- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 17779
Yogyakarta - Pelaksanaan penyiaran digital diyakini mampu menghadirkan akses informasi yang setara bagi masyarakat di wilayah perbatasan dan wilayah blank spot yang selama ini belum dapat dilayani dengan optimal. Jika selama ini industri penyiaran banyak didominasi oleh pemain besar dari Jakarta, dengan sistem siaran digital ke depan tentunya akan memberi kesempatan bagi pelaku industri penyiaran lokal untuk berkiprah, termasuk masyarakat di wilayah perbatasan. “Dengan demikian akan didapat akses informasi yang setara,” ujar Irsal Ambia, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Koordinator Bidang Kelembagaan, saat menjadi narasumber dalam Sosialisasi dan Publikasi Menjaga Indonesia dan Perbatasan Melalui Sistem Penyiaran Digital, di Yogyakarta (12/11).
Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran menganut prinsip diversity of content, sebagai salah satu syarat terwujudnya demokratisasi penyiaran.Diversity of content atau keberagaman konten ini sangat dimungkinkan mewujud melalui pelaksanaan penyiaran digital yang memungkinkan semakin banyaknya pihak yang terlibat dalam industri penyiaran. Dipaparkan Irsal, kalau sekarang kita menonton satu kanal dengan satu stasiun, pada saat digitalisasi frekuensi yang dapat digunakan menjadi lebih banyak. “Sehingga semakin banyak pula siaran yang dapat dihasilkan dalan digitalisasi,” ujarnya. Dengan demikian prinsip diversity of content akan berjalan karena banyaknya program siaran yang hadir telah memberi keleluasaan untuk pemirsa memilih siaran yang baik dan sesuai.
Digitalisasi ini, ujar Irsal, membuka peluang lebih besar untuk keterlibatan industri penyiaran lokal. Kalau selama ini banyak pelaku industri penyiaran berasal dari Jakarta, lewat digitalisasi ini ke depan akan tumbuh ekosistem penyiaran lokal yang terdiri atas rumah produksi, pembuat konten kreatif lokal, serta sumber daya manusia (SDM) penyiaran lokal yang menopang industri penyiaran di setiap daerah.
KPI sendiri, ujar Irsal tentunya akan tetap melakukan pengawasan konten siaran, apapun platformnya. Termasuk pada televisi yang bersiaran secara digital, tambahnya. Konsekuensi bagi KPI tentu saja meningkatkan jumlah tim pemantauan dari yang selama ini sudah mencapai 200 orang untuk pengawasan televisi analog. Meskipun jumlah televisi yang dipantau menjadi lebih banyak, Irsal meyakini kualitas siaran ke depan tentunya menjadi lebih baik karena munculnya kompetisi yang ketat. Publik akan memiliki kemampuan literasi lebih baik, industri juga akan menyediakan program yang lebih berkualitas. Sehingga muncul titik temu antara keinginan publik dan industri terhadap program siaran yang bermanfaat baik secara konten ataupun secara ekonomi.
Hadir pula sebagai narasumber dalam sosialisasi tersebut Feriandi Mirza selaku Kepala Divisi Infrastruktur Lastmile/ Backhaul Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang memaparkan capaian pemerintah dalam pemerataan informasi di perbatasan melalui penyiaran digital. Menurut Feriandi, guna mendukung penyiaran digital, pemerintah akan membuat regulasi terkait migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital atau Analog Switch Off. Diantaranya tentang pengaturan penggunaan multiplekser (mux), seperti jumlah kanal siaran yang dapat digunakan dalam satu mux. “Kalau siaran yang digunakan adalah standar definition, akan didapat sampai 13 kanal. Namun kalau menggunakan high definition, hanya 7 hingga 9 kanal saja untuk satu mux,” ujarnya.
Aturan lain yang sedang disiapkan adalah tentang transparansi penawaran kerja sama dari penyelenggara mux kepada lembaga penyiaran. “Akan diatur tarif slot siaran, standar kualitas siaran, serta penomoran saluran siaran,”ungkap Andi. Regulasi tersebut juga akan mengatur agar jangan sampai penyelenggara mux ini menggunakan seluruh kapasitas mux untuk dirinya sendiri.
Terkait tarif, Andi memaparkan kalau di penyiaran dikenal pembagian daerah ekonomi maju dan daerah ekonomi kurang maju. Jadi mungkin nanti akan dibagi terkait kategorisasi sebuah wilayah layanan siara itu aka nada di daerah mana. “Tentu saja untuk daerah ekonomi kurang maju, tariff sewa multiplekser akan berbeda dengan yang berada di daerah ekonomi maju,” jelasnya. Pengaturan ini dimaksudkan agar penyelenggaraan mux berjalan dengan adil (non-discriminatory dan open access) dan juga transparan.
Mengenai kesiapan industri televisi dalam digitalisasi, Andi menilai baik lembaga penyiaran publik (LPP) maupun lembaga penyiaran swasta (LPS), untuk di lokasi yang komersial tidak terlalu banyak masalah. LPP TVRI sekarang sudah memiliki 120 pemancar televisi digital di seluruh daerah. Hal serupa juga sudah disiapkan oleh televisi swasta. Yang harus diperhatikan, ujar Andi, adalah lokasi yang tidak layak secara ekonomi. Pada daerah seperti itu, pemerintah akan melakukan intervensi seperi lewat BAKTI yang melakukan pengadaan pemancar televisi digital untuk TVRI.
Sementara itu menurut Wayan Eka Putra dari Metro TV yang hadir sebagai narasumber, pihaknya sudah siap untuk digitalisasi penyiaran sejak bertahun-tahun lalu. Bahkan pada tahun 2012, Metro TV sudah on air multipleksernya. Namun setelah adanya berbagai masalah kepastian regulasi penyiaran digital, peralatan untuk siaran digital tidak digunakan lagi. “Kalau bicara kesiapan, Metro TV siap!” tegas Wayan. Dirinya juga menceritakan kondisi dilematis saat pergantian peralatan siaran harus dilakukan sementara sistem yang berlaku masih analog. Namun demikian Metro TV tetap mendukung hadirnya penyiaran digital. Siaran digital Metro TV pertama kali mengudara di wilayah perbatasan, Nunukan, pada Agustus 2019. Sosialisasi penyiaran digital ini juga dihadiri Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Al Masyhari dan anggota Komisi I DPR RI Dave Akbarshah Fikarno. Penyelenggaraan sosialisasi merupakan kerja sama antara KPI dan BAKTI Kemenkominfo.