengan klasterasisi anggaran KPID, kita akan melibatkan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan dan Kominfo RI. Program tersebut akan dimulai Juni. Juli kita berharap bisa segera selesai mengenai klasterisasi anggaran,” papar Made.

Dalam dua pertemuan itu, KPI Pusat mendengarkan aspirasi dari KPID Sumbar dan Lampung terkait dinamika penyiaran daerah serta permasalahan kelembagaan seperti kesulitan penganggaran. Mereka berharap permasalahan yang banyak menimpa KPID ini dapat terselesaikan melalui penetapan UU Penyiaran yang baru. Saat ini, proses revisi UU Penyiaran dalam pembahasan di Komisi I DPR RI. 

“Kami berharap bisa segera terealisasi revisi UU Penyiaran. Undang-undang Penyiaran sudah “jadul” jadi wajar bila harus direvisi,” tegas Anggota KPID Lampung, Sylvia Wulansari. 

Dalam pertemuan secara terpisah dengan KPID Lampung dan Sumbar ikut hadir Anggota KPI Pusat, Muhammad Hasrul Hasan, Aliyah, Evri Rizqi Monarshi, dan Amin Shabana. ***/Foto: Agung R

 

 

 

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.