Bandar Lampung - KPID Lampung bekerjasama dengan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) pengurus daerah Lampung menggelar workshop peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) lembaga penyiaran televisi di Provinsi Lampung, Kamis, 26 September 2013.
Workshop sehari digelar di Hotel Sheraton akan diikuti kurang lebih 50 jurnalis stasiun televisi nasional berjaringan yang bertugas di Lampung, pemimpin redaksi, video jurnalis (VJ), dan editor dari enam stasiun televisi lokal.
Ketua Umum IJTI Yadi Hendriyana dan Komisioner KPI Agatha Lily bidang pengawasan isi siaran, menjadi pemateri dalam workshop tersebut.
Ketua IJTI Pengurus Daerah (Pengda) Lampung Febriyanto Ponahan menjelaskan, workshop ini digelar untuk peningkatan kemampuan jurnalis televisi dalam menyonsong era konvergensi media.
"Jurnalis televisi selain kompetensi dan handal di lapangan tapi dituntut untuk menguasai teknologi. Artinya ke depan bukan zamannya lagi jurnalis membawa alat tulis tetapi harus akrab dengan gadget, live event. Hal ini sangat penting karena idealisme newsroom yang selalu mengutamakan kecepatan, kedalaman tapi tetap efisiensi," kata dia melalui rilis, Kamis (26/9/2013).
Wakil Ketua KPID Provinsi Lampung Dedi Triadi mengatakan, kerja sama dengan organisasi profesi IJTI ini sengaja dilakukan mengingat tugas dan fungsi KPI sebagai pengawasan isi siaran dan perizinan lembaga penyiaran televisi dan radio, termasuk peningkatan profesionalisme praktisi penyiaran.
"Jurnalis televisi menjadi ujung tombak karena harus selalu berpegang teguh dengan rambu-rambu kode etik jurnalis (KEJ) juga Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar program Siaran(P3SPS). Karena itu, worskshop ini sangat penting karena materi-materi yang disampaikan berupa P3SPS dan peningkatan profesional jurnalis televisi yang menjadi bagian dari materi Uji Kompetensi Jurnalis Televisi IJTI," ujar mantan jurnalis cetak itu. Red dari Tribun Lampung
Banjarmasin - KPID Kalimantan Selatan menerima Kunjungan Kerja (Kunker) Komisi I DPR RI dalam rangka pengumpulan data dan informasi untuk perumusan draff Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI), Kamis, 19 September 2013.
Dalam pertemuan tersebut, selain Komisioner KPID Kalimantan Selatan, turut hadir Kepala Stasiun LPP TVRI Kalimantan Selatan, Kepala Stasiun LPP RRI Banjarmasin dan Kapala Balai Monitoring Kalimantan Selatan. Pertemuan bertempat di Stasiun LPP TVRI Jl, Jenderal Ahmad Yani KM.6 Banjarmasin.
Diawal pertemuan, Ketua Tim Kunker Komisi I DPR RI Mustafa Kamal, menyampaikan makdus dan tujuannya. Dilanjutkan dengan Masukan/Paparan terhadap Draff RUU tentang Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) oleh KPID Kalimantan Selatan, Kepala Stasiun LPP TVRI Kalimantan Selatan, Kepala Stasiun LPP RRI Banjarmasin dan Kapala Balai Monitoring Kalimantan Selatan.
Ketua KPID Kalsel, Samsul Rani memaparkan masukan dan pendapatnya terkait draff RUU tentang Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) antara lain sependapat jika dasar kelembagaan LPP TVRI dan LPP RRI yang semula diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP.12/2005 dan PP.13/2005) ditingkatkan menjadi Undang Undang tentang Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI),
“Langkah tersebut sangat tepat untuk mengisi beberapa kelemahan saat ini seperti permasalahan keterbatasan anggaran, antisipasi menjawab tantangan pesatnya kemajuan teknologi penyiaran serta mendorong upaya akselarasi pengembangan LPP TVRI dan LPP RRI sebagai lembaga penyiaran milik pemerintah menjadi garda terdepan dibidang penyiaran sehingga mampu bersaing dengan Lembaga Penyiaran Swasta bahkan diharapkan mampu pula bersaing dengan lembaga Penyiaran Negara tetangga, khususnya didaerah-daerah perbata,” jelasnya dalam siaran pers yang dikeluarkan KPID Kalsel.
Menurut Samsul, pengaturan kelembagaan LPP TVRI dan LPP RRI dalam RUU tentang Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) tersebut sebaiknya tidak dalam 1 (satu) atap organissasi (dengan kata lain tidak sependapat jika manajemen LPP TVRI dan LPP RRI dalam satu manajemen tetapi harus terpisah), dengan pertimbangan jika manajemen LPP TVRI dan LPP RRI digabung menjadi satu, merupakan langkah mundur, kembali seperti masa orde baru dengan pradigma lama bidang penyiaran berdasarkan UU.24 tahun 1997.
Kemudian, pemisahan manajemen kelembagaan LPP TVRI dan LPP RRI telah dilakukan sejak reformasi dan kondisi faktualnya kedua lembaga tersebut telah mampu menjawab tantangan perubahan paradigma lama dibidang penyiaran berdasarkan UU.24 tahun 1997menuju perubahan paradigma baru dengan prinsip demokratisasi dibidang penyiaran berdasarkan UU.32 tahun 2002, Realitas yang terjadi secara signifikan pemisahan kedua lembaga tersebut dirasakan telah melahirkan SDM yang handal dan profesional dibidangnya masing-masing.
Pertimbangan lain bahwa LPP TVRI dan LPP RRI sebagaimana kita ketahui, memiliki segmen dan karekteristik pemirsa/pendengar yang berbeda serta historis yang berbeda pula, sehingga diperlukan strategi, arah kebijakan, visi dan manajemen masing-masing.
Terkait dengan rencana dibentuknya Dewan Penyiaran dalam RUU RTRI, KPID Kalimantan Selatan menyatakan tidak sependapat. Pertimbangannya, dikhawatirkan tugas dan fungsi Dewan Penyiaran akan tumpah tindih dan bias dengan tugas dan fungsi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI/KPID). “Sebagai contoh nyata nantinya tentunya akan menerbitkan kode etik penyiaran LPP TVRI dan LPP RRI sementara saat ini KPI juga telah menerbitkan kode etik penyiaran seperti Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Hal ini tentunya akan membingungkan masyarakat disamping itu jelas akan ditemui permasalahan dalam penegakan aturan kode etik penyiaran,” jelas Samsul.
Lebih lanjut, kata Samsul, upaya untuk mengatasi keberadaan Dewan Penyiaran disarankan perlu mengoptimalkan tugas dan fungsi Dewan Pengawas dan dibentuknya Dewan Pengawas LPP TVRI dan Dewan Pengawas LPP RRI hingga pada tingkat Provinsi. “Tidak seperti sekarang ini hanya dibentuk Dewan Pengawas pada tingkat Pusat, tentunya tidak mungkin optimal dalam melaksanakan tugas dan fungsinya menjangkau 33 provinsi diseluruh Indonesia,” paparnya. Red
Pekanbaru - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Riau saat ini menggagas pembentukan Komunitas Cerdas Media (KCM) dari seluruh unsur lapisan masyarakat yang berdedikasi dalam bidang pengawasan penyelenggaraan siaran di daerah masing-masing di seluruh Provinsi Riau.
"KCM merupakan terobosan baru dari KPID Riau yang direncanakan dibentuk di 12 kabupaten dan kota di Riau. KCM ini merupakan sebuah wadah bagi unsur masyarakat dalam melakukan pengawasan penyiaran di lingkungan Riau," kata Komisioner KPID Riau Tatang Yudiansyah kepada Riauaksi, Rabu (25/9/13).
Menurut Tatang, saat ini KCM sudah berdiri di lima kabupaten, yakni Pelalawan, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi, Kampar dan Rokan Hulu. Setelah itu akan dilanjutkan dengan pembentukan atau pengukuhannya di Kabupaten Siak dan Bengkalis serta beberapa kabupaten/kota lainnya di Riau.
"Saya berharap KCM ini dapat mengawasi penyiaran di daerahnya, baik televisi, radio serta media penyiaran lainnya, yang berfungsi untuk mengawasi dan membantu mencerdaskan anak bangsa Indonesia," harap Tatang yang ditulis riauaksi.com. Red
Samarinda - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalimantan Timur (Kaltim) mengharapkan bantuan dan partisipasi masyarakat untuk ikut melaporkan jika ada isi siaran televisi maupun radio yang menyimpang dari etika penyiaran.
Siaran pers KPID Kaltim yang diterima Antara di Samarinda, Rabu, menyebutkan masyarakat dapat melaporkan jika ada isi siaran televisi maupun radio yang melanggar etika penyiaran itu ke SMS center : 0852 500 555 25, call center : 0541 900 1500, atau email ke : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya..
KPID Kaltim mengakui adanya keterbatasan dan kelemahan pengawasan yang disebabkan berbagai kendala, sehingga bantuan masyarakat menjadi sangat penting.
Kendala yang dihadapi KPID Kaltim antara lain luasnya kondisi geografis Kalimantan Timur yang mencapai 129.066,64 km persegi atau sekitar satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura atau 11 persen dari total luas wilayah Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan.
Selain pesoalan luas wilayah itu, juga masih ditambah lagi dengan tumbuhnya lembaga penyiaran di Provinsi Kaltim yang legal (RK-IPP) sebanyak 141 lembaga Penyiaran Radio atau TV (lembaga penyiaran publik, swasta, dan berlangganan).
Persoalan luasnya areal kerja dan banyaknya lembaga penyiaran di Kalimantan Timur menyebabkan lemahnya pengawasan isi siaran.
Menurut Sarifudin, Koordinator Isi Siaran KPID Kaltim, dari segi supporting (dukungan) SDM dari pemerintah propinsi masih kurang, ditambah lagi dari segi peralatan. Padahal untuk dana dan SDM dalam mendukung kinerja komisioner adalah tanggung jawab pemerintah provinsi sebagaimana amanat UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
"Alhamdulillah kami baru saja mendapat bantuan Peralatan Pemantau dari KPI Pusat di Jakarta dan alat tersebut sudah berada di Kantor KPID Kaltim. Walau dari segi tempat tidak memadai, kami paksakan untuk ditempatkan di Sekretariat KPID. Hal itu menyebabkan beberapa pegawai tidak punya meja kerja yang nantinya mengganggu pelayanan Administrasi KPID di mana KPID juga mempunyai kewajiban pelayanan di bidang perizinan pembentukan lembaga penyiaran," ujar Sarifudin ditulis antara kaltim.
Ia menambahkan, peralatan pemantau isi siaran yang ada itu pun hanya cukup untuk mengawasi siaran TV dan radio di Kota Samarinda. Artinya, 13 kabupaten/kota lainnya di Kaltim dan Kalimantan Utara tidak terpantau oleh KPID Kaltim.
"Untuk mengatasinya KPID Kaltim tidak akan patah arang. Kami punya strategi yaitu dengan melibatkan masyarakat dengan Program Literasi Pemedia dan pembentukan Relawan Kelompok Pemantau Isi Siaran di Daerah," ujarnya.
Di samping peralatan, segi anggaran untuk pemantauan ke daerah di luar Kota samarinda tidak ada posnya di Anggaran KPID Kaltim, ditambah lagi masyarakat belum aktif terlibat dalam pengawasan isi siaran serta KPID Kaltim belum mempunyai database final pemetaan lembaga penyiaran legal, apalagi illegal di Kaltim. "Ini menyebakan semakin rumitnya Pengawasan di daerah ini," kata ujar Sarifudin. Red
Banda Aceh - Gubernur Aceh Zaini Abdullah melantik tujuh orang komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Aceh periode 2013-2016. Pelantikan digelar di gedung serbaguna Kantor Gubernur, Selasa, 24 September 2013. Hadir dalam pelantikan tersebut, Wakil Ketua KPI Pusat, Idy Muzayyad.
Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Aceh nomor 482/647/2013, ketujuh orang yang dilantik sebagai anggota KPIA yakni Rahmad Saleh, Muhammad Hamzah, Maimun Habsyah Husein, Said Firdaus, Nurlaily Idrus, Munandar dan Irsal Ambia.
Dalam sambutannya usai menyumpah para komisioner, Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan keberadaan Komisi penyiaran Indonesia (KPI) merupakan penjabaran dari UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. KPI dibutuhkan sebagai bagian dari wujud peran serta publik dalam hal penyiaran, baik sebagai wadah aspirasi maupun mewakili kepntingan masyarakat.
"Secara konseptual, posisi ini mendudukkan KPI sebagai lembaga independen yang biasa disebut state auxiliary institution atau lembaga penunjuang sistem kenegaraan," katanya dikutip atjehpost.
Sebab itulah, kata dia, untuk menujang optimalisasi pengawasan penyiaran Indonesia, UU Penyiaran mengharuskan pembentukan KPI di tingkat pusat maupun provinsi. KPI daerah sangat dibutuhkan untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga penyiaran di daerah bersangkutan.
"Peran KPI di daerah penting mengingat wilayah geografis Indoensia sangat luas. Lagi pula keputusan menerapkan otonomi daerah menghadirkan pula kebijakan desentralisasi penyiaran," katanya. Red
Seuai BAB 13 standar program siaran (SPS), bagian kedua: ungkapan kasar dan makian pasal 24 yang berbunyi;
(1) Program siaran dilarang menampilkan ungkapan kasar dan makian, baik
secara verbal maupun nonverbal, yang mempunyai kecenderungan menghina atau merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/ mesum/cabul/vulgar, dan/atau menghina agama dan Tuhan.
(2) Kata-kata kasar dan makian sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) di atas mencakup kata-kata dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.
Dan yang di video ada keluar kata “sontoloyo” dan mungkin dulu maknanya adalah pengangon bebek namun untuk sekarang makna kata itu berubah menjadi negativ seperti halnya kata “bajingan” yang dulunya mempunyai makna kusir gerobak sapi namun untuk sekarang berubah menjadi makna yang negativ
Pojok Apresiasi
Ardian Permana
Salut dengan program HUT TV One karena acaranya mampu memberikan tontonan yang menarik yejukkan di mana dua kubu yang berseteru dalam Pilpres 2019 disatukan dalam satu panggung hiburan.