Jakarta -- Partisipasi publik dalam pengawasan siaran dinilai efektif untuk mencegah dampak buruk akibat penyiaran yang tidak mendidik. Karenanya, langkah KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) Pusat dan Fatayat NU (Nahdatul Ulama) melakukan kerjasama penguatan pengawasan siaran dinilai sangat tepat dan strategis.

“Partisipasi masyarakat merupakan salah satu kunci dalam pengawasan. Apalagi jumlah masyarakat kita sangat besar. KPI tidak cukup menjangkau dan mengawasi seluruh mode penyiaran. Karena itu butuh partisipasi masyarakat dan dengan Fatayat NU menjadi salah satu komponen masyarakat yang sangat strategis,” kata Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Anggia Erma Rini, yang didaulat menjadi pembicara kunci di acara MoU KPI dan Fatayat NU serta Talkshow Pengawasan Penyiaran Partisipatif bertema “Tontonan Cerdas dan Siaran Berkualitas yang Ramah Perempuan dan Anak” di Jakarta, Jumat (22/3/2024) kemarin. 

Selain itu, Anggia menyakini kader-kader Fatayat NU memiliki kualitas dan kredibilitas yang mumpuni sehingga kerjasama pengawasan ini dapat berjalan optimal. “Ini salah satu langkah strategis dan mitra yang tepat untuk pengawasan penyiaran di Indonesia,” tambahnya.

Ketua Umum PP Fatayat NU Periode 2015-2022 ini menyampaikan harapan akan hadirnya konten berkualitas di berbagai media. Sehingga apa yang menjadi tujuan utama negara yakni mencerdaskan kehidupan masyarakat dapat tercapai. Selain konten ini harus memenuhi standar etika dan moral bangsa.

“Sahabat Fatayat bisa melihat seberapa besar konten yang ada di mode penyiaran kita itu mampu untuk mendidik atau mampu memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat secara luas,” katanya.  

Sementara itu, Anggota KPI Pusat Tulus Santoso, disela-sela acara talkshow mengingatkan peran orangtua dalam mengawasi konsumsi media oleh anak. Peran ini dengan menentukan atau memilih tayangan apa yang harus ditonton oleh mereka. 

“Dalam hal ini orang tua tidak boleh meninggalkan anaknya untuk menonton TV sendirian. Karena anak tidak bisa memutuskan dan memilih sendiri mana tayangan yang baik untuk dirinya, dan tidak bisa mencerna sendiri bagaimana maksud atau pesan yang ingin disampaikan oleh tayangan yang mereka tonton,” jelas Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat. 

Tulus juga menjelaskan bahwa peran dan kewenangan pengawasan KPI hanya terbatas pada TV dan Radio. Sementara untuk media baru KPI belum memiliki wewenang untuk mengawasi. “Semisal terdapat tayangan tidak pantas di Youtube, maka KPI tidak memiliki wewenang untuk mensanksi, masyarakat yang menonton Youtube yang bisa mengawasi langsung,” ujarnya.

Terkait hal itu, Tulus menyatakan jika tontonan di TV atau siaran di radio masih lebih aman untuk ditonton terutama oleh anak-anak. Pasalnya, siaran kedua media ini diawasi oleh KPI serta diikat oleh regulasi. Dia pun berharap revisi UU penyiaran nanti dapat memberikan kewenangan yang lebih luas lagi bagi lembaganya agar dapat mengawasi media baru. 

Di tempat yang sama, Sekjen ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Nasional Indonesia) Gilang Iskandar, mengapresiasi langkah Fatayat dan KPI berkolaborasi melakukan pengawasan siaran. Menurutnya, pengawasan siaran tidak bisa hanya dilakukan oleh KPI. “Seluruh stakeholder masyarakat seperti Fatayat harus melakukan proses ini,” ujarnya. 

Gilang juga sepakat bahwa tontonan harus jadi tuntunan. Menurutnya, tuntunan ini adalah tontonan yang memberi manfaat yang di dalamnya tidak ada ujaran kebencian, hoax, SARA, kekerasan, pornografi dan mistik. “Itu program yang bagus menurut regulasi. Lembaga penyiaran juga harus punya misi kebangsaan,” kata Gilang. 

Penggiat Parenting Eka Fitri Rohmawati, berbicara tentang pentingnya peran orangtua dalam pengasuhan anak ketika menonton TV. Menurutnya, peran ini harus dipikul bersama, baik oleh ayah maupun ibu. 

“Pola pengasuhan anak-anak tidak semata-mata menjadi tugas ibu meskipun dalam implementasi kehidupan sang ayah lebih banyak bekerja diluar rumah. Di sini ayah dan ibu harus bersama-sama dan tidak boleh saling menyalahkan dan harus saling melakukan pengawasan,” jelasnya. 

Pengawasan ini pun tidak boleh dilepaskan begitu saja, tambah Eka Fitri. Semisal, ada orangtua ketika sedang mengasuh anak mencoba menenangkan si anak dengan memberikan anaknya handphone tidak boleh melepaskan pengawasan begitu saja. 

“Kalau memang senjatanya agar anak tenang harus pakai  handphone maka sebagai orangtua harus meminimalisir. Contohnya dengan melakukan pengawasan. Karena kita tidak tahu apa yang akan muncul, terutama di media online dalam iklannya dan kita harus ekstra berhati-hati,” kata Eka mengingatkan.

Dalam kesempatan itu, Tulus juga menyampaikan peran aktif masyarakat ketika menemukan ada tayangan yang tidak pantas atau tidak sesuai dengan etika serta norma yang berlaku agar dapat mengadukan ke KPI Pusat dan KPID.  “Terdapat sepuluh macam kanal pengaduan kami, mulai dari yang virtual hingga tatap muka. Bisa melalui telepon, SMS, email, dan berbagai akun sosial media KPI lainnya, bisa diakses di web KPI,” tutupnya. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.