India - Pendiri New Delhi Television (NDTV), yakni Radhika dan Prannoy Roy telah mengundurkan diri sebagai direktur menyusul kabar bahwa miliarder Gautam Adani akan menjadi pemilik baru jaringan berita terkemuka di India itu.

Dikutip dari BBC, Jumat (2/12/2022) dengan pendapatan sekitar USD 51 juta (sekitar Rp 790,5 miliar) dan keuntungan sederhana sebesar USD 10 juta, NDTV mungkin bukan pembelian yang menguntungkan bagi Adani, di mana perusahaan konglomeratnya memiliki kapitalisasi pasar sebesar USD 260 miliar atau setara Rp 4 kuadriliun.

Tetapi NDTV adalah jaringan paling terkenal di India yang memelopori analisis suara berbasis data, segmen acara pagi hari, dan sejumlah program teknologi dan gaya hidup di TV.

Hari ini, NDTV memiliki kehadiran online yang kuat, mengklaim sekitar 35 juta pengikut di seluruh platform.

Adani percaya, NDTV merupakan platform penyiaran dan digital yang paling cocok untuk mewujudkan visinya.

"Mengapa Anda tidak dapat mendukung satu rumah media untuk menjadi mandiri dan memiliki jejak global? India tidak memiliki satu (outlet) tunggal untuk dibandingkan dengan Financial Times atau Al Jazeera," ujar orang terkaya ketiga di dunia itu kepada Financial Times.

Pada Maret 2022, perusahaan baru Adani yaitu AMG Media Networks Limited membeli saham minoritas di Quintillion, sebuah perusahaan berita bisnis digital.

Menurut penulis biografi sang miliarder, yakni RN Bhaskar, mengatakan bahwa Adani kemungkinan mengharapkan pembelian media yang bernilai lebih besar.

"Investasi Quintillion terlalu sedikit untuk mendapat perhatian Adani. Jadi, apakah dia punya rencana yang lebih besar?" tulis Bhaskar dalam bukunya.

Radhika Roy pernah menceritakan bahwa NDTV yang dia dirikan bersama dengan suaminya, Prannoy Roy adalah "kecelakaan yang membahagiakan".

Pasangan itu meluncurkan NDTV dengan sebuah acara bertajuk The World This Week di Doordarshan yang dikelola negara pada November 1988 dengan "tidak ada rencana besar".

Mereka saat itu tidak mengira NDTV akan tumbuh dari menjadi produser acara berita dunia mingguan ke jaringan berita swasta 24/7 pertama di India dan penyiar berita independen.

Lebih dari tiga dekade kemudian, NDTV dikabarkan akan dibeli Gautam Adani, orang terkaya ketiga di dunia setelah Elon Musk dan Jeff Bezos. Red dari berbagai sumber

 

Riyadh -- Fans sepak bola di Arab Saudi marah karena siaran Piala Dunia Qatar 2022 malah tidak ditayangkan. Masalah ditaksir akibat isu politik Saudi-Qatar. 

Dilaporkan VOA Indonesia, Senin (28/11/2022) lalu, penangguhan itu mengejutkan dan menimbulkan kemarahan para pelanggan TOD TV, yang memegang hak siar untuk menayangkan Piala Dunia di Arab Saudi. TOD TV adalah bagian dari perusahaan Qatar, beIN Sports Media Group.

Pelanggan yang tinggal di Arab Saudi dan tidak dapat menonton pertandingan Piala Dunia membanjiri akun Twitter TOD TV minggu ini, meminta pengembalian biaya bulanan dan memasang tangkapan layar (screenshot) situs layanan itu yang mengatakan, “Maaf, halaman yang dicari telah melanggar peraturan Kementerian Media Arab Saudi.”

Dalam pesan yang dibagikan kepada para pelanggannya, TOD TV meminta maaf “atas hilangnya layanan itu untuk sementara waktu.”

TOD TV juga mengatakan, “Hal ini terjadi di luar kendali kami…. Kami menghargai pemirsa kami yang memiliki pengalaman pengguna premium dan berupaya melanjutkan layanan normal sesegera mungkin.”

TOD TV, Kementerian Media dan Kementerian Luar Negeri Arab Saudi belum menjawab permohonan media untuk komentar.

Kelompok "beIN Qatar" terjebak dalam pertikaian politik sengit antara Arab Saudi dan Qatar dalam beberapa tahun terakhir ini.

Arab Saudi pada tahun 2017 memimpin kelompok empat negara Arab yang memboikot Qatar karena mendukung kelompok politik Islamis, hubungannya dengan Iran, dan mendanai Al Jazeera – saluran berita satelit yang terkadang mengkritik tajam pemerintah negara-negara di Teluk Arab itu.

Selama pemboikotan itu, beIN Sports kehilangan lisensi untuk siaran di Arab Saudi, dan penonton televisi di Arab Saudi kehilangan satu-satunya cara untuk menonton sepak bola dari liga terbesar Eropa dan kompetisi top Asia lain di luar layanan bajakan. Tetapi tahun lalu beIN melanjutkan layanan untuk pasar utama di Arab Saudi setelah hubungan Arab Saudi dan Qatar membaik. 

TOD TV menyiarkan beberapa pertandingan, termasuk Arab Saudi, secara gratis, tetapi 42 pertandingan itu hanya akan tersedia di layanan streaming yang tampaknya diblokir sebelum dimulainya turnamen 20 November lalu.

Pelanggan melaporkan mereka tidak lagi bisa mengakses layanan itu sejak upacara pembukaan Piala Dunia, di mana Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman duduk hanya beberapa kursi dari Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani.

Persaingan untuk mendapatkan pendapatan dan jutaan pelanggan di Timur Tengah meningkat di antara layanan streaming di kawasan itu, termasuk The Shahid yang dioperasikan oleh MBC Group milik Arab Saudi. Red dari VOA Indonesia

 

Bangkok -- Publik Thailand terancam tidak bisa menikmati siaran televisi Piala Dunia Qatar 2022 setelah FIFA mengancam akan mencabut hak siar di kerajaan itu.

Keterangan tersebut disampaikan Otoritas Olahraga Thailand (SAT) pada pekan lalu waktu setempat, menyusul peringatan FIFA bahwa akses transmisi Thailand juga digunakan di negara lain.

"FIFA mengancam akan menghentikan penyiaran pertandingan final Piala Dunia 2022 Thailand jika kerajaan itu gagal memenuhi standar enkripsi sinyal penyiaran," kata SAT, seperti dikutip dari Bangkok Post, Kamis (24/11).

Peringatan tersebut bertepatan dengan dirilisnya sebuah foto oleh Khaen Sarika, seorang kolumnis populer Thailand, yang memperlihatkan para penggemar Piala Dunia di Laos bersorak untuk tim favorit mereka di layar TV. Ini terlepas dari fakta bahwa Laos tidak memiliki hak untuk menyiarkan salah satu pertandingan tersebut.

Menyikapi ancaman tersebut, Gubernur SAT Kongsak Yodmanee telah meminta Komisi Penyiaran dan Telekomunikasi Nasional (NBTC) untuk memastikan semua pihak secara ketat mengikuti standar enkripsi transmisi penyiaran FIFA.

"FIFA telah meminta SAT untuk secara ketat mengenkripsi transmisi over-the-airnya setidaknya dengan standar minimum yang disebut "BISS CA Director" atau "Power/u", kata Kongsak.

Dia mengatakan, jika Thaicom Plc dan penyedia layanan set-top box (STB) tidak dapat menggunakan BISS 1 Simultcrypt seperti yang mereka lakukan sekarang, Thailand akan kehilangan hak siar Piala Dunia. Red dari berbagai sumber

 

 

Beijing - Stasiun televisi penyiaran China menyensor gambar penonton pertandingan bola tanpa menggunakan masker di Piala Dunia Qatar 2022. Hal itu dilakukan karena di China sedang terjadi peningkatan kasus Covid-19, sehingga pembatasan dan penguncian wilayah sedang dilakukan. 

China jadi negara dengan ekonomi besar terakhir yang masih berusaha mengatasi penyebaran Covid-19 secara domestik dengan pemberlakuan lockdown, karantina panjang, dan tes uji Covid-19 secara massal. 

Adapun, selama siaran Piala Dunia 2022 di Qatar berlangsung pada Minggu (27/11/2022) dalam pertandingan antara Jepang dan Kosta Rika, penyiar CCTV Sports mengganti gambar close-up wajah penonton tanpa masker yang mengibarkan bendera dengan gambar pemain, atau stadion sepak bola. 

CCTV Sports memperlihatkan gambar penonton dari jarak jauh, sehingga sulit untuk melihat wajah penonton per-individu, seperti dilansir dari CNA, Senin (28/11/2022). 

Meski begitu, lebih sedikit gambar penonton yang diambil dibandingkan dengan siaran langsung dari pertandingan yang sama di platform online termasuk Douyin, TikTok versi China

Puluhan juta orang di kota-kota besar termasuk Beijing, Guangzhou, dan Chongqing di China dilakukan pembatasan wilayah pada Minggu (27/11/2022), berbanding terbalik dengan kerumunan heboh Piala Dunia Qatar, sehingga membuat semakin marah banyak pengguna media sosial China. 

Banyak pihak mempertanyakan kebijakan Covid-19 di negara itu, dan menganggap China kini berada di planet yang berbeda dengan Piala Dunia Qatar di aplikasi perpesanan WeChat yang populer, sebelum sensor menghapusnya dari platform tersebut. 

Ratusan warga sipil China turun ke jalan di Beijing dan Shanghai pada Minggu (27/11/2022) untuk memprotes kebijakan nol-Covid di China dengan mengungkap kemarahan publik yang jarang sekali terjadi di suatu negara, termasuk China. 

Adapun kebakaran apartemen di Kota Urumqi, Ibu Kota wilayah Xinjiang, China telah memicu protes yang menyebabkan tuduhan bahwa lockdown menjadi faktor penyebab kebakaran yang menewaskan 10 orang di wilayah itu. Red dari berbagai sumber

 

 

 

 

Washington DC -- Amerika Serikat pada hari Rabu (16/11) menjatuhkan sanksi kepada enam pejabat senior media milik pemerintah Iran atas peran mereka dalam menyiarkan ratusan pengakuan paksa dari warga Iran yang kerabat dan keluarganya meninggal dunia saat ditahan pemerintah.

Pejabat AS mengklaim media itu menyiarkan wawancara dengan pihak keluarga yang mengklaim bahwa sanak saudara mereka tidak dibunuh oleh otoritas Iran saat berunjuk rasa selama beberapa tahun terakhir, melainkan meninggal karena penyebab lain yang tidak disengaja dan tidak berkaitan.

“Ketergantungan sistemik pemerintah Iran pada pengakuan paksa menggambarkan penolakan pemerintah untuk mengungkapkan kebenaran kepada rakyatnya dan komunitas internasional,” kata Brian Nelson, kepala intelijen terorisme dan keuangan Departemen Keuangan AS, dalam sebuah pernyataan.

Ia mengatakan bahwa AS “akan terus menuntut pertannggungjawaban pejabat dan lembaga pemerintah Iran atas pelanggaran HAM dan penyensoran mereka terhadap rakyat Iran.”

The Islamic Republic of Iran Broadcasting telah masuk ke dalam daftar hitam organisasi sejak tahun 2013. Sanksi Departemen Keuangan AS itu menyasar enam pejabat, dua di antaranya yaitu Ali Rezvani dan Ameneh Sadat Zabihpour, yang dinilai sebagai “jurnalis penginterogasi” yang menghasilkan dan menyiarkan pengakuan paksa dengan gaya berita dokumenter.

Departemen Keuangan AS menuduh penyiaran media pemerintah Iran “secara rutin membuat tuduhan palsu dan tak berdasar terhadap warga negara Iran, warga dwikewarganegaraan, dan penduduk asing, serta menggunakan berita palsu untuk memberi informasi yang salah dan secara keliru menuduh mereka yang dianggap sebagai musuh rezim.”

Puluhan warga Iran tewas dalam dua bulan terakhir dalam aksi unjuk rasa yang dipicu oleh kematian Mahsa Amini, 22 tahun, September lalu, yang meninggal dalam tahanan pihak berwenang Iran karena diklaim mengenakan kerudung secara tidak benar. Namun sanksi terbaru yang dijatuhkan kepada pejabat media pemerintah itu terkait dengan tuduhan pengakuan paksa sebelum gelombang unjuk rasa tersebut.

Sanksi-sanksi itu dijatuhkan di kala media independen Iran tengah menerima tekanan dari dalam dan luar negeri. Sejak unjuk rasa pecah September lalu, lebih dari 60 wartawan telah ditahan.

Departemen Keuangan AS memblokir keenam pejabat media Iran tersebut dari transaksi apa pun yang melibatkan properti maupun kepemilikan finansial mereka di Amerika, meskipun tidak disebutkan apakah mereka memang memiliki kepentingan finansial di AS. Red dari VOA

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.