- Detail
- Dilihat: 12679
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) didorong supaya mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah untuk membentuk lembaga rating alternatif dengan pendanaan berasal dari APBN. Selain memberi opini berbeda terhadap data rating di tanah air, adanya lembaga lain akan menimbulkan persaingan sehat bagi semua pihak termasuk industri penyiaran.
Pendapat dan keinginan tersebut mengemuka dalam diskusi publik yang diselenggarakan KPI Pusat dengan tema “Quo Vadis Rating dalam Dunia Pertelevisian Indonesia” di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kamis, 27 Juni 2013.
Saat ini, satu-satunya lembaga rating yang ada di Indonesia hanyalah Nielsen. Dalam industri pertelevisian di tanah air, rating dari Nielsen terkait acara televisi menjadi patokan sebuah program acara apakah sukses atau tidak tanpa menilai kualitas isinya. Karena tidak adanya lembaga rating lain, rating Nielsen menjadi satu-satunya dewa bagi televisi.
Amir Effendi Siregar, pengamat media penyiaran, salah satu narasumber diskusi, mengatakan rating menyebabkan keberagaman isi siaran menjadi hilang. Lihat kondisi yang tergambar dilayar kaca, hampir semua isi televisi seragam dengan porsi hiburan yang dominan. “Kita ini perlunya keanekaragaman,” kata Amir yang diawal presentasinya menjelaskan bagaimana survey yang dilakukan Nielsen sangat bias Jakarta dan bias urban sangat tidak merefresentasikan semua masyarakat Indonesia.
Kondisi yang terjadi ini, menurut Amir, harus diperbaiki mulai dari sistem penyiarannya. Sistem penyiaran yang dianut negara ini berikut sistem ratingnya dinilai absurd. Perubahan UU Penyiaran No.32 tahun 2002 yang sedang diproses harus memberi kepastian sistem tersebut. “Lembaga rating harus ditambah,” tegasnya di depan puluhan peserta yang sebagian besar datang dari industri penyiaran.
Hal senada dengan Amir turut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Nina Mutmainnah. Menurutnya, sistem rating yang ada sekarang sangat tidak peduli dengan keberadaan pasar lokal. Sistem yang ada sekarang lebih pro pasar nasional.
Seharusnya, lembaga rating membuat sistem yang lebih mewakili Indonesia dan lebih merata samplenya. Rating yang jadi acuan utama sekarang sama sekali tidak berhubungan dengan kualitas program. “Kami melihat bahwa sistem rating sekarang sangat tidak peduli local. Seandainya sistem siaran jaringan berjalan, kita akan leboh berharap lembaga rating alternatif akan tumbuh. Sehingga banyak terbuka lembaga rating di daerah,” kata Nina yang juga menjadi narasumber di acara tersebut.
Sayangnya, kata Nina, rating bukan menjadi kewenangan KPI di UU Penyiaran. Bahkan di draft revisi UU Penyiaran itu tidak ada demikian juga dengan hasil draft dari Baleg. Sekarang, yang penting dibicarakan apakah rating ini valid dan reliable. “Publik perlu diyakinkan karena pemainnya tunggal. Jadi yang diperlukan adalah transparansi,” jelasnya.
Meskipun demikian, lanjut pengajar di Universitas Indonesia (UI) ini, KPI dapat mendorong dibentuknya audit rating yang pelaksanaannya dibiayai oleh industri penyiaran, pemasang iklan, agensi periklanan, dan lembag riset. Hal ini sudah dilakukan di Amerika. “Ada media rating council. Ini bisa tumbuh jadi asosiasi, seperti yang sudah ada pada lembaga polling. Kalau ini jalan maka kita akan dapatkan sistem penyiaran yang leibh baik,” paparnya penuh harap.
Sebelumnya, perwakilan Nielsen, Ardiansyah, dan Host Hitam Putih, Deddy Corbuzier, memaparkan presentasi dan pendapatnya. Menurut Deddy, jika pelaksanaan survey tidak mewakili lebih dari 51% dari penduduk, rating yang ada tidak bisa disebut mewakili semua orang. Selain itu, rating seharusnya menjadi sarana pendidikan.
Diawal diskusi, Wakil Ketua KPI Pusat, Ezki Suyanto, memberikan sambutan dan pandangannya. Dikatakannya, rating selama ini jadi salah satu faktor yang dilihat oleh lembaga penyiaran dan menjadi dewa. Dan, program yang ditegur oleh KPI setelah dicek, rating-nya ternyata tinggi. Red