- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 38287
Praya -- Dua tahun lagi, Indonesia akan segera mengalihkan sistem penyiaran lawasnya dari analog ke digital. Meskipun terlambat melakukan ASO (analog switch off), transformasi teknologi siaran pada 2022 nanti akan memberi banyak keuntungan dan manfaat besar bagi masyarakat khususnya di wilayah terdepan (perbatasan), tertinggal, dan terpencil (3T).
Selain manfaat, sistem baru ini dapat memberi jaminan terhadap keamanan dan kekuatan bangsa sekaligus juga memacu kesejahteraan masyarakat. Ada tiga aspek yang menyebabkan itu bisa terwujud. Pertama, adanya keadilan atau pemerataan informasi bagi semua warga negara. Kedua, menjaga kebudayaan. Ketiga, memicu peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Komisioner KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, menilai tiga aspek tersebut termasuk poin krusial dari penyelenggaraan digitalisasi. Menurutnya, setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh informasi atau siaran di manapun tempat tinggalnya termasuk di perbatasan atau daerah 3T. Pemerataan ini dapat terwujud melalui digitalisasi.
“Kaitan dengan perbatasan, TV digital itu bentuk penyapaan kita terhadap saudara-saudara kita di perbatasan. Kalau kita melupakan mereka dan lebih banyak menerima siaran dari luar, ya tentu saja mereka lebih tahu ringgit daripada rupiah. Mereka lebih tahu bahasa upin ipin daripada bahasa kita sendiri. Lagu kebangsaan Singapura lebih diketahui daripada Indonesia Raya. Nah, digitalisasi ini kan bentuk penyapaan dan upaya untuk merangkul,” katanya dalam sesi dialog kegiatan Sosialisasi dan Publikasi “Menjaga Indonesia dan Perbatasan Melalui Penyiaran Digital” di Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), Minggu (11/10/2020).
Kemudian soal kebudayaan nasional. Bahwa kebudayaan akan terpelihara dengan adanya digitalisasi sangat memungkinkan. Mulyo memberi contoh kasus masyarakat di Miangas, Sulawesi Utara, yang terbiasa menggunakan bahasa Tagalog ketimbang Indonesia. Hal ini terjadi karena mereka tidak disapa oleh siaran nasional. Sementara kontak fisik lebih banyak dilakukan dengan orang-orang Philipina.
“Yang banyak dilihat dan didengar mereka adalah orang-orang Philipina dengan bahasa Tagalog. Sementara TV Indonesia tidak masuk ke sana. Nah, untuk menjaga ke-Indonesiaan mereka harus tetap disapa. Salah satu penyapaannya dengan siaran nasional agar pelan-pelan kemudian dirasuki dengan bahasa Indonesia. Kalau setiap hari mendengar bahasa Indonesia, ya mau tidak mau akan ingat kembali bahwa saya ini orang Indonesia,” ujar Mulyo yang diamini pemandu diskusi yang juga Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia.
Terkait kebudayaan ini, Mulyo juga menjelaskan pentingnya membuat konten yang penuh pesan kebangsaan dan nasionalisme. Upaya ini untuk mengembalikan lagi jatidiri masyarakat di wilayah perbatasan yang bingung atau sudah berpaling, agar merasa kembali menjadi orang Indonesia.
“Dengan konten-konten yang sangat variatif yang dimungkinkan tumbuh pesat melalui digitalisasi. Sehingga, saudara kita di perbatasan itu benar-benar mencintai Indonesia dengan konten dalam negeri. Semakin mereka peduli bahwa saya orang Indonesia dan saya dibesarkan di Indonesia dan menginspirasi orang-orang yang selama ini tidak begitu banyak bersentuhan dengan jati diri wilayahnya. Adapun kebijakan pemerintah yang menyatakan daerah perbatasan itu sebagai beranda depan, ini merupakan kebijakan yang sangat positif,” tutur Mulyo.
Keuntungan lain yang hadir ketika sistem digital ini bergulir yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat. Saat ini, fenomena masyarakat yang mulai banyak berbisnis dari rumah begitu marak berkat kemajuan teknologi internet, akan semakin berkembang ketika sistem digital berlangsung pada 2022 nanti berkat digital deviden.
“Soal digital deviden juga akan dirasakan masyarakat dan makin berkembang dengan adanya digitalisasi. Kalau ada digital deviden masyarakat yang sekarang sudah dapat berbisnis dari rumah, akan jauh lebih berkembang sekaligus bisa berbisnis dari mana pun,” papar Wakil Ketua KPI Pusat ini.
Cegah Disintegrasi
Rasa nasionalisme dan pengakuan diri sebagai orang Indonesia sangat bergantung dari perhatian dan informasi yang diperoleh. Tidak heran ketika masyarakat perbatasan ataupun di wilayah 3T merasa tidak menjadi bagian Indonesia karena tidak adanya informasi nasional di wilayah itu. Terkadang hal ini memicu perlawanan terhadap konstitusi.
Anggota Komisi I DPR RI, Yan Permenas Mandenas, mengatakan masyarakat di daerah 3T harus mendapat perhatian besar dan salah satunya melalui penyediaan informasi. Menurutnya, ketika mereka tidak mendapat keseimbangan informasi dikhawatirkan menciptakan gerakan baru melawan konstitusi.
“Contoh di Papua, kita kenal OPM tembak menembak, sebab daerah itu terisolir susah mendapatkan informasi. Semua dianggap bahwa Pemerintah tidak melakukan sesuatu yang bermanfaat di masyarakat,” katanya.
Hadirnya penyiaran digital, lanjut Yan, akan mewujudkan pemerataan informasi di seluruh wilayah NKRI termasuk 3T. Masyarakat akan mendapatkan fasilitas dan pelayanan penyiaran yang sama. Dengan demikian, informasi yang diterima pun akan juga sama, baik itu di pusat, perkotaan maupun di daerah-daerah terpencil dan perbatasan.
“Informasi ini menjadi edukasi bagi masyarakat. Mereka akan tahu siapa pemimpinnya dan kebijakan apa yang sudah dibuat pemerintah. Dengan begitu akan dapat meredam segala aksi teror dan perlawanan dan pertentangan konstitusi bisa diredam,” jelas Yan.
Sementara itu, Sekjen Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rosarita Niken Widiastuti, mengatakan penyiaran digital akan mengerakkan kesejahteraan masyarakat termasuk di perbatasan. Selain itu, sistem ini dapat mencerdaskan masyarakat di daerah tersebut.
“Di wilayah perbatasan seperti di Sebatik, di sana banyak yang bekerja di perkebunan. Anak mereka banyak yang hidup dengan neneknya, maka pendidikan kurang diperhatikan. Lalu, kami menyelenggarakan sekolah di udara bersama TNI. Kami erat bekerjasama dengan Kepolisian. Jadi memberikan perlindungan pada masyarakat perbatasan untuk menjaga kedaulatan NKRI. Kalau upaya itu ada maka mereka akan jaga patok-patok kegiatan perbatasan,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI), Anang Latif, menjelaskan tugas utama lembaganya dalam membangun infrastruktur dan menyelesaikan permasalahan telekomunikasi dan penyiaran. Terkait penyiaran, dia mengatakan bahwa daerah blankspot harus mendapat perhatian dan untuk itu harus ada desain yang tepat, apakah menggunakan perluasan cakupan penyiaran atau seluler 4G.
“Kami ini agen pemerataan. Berkat bantuan pak Yan pada tahun 2021, kami menyelesaikan persoalan pemerataan khususnya infrastruktur,” ujarnya.
Dia juga menyampaikan sejumlah program BAKTI, salah satunya menggunakan istilah Palapa. Program ini sudah selesai pada 2019 lalu dan seluruh ibu kota serta kabupaten sekarang sudah terhubung dengan jaringan broadband. “Lalu jaringan kami menuntaskan coverage seluler. Kami sedang meluncurkan satelit multifungsi bukan satelit telekomunikasi, tapi satelit broadband untuk seluruh Indonesia. Dalam kaitan program digitalisasi penyiaran, kami akan berkolaborasi dengan program infrastruktur BTS,” jelas Anang.
Optimisme harus dibangun untuk menyambut digitalisasi, pemerataan siaran, gambar dan suara yang lebih jernih, pemerataan, dan kesejahteraan masyarakat. ***