Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia meminta Lembaga Penyiaran televisi dan radio untuk tidak ikut-ikutan memproduksi hoax. Selama ini sumber hoax lahir dari media sosial dan internet dan kemudian menjadi bahan pemberitaan di televisi dan radio.
Hal ini diungkapkan anggota Komisi Penyiaran Indonesia Mayong Suryo Laksono saat melakukan pembinaan program jurnalistik Trans7 di Mampang Prapatan, Jakarta, Kamis (23/03/17). Mayong mengingatkan agar program berita menjaga kualitas dengan hasil kerja liputan kru di lapangan. Jangan mengambil bahan berita dari media sosial seperti YouTube atau sejenisnya.
"Jangan hanya mengembangkan berita yang tidak jelas asal-usul dan pertanggungjawabannya. Karena ada program yg hanya mencuplik sejumlah video di medsos dan jadilah satu program," kata Mayong Suryo Laksono di hadapan kru program berita Trans7 bersama Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat Hardly Stefano.
Mayong mengimbau agar program berita memiliki value yang lebih dibanding program lain. Program berkualitas tentu program yang memiliki manfaat banyak bagi masyarakat.
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyampaikan masukan pendapat dalam rangka harmonisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran kepada Badan Legislasi DPR RI, (23/3). Dalam kesempatan tersebut Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis menjelaskan pendapat KPI atas aturan baru terkait dunia penyiaran yang sudah disusun oleh Komisi I DPR RI.
Secara umum Yuliandre menegaskan pentingnya penguatan kelembagaan KPI dalam undang-undang penyiaran yang baru ini, termasuk salah satunya dengan mengubah masa jabatan anggota KPI dari 3 (tiga) tahun menjadi 5 (lima) tahun. Pada kesempatan tersebut, Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Kelembagaan Prof Obsatar Sinaga juga memaparkan kepada Baleg DPR RI tentang kondisi KPID di beberapa provinsi saat ini, pasca dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 18 tahun 2016. Dirinya mengharapkan, regulasi penyiaran yang baru dapat segera ditetapkan, agar kelembagaan KPI dan KPID ke depan dapat lebih kuat dan pelayanan publik dilakukan lebih optimal.
Rapat itu sendiri dipimpin oleh Wakil Ketua Baleg Firman Soebagyo dari Fraksi Golkar. Firman meminta pendapat KPI tentang monopoli kepemilikan media, sanksi atas pelanggaran ketentuan iklan serta pengaturan iklan politik. Sementara itu anggota Baleg lainnya, Adang Daradjatun meminta KPI memberikan gambaran tentang penerapan sanksi denda atas pelanggaran aturan penyiaran di berbagai negara. Sedangkan politisi Fraksi Golkar lainnya, Misbakhun menilai bahwa penguatan KPI secara kelembagaan sangat dibutuhkan. Dirinya berpendapat KPI mendapatkan peran yang strategis dalam pengaturan masalah penyiaran ini, mengingat ke depan seiring dengan makin kuatnya perkembangan teknologi, penyiaran akan menjadi tulang punggung negara.
Misbakhun juga memberikan kritisi atas performa KPI selama ini. Dirinya berharap ke depan, KPi tidak sekedar memberikan rekomendasi atau pelarangan program siaran yang melanggar saja. “KPI harus mempertimbangkan luka-luka masyarakat yang muncul akibat kesalahan pada program siaran tidak dapat diobati begitu saja dengan larangan tersebut”, ujar Misbakhun. Hal senada juga disampaikan oleh Weni Haryanto, anggota Baleg lainnya. Weni berpendapat bahwa masyarakat punya hak mendapatkan informasi yang benar, bukan yang seenaknya sesuai keinginan pengelola televisi. Masukan lainnya adalah pentingnya KPI memberikan pendidikan dan pencerahan pada masyarakat agar tetap kritis dan imun terhadap siaran televisi dan radio.
Komisioner KPI Pusat bidang Pengawasan Isi Siaran Nuning Rodiyah, dalam kesempatan itu menyatakan bahwa perlunya sanksi terhadap pengisi acara yang dalam penampilannya di televisi dan radio melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). “Kami berharap undang-undang mengakomodir adanya skorsing terhadap pengisi acara yang melanggar P3 & SPS”, ujar Nuning. Sementara komisioner KPI Pusat lainnya Dewi Setyarini menyampaikan masukan tentang aturan mengenai keberadaan lembaga penyiaran publik lokal (LPPL) serta aturan tegas tentang larangan muatan pornografi.
Di ujung pertemuan, Firman meminta adanya penyempurnaan atas masukan dari KPI atas Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran tersebut sebagai bahan pertimbangan Baleg DPR. Mengingat Baleg DPR memiliki tenggat waktu tersendiri dalam melakukan harmonisasi terhadap Draf RUU. Selanjutnya, jika harmonisasi sudah selesai di Baleg DPR RI,RUU akan disampaikan dalam Rapat Paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi RUU Usul Inisiatif DPR RI.
Jakarta – Hasil pemantauan Dewan Pers terhadap bentuk pemberitaan di media penyiaran menjelang dan pada saat proses Pemilukada secara umum masih sama dengan Pemilu 2014. Cara memilih pertanyaan, berita, gambar dan teks yang disiarkan tak jauh beda dengan Pemilu 2014.
Penilaian tersebut disampaikan Ketua Dewan Pers Yoseph Prasetyo saat menghadiri fokus grup diskusi (FGD) tentang “Temuan Kasus Program Siaran Jurnalistik pada Pilkada 2017 di Televisi dan Radio” di Kantor KPI Pusat, Kamis (23/3/17).
Menurut Stanley, perubahan yang terjadi sekarang hanya soal ketaatan lembaga penyiaran dalam mengikuti aturan yakni P3 dan SPS KPI serta Kode Etik Jurnalistik. Soal keberpihakan media masih sangat kentara terhadap calon tertentu. Keberpihakan ini tidak luput dari dukungan pemilik media tersebut terhadap calon tertentu.
“Terutama pemilik media yang masuk dalam politik. Independensi newsroom ikut terpengaruh dan memiliki kepentingan. Keberpihakaan itu dapat dilihat dari cara pemberitaan dan iklan terselubung,” kata Stanley, panggilan akrab Ketua Dewan Pers.
Namun demikian, Dewan Pers menilai tidak ada pelanggaran jurnalistik walaupun publik meyakini adanya keberpihakaan media dalam pemberitaannya. “Dewan Pers juga tidak menerima laporan terkait pemberitaan media televisi. Yang ada hanya calon pasangan yang mengadukan media cetak ke Dewan Pers,” kata Stanley disaksikan Komisioner KPI Pusat Mayong Suryo Laksono, Nuning Rodiyah dan Hardly Stefano.
Pada kesempatan itu, Stanley mengingatkan tugas utama jurnalistik adalah mengungkapkan kebenaran. Kebenaran dalam jurnalistik bukanlah kebenaran yang bersifat mutlak tetapi kebenaran yang bersifat fungsional, yakni kebenaran yang diyakini pada saat itu dan terbuka untuk koreksi.
“Komitmen utama jurnalisme adalah pada kepentingan publik. Kepentingan pribadi, kelompok, atau kepentingan pemilik media harus selalu di tempatkan di bawah kepentingan publik. Harusnya siaran televisi kembali norma usai Pemilu kenyataannya tidak,” katanya. ***
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membutuhkan masukan dari Dewan Pers terkait persoalan framing media dalam pemberitaan. Masukan ini sangat penting untuk menyelaraskan hasil keputusan KPI terkait persoalan tersebut.
Hal itu disampaikan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, pada Ketua Dewan Pers, Yoseph Prasetyo, disela-sela acara fokus grup diskusi (FGD) tentang “Temuan Kasus Program Siaran Jurnalistik pada Pilkada 2017 di Televisi dan Radio” di Kantor KPI Pusat, Kamis (23/3/17).
Menurut Hardly, KPI memiliki keterbatasan menanggapi persoalan framing pemberitaan di media penyiaran. Masukan dari Dewan Pers akan lebih mengerucutkan substansi soal framing yang terindikasi di lembaga penyiaran. “Kita ingin ada penilaian dari Dewan Pers mengenai hal itu. Setelah itu, KPI bisa mengambil keputusan apa dan seragam dengan hasil penilaian Dewan Pers,” jelasnya.
Selain menguatkan keputusan yang dibuat oleh KPI, penilaian bersama dengan Dewan Pers akan menghilangkan ruang hampa atau blankspot aturan yang bisa dimanfaatkan terutama pada saat Pemilu atau Pemilukada sekarang. “Kita ingin membendung hal-hal itu dengan ketemuan berkala dengan Dewan Pers,” kata Hardly.
Hardly menegaskan jika Dewan Pers dan KPI memiliki persepsi yang sama soal independensi media. Harapan agar media tidak melakukan penggiringan opini, menyiarkan fakta yang sesungguhnya dan aktualitas informasi, beberapa kesamaan substansi tersebut.
Hardly juga mengingatkan bahwa UU Penyiaran mengatur persoalan penyiaran secara menyeluruh melalui aturan turunannya. Karena itu, setiap produk yang masuk ke ranah penyiaran harus tunduk pada aturan yang berlaku yakni UU Penyiaran dan produk turunannya.
Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, menyatakan pihaknya mendapati adanya lembaga penyiaran terindikasi melakukan framing dalam pemberitaan. “Indikasi framing itu dengan menyudutkan atau mengunggulkan pasangan calon tertentu,” tambahnya.
Pemantauan KPI juga menemukan beberapa potensi pelanggaran dalam pemberitaan yang kemudian telah ditindaklanjuti dengan memberikan peringatan pada lembaga penyiaran bersangkutan. Selain mendapati pelanggaran di program pemberitaan, KPI Pusat juga menemukan sejumlah pelanggaran terhadap P3 dan SPS pada program lain dengan kategori pelanggaran SARA. ***
Fez - Haute Autorité de la Communication Audiovisuelle (HACA), regulator penyiaran di Maroko menyelenggarakan pertemuan regulator komunikasi dan audio visual antar negara-negara di Afrika dan Amerika Latin (Premiere Rencontre Des Regulateurs AFRICANS and IBERO-AMERICAINS De L’Audiovisuel), di Fez 16-18 Maret 2017. Presiden HACA, Amina Lemrini Elouahabi menjelaskan bahwa pertemuan tersebut sebagai wadah berbagi pengalaman dan pengetahuan dari regulator antar negara. “Pertemuan ini juga menjadi kesempatan mengatasi isu pluralisme politik dan linguistik, budaya dan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan dalam melawan stereotype gender, serta kehadiran media komunitas demi menjamin kepentingan umum,” ujar Amina. Menurutnya, perubahan global yang dihadapi dunia saat ini membutuhkan peran aktif dari regulator penyiaran, untuk menyesuaikan aturan-aturan yang ada di setiap negara agar muatan penyiaran dapat memberikan manfaat besar bagi peradaban umat manusia.
Pada pertemuan tersebut HACA Maroko menyampaikan usulan tentang pentingnya co-regulasi dalam dunia penyiaran antar negara-negara Afika dan Amerika Latin. Salah satunya dengan membuat standar regulasi yang sama pada setiap negara. Hadir dalam pertemuan yang digagas untuk pertama kalinya itu, delegasi negara-negara Afrika yang tergabung dalam Réseau des Instances Africaines de Régulation de la Communication (RIARC) yakni Kamerun, Burkina Faso, Mali, Niger, Chad, Benin, Guinea, Guinea-Bissau, Tunisia, Tanzania, Republik Demokratik Kongo, Republik Afrika Tengah, Pantai Gading, dan Maroko. Sedangkan delegasi dari negara Amerika Latin yang tergabung dalam dan "Plataforma de Reguladores del sektor Audiovisual de Iberoamerica" (PRAI) yang hadir adalah Meksiko, Ekuador, Kolombia dan Chile, yang juga dilengkapi dengan kehadiran delagasi dari Spanyol dan Portugal.
Presiden IBRAF (Organization of Islamic Cooperation Broadcasting Regulatory and Authority Forum) Yuliandre Darwis, turut hadir dalam pertemuan tersebut didampingi Sekretaris Jenderal IBRAF Hamit Ersoy yang merupakan anggota Radyo Ve Televiszyon Ust Kurulu (RTUK) Turki. Pada kesempatan tersebut Yuliandre yang juga Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), menyampaikan isu terkait urgensi media menghadirkan harmoni di tengah masyarakat dunia. “Majunya teknologi media jangan sampai membuat identitas masing-masing negara hilang,” ujar Yuliandre. Selain itu, dirinya juga mengingatkan pentingnya literasi bagi generasi muda untuk memahami bagaimana sebuah media bekerja sehingga dapat menggunakan dan memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan dan hak asasinya.***
Kegiatan Razia memang sering di lakukan oleh aparat kepolisian yang sedang bertugas bertujuan untuk menertibkan lingkungan sekitar, Bahkan belakngan ini ada dari bebrapa Stasiun televisi yang membuat program khusus tentang kegiatan aparat penegak hukum untuk melihat langsung kegiatan di lapangan.
Dalam acara Televisi tersebut di tayangkan pula aksi penggrebekan hotel melati yang oleh kepolisian dengan memeriksa kamar-kamar hotel untuk menjaring pasangan yang bukan suami istri. Beberapa orang yang terjaring di tanyai tentang identitasnya dan tidak lupa di sorot wajahnya oleh kamera.
Merespon hal ini terlepas dari bagaimana wajah akan di blur atau tidak, kegitaan ini sudah membuat ketidaknyamanan seseorang terganggu dengan adanya aparat yang masuk kedalam ruang-ruang privasi orang lain karena pasal berzina sendiri tidak ada.
Dalam Kitab Undang undang Hukum Pidana Pasal 281 ayat 1 mengatakan bahwa “ barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu limaratus rupiah.”
Makna kesusilaan sendiri juga dapat berubah ubah sesuai pada budaya sosial di waktu dan tempat tertentu. Tentu saja pasal tersebut tidak dapat digunakan untuk menghukum orang yang berhubungan seks di tempat yan privat. Begitu pula pasal 284 yang hanya memidanakan pasangan yang sudah menikah dan terbukti berselingkuh. Sedangkan pada pasal 284 ayat (2) menekankan bahwa tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan istri atau suami yang tercemar. Dan lagi pasal 284 ini tidak menjerat bagi orang yang belum menikah.
Kegiatan penggrebekan yang di tampilkan lewat stasiun televisi ini tentu secara tidak langsung akan memberi contoh negatif kepada masyarakat. Hingga banyak terjadi kasus main hakim sendiri oleh masyarakat dalam menangani maslah serupa yang terjadi di lingkunganya