Jakarta -- Meningkatnya kasus Covid-19 di akhir 2020 lalu, mendorong Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk lebih ketat mengatur dan mengawasi konten siaran lembaga penyiaran, terutama televisi di 2021 ini. Pasalnya, tayangan di layar kaca punya pengaruh besar terhadap perilaku masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan. 

Agung Suprio dalam rapat penyelerasan program kerja bidang keterbukaan informasi publik, komunikasi publik, penyiaran dan informasi mengatakan, bahwa pengawasan konten siaran tentang Covid-19 di lembaga penyiaran akan menjadi salah satu prioritas kerja KPI di 2021. Menurutnya, ada sebagian konten program siaran di lembaga penyiaran yang mengindahkan protokol Kesehatan.

“Yang kami harapkan lembaga penyiaran bisa memberikan contoh tentang protokol kesehatan. Sehingga masyarakat bisa lebih awas, tidak abai,” katanya di Aula Gatot Kaca, Gedung B, Menkopolhukam, Kamis (14/1/2021).

KPI juga sudah berkoordinasi dengan BNPB berkaitan dengan update informasi, kebijakan baru dan prokes yang berkaitan dengan Covid-19. “Hasil koordinasi ini akan dibungkus dalam aturan yang mengikat lembaga penyiaran,” lanjutnya.

Selain itu, Dia juga menyinggung proses Analog Switch Off  (ASO) pada tahun 2022 yang juga menjadi prioritas program kerja KPI. “UU Cipta Kerja menambahkan satu pasal progresif dalam klaster penyiaran, yakni pemberhentian siaran TV analog pada November 2022,” katanya. 

Akan tetapi kebijakan ASO ini mesti dibarengi dengan sosialisasi yang massif kepada masyarakat. “Masyarakat sudah harus siap dengan kebijakan ini dan pemerintah termasuk juga KPI mempunyai tanggung jawab besar untuk memastikan masyarakat dapat menerima siaran digital saat ASO dilaksanakan,” tutur Ketua KPI. 

Agung juga berharap agar revisi UU Penyiaran dapat segera dilaksanakan. Hal ini sebagai bagian dari upaya penguatan kelembagaan KPI. Karena ketika ASO sudah berlangsung, kata dia, jumlah lembaga penyiaran akan bertambah banyak dan berdampak pada kesiapan infrastruktur serta sumber daya manusia pemantau harus ditingkatkan. Met/*

 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengingatkan dan meminta seluruh lembaga penyiaran, TV dan Radio, untuk berhati-hati dalam mengemas peliputan ataupun pemberitaan terkait peristiwa jatuhnya pesawat Sriwijaya SJ-182 rute Jakarta – Pontianak pada Sabtu (9/1/2021) lalu. Dalam peristiwa memilukan seperti ini, lembaga penyiaran harusnya berperan sebagai media penjernih sekaligus membantu pemulihan psikologis para keluarga korban, bukan sebaliknya.

Hal itu disampaikan Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, dalam sebuah kesempatan saat dimintai keterangan dari salah satu lembaga penyiaran publik di Jakarta, Selasa (12/1/2021).

Menurutnya, setiap peliputan atau pemberitaan peristiwa jatuhnya pesawat Sriwijaya SJ-182 yang termasuk dalam kejadian kebencanaan harus mengacu kepada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Aturan tersebut terdapat dalam tiga pasal di SPS yakni Pasal 49, 50 dan 50. 

“P3SPS merupakan pedoman yang mengatur secara jelas dan terperinci mengenai peliputan kebencanaan dan salah satunya adalah mengenai peliputan kebencanaan yang sedang dialami Sriwijaya Air,” jelas Irsal. 

Aspek yang wajib dipertimbangkan oleh lembaga penyiaran dalam tragedi seperti ini adalah memperhatikan faktor psikologis. Misalnya, upaya pemulihan terhadap korban, keluarga atau masyarakat yang terkena atau terdampak dari kejadian kecelakaan pesawat tersebut. 

“Karenanya harus dipahami dari peliputan seperti ini adalah tidak mengeksploitasi terlalu dalam kesedihan keluarga korban, menampilkan gambar atau suara yang dapat menimbulkan kesan yang dapat berkaitan dengan trauma psikologis,” jelas Irsal.

Selain itu, untuk mendudukan kejadian ini dengan benar dan tidak banyak spekulasi, lembaga penyiaran harus menghadirkan narasumber yang kompeten dan kredibel. Lembaga penyiaran juga berperan menjernihkan informasi yang beredar di media sosial. 

“Kehadiran narasumber akan dapat menjelaskan dengan berdasarkan argumentasi yang ilmiah sehingga spekulasi yang beredar luas di luar atau di media sosial bisa diclearkan atau bisa dijernihkan oleh informasi yang ada di media penyiaran. Jadi dugaan-dugaan itu dapat diminimalisir dengan berimbang dari sumber informan yang kredibel tadi,” tutur Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat ini. 

Irsal memahami situasi media dan upaya keras yang dilakukan untuk menghadirkan infromasi dari peristiwa besar ini. Bahkan, beberapa media menjadikan kejadian ini dalam sajian program berdurasi cukup panjang. “Tapi kami harus terus mengingatkan lembaga penyiaran agar dalam kondisi demikian semua media tetap menyampaikan info dalam pakem jurnalistik sehingga bisa memberi gambaran yang lebih baik dan jernih,” ujarnya.

Saat ini, KPI telah mengumpulkan dan menganalisa semua bahan-bahan siaran terkait jatuhnya pesawat Sriwijaya SJ-182 yang diduga telah melanggar. “Jika melanggar kami akan memberikan sanksi. Tapi kami juga telah lakukan proses komunikasi secara intens dengan lembaga penyiaran agar tidak ada potensi yang menjurus kepada pelanggaran. Kami selalu memberi pemahaman kepada media agar tidak menjurus kepada pelanggaran seperti eksploitasi kesedihan para keluarga korban,” tandas Irsal. ***/Editor:MR

 

 

Menyongsong Siaran Digital

(Bagian Terakhir dari Dua Tulisan)

Oleh: Hardly Stefano Fenelo Pariela

Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan

 

Pengaturan Siaran Digital

Meskipun memiliki berbagai kelebihan dan membawa kemanfaatan, namun pelaksanaan penyiaran digital di Indonesia selama ini terhambat karena belum ada regulasi setingkat Undang – Undang yang mengatur hal tersebut. UU no.32/2002 tentang Penyiaran secara konseptual hanya mengatur tentang siaran analog. Melalui UU no.11/2020 tentang Cipta Kerja, atau dikenal juga dengan sebutan omnibus law, pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan revisi terbatas terhadap UU penyiaran untuk mengatasi hambatan regulasi dalam proses digitalisasi penyiaran. Melalui pasal 72 UU no.11/2020 ditambahkan pasal 60A pada UU no.32/2002, dimana disebutkan: “Penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital”. Ini merupakan dasar hukum dimulainya proses migrasi penyiaran. Mengingat Indonesia termasuk negara yang terlambat menerapkan penyiaran digital, maka pelaksanaan digitalisasi penyiaran juga diberi tenggat waktu. Penghentian siaran analog (Analog Swicth Off / ASO) harus diselesaikan paling lambat dua tahun setelah ditetapkannya UU no.11/2020. Selain itu juga disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai migrasi penyiaran analog menjadi digital diatur dalam peraturan pemerintah.

Dapat dikatakan Indonesia saat ini telah memulai hitung mundur (countdown) menuju era penyiaran digital. Kemkominfo memiliki kewajiban untuk bekerja secara cepat mempersiapkan berbagai peraturan yang mengatur teknis pelaksanaan digitalisasi penyiaran. Diantaranya tentang proses perijinan, tata kelola siaran, tanggung jawab lembaga penyiaran maupun pengelola multipleksing, serta pengawasan penyiaran digital. Selain itu Kemkominfo juga perlu menyusun perencanaan dan tahapan pelaksanaan (roadmap) proses alih teknologi. Diharapkan semuanya dapat dilaksanakan Kemkominfo dengan menggunakan pendekatan partispatoris, yaitu terbuka dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, khususnya masyarakat.

Partisipasi Masyarakat

Dalam proses transisi sistem penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai Lembaga Negara Independen yang merupakan wujud peran serta masyarakat dalam bidang penyiaran, harus mampu berperan untuk melakukan sosialisasi tentang agenda migrasi penyiaran sebagaimana telah diamanatkan oleh UU no.11/2020. Sehingga masyarakat secara luas mengetahui tentang konsep penyiaran digital termasuk dampak dan manfaat dari proses tersebut. Tidak kalah pentingnya adalah memunculkan kepedulian publik untuk berpartisipasi dalam proses alih teknologi penyiaran. Karena spektrum frekuensi yang digunakan, baik untuk telekomunikasi maupun penyiaran adalah sumber daya alam yang terbatas, oleh sebab itu harus dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Masyarakat perlu berpartisipasi dalam seluruh proses alih teknologi penyiaran, dengan memberikan masukan dalam perumusan regulasi teknis, mengawasi setiap tahapan pelaksanaan, serta memberi catatan sebagai umpan balik dalam proses migrasi penyiaran. Publik perlu memastikan bahwa melalui pelaksanaan penyiaran digital akan semakin banyak wilayah Indonesia yang mendapatkan akses menerima siaran televisi FTA.

KPI harus berada bersama publik serta mampu membangun komunikasi dengan seluruh pemangku kepentingan, agar melalui penyiaran digital dapat terwujud demokrasi penyiaran yang dimanifestasikan dalam keragaman konten (diversity of content) dan keragaman kepemilikan lembaga penyiaran (diversity of ownership). Sehingga proses migrasi sistem penyiaran bukan semata-mata alih teknologi yang berorientasi bisnis dan ekonomi, namun dapat mebawa kemanfaatan bagi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia.

Implementasi siaran digital

Migrasi atau peralihan siaran televisi dari modulasi analog menjadi digital adalah proses dan dinamika yang kompleks karena terkait dengan berbagai aspek, diantaranya adalah teknologi, ekonomi, maupun sosial kemasyarakatan. Oleh sebab itu perlu pengaturan, perencanaan dan proses implementasi sehingga proses migrasi siaran dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat Indonesia. Manfaat langsung yang diharapkan akan dapat dirasakan masyarakat adalah berkurangnya wilayah blankspot penyiaran, jumlah pilihan saluran televisi yang semakin banyak, serta kualitas gambar dan suara yang diterima oleh perangkat televisi semakin baik. Selain itu masyarakat juga akan merasakan kemanfataan tidak langsung, dimana digital deviden dimanfaatkan oleh operator seluler untuk mengembangkan internet berkecepatan tinggi, yang pada gilirannya juga akan digunakan oleh masyarakat.

Meskipun proses migrasi siaran analog menjadi digital merupakan proses yang kompleks, namun dalam implementasinya secara teknis bagi masyarakat merupakan hal yang sangat sederhana. Karena untuk mengakses siaran televisi digital, masyarakat dapat menggunakan antena Ultra High Frequency (UHF) serta perangkat televisi yang selama ini digunakan untuk menerima siaran analog. Bagi perangkat televisi yang belum memiliki saluran penerimaan siaran digital, juga tidak harus melakukan penggantian perangkat dengan televisi baru, cukup dengan menambahkan alat bantu penerima siaran digital berupa kotak decoder yang disebut Set Top Box (STB). Dimana kabel dari antena UHF terlebih dahulu disambungkan dengan STB, lalu kabel dari STB dikoneksikan pada perangkat televisi analog, maka masyarakat sudah dapat menerima siaran modulasi digital, sepanjang siaran digital telah dipancarkan.

Dari penjelasan teknis implementasi siaran digital, yang juga perlu dipahami oleh masyarakat bahwa siaran televisi digital terrestrial bukanlah siaran televisi streaming. Untuk mengakses Siaran streaming masyarakat membutuhkan jaringan, layanan data dan perangkat yang terhubung dengan internet. Sedangkan siaran televisi digital terrestrial adalah siaran yang tidak berbayar, dan untuk mengakses hanya membutuhkan perangkat antena UHF dan televisi digital, atau televisi analog namun telah dilengkapi dengan STB.

Penutup

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang telah terbiasa menggunakan perangkat seluler berupa smartphone, kemungkinan akan cepat beradaptasi dengan teknologi siaran digital. Transisi dua tahun, adalah waktu yang sangat cukup untuk mempersiapkan masyarakat sebagai pengguna layanan televisi digital. Akan tetapi migrasi siaran bukan hanya sekedar alih teknologi, menambah perangkat STB atau bahkan mengganti perangkat televisi. Alih teknologi dari siaran analog menjadi digital harus dapat menjadi momentum untuk mewujudkan demokrasi penyiaran dan memastikan bahwa seluruh wilayah Indonesia mendapatkan siaran televisi terrestrial secara gratis. Terkait hal tersebut dibutuhkan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan penyiaran. Kemkominfo dan KPI sebagai regulator, lembaga penyiaran, penyelenggara multipleksing dan juga masyarakat berkolaborasi dan bersinergi dalam proses transisi penyiaran menuju Analog Swicth Off pada bulan November 2022 mendatang, serta menyongsong siaran televisi digital yang dapat membawa kemanfaatan bagi masyarakat. Semoga pelaksanaan siaran digital yang mampu meliputi seluruh wilayah Indonesia, dapat menjadi benang digital yang mempersatukan kebhinekaan dalam semangat kebangsaan.

 

Link:  

Tulisan Bagian Pertama

 

 

Jakarta – Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) kurun waktu Januari hingga Oktober 2020, ditemukan lebih dari 2.000 an sebaran konten negatif atau hoax tentang Covid-19 di empat platform media sosial yakni Facebook (1.497) sebaran, Instagram (20) sebaran, Twitter (482) sebaran, dan YouTube (2)1 sebaran. Kasus yang hampir tidak pernah ditemukan oleh pengawasan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam isi siaran. 

“Kami bahkan hampir tidak pernah menemukan adanya informasi atau berita hoax dalam siaran radio maupun di TV,” kata Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, dalam acara bertajuk “Broadcasting Basic Training” yang diselenggarakan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Senin (4/1/2021).

Menurut Echa, informasi yang disajikan dan kemudian disampaikan media penyiaran ke masyarakat tidak serampangan. Seluruhnya telah melalui serangkaian prosedur yang ketat serta berpedoman kepada aturan dan etika penyiaran yang berlaku. “Karena itu, informasi yang disajikan dapat dipertangggungjawabkan kebenarannya. Mereka yang terlibat dan yang menjadi narasumber informasinya pun merupakan orang-orang yang kredibel,” tambahnya. 

Selain itu, adanya pengawasan KPI terhadap konten yang disiarkan membuat isi siaran lembaga penyiaran menjadi lebih baik serta jauh dari pesan atau informasi yang dapat menyesatkan publik. 

“Kenapa konten siaran itu perlu diawasi karena juga untuk melindungi publik dari kesesatan informasi. Publik berhak mendapatkan informasi yang baik dan benar dan terverifikasi sesuai dengan etik jurnalistik dan aturan yang berlaku lainnya. Bukan sebaliknya,” ujar Reza. 

Mestinya, lanjut Reza, pengawasan serupa juga berlaku untuk media baru seperti misalnya youtube atau facebook. Sayangnya, hingga saat ini Indonesia belum memiliki aturan untuk mengawasi lalu lintas konten di media baru tersebut. 

Dalam kesempatan itu, Echa meminta mahasiswa, menjadi agen-agen yang aktif memberikan literasi bagi masyarakat tentang memanfaatkan media. Menurutnya, meliterasi adalah salah satu bentuk tanggung jawab untuk mencerdaskan masyarakat dari yang tidak mengerti hingga menjadi paham.

“Anda bisa memulainya dengan meliterasi masyarakat di sekitar anda. Mahasiswa yang aktif dalam ruang organisasi dapat ikut memberi pencerahan untuk bersikap kritis. Jarang orang punya kesempatan seperti ini. Sedikit ilmu untuk dibagi ke orang lain yang tidak tahu, ini sangat penting,” ujarnya. 

Reza juga menyampaikan, jika ditemukan hal yang tidak benar dalam siaran, harus segera dilaporkan ke KPI lewat saluran pengaduan yang tersedia. “Anda wajib jadi penonton yang cerdas. Laporkan jika ada masalah. Tidak usah khawatir, kita akan tindak lanjuti. Setiap hari kita urus hal ini,” kata Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P) KPI Pusat ini. ***/Editor:MR

 

 

Menyongsong Siaran Digital

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

Oleh: Hardly Stefano Fenelon Pariela

Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan

 

 

International Telecommunication Union (ITU), dalam konferensi yang diadakan pada 16 Juni  2006 telah menghasilkan kesepakatan dimulainya proses migrasi siaran dari modulasi analog menjadi modulasi digital. Proses tersebut diharapkan dapat tuntas dilakukan oleh negara – negara anggota ITU pada 17 Juni 2015 dengan menghentikan seluruh aktivitas siaran analog (Analog Swicth Off / ASO) dan  sepenuhnya menggunakan modulasi siaran digital. ITU adalah salah satu badan khusus Perserikatan Bangsa – Bangsa yang bertanggung jawab terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi, dimana Indonesia merupakan salah satu anggota.

Digitalisasi penyiaran merupakan suatu keniscayaan karena spektrum frekuensi radio  yang digunakan untuk untuk memancarkan siaran televisi dan radio merupakan sumber daya alam yang terbatas. Frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang dapat menjadi medium penghantar suara dan gambar dari pengirim pesan melalui perangkat transmitter untuk diterima oleh perangkat receiver.  Penggunaannya selama ini adalah untuk kebutuhan penyiaran radio dan televisi, radio amatir, Sambungan Telepon Jarak Jauh, telegraf, navigasi, teknologi militer, dan lain-lain. Kebutuhan penggunaan frekuensi radio semakin meningkat seiring dengan kebutuhan manusia untuk berkomunikasi melalui internet dan telepon seluler, yang dari waktu ke waktu semakin massif. Di era digital, frekuensi radio juga merupakan medium penghantar data digital dalam satuan bit yang di dalamnya dapat berisi suara, gambar, maupun tulisan. Proses transmisi data digital tersebut kemudian disebut unggah (upload) dan unduh (download). Semakin besar ukuran, frekuensi maupun lalu lintas data digital yang ditransmisikan, semakin besar pula kebutuhan atas penggunaan frekuensi radio.  

Konsep Teknis Siaran Digital

Pada penyiaran dengan modulasi analog, setiap pemancaran siaran televisi terrestrial membutuhkan lebar pita frekuensi radio sebesar 8 Mhz. Dengan menggunakan modulasi digital, pita frekuensi 8 Mhz dapat digunakan untuk memancarkan beberapa siaran sekaligus dengan menggunakan teknologi multipleksing. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor 6 Tahun 2019 telah menyebutkan spesifikasi teknis penyelenggaraan siaran digital. Teknologi yang akan digunakan adalah Digital Video Broadcasting – Terrestrial Second Generation (DVB-T2), dengan lebar pita frekuensi 8 Mhz akan memiliki kapasitas payload multiplexer minimal 33 Mbps. Sedangkan parameter teknis bitrate konten siaran dengan kualitas gambar Standard Definition (SD) maksimal 2,5 Mbps, sementara untuk kualitas gambar High Definition (HD) bitrate maksimalnya adalah sebesar 6 Mbps. Dari spesifikasi teknis tersebut, maka untuk frekuensi sebesar 8 Mhz akan mampu memancarkan secara bersamaan 5 saluran siaran yang semuanya menggunakan kualitas HD atau 13 saluran siaran yang semuanya berkualitas SD. Sehingga perbandingan penggunaan frekuensi pada siaran analog dengan siaran digital minimal 1:5 dan maksimal 1:13.  

Gambar  Ilustrasi saluran / kanal Mux dengan playload 33Mbps

Peralihan modulasi siaran televisi dari analog menjadi digital akan mengubah proses pemancaran siaran. Pada siaran dengan modulasi analog setiap lembaga penyiaran adalah penyedia konten sekaligus yang memancarkan konten kepada khalayak. Oleh sebab itu setiap lembaga penyiaran harus melakukan investasi dengan membangun infrastruktur berupa antena pemancar / transmitter, sesuai dengan wilayah siaran. Sedangkan siaran dengan menggunakan modulasi digital, konsepnya adalah memancarkan siaran lima sampai tiga belas saluran siaran televisi pada satu pita frekuensi, dengan menggunakan teknologi multiplexing. Dalam siaran digital yang memancarkan konten melalui spektrum frekuensi adalah Penyelenggara Multipleksing (Mux), sedangkan lembaga penyiaran sebagai penyedia konten. Penyelenggara mux yang melakukan investasi membangun antena pemancar, sedangkan lembaga penyiaran akan menyewa saluran / kanal siaran dari penyelenggara mux agar konten siarannya dapat dipancarkan. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan Lembaga Penyiaran juga sekaligus menjadi penyelenggara mux. 

Dengan konsep penyiaran multipleksing, maka biaya investasi (capital expenditure / capex) infrastruktur penyiaran pada dasarnya ditanggung bersama (cost sharing) oleh beberapa lembaga penyiaran melalui pembayaran sewa saluran / kanal siaran. Melalui model cost sharing, penyelenggara mux memiliki potensi membangun antena pemancar siaran secara massif sehingga dapat mengurangi area yang tidak mendapat siaran televisi (blankspot). 

Manfaat Siaran Digital

Beberapa kelebihan siaran televisi digital menurut Oktariza et al (2015) adalah sebagai berikut: 1).Kualitas siaran yang lebih stabil dan tahan terhadap gangguan (interferensi, suara dan/atau gambar rusak, berbayang, dsb.), dimana dalam siaran televisi digital hanya dapat diperoleh kemungkinan “gambar bagus” atau “tidak ada gambar sama sekali”; 2).Memungkinkan untuk siaran dengan resolusi tinggi berkualitas HDTV secara lebih efisien; 3).Kemampuan penyiaran multi-channel dan multiprogram dengan pemakaian kanal frekuensi yang lebih efisien; 4). Kemampuan transmisi audio, video, serta data sekaligus. Memungkinkan untuk fitur Electronic Program Guide (EPG).

Migrasi siaran televisi dari analog menjadi digital akan memberi manfaat kepada masyarakat, industri penyiaran, maupun pemerintah. Masyarakat akan mendapat manfaat berupa kualitas gambar dengan resolusi tinggi dan suara yang lebih jernih, selain itu juga akan lebih banyak pilihan saluran televisi yang bisa dinikmati. Semua manfaat tersebut akan dinikmati masyarakat secara gratis, karena proses digitalisasi penyiaran ini dilakukan pada penyiaran tetap tidak berbayar (free to air / FTA).

Bagi industri penyiaran, siaran digital akan membuka peluang bisnis baru. Baik sebagai lembaga penyiaran maupun lembaga penyelenggara multipleksing. Lembaga penyiaran baru, termasuk lembaga penyiaran lokal akan bermunculan seiring dengan meningkatnya jumlah ketersediaan saluran siaran. Biaya Investasi (Capex) lembaga penyiaran di era digital akan jauh lebih kecil dibandingkan dengan saat siaran dilakukan dengan modulasi analog. Lembaga penyiaran tidak perlu lagi melakukan investasi untuk membangun infrastruktur pemancar, karena hal tersebut akan dilakukan oleh penyelenggara multipleksing. Lembaga penyiaran dapat fokus pada proses produksi konten siaran. Dengan semakin banyaknya saluran siaran, maka kompetisi yang akan terjadi diantara lembaga penyiaran adalah kompetisi konten. Lembaga penyiaran televisi lokal juga memiliki peluang berkembang dengan memproduksi konten siaran yang sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat, sekaligus memenuhi kebutuhan informasi di daerah. Khazanah kebudayaan serta kearifan lokal, termasuk berbagai informasi tentang potensi maupun dinamika masyarakat yang terjadi di daerah, dapat menjadi materi program siaran bagi lembaga penyiaran lokal.

Jika proses migrasi siaran televisi dari modulasi analog menjadi digital telah tuntas dilakukan, akan terjadi efisiensi penggunaan spektrum frekuensi yang disebut digital deviden. Seluruh frekuensi yang selama ini dikelola oleh lembaga penyiaran swasta untuk siaran analog akan dikembalikan pada pemerintah. Sebagian dari frekuensi tersebut akan dialokasikan untuk penyelenggaraan multipleksing siaran digital, namun akan ada digital deviden  sebagai hasil efisiensi penggunaan frekuensi, sejumlah 112 Mhz. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) akan memanfaatkan digital deviden ini untuk mengoptimalkan layanan seluler internet 4G, sekaligus dapat menfasilitasi pengembangan internet dengan menggunakan teknologi 5G. 

Dalam forum Industry Summit, Promoting Digital Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta, 6 Februari 2020, Julian Gorman (Head of APAC GSMA) menyampaikan bahwa penggunaan digital deviden oleh operator seluler pada pita frekuensi yang selama ini digunakan oleh siaran televisi analog, akan memberikan keuntungan yang besar bagi perekonomian Indonesia. Dengan perkiraan pemasukan hingga 10,5 miliar dollar AS selama periode 2020 – 2030. Pendapat ini dikutip dan dipublikasikan  oleh beberapa media nasional. GSMA atau Global System for Mobile Communications Association adalah asosiasi yang mewadahi kepentingan operator telekomunikasi di seluruh dunia, khususnya operator telekomunikasi yang bergerak di bidang teknologi Global System for Mobile (GSM). Bersambung

Link: 

Tulisan Bagian Terakhir

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.