Jakarta – Perlunya media baru diatur dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran banyak digaungkan kelompok jurnalis di tanah air termasuk Asosiasi Jurnalis Video (AJV). Alasan besarnya, konten-konten dari media ini banyak yang tidak layak tonton.  

“Hadirnya media baru cukup cepat dan harus segera diatur dengan tegas,” kata Ketua Umum AJV, Chandra, di acara Seminar Nasional ““Reposisi Media Baru dalam Diskursus Revisi UU Penyiaran” yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di bilangan Senen, Jakarta, Selasa (2/4/2024).

Menurut Chandra, keinginan ini tidak lepas dari terlalu bebasnya isi konten di media ini, sedangkan pengawasannya tidak ada. “Oleh karenanya harus segara dilakukan pengawasan terhadap media ini,” tambahnya.

Dia berharap, proses RUU Penyiaran yang sedang digulirkan Komisi I DPR RI mengakomodasi pengaturan media ini. Bahkan, terkait pengawasan siaran atau kontennya dapat diserahkan ke KPI. 

“Sangat tepat wewenang kontrol media baru ini di KPI, karena selama ini yang diawasinya hanya media konvensional. Saya berharap pembaharuan undang-undang tentang penyiaran dapat secepatnya disahkan,” tutur Chandra penuh harap.

Di tempat yang sama, Anggota KPI Pusat Tulus Santoso, mengatakan definsi media baru tidak diakomodir dalam UU Penyiaran 2002. Hal ini karena siaran media baru tidak masuk kategori siaran terestarial lantaran menggunakan medium internet. “Istilah namanya yaitu platform digital,” ujarnya.

Dalam perkembangannya, platform media ini tumbuh begitu cepat yang kemudian memunculkan platform seperti youtube, netflix, tiktok dan lainnya. Dinamika ini, kata Tulus, dikhawatirkan akan menenggelamkan keberadaan TV dan radio. 

Tidak hanya itu, hal lain yang mesti dikhawatirkan adalah kemudahan akses. Situasi ini tentu akan membuka celah bagi siapapun termasuk anak-anak untuk menjelajah situs, aplikasi ataupun platform yang berbau pornografi. “Di dalam platform digital, kita dapat dengan mudah melihat, menyaksikan atau melihat adegan pornografi tanpa harus memakai VPN,” ujar Tulus.  

Hal ini berbeda dengan perlakuan yang diterima TV dan radio. Dua media ini, seluruh siarannya ada di bawah pengawasan KPI. 

“Kepentingan KPI selama ini menjalankan amanat negara untuk kemudian memastikan frekuensi publik itu dapat bermanfaat dan bisa melindungi warganya terhadap isi siarannya yang berkualitas dan ini berbeda dengan media baru,” ujar Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat.

Di tempat yang sama, Dewan Pembina AJV, Nugroho F Yudho, menegaskan perlunya pembatasan terhadap sosial media atau media baru. Hal ini disebabkan oleh dampaknya yang luas. “Contoh pada kasus Brexit yang membuat Inggris keluar dari Uni Eropa lewat referendum.  Hal itu disebabkan oleh adanya pasukan digital yang digunakan sebagai kendaraan untuk melakukannya,” katanya.   

Kendati demikian, lanjut Nugroho, belum ada satu negara pun yang bisa secara efektif mengatur tentang sosial media. 

Sebelumnya, di awal seminar, Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, menyampaikan perlunya RUU Penyiaran memasukan penjelasan tentang definisi media baru. Hal ini untuk meminimalisir ketidakjelasan definisi dari media tersebu. 

"Ini media sosial, media digital, media baru, atau apa? Agar definisinya jelas. Jangan sampai nanti ketika itu disahkan, siapa pun lembaga, baik KPI ataupun yang lain yang diamanahi pengawasan dan mengaturnya, tidak melampaui kewenangannya," tuturnya. ***/Foto: Teddy Brai 

 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berharap Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran mengatur tentang media baru termasuk penjelasan tentang definisi medianya. Hal ini disampaikan Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, di sela-sela acara Seminar Nasional “Reposisi Media Baru dalam Diskursus Revisi UU Penyiaran” di bilangan Senen, Jakarta, Selasa (2/4/2024).

"Ini media sosial, media digital, media baru, atau apa? Agar definisinya jelas. Jangan sampai nanti ketika itu disahkan, siapa pun lembaga, baik KPI ataupun yang lain yang diamanahi pengawasan dan mengaturnya, tidak melampaui kewenangannya," katanya. 

Selain itu, Ubaidillah mendorong perlunya penguatan kelembagaan KPI diatur dalam revisi UU Penyiaran, meliputi hubungan KPI Pusat dengan KPI Daerah (KPID).

Ia menjelaskan saat ini hubungan antara KPI Pusat dengan KPID sebatas koordinasi sehingga ke depan diharapkan bersifat struktural agar koordinasi dan penganggarannya semakin baik.

"KPID dari Sabang sampai Merauke yang jumlahnya hari ini 33 provinsi, secara anggaran maupun kelembagaan sedang tidak baik-baik saja karena banyak yang anggarannya juga terbatas, sehingga berkegiatan tidak semua bisa maksimal," katanya.

Berikutnya, Ubaidillah mengharapkan revisi UU Penyiaran memberikan kewenangan tambahan kepada KPI tentang audit lembaga pemeringkatan atau rating program siaran. 

"Bahwa rating ini selama ini hanya tunggal lembaganya sehingga harapannya ke depan ada inisiasi baru, baik di milik negara ataupun swasta. Dengan begitu, ada pembanding ketika lembaga penyiaran melakukan pemeringkatan program siarannya," jelasnya.

Di tempat yang sama, Anggota KPI Pusat Tulus Santoso, menyatakan pengaturan konten isi siaran dalam RUU Penyiaran dilakukan demi kepentingan publik.

"Untuk kepentingannya siapa? Yang jelas di sini adalah bahwa tadi berkali-kali isunya adalah tentunya masyarakat. Ada isu perlindungan kepada penonton di situ. Apakah kemudian nanti ada penonton lain yang akan dirugikan? Kemungkinan besar (iya)," kata Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat.

Tulus menjelaskan salah satu bentuk pengaturan konten isi siaran demi kepentingan publik adalah saat film bermuatan sadis tayang di televisi. "Harusnya teman-teman akan senang kalau ada (film sadis) di televisi. Teman-teman bisa menonton. Akan tetapi, karena di televisi dibatasi, jadi enggak asyik lagi, jadi ada yang dirugikan, tetapi ada yang terlindungi. Bahwa ada orang-orang di luar sana yang enggak bisa melihat kekerasan sadis, termasuk anak-anak, remaja, gitu, ya," jelasnya.

Ia mengatakan apabila negara mencoba memfasilitasi seluruh keinginan publik terhadap isi siaran maka negara dianggap telah gagal.

"Bahwa ada berbagai kepentingan yang muncul dan itu harus difasilitasi, apakah kemudian (perlu) menyenangkan 270 juta penduduk Indonesia? Tidak, karena kalau kita mencoba untuk menyenangkan semua orang, di situlah kita sudah gagal. Jadi, bagaimanapun itu maka agregasi kepentingan itu harus tetap dijaga," katanya.

Tulus menambahkan apabila masyarakat menginginkan KPI tidak mengatur konten isi siaran maka dipersilakan menyuarakan pendapat kepada DPR RI sebagai pembentuk undang-undang.

"Kalau publik menginginkan KPI enggak usah mengatur kontennya, isi siarannya, dilepas aja semuanya, silakan suarakan itu agar pembentuk undang-undang memerintahkan KPI tidak masuk ke ranah tersebut. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa ada yang namanya, istilahnya kepentingan publik. Itu bukan cuma kelompok Islam, bukan cuma kelompok Kristen, bukan cuma Hindu, bukan cuma Buddha, bukan cuma Aceh, Jawa, Kalimantan, Papua," ujarnya. *

 

Jakarta -- Setiap tanggal 1 April setiap tahunnya dirayakan sebagai Hari Penyiaran Nasional (HARSIARNAS). Hari peringatan ini diresmikan oleh Presiden Joko Widodo dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2019 tentang Hari Penyiaran Nasional. 

Dipilihnya tanggal 1 April karena pada 1 April 1933 berdiri Lembaga Penyiaran Radio milik pribumi pertama (bangsa Indonesia) di Solo yaitu Solosche Radio Vereeniging (SRV) yang diprakasai oleh KGPAA Mangkunegoro VII. 

Awalnya, sejarah penyiaran di Indonesia (nusantara ketika itu) mulai berlangsung pada tahun 1927. Sejak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Sri Mangkoenegoro VII yang menerima hadiah dari seorang Belanda berupa pesawat radio penerima.

Kemudian pada 1 April 1933 berdiri sebuah lembaga penyiaran radio pertama milik Indonesia di Kota Solo bernama Solosche Radio Vereeniging (SRV) yang didirikan Sri Mangkoenegoro VII. Tanggal berdirinya SRV ini kemudian dijadikan oleh para pencentus Harsiarnas sebagai hari lahirnya penyiaran nasional. 

Proses penetapan Hari Penyiaran Nasional membutuhkan waktu yang cukup lama hingga ditetap oleh Presiden Joko Widodo pada 2019 lalu. Deklarasi pertama Harsiarnas dilakukan pada tanggal 1 April 2010 di Surakarta, Jawa Tengah.

Deklarasi tersebut diprakarsai oleh Hari Wiryawan yang ketika itu menjadi Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jateng dan didukung oleh berbagai kalangan, mulai dari pemerintah, wakil rakyat, budayawan, akademisi, dan insan penyiaran. Beberapa tokoh penting yang terlibat dalam deklarasi tersebut adalah maestro Keroncong Gesang dan penyanyi Waljinah.

Deklarasi tersebut merupakan sebuah usulan kepada pemerintah agar menetapkan dua hal penting. Pertama, agar tanggal 1 April yang merupakan hari lahirnya SRV ditetapkan sebagai Hari Penyiaran Nasional. Kedua, agar KGPAA Mangkunagoro VII ditetapkan sebagai Bapak Penyiaran Indonesia.

Setelah deklarasi tahun 2009, kemudian dilakukan deklarasi kedua tahun 2010 dengan usulan dan materi yang sama. Deklarasi Harsiarnas dilakukan pada tanggal 1 April 2010 di Bale Tawangarum, Balai Kota Surakarta yang waktu itu juga dihadiri oleh Walikota Solo Joko Widodo.

Melalui deklarasi tersebut, para pelaku penyiaran dan masyarakat Indonesia dapat lebih menghargai dan menghormati sejarah penyiaran nasional Indonesia yang bermula dari kota Solo.

Hari Penyiaran Nasional menjadi sebuah momen penting untuk mengenang peran penting penyiaran dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik di Indonesia. Melalui penyiaran, masyarakat dapat mendapatkan informasi, hiburan, dan edukasi yang penting dan berkualitas untuk membangun negara yang lebih baik.

Pada 2024 ini, peringatan Harsiarnas menginjak tahun ke 91 dan tema yang ditetapkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yakni “Penyiaran Indonesia Tumbuh Kuat dengan Harmoni”. ***

 

Depok – Program pengukuran kualitas siaran televisi yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia, telah memasuki satu dekade. Usaha penyempurnaan Indeks Kualitas Program Siaran Televisi (IKPSTV) terus dilakukan agar indeks yang dihasilkan bermanfaat bagi ekosistem penyiaran di Indonesia. Untuk itu, KPI menggelar Uji Instrumen dan Operasionalisasi (Uji Validitas dan Reliabilitas) IKPSTV, dalam rangka penyempurnaan instrumen yang digunakan dalam pengukuran indeks, (4/2). 

Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan Amin Shabana mengatakan, selama sepuluh tahun perjalanan IKPSTV yang dilakukan KPI Pusat, masih ada tugas besar bagi KPI dalam rangka memperbaiki kualitas layar kaca. Ada dua program siaran, yakni sinetron dan infotainment yang hingga saat ini, belum juga mencapai nilai standar berkualitas. Yang menjadi ironi, menurut Amin, justru hasil lembaga pemeringkatan kuantitatif menunjukkan program sinetron dan infotainment yang mendominasi nilai tertinggi. Hal ini dimaknai bahwa program yang dinilai belum berkualitas oleh KPI, justru menjadi program yang paling banyak menerima kepemirsaan, atau paling banyak ditonton oleh masyarakat. Amin mengungkap, KPI sudah melakukan beberapa upaya dalam rangka perbaikan kualitas untuk dua program tersebut. Termasuk dalam evaluasi tahunan yang dilakukan KPI pada 15 stasiun televisi swasta yang bersiaran jaringan, KPI memberi catatan tebal pada program sinetron dan juga infotainment.

Pada kesempatan FGD ini, hadir responden ahli yang melakukan pengujian atas instrumen IKPSTV yang akan digunakan di tahun 2024.  Responden sendiri berasal dari kalangan akademisi yang dari beberapa perguruan tinggi di Jakarta. Selain memberikan penilaian, sebanyak 35 responden ahli ini ikut memberi masukan atas dimensi dan penyataan pada instrumen yang digunakan dalam menilai delapan kategori program siaran televisi. 

Beberapa topik yang menjadi pembahasan pada program berita, misalnya, soal netralitas dan independensi media. Wishnu Triwibowo selaku konsultan ahli IKPSTV mengingatkan, pada prinsipnya sistem yang dianut oleh pers Indonesia adalah sistem pers Pancasila. Hal ini yang membedakan dengan sistem pers di negara lain seperti Inggris yang menitikberatkan pada tanggung jawab sosial, atau pun pers di Amerika yang jelas-jelas partisan, ujarnya. Selain netralitas, yang juga jadi pembahasan pada program berita adalah akurasi dan cover both side. Wishnu menambahkan, sebenarnya jurnalisme pun harus punya keberpihakan. Yakni berpihak pada yang harus dibela, tegasnya. 

Sementara itu catatan dari program infotainment adalah soal sumber informasi yang diambil utuh dari media sosial artis, tanpa ada usaha pembuat program mencari isu secara mandiri. Menanggapi hal ini, Amin menyampaikan pengakuan  seorang penanggungjawab program infotainment di stasiun televisi yang mengatakan bahwa artis sekarang sudah jarang yang mau diwawancara langsung. Informasi tentang kehidupan artis sengaja diunggah di media sosial pribadinya untuk dikutip media, karena hal tersebut dirasa jauh lebih aman. Pendapat lain terkait infotainment yang disampaikan dalam forum tersebut adalah perlunya aturan pembatasan waktu siar infotainment. Kehadiran infotainment di layar kaca sangat masif dan lebih dari durasi program berita, sehingga seolah-olah informasi yang disampaikan di program infotainment itu sangat penting betul bagi kepentingan masyarakat. 

Forum yang dipandu Mulharnetty Syas selaku konsultan ahli IKPSTV, memberi ruang untuk adanya penyempurnaan instrumen sebagaimana masukan yang disampaikan responden ahli. Ketua KPI Pusat periode 2016-2019 Yuliandre Darwis yang turut hadir di forum tersebut mengapresiasi usaha KPI untuk terus melakukan penyempurnaan IKPSTV. Sebagai program yang sudah berusia satu dekade, Yuliandre menilai, KPI  terus berkolaborasi dengan berbagai pihak pemangku kepentingan penyiaran menuju kesempurnaan. Dirinya berharap, IKPSTV di 2024 dapat memberi kemanfaatan besar pada ekosistem penyiaran Indonesia, baik itu industri penyiaran, regulator, kelompok masyarakat sipil atau pun publik secara keseluruhan.

 

Jakarta – Ramadan adalah momentum dalam menyebarkan nilai-nilai kebaikan kepada masyarakat. Salah satunya melalui media penyiaran televisi dan radio. 

Terkait hal itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat melakukan pemantauan bersama siaran Ramadan 2024. Hasil dari pantauan disampaikan dalam kegiatan “Ekspose Hasil Pantauan dan Evaluasi Siaran Ramadan 2024” di Kantor MUI Pusat, Kamis (28/3/2024). 

Ketua Komisi Infokom MUI Pusat, KH Mabroer, menyampaikan pantauan ini sebagai bentuk kontrol terhadap penggunaan ruang publik oleh lembaga penyiaran. MUI sebagai elemen masyarakat juga ikut bertanggungjawab memberikan masukan. Hal ini telah dilakukan secara konsisten oleh MUI. 

“Pantauan Ramadan ini adalah tahun ke 17. Catatan yang ada diharapkan menjadi atensi khusus bagi lembaga penyiaran,” ucap KH Mabroer. 

Senada dengan KH Mabroer, Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, Tulus Santoso, menjelaskan pentingnya partisipasi publik di tengah keterbatasan KPI. Dia mengatakan bahwa masukan dalam kegiatan ini menjadi masukan untuk pihaknya. 

“Yang dilakukan MUI, masyarakat, dan civil society lain menjadi penting dan akan kami tindak lanjuti kemudian disampaikan kepada lembaga penyiaran,” kata Tulus. 

Dia juga mengapresiasi forum-forum serupa untuk mempertemukan masyarakat dengan pelaku penyiaran di Indonesia. “Ekspos ini bisa menjadi bahan perbaikan di forum ini. MUI sebagai elemen masyarakat bisa berkomunikasi langsung dengan teman lembaga penyiaran.” 

Wasekjen MUI bidang Infokom, K. Asrori Karni, menyampaikan ke perwakilan lembaga penyiaran bahwa hasil pantauan ini adalah ekspresi keberagaman umat muslim Indonesia terhadap siaran Ramadan.

“MUI adalah wadah bersama berbagai elemen ada beragam latar belakang. Mulai dari yang fokus pada perempuan, anak, pendidikan, komunikasi dan lain-lain. Hasil pantauan bisa dilihat sebagai ekspresi kemajemukan umat Islam,” ujar Asrori. 

Memasuki sesi ekspos, Ridha Hesti. Ridha menyampaikan, misi pemantauan terletak pada nilai keagamaan. Sebagai elemen masyarakat muslim, MUI tak lupa mendasari pantauannya dengan dalil-dalil Quran. 

Ridha mula-mula mengapresiasi tren yang meningkat dengan indikasi pelanggaran yang menurun. Namun, ia menyoroti setidaknya terdapat beberapa indikasi pelanggaran. “Kami masih banyak menemukan beberapa indikasi pelanggaran seperti kekerasan, sensualitas, dan kepatutan etis serta syariah,” jelas Ridha. 

MUI dalam kesempatan ini juga memberikan rekomendasi kepada KPI serta lembaga penyiaran untuk sama-sama menguatkan nilai program siaran dan pembinaan kepada lembaga penyiaran. 

Anggota KPI Pusat bidang Pengawasan Isi Siaran Aliyah menambahkan, KPI telah mengawasi 97 program siaran pada jam prime time (waktu sahur dan buka puasa). Ia memaparkan berbagai temuan mulai dari eksploitasi, permasalahan privasi, dan pemilihan materi yang patut untuk disiarkan selama Ramadan. Namun KPI tidak tinggal diam dan telah memproses berbagai temuan tersebut.

“Kami memberikan treatment pasca tayang. Artinya kami memproses segala temuan kemudian dirapatkan dalam pleno. Namun, kami juga melakukan langkah pencegahan dengan menerbitkan surat edaran sebagai pedoman bagi lembaga penyiaran,” tutup Aliyah.

Dalam kegiatan ini tidak hanya disampaikan evaluasi. KPI bersama MUI juga menyampaikan apresiasi atas kemajuan kualitas siaran selama Ramadan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Program siaran terbaik dari masing-masing kategori kemudian akan menerima penghargaan dalam Anugerah Siar Ramadan 2024. Abidatu Lintang

 

 

 

 

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.