- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 34874
Jakarta - Kemampuan iklan kampanye memberi pengaruh dan preferensi pemilih dalam Pemilhan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu alasan yang menjadi dasar pentingnya pengaturan iklan kampanye baik di media cetak maupun di media elektronik. Selain itu, iklan kampanye dalam catatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga terkait dengan preferensi politik dari pemilik media yang berpotensi menjadikan media sebagai mesin politik. Alasan lain adalah tingginya tingkat penetrasi informasi melalui media massa kepada publik. Dengan demikian, iklan media harus diatur sedemikian rupa agar tidak hanya menguntungkan pihak-pihak yang punya kedekatan dengan pemilik media. Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Hardly Stefano Pariela menyampaikan hal tersebut pada kesempatan webinar "Optimalisasi dan Sistem Filtrasi Iklan Kampanye pada Pilkada 2020” yang diselenggarakan oleh Lembaga Sensor Film (LSF) secara virtual, (24/11).
Pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3 & SPS) KPI 2012 memiliki pengaturan tentang perlindungan kepentingan publik, namun terkait dengan iklan kampanye pemilihan kepala daerah KPI juga merujuk pada pengaturan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara. Dalam penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, KPI berada dalam Gugus Tugas Pengawasan bersama dengan KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Pers. Kontribusi KPI adalah dengan melakukan pengawasan atas pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye di televisi dan radio. Dalam menyiarkan program siaran dan iklan tentang pemilihan kepala daerah, lembaga penyiaran harus memperhatikan beberapa kaidah kampanye, ujar Hardly. Yakni harus sopan, tertib, edukatif, bijak dan yang paling penting tidak provokatif.
Pada forum tersebut Hardly mengungkapkan tentang aturan dalam P3SPS bahwa program siaran dalam bentuk promo film dan atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor (STLS) yang dikeluarkan oleh lembaga berwenang. Dirinya mengingatkan bahwa iklan kampanye pun harus memiliki STLS.
“Karena dibutuhkan STLS, maka pada proses filtrasi pra tayang, KPU dapat membentuk tim bersama dengan KPI dan LSF untuk memeriksa kesesuaian materi iklan dengan berbagai regulasi,” ujarnya. Hardly juga menyampaikan bahwa ada larangan dalam siaran iklan di lembaga penyiaran tentang pemuatan minuman beralkohol, rokok, adegan kekerasan, eksploitasi anak dan sebagainya. Hardly juga menyebutkan bahwa KPI selama ini telah bekerjasama dengan Bawaslu untuk mendeteksi potensi pelanggaran iklan kampanye pasca tayang.
Ada beberapa catatan atas potensi pelanggaran iklan kampanye dalam Pilkada dan Pemilu. Diantaranya penayangan iklan di luar jadwal yang ditetapkan KPU, tidak memenuhi kaidah kampanye, tidak memiliki surat tanda lulus sensor, serta melebihi jumlah maksimal spot per hari. Potensi pelanggaran lainnya adalah penggunaan sisa spot iklan oleh peserta Pilkada. Adanya keterbatasan anggaran dari KPU Daerah untuk memfasilitasi 10 spot iklan, ujar Hardly, menjadi celah yang berpotensi dimanfaatkan oleh peserta pilkada. “Kalau tidak ada kejelian mengawasi hal ini, sisa spot iklan dapat digunakan dan dibayar langsung oleh peserta,”tambahnya. Untuk itu, KPU perlu menyampaikan secara terbuka media mana saja yang diajak bekerjasama (media partner) dan berapa iklan spot iklan per hari yang dipasang pada masing-masing media (media plan). “Jadi KPI, Bawaslu maupun publik dapat mengetahui jika ada iklan kampanye di luar yang difasilitasi KPU”, tegas Hardly.
Hardly juga menyampaikan catatan atas pengaturan iklan kampanye. Menurutnya, pengaturan iklan kampanye yang terlalu ketat, serta adanya keterbatasan KPU daerah dalam memfasilitasi akan mengurangi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang pasangan calon. Sementara di sisi yang lain informasi melalui media baru khususnya sosial media sangat bebas dan pengaturan yang minim. Perlu ada ruang lebih besar bagi lembaga penyiaran dalam menyiarkan iklan kampaye Pilkada, sepanjang ada kerjasama dari berbagai lembaga terkait untuk melakukan pengawasan.
Atas catatan tersebut, Hardly menyampaikan rekomendasi bahwa Iklan kampanye di media massa perlu diatur dengan menggunakan dua konsep, yaitu fasilitasi oleh penyelenggara dan mandiri oleh peserta, sebagaimana berlaku pada pemilu 2019 yang lalu. Namun demikian dia menilai tetap diperlukan pembatasan durasi dan frekuensi tayang iklan,supaya jangan sampai ada peserta yang beriklan sepanjang hari. Hardly juga mengusulkan agar iklan di media massa dapat dilakukan sepanjang masa kampanye, tidak dibatasi pada 14 hari saja. Tentunya tetap dibutuhkan kerja sama dan sinergi agar lembaga terkait dalam melakukan filtrasi dan pengawasan terhadap iklan kampanye, pungkasnya. (Foto: Teddy Rantono)