Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta revisi Undang-Undang Penyiaran dilanjutkan tahapannya hingga dapat disahkan sebagai Undang-Undang Penyiaran yang baru pada periode DPR 2019-224. Hal ini disampaikan Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza, saat menjadi narasumber FGD online Forum Media Barat 9, dengan tema “Menyusur Arah Penyiaran Indonesia”, (28/6).

 

Menurut Reza, revisi Undang-Undang Penyiaran merupakan kebutuhan yang mendesak, dalam rangka penguatan kelembagaan bagi KPI termasuk KPI Daerah. Kemunculan Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang otonomi daerah yang menempatkan penyiaran sebagai urusan pusat, membuat berat kondisi KPI di Daerah. Lantaran undang-undang tersebut dan peraturan turunannya, semua fasilitas kesekretariatan dan perangkat pengawasan isi siaran di daerah, dihentikan oleh pemerintah daerah. Dengan lobi KPI ke Kementerian Dalam Negeri, akhirnya ada anggaran untuk KPI Daerah melalui skema hibah. Namun, tambah Reza, karena skemanya hibah, ibaratnya KPID harus meminta belas kasihan untuk mendapat dukungan fasilitas dari pemerintah daerah. “Bagaimana mungkin yang melakukan pengawasan lembaga penyiaran di daerah, harus meminta dulu untuk mendapat dukungan manajerial dan operasional kegiatan, ini kan gak masuk akal,” tegasnya. 

 

Inilah yang menjadi salah satu alasan bagi KPI, bahwa revisi undang-undang penyiaran merupakan sebuah kebutuhan mendesak. Sedangkan hal lainnya, terang Reza, adalah soal pengawasan di media baru. Dalam beberapa kegiatan KPI di berbagai daerah, berulang kali publik menggugat konten-konten di media baru, yang dinilai melanggar norma di masyarakat.  

Saat ini saja, terang Reza, banyak tayangan di televisi dan radio yang bersumber dari media baru. “Terakhir soal pelecehan agama yang ditayangkan berulang-ulang, hingga KPI harus memanggil lembaga penyiaran agar berhati-hati dengan masalah ini,” ungkapnya. Belum lagi konten Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) yang mudah ditemukan di media Over The Top (OTT). Hingga saat ini, lembaga penyiaran kita tidak akan menyiarkan konten LGBT, namun tidak dengan OTT. “Apalah hal seperti ini akan terus dibiarkan, OTT tanpa ada pengaturan,” tambah Reza. 

Bagi KPI sendiri, kalau pun ada satu atau dua hal yang dinilai perlu diubah, silakan saja diperbaiki, saat draf undang-undang ini sudah secara resmi ditetapkan sebagai RUU setelah diserahkan DPR pada pemerintah untuk dibahas. Namun, pada prinsipnya, kebutuhan regulasi baru untuk dunia penyiaran sudah mendesak. 

Adapun terkait kewenangan KPI dalam pengawasan konten jurnalistik di lembaga penyiaran, sebenarnya sudah diatur juga dalam undang-undang saat ini. Namun demikian, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tetap menundukkan diri pada Undang-Undang Pers. Reza memaparkan beberapa program jurnalistik yang mendapatkan sanksi dari KPI Pusat. Diantaranya karena tidak menutup indentitas dari anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual. Atau, tambah Reza, saat peliputan gerebeg markas pinjaman online (pinjol) muncul layar komputer yang menampilkan situs porno.  Ada juga bencana kecelakaan bis, keluarga korban yang masih trauma diwawancarai termasuk juga sopir yang masih terkapar. Sementara di P3SPS jelas ada perintah untuk menghargai kondisi traumatik korban bencana. 

Dalam menanggapi isu RUU Penyiaran, KPI juga fokus pada isu pengaturan media baru dengan prinsip kesetaraan dan keadilan, sebagaimana aspirasi publik dan juga industri penyiaran.  Jika dianggap pengaturan tersebut membatasi kebebasan berekspresi, apakah selama ini kebebasan berekspresi di televisi dan radio dibatasi? KPI tidak dalam posisi membredel kebebasan berekspresi, tapi butuh kesetaraan dan keadilan dalam memperlakukan konten di semua platform media. 

Dirinya mengakui perlu adanya pembedaan perlakuan antara streaming dan broadcasting. Tapi apakah kemudian pendekatan yang dilakukan pada infrastruktur atau pendekatan konten? Kalaupun menggunakan pendekatan infrastruktur, sebagaimana yang sering disampaikan Kementerian Komunikasi dan Informatika, itu tidak ada masalah. Di beberapa negara, sudah dilakukan pengaturan tersebut. Yang pasti, ujar Reza, kita butuh duduk bersama untuk revisi undang-undang. Sekali lagi, kalau drafnya sudah ditetapkan DPR sebagai Rancangan Undang-Undang, kami akan berikan masukan resmi secara kelembagaan, pungkasnya. 

Serpong - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyerahkan draf revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) kepada Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari, usai penyelenggaraan Seminar Nasional Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI 2024, (25/6). Penyerahan draf tersebut dilakukan oleh Ketua KPI Pusat Ubaidillah disaksikan peserta Rakornas KPI yang terdiri atas anggota KPI Pusat dan anggota KPI Daerah se-Indonesia.

Revisi P3SPS yang dilakukan KPI ini, merupakan bentuk adaptasi regulasi atas dinamika penyiaran, termasuk perkembangan teknologi informasi yang memiliki pengaruh sangat kuat bagi industri penyiaran. P3SPS sendiri, merupakan aturan detil yang dibuat KPI atas isi siaran. Terakhir, penyusunan P3SPS dilakukan pada tahun 2012, yang disahkan saat Rakornas KPI 2012 di Surabaya.

Dalam penyusunan draf P3SPS, KPI juga menerima masukan tertulis dari beberapa asosiasi lembaga penyiaran, diantaranya Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI), juga masukan dari Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI). Usai menerima draf P3SPS ini, Abdul Kharis Almasyhari mengatakan, Komisi I akan segera melakukan pembahasan bersama atas aturan yang dibuat KPI.

 

Serpong -- Wakil Presiden (Wapres) KH Ma’ruf Amin membuka langsung acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 2024 dan Peringatan ke-91 Hari Penyiaran Nasional (Hasiarnas). Saat menyampaikan sambutannya, Wapres mengingatkan agar KPI bisa menjadi garda terdepan untuk menjamin masyarakat mendapatkan informasi layak dan benar. 

Dia pun menyampaikan apresiasi atas keberhasilan kolaborasi antara KPI bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika serta industri penyiaran tanah air dalam menyukseskan kebijakan pengalihan siaran analog menjadi siaran digital pada bulan Agustus 2023 yang lalu. 

"Pengalihan ini diharapkan dapat meningkatkan pelayanan penyiaran dengan gambar yang lebih jernih dan memperluas jangkauan hingga daerah terpencil sebagai simbol kehadiran negara dalam menyediakan informasi yang adil dan merata,” ujar Wapres di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD Tangerang, Banten, Senin (24/6/2024). 

Pada kesempatan itu, Wapres mengatakan, era digitalisasi penyiaran tidak hanya membuka peluang partisipasi bagi tokoh penyiaran baru tapi juga meningkatkan tanggung jawab untuk menjaga kualitas dan integritas informasi yang disalurkan.

Apalagi, kata Wapres, saat ini pemanfaatan internet pada hampir seluruh aspek kehidupan manusia memiliki dampak positif dan negatif yang harus diantisipasi. Dia juga mengatakan negara memiliki tanggung jawab konstitusi agar informasi yang didapat oleh warga negara bermanfaat bagi pembangunan dan kesejahteraan, serta berkedaulatan bangsa. 

"Untuk itu penyiaran nasional harus menjadi barometer sumber informasi yang cepat akurat dan kredibel bagi masyarakat," ujar Wapres. 

"Dengan jumlah pemirsa televisi di Indonesia yang mencapai kurang lebih 130 juta orang, KPI masih harus berperan sebagai mitra strategis pemerintah dan menjadi garda terdepan dalam menjamin perolehan informasi yang layak dan benar bagi masyarakat," tuturnya.

Selain itu, Wakil juga meminta Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran dapat sesuai dengan demokrasi. "Pastikan dan jaga peran media penyiaran sebagai pengawas jalannya pemerintahan negara. Saya minta agar rancangan UU Penyiaran ke depan hendaknya diarahkan sejalan dengan cita-cita negara demokrasi yang menjunjung tinggi karakter bangsa dan nilai-nilai luhur Pancasila," ujarnya.

Wapres meminta agar penggunaan frekuensi milik publik oleh penyelenggara penyiaran harus benar-benar diawasi, agar isi siaran bermanfaat untuk kepentingan publik dan menjaga nilai kebhinekaan di masyarakat. 

"Eksistensi KPI ke depan harus lebih kuat, sehingga dapat menjalankan fungsinya secara optimal, mewakili kepentingan masyarakat, menjaga moralitas bangsa, dan ikut memperkuat NKRI,” papar  Wapres. */Foto: Agung R 

 

Serpong - Penguatan kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baik di tingkat pusat atau pun daerah, sudah diatur Komisi I DPR RI dalam revisi undang-undang penyiaran. Dengan demikian, KPID tidak perlu lagi menunggu belas kasihan dari pemerintah provinsi untuk penganggaran lembaganya. Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari mengatakan, tidak ada pertentangan antara fraksi yang ada di DPR, terkait kelembagaan KPI. Dalam draf revisi undang-undang tersebut, sudah diatur bahwa hubungan antara KPI Pusat dan KPI Daerah adalah hirarkis, dan penganggarannya dibebankan pada APBN. Hal ini disampaikan Abdul Kharis saat menjadi narasumber Seminar Nasional Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI 2024 yang digelar di Serpong, (24-26 Juni). 

Namun demikian, sebelum undang-undang penyiaran yang baru disahkan, kelembagaan KPID saat ini harus mendapatkan perhatian secara khusus. Hal itu disampaikan Purnomo Sucipto selaku Deputi Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Sekretaris Kabinet, saat menyampaikan materi di hadapan peserta Rakornas KPI 2024.  “Sebelum undang-undang itu ada, Kementerian Dalam Negeri dapat mengeluarkan surat edaran agar ada kebijakan daerah dalam membuat formulasi anggaran,” ujarnya. Jadi penganggaran untuk KPID tidak dilepas begitu saja, tergantung mood dan concern pemerintah daerah. 

Purnomo juga berpendapat, saat ini dibutuhkan regulasi yang memperluas cakupan definisi penyiaran, sehingga memberi kemungkinan penyiaran itu mencakup internet. Selain itu, harus ada juga regulasi yang mengantisipasi adanya benturan antara penyiaran konvensional dengan penyiaran di media baru. “Agar tidak ada crash antara penyiaran konvensional dan penyiaran di media baru,” terangnya. 

Kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Purnomo berharap ada treatment dukungan kesekretariatan pada KPID, sebagaimana juga Komisi Informasi memiliki kesekretariatan dan anggaran yang lebih permanen. Menurutnya, KPID dan Komisi Informasi adalah dua komisi yang sama karakteristiknya, tapi ada perbedaan perlakuan bagi keduanya. 

Turut menjadi narasumber pada seminar tersebut, Staf Khusus Menteri Dalam Negeri Kastorius Sinaga, dan Direktur Penyiaran Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Geryantika Kurnia. Dalam pandangan Kastorius Sinaga, perlu ada sosialisasi dan edukasi tentang keberadaan KPI pada pemerintah provinsi. “Kondisi KPID saat ini harus diakui, banyak yang hidup segan mati tak mau,” ujarnya. Kalau melihat agak ke dalam sistem pemerintah daerah, banyak Bupati, Walikota dan Gubernur yang belum paham tentang tugas dan manfaat dari penyiaran jika dikuatkan. Bahkan tidak kenal tentang KPI, atau menggabungkan antara KPID dan KI Daerah. “Saya setuju, bahwa KPID ini kalo mau diperkuat harus mengikuti pola kesekjenan, anggaran sendiri dan membiayai urusannya di daerah,” tegas Kastorius. 

Dalam memperkuat KPI, setidak ada tiga hal yang harus dilakukan, menurutnya. Pertama, secara struktural KPID harus jadi lembaga terintegrasi termasuk juga pendanaan. Kedua, harus ada sosialisasi atau edukasi tentang keberadaan KPI dan KPID khususnya di era disrupsi teknologi informasi. Bahkan dengan adanya tantangan disrupsi teknologi, justru harus diberikan peran lebih bagi KPI. Ketiga, komitmen kepala daerah terhadap demokrasi, penyiaran dan media massa sebagai unsur penting dalam penyelenggaraan pemerintahan.  Yang jelas, tambahnya, KPI juga harus merumuskan kembali peran dan fungsinya di tengah arus globalisasi dan penetrasi berbagai platform media yang mulai sangat intens. Di satu sisi, Kastorius mengakui, Kemendagri sangat terbantu dengan KPI untuk penyelenggaraan agenda nasional yang sosialisasinya turut dimasifkan melalui lembaga penyiaran. 

Dalam kesempatan tersebut, Ketua KPID Maluku Utara Alwi Sagaf Alhadar mengungkap kondisi lembaga yang dipimpinnya. Sekalipun pemerintah provinsi tidak memberikan perhatian yang signifikan, KPID tetap melakukan pelayanan pada publik termasuk dalam pengawasan konten siaran di provinsi kepulauan tersebut. “Dari tujuh anggota KPID yang dilantik pada tahun 2016, sekarang tersisa dua orang saja,” ujar Alwi.  

 

 

Serpong -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegaskan akan terus menjaga frekuensi publik dalam kondisi apapun. Selain itu, KPI akan terus menjadi penyambung kebijakan-kebijakan nasional di daerah. 

Hal itu ditegaskan Ketua KPI Pusat Ubaidillah, disela-sela sambutan Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI dan Peringatan Hari Penyiaran Nasional (Hasiarnas) ke-91 di ICE (Indonesia Convention Exhibition) BSD Tangerang, Banten, Senin (24/6/2024). 

“Kita hadir menaruh harapan dan semangat di tengah segala kekurangannya baik secara kelembagaan, dukungan infrastruktur pengawasan, anggaran hingga sekretariatan tetapi masih konsisten menjaga frekuensi publik, menjadi penyambung kebijakan-kebijakan nasional di daerah, mulai dari proses digitalisasi penyiaran, penanggulangan Covid-19 di lembaga penyiaran termasuk menjaga proporsionalitas dan netralitas siaran Pemilu di daerah,” katanya. 

Ubaidillah mengatakan hal ini untuk menjaga dan memastikan tujuan luhur dari penyiaran agar terlaksana dan terimplementasi yakni, memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran. 

Apalagi, kata Ubaidillah, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak besar pada postur informasi melalui teknologi digital. “Kita semua bisa merasakan dan bertambahnya jumlah televisi yang ada pada akhirnya berkonsentrasi pada kian beragamnya program informasi. Melalui perkembangan teknologi juga lah kita menyaksikan tumbuhnya platform digital yang menyediakan dan menyalurkan informasi,” katanya. 

“Kemajuan-kemajuan teknologi rupanya tidak hanya menambah secara kuantitas ragam medium informasi akan tetapi juga menggeser perubahan paradigma, kebudayaan cara pandang dan pola akses terhadap informasi,” ujarnya. 

Ubaidillah pun menyampaikan temuan dari Universitas Oxford yang menjelaskan bahwa masyarakat tidak lagi gemar dan menyukai berita-berita yang disalurkan oleh media arus utama. 

“Masyarakat merasakan bosan bahkan lelah dengan pemberitaan yang memuat peperangan bahkan politik, mereka lebih suka melihat menonton video dengan durasi pendek di platform digital media baru,” ujarnya.

“Ini merupakan bukti bahwa perubahan lanskap informasi nyata terjadi dan sayangnya Indonesia belum mempunyai konstruksi hukum yang padu, regulasi yang adaptif dan koheren mengatur perkembangan dan perubahan ini,” katanya. **/Foto: Agung R

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.