Jakarta --  Sebagai lembaga penyiaran publik (LPP) yang menyandang tanggungjawab dari negara sebagai penyelenggara multifleksing (MUX), Televisi Republik Indonesia (TVRI) harus dapat mengembangkan dan memperkaya khazanah isi siarannya. Pasalnya, TVRI mesti memenuhi kuota konten sebanyak 50% yang harus dipenuhinya sebagai pemegang MUX.

Pendapat dan usulan tersebut dilontarkan Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, dalam sebuah kesempatan ketika menjadi salah satu narasumber talkshow di Radio Republik Indonesia (RRI) Denpasar, Bali, pekan lalu. 

Menurut Reza, konsep dan materi tayangan yang harus disiapkan LPP TVRI untuk mengisi slot yang harus dipenuhi dalam kanal digital makin banyak. Pasalnya, konsep sistem siaran digital berbeda dengan siaran analog yang statis atau lebih tepatnya siaran tunggal untuk satu kanal. Adapun siaran digital, bisa menampung banyak siaran dalam satu kanalnya. 

Apa yang diusulkan Reza ke TVRI sangat beralasan karena dari 4 kanal digital yang dimiliki TVRI dan sudah bersiaran dinilai belum sepenuhnya maksimal. “Saya masih sering menonton tayangan yang sama, itu-itu saja yang disiarkan, baik di saluran TVRI nasionalnya maupun yang TVRI daerahnya. Sayang sekali kalau isinya hanya itu. Kan membosankan,” tegas Echa, panggilan akrab Koordinator Bidang Pengelolaan Sistem dan Struktur Penyiaran KPI Pusat ini. 

Terkait kondisi itu, Reza mengusulkan agar LPP TVRI menggandeng LPP RRI, dalam hal ini RRI Net, untuk mengisi ruang tayang di saluran atau kanal afiliasi TVRI. Hal ini akan menambah keragaman konten untuk TVRI yang satu sama lain saling menguntungkan dengan informasi yang positif. 

Berdasarkan pengamatan Reza, keberadaan RRI Net hampir ada di seluruh stasiun LPP RRI di seluruh daerah. Selain itu, informasi yang disampaikan RR Net sangat beragam dan aktual. “Saya kadang kalau talkshow di RRI daerah ada bentuk visualisasinya. Ini sangat baik dan inovatif. Jadi seharusnya antar direksi program di LPP ini mesti bersinergi, biar konten-kontennya jadi lebih menarik,” tandasnya. ***

 

Nusa Dua - Hasil riset indeks kualitas program siaran televisi yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diharapkan dapat mengungkap masukan dan pendapat dari informan ahli secara komprehensif sehingga dapat menjadi catatan penting (highlight) bagi lembaga penyiaran dalam melakukan perbaikan konten siaran. Hal ini disampaikan Prof Judhariksawan selaku akademisi yang terlibat dalam Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi tahun 2022 untuk kategori program siaran berita, yang diselenggarakan di Nusa Dua – Bali, (12/5). 

Hal ini juga disepakati oleh konsultan ahli riset KPI, Pinckey Triputra yang mengatakan, jalannya diskusi untuk bahasan program berita sudah sangat baik, sebagai sebuah pendalaman dari penilaian yang sudah diberikan informan ahli  setelah menonton tayangan-tayangan yang menjadi sample dalam riset.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Hardly Stefano Pariela dalam sambutan pengantar diskusi menegaskan bahwa KPI sudah melakukan disain ulang terhadap riset di tahun 2022. Harapannya, ujar Hardly, hasil dari riset tidak semata dengan angka kuantitatif indeks tapi juga mengelaborasi lebih jauh dan lebih dalam lagi secara substantif dari kategori program berita. 

Angka indeks program berita sendiri, ujar Hardly, selama beberapa tahun sudah melampaui angka tiga yang menjadi standar KPI. Hal ini berarti secara umum informasi yang disampaikan adalam informasi yang berkualitas. “Kita juga dapat mengakui bahwa berita di televisi adalah informasi yang akurat dan tentunya dapat menjadi rujukan, “ tegasnya.

Diskusi pada kategori berita ini dipimpin oleh Alem Febri Sonni dari Universitas Hasanuddin dan Ni Made Ras Amanda Gel Gel dari Universitas Udayana yang melibatkan informan ahli lainnya dari dua belas perguruan tinggi. Diantara catatan yang mengemuka dalam diskusi tersebut adalah pentingnya pemahaman jurnalis terhadap istilah hukum guna menghindari trial by press. Selain itu, beberapa informan ahli juga mengharapkan adanya keragaman informasi dari daerah. 

Menurut Aceng Abdullah selaku informan ahli dari Universitas Padjajaran, ada ketimpangan informasi di televisi. Padahal banyak orang perguruan tinggi dari daerah yang pintar namun tidak diberi kesempatan tampil di televisi.  Daerah tidak akan muncul dalam pemberitaan kalau tidak ada kriminalitas, kecelakaan, korban kelaparan atau musibah. Menurutnya, hal ini merupakan bentuk penjajagan televisi nasional yang hanya menjual acara dengan rating tinggi yang mengungkap penderitaan daerah.

Sementara itu, untuk kategori program infotainment, Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo mengingatkan bahwa angka indeks untuk program ini masih menjadi problem dari tahun ke tahun, lantaran belum juga mencapai nilai standari dari KPI. Dalam diskusi di kategori infotainment ini, Mulyo berharap dapat menghasilkan banyak masukan baik untuk industri penyiaran ataupun untuk KPI Pusat dalam menyusun kebijakan. 

Secara khusus Mulyo mengakui sudah menyampaikan pada industri penyiaran tentang kemungkinan mengangkat sisi positif para selebritas dalam program program infotainment. "Mengingat para artis ini menjadi model yang kerap kali dicontoh oleh remaja kita,” ujarnya. Tapi tampaknya urusan hubungan cinta dan gosip sangat erat dengan infotainment sebagaimana kehadirannya pertama kali yang memang membahas soal kehidupan artis. 

Masukan dan catatan dari informan ahli dalam riset indeks inilah yang membedakannya dengan riset pengukuran rating program siaran. Mulyo mengungkap pula bahwa di bulan Juli mendatang, akan ada perubahan secara signifikan dari lembaga pemeringkat program siaran, baik dari jumlah panelnya ataupun sebaran kota yang akan diukur. Di satu sisi, Mulyo menilai, industri penyiaran juga harus diberikan masukan secara detil dari hasil riset indeks ini. “Sehingga kelemahan dari program infotainment ataupun sinetron yang juga masih mendapat angka di bawah standar, dapat segera diperbaiki oleh lembaga penyiaran, “ ujarnya. 

Dalam diskusi di kategori infotainment, Farida Hanim dari Universitas Sumatera Utara hadir sebagai moderator yang memandu diskusi bersama dua belas informan ahli lainnya di perguruan tinggi. Sedangkan konsultan ahli yang turut serta dalam diskusi adalah Mulharnetty Syas.

 

 

Denpasar -- Jurnalistik (penyiaran) hadir tak hanya sekedar menangkap fenomena lantas menyiarkannya lalu cuek dengan apa yang terjadi setelahnya. Semestinya, apa yang disampaikan ke khalayak menjadi sebuah manfaat dan dapat dipahami bersama. Kenapa demikian, karena tugas jurnalis atau pers yang utama adalah mengedukasi publik.

Pandangan tersebut disampaikan Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia (RI) untuk Singapura, Suryopratomo, ketika menjadi pembicara kunci dalam acara Deklarasi Forum Penyiaran 2022 “Mewujudkan Peradaban Baru Penyiaran Lewat Informasi yang Berkualitas” yang diinisiasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Nusa Dua, Badung, Bali, Kamis (12/5/2022).

“Jurnalistik hadir bukan sekedar membuat ramai keadaan apalagi hanya sekadar untuk kepentingan publish and the end. Tayangkan, sesudah itu masa bodo dengan apa yang akan terjadi ke depan,” tukasnya. 

Profesi jurnalis dan prosedur kerja yang mesti dijalankannya tidaklah gampang dan bisa seenaknya. Mengutip perkataan Yacob Oetama di sebuah kesempatan, Suryopratomo mengatakan, Jurnalis itu bekerja dalam ketakutan dan kegelisahan. 

“Ketakutan dan kegelisahan dari apa? dari kesalahan ketika tayangan atau berita yang disampaikan mengadung informasi yang menyesatkan, membuat masyarakat bingung dan panik. Penghormatan terhadap professionalisme, kode etik jurnalistik (KEJ) harus melekat pada sikap seorang wartawan,” kata pria yang akrab disapa Tomi ini. 

Menurutnya, kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan pers harus disertai dengan kesadaran. Lantas apakah hal ini bisa berkontribusi untuk perbaikan kehidupan masyarakat. Karena hanya dengan itulah jurnalistik bisa memberikan manfaat bagi kemajuan sebuah bangsa. 

Kritik dan pengawasan yang dilakukan Jurnalis bukan digunakan untuk menunjukkan superioritas tetapi dipakai untuk meningkatkan kelas bangsa ini. Kemampuan itu dipakai untuk membangun kesadaran negara ini bahwa Indonesia adalah bangsa yang kaya dengan sumber daya alam. 

“Bukan malah untuk membuat bangsa ini terlena dan hidup santai-santai tetapi harus menghardik kesadaran untuk membangun etos kerja yang kuat agar bangsa ini bisa menghasilkan produk yang mempunyai nilai tambah tinggi agar bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan rendah,” ujar Tomi. 

Aset besar pers juga harus mampu memainkan peran dan mengendalikan bangsa ini agar tidak larut dalam sikap saling menyalahkan. Tidak hanya sekedar mengeluh tetapi mau berbuat yang terbaik untuk kesejahteraan bersama. 

Karenanya, Tomi berharap peran ini dapat dilakukan seluruh industri penyiaran di tanah air. Alasannya, karena manusia itu berpikir secara visual yang indentik dengan fungsi industri ini. “Apalagi kita mampu menyajikan informasi dan tayangan yang berkualitas, tayangan yang membangun harapan, disamping tantangan masyarakat akan tercerahkan untuk memberikan kontribusi positif bagi kemajuan bangsa,” katanya bersemangat. 

Dia juga berharap deklarasi ini mampu membangun kesadaran secara massal sehingga Perguruan Tinggi, Rektor, Dekan, dan Para Pengajar, memberikan masukan positif untuk industri penyiaran tentang konsep yang tepat untuk digunakan di masa depan. 

“Jika bisa membangun sinergi antara perguruan tinggi, ATVSI, Pemerintah, dan masyarakat, kita yakin akan mampu membangun sebuah peradaban baru untuk menyajikan informasi yang berkualitas. Semoga tuhan memberikati apa yang menjadi upaya kita bersama. Dan saya percaya dengan bersama kita bisa menghadapi tantangan itu,” tuturnya.

Pada kesempatan itu, Tomi mengapresiasi upaya KPI yang terus konsisten mencoba membangun sebuah komitmen menciptakan kualitas penyiaran yang mampu memberikan manfaat bagi kehidupan bngsa dan negara. “Luar biasa teman-teman KPI,” tandas Dubes yang kaya pengalaman di biang jurnalistik ini. ***/Foto: AR    

 

 

Nusa Dua -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan 12 Perguruan Tinggi melakukan Diskusi Kelompok Terpumpun atau FGD untuk menetapkan hasil Indeks Kualitas Program Siaran TV tahun 2022. Kegiatan FGD indeks kualitas siaran tahun ini dilaksanakan dengan mengumpulkan seluruh informan ahli dari 12 Perguruan Tinggi membahas dan memberi penilaian pada program siaran TV yang dibagi menjadi 8 kategori program acara.

Adapun ke 8 kategori program acara TV tersebut antara lain Kategori Program Wisata dan Budaya, Kategori Program Religi, Kategori Program Berita, Kategori Program Talkshow, Kategori Program Anak, Kategori Program Infotainmen, Kategori Program Sinetron, dan Kategori Program Variety Show. Hasil penilaian para informan ahli ini akan diharapkan menjadi acuan lembaga penyiaran untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas program acara sekaligus menjadi data informasi bagi khalayak yang membutuhkan khususnya kalangan akademisi dan stakeholder terkait lainnya.

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, saat membuka FGD Indeks Kualitas Program TV untuk Kategori Talkshow menyampaikan harapan kepada para informan ahli memberi kontribusi dan sumbangsihnya untuk perbaikan dan peningkatan kualitas seluruh program acara TV, khususnya untuk kategori Program Acara Talkshow di TV.

"Di data KPI, sanksi untuk program talkshow masuk dalam 4 besar. Meskipun jika dilihat dari tahun 2020, terus mengalami penurunan sanksi. Ada perbaikan," tutur Agung Suprio dalam FGD Indeks Kualitas Program Siaran Televisi Tahun 2022 Kategori Talkshow, di Nusa Dua, Badung, Bali, Kamis (12/05/2022).

Pria yang akrab disapa Agung ini, juga meminta agar masukan dan gagasan dalam FGD ini bisa mendorong perbaikan konten sehingga dapat bersaing dengan acara serupa yang ada di media baru. "Di media baru, banyak acara serupa talkshow. Ini menjadi tantangan untuk kita semua agar menjadikan talkshow di layar televisi bisa lebih menarik, penuh inovasi dan kreatif," lanjutnya.

Agung menilai, bahwa konten yang menarik, penuh inovasi dan kreatif bisa mendorong talkshow di televisi dapat bersaing sehingga akan kian diminati publik. "Kita semua menginginkan talkshow televisi kian diminati publik. Sehingga dapat bersaing dengan acara serupa di media baru," tuturnya.

Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti, di sela-sela FGD untuk kategori Program Acara Anak berharap, program acara anak di TV makin banyak dan makin berkualitas. Dia menyampaikan pada indeks kualitas tahun lalu, program ini mendapatkan nilai yang baik di atas standar kualitas yang ditetapkan yakni 3.0. 

Mimah juga menekankan agar kualitas tayangan anak diikuti dengan semakin ramahnya tayangan lain yang bukan diperuntukan untuk anak. Hal ini agar anak mendapatkan rasa nyaman dan aman dari tayangan yang memang bukan untuk mereka. “Saya berharap secara keseluruhan program tayangan di televisi dan juga radio dapat ramah terhadap anak-anak,” pinta Komisioner bidang Pengawasan Isi Siaran ini. 

Sementara di forum FGD kategori Wisata dan Budaya, Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, mengatakan kategori program ini tidak pernah bermasalah sejak riset ini dilakukan KPI pada 2017 lalu. Menurutnya, konten untuk program ini melimpah yang semestinya menjadi referensi dan terus dikembangkan. 

Dalam forum bahasan untuk kategori sinetron, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, menyampaikan harapan besar agar indeks KPI yang ke 8 ini membawa kontribusi yang lebih signifikan bagi industri penyiaran televisi. “Saya sampaikan di forum ini, khususnya di kategori program sinetron. Data kepemirsaan menyebutkan setiap tahun tidak bergeser bahwa program sinetron ini, data penonton 36% dan paling tinggi dibandingkan data kepemirsaan di program lainnya. namun di 8 tahun juga program ini tidak pernah bergeser indeksnya ke nilai yang lebih berkualitas. Ini menjadi PR bagi KPI,” katanya. 

Dia menjelaskan kenapa hal ini mesti jadi catatan tebal pihaknya karena memang yang banyak ditonton masyarakat adalah tayangan sinetron. Sementara yang hadir di layar kaca, kebanyakan bukan merupakan sinetron yang berkualitas. Semestinya, lanjut Nuning, perlu upaya keras untuk mengubah cara tonton masyarakat untuk beralih menonton tayangan sinetron yang baik dan berkualitas. 

“Intervensi terhadap penonton perlu dilakukan karena kalau tidak penonton kita ya akan tetap menonton sinetron yang kurang baik. Makanya kalau kita mau menggeser selera mereka, boleh tetap nonton sinetron tapi sinetron yang berkualitas. Indeks sinetron yang berkualitas bagus bukan berasal dari indeks kualitas dan jumlah penonton. Intervensi terhadap penonton dengan sinetron yang berkualitas,” tandasnya.

Adapun ke 12 Universitas yang turut dalam FGD indeks kualitas ini yakni Universitas Udayana, Universitas Diponegoro, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Sumatera Utara, Universitas Patimura, Universitas Hasanuddin, Universitas Pembangunan Nasional (UPN) "Veteran" Jakarta, Universitas Padjajaran, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Tanjungpura, Universitas Andalas (Unand) dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa). ***

 

Nusa Dua - DPR RI berkomitmen mendorong terwujudnya penyiaran Indonesia yang sehat termasuk juga ekosistem penyiaran baik. Pasca reformasi, penyiaran menjadi pilar keempat demokrasi. Jika dulu tantangan yang kita hadapi adalah langkanya informasi, sekarang justru tantangannya adalah banjir informasi. Skema yang cermat dan teliti harus dilakukan untuk menjaga agar penyiaran dan arus informasi tidak merusak tatanan hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia. Hal ini disampaikan Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafidz saat memberi sambutan dalam acara Deklarasi Forum Penyiaran 2022 yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), di Nusa Dua Bali, (12/5). 

Meutya memaparkan, saat ini era digitalisasi telah mendorong adanya beragm kepemilikan. “Sekarang sudah tidak ada lagi televisi yang ingin melakukan penguasaan penuh,” ujar Meutya. Hal ini dikarenakan semua sudah sangat terbuka dengan keberagaman kepemilikan yang berimplikasi pada keberagaman konten. Pada ujungnya bermuara pada keberagaman pendapat atau diversity of voice. 

Dalam kesempatan itu Meutya mengapresiasi KPI yang secara lembaga telah tumbuh dan berkembang secara luar biasa. Termasuk juga kemitraan strategis yang dilakukan KPI baik dengan industri penyiaran atau pun masyarakat. Namun demikian, tambah Meutya, meski peran KPI sangat strategis dan besar, KPI tidak dapat berjalan sendiri untuk menjalankan fungsi yang telah diamanatkan oleh undang-undang penyiaran. Yang paling utama memiliki peran dalam pengawasan konten siaran adalah masyarakat, sebagai end user, ujarnya. 

Meski demikian, tentu saja ada kelompok-kelompok masyarakat yang diharapkan dapat memberi peran yang lebih, yakni para akadermisi. Hal ini dikarenakan mereka dapat melihat tidak saja dengan perasaan dan hati, tapi juga dapat melakukan hal-hal yang lebih terukur dalam menilai tayangan televisi. Tentu saja sinergi yang dilakukan KPI dengan 12 perguruan tinggi negeri ini layak diapresiasi, ujar Meutya. Dia pun berharap ada lebih banyak lagi perguruan tinggi yang ikut terlibat bekerja sama dengan KPI, dalam mengawal dan menjaga penyiaran yang baik dan berkualitas.

DPR sendisi, ungkap Meutya, akan terus menjaga komitmennya dalam memberikan regulasi penyiaran yang lebih baik. Dengan undang-undang penyiaran yang tengah dibahas, tugas KPI menjadi lebih besar apalagi terkait dengan keterbukaan informasi yang juga semakin luas. “Kita harapkan adanya penguatan yang besar kepada KPI daripada undang-undang penyiaran yang ada saat ini. Mudah-mudahan memberi semangat baru bagi KPI untuk melakukan pengawasan dengan adanya aturan yang menguatkan terhadap fungsi pengawasan tersebut,” pungkas Meutya. 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.