Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyampaikan usulan terhadap materi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Sektor Pos Telekomunikasi dan Penyiaran (Postelsiar) kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). RPP Postelsiar ini merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja untuk Klaster Penyiaran. 

Ketua KPI Pusat Agung Suprio menjelaskan, masukan untuk RPP Postelsiar merupakan respon KPI atas terjadinya beberapa perubahan dalam aturan penyiaran pada Undang-Undang Cipta Kerja. KPI sendiri mendukung semangat penyederhanaan sistem perizinan penyiaran yang ada dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Secara prinsip, KPI mendukung adanya jalur administrasi yang lebih pendek dan lebih simpel bagi pemohon izin penyelenggaraan penyiaran. 

Dalam kesempatan pertemuan terbatas yang dilaksanakan secara virtual antara KPI dengan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (Dirjen PPI) Kemenkominfo (22/12/2020), Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Irsal Ambia memaparkan langsung usulan KPI terhadap RPP Postelsiar. Dalam proses perizinan, KPI mengusulkan untuk sedapat mungkin terlibat dalam proses lembaga penyiaran mendapatkan izin. Setidaknya, ujar Irsal, KPI mengusulkan adanya kewajiban lembaga penyiaran untuk menginformasikan tentang program siaran apa saja yang akan ditayangkan. Hal ini menjadi penting, ujar Irsal, dalam upaya KPI menjaga diversity of content. Secara teknis, ujar Irsal, ini adalah masukan KPI untuk pasal 68 RPP. Yakni untuk memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran, pelaku usaha harus mengajukan uji laik operasi penyiaran, memperoleh surat keterangan laik operasi penyiaran, dan mencantumkan format siaran dengan mempertimbangkan minat, kepentingan, dan kenyamanan publik.

Selanjutnya masukan KPI terkait Pasal 70 RPP Postelsiar yang mencantumkan kewajiban siaran konten lokal sebanyak dua puluh persen dari seluruh waktu siaran yang ditayangkan pada waktu siaran produktif sesuai dengan daerah yang dilayaninya. Menurut KPI, selayaknya aturan tersebut didasarkan pada waktu siaran keseluruhan per hari yang ditayangkan sesuai dengan daerah yang dilayani. Masih tentang pasal 70 ini, Irsal mengingatkan bahwa ketentuan yang menyebutkan lembaga penyiaran dengan cakupan wilayah siaran meliputi seluruh Indonesia wajib memiliki cabang, tidak sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Penyiaran yang menyebutkan sistem penyiaran nasional dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal. Yang patut diingat adalah, dalam Undang-Undang Cipta Kerja, pasal ini tidak ada perubahan sehingga masih berlaku. 

Masukan lain dari KPI adalah untuk Pasal 78 tentang ketentuan persentase pembagian slot multipleksing. KPI menilai harus ada perimbangan dalam format siaran umum dan khusus dalam layanan dalam pembagian saluran di multipleksing. Hal ini diturunkan dengan ketentuan tentang kuota maksimal untuk format siaran umum dan kuota minimal untuk format siaran khusus. 

Catatan lain dari KPI disampaikan pula oleh Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo. Menurutnya evaluasi atas program siaran yang sudah berlangsung sangat penting. KPI harus juga memastikan bagaimana program siaran yang hadir inin tidak memberikan dampak buruk bagi masyarakat. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan RPP Postelsiar, ujar Mulyo, masih belum nampak dengan jelas pengaturan ini.  Selain itu, Mulyo juga menyoroti pendirian lembaga penyiaran yang terkonsentrasi di wilayah tertentu. “Perlu disebutkan dalam RPP, ketentuan yang memperhatikan keberimbangan cakupan wilayah layanan agar lembaga penyiaran tidak terkonsentrasi di wilayah tertentu saja yang secara ekonomi menarik,” ujarnya. 

Dirjen PPI Kemenkominfo, Prof Ahmad Ramli yang turut hadir dalam pertemuan tersebut mengaku senang dengan masukan yang disampaikan langsung oleh KPI. “Kami senang KPI dapat menyampaikan secara langsung, sehingga kami bisa mendapatkan “tone” nya seperti apa,” ujar Ramli. Direktur Penyiaran Dirjen PPI Kemenkominfo, Geryantika Kurnia menyatakan, masih ada beberapa pembahasan teknis terkait peraturan di bidang penyiaran. Gery memastikan akan mengundang KPI guna mendapatkan masukan lebih rinci, terutama soal sanksi administratif dan penjatuhan sanksi denda.

 

Jakarta - Lembaga penyiaran, baik itu televisi ataupun radio, harus dapat dimanfaatkan sebagai sarana menyebarkan kebaikan dan da’wah Islam yang menyejukkan ke seluruh Indonesia. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang yang mengharuskan berkegiatan lebih banyak di rumah, menyebabkan akses masyarakat pada televisi dan radio tentu semakin meningkat. Diharapkan televisi dan radio Islam yang tergabung dalam Asosiasi Radio dan Televisi Islam Indonesia (ARTVISI) dapat menyajikan konten siaran yang tidak saja menghibur dan bermanfaat, namun juga menambah khazanah wawasan keislaman yang lebih baik.  Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Kelembagaan Irsal Ambia menyampaikan hal tersebut dalam pembukaan Musyawarah Nasional (MUNAS) ke-dua ARTVISI tahun 2020 yang digelar secara virtual, (19/12). 

Dalam kesempatan tersebut Irsal mengingatkan tetang tujuan terselenggaranya penyiaran sebagaimana yang disebut dalam regulasi yakni memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat mandiri, demokratis, adil dan sejahtera serta menumbuhkan industri penyiaran. Di sisi lain, ujar Irsal, media penyiaran juga memiliki fungsi sebagai sarana informasi yang layak dan benar, pendidikan bagi masyarakat, Hiburan yang sehat, Kontrol dan perekat sosial, sarana kebudayaan dan ekonomi.

Berangkat dari nilai-nilai yang telah disematkan undang-undang ini, Irsal menyampaikan, segenap anggota ARTVISI diharapkan tetap menjaga keragaman bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). KPI sendiri, ujar Irsal, siap membantu anggota ARTVISI untuk dapat meningkatkan profesionalismenya lewat pemahaman atas regulasi yang ada, khususnya Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS). 

Menyambut penyiaran digital yang secara serentak akan terselenggara pada November 2020, Irsal berharap anggota ARTVISI dapat ikut bagian dalam siaran digital. “Peluang penyelenggaraan penyiaran di era digital menjadi lebih terbuka luas,” ujarnya. Selayaknya anggota ARTVISI ikut memenuhi saluran dari berbagai multiplekser yang ada dengan konten siaran religi yang berkualitas. 

Bicara tentang siaran religi, Irsal menyinggung pula hasil Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang digelar oleh KPI Pusat di thaun 2020. “Tayangan religi di televisi mendapat apresiasi dengan nilai indeks yang tinggi,”  ujar Irsal. Selain itu, KPI juga menggelar Anugerah Syiar Ramadhan yang menjadi ajang adu kualitas program siaran televisi yang membawakan muatan keislaman dan da’wah ke tengah masyarakat. Irsal berharap, televisi dan radio yang tergabung dalam ARTVISI dapat meningkatkan kreativitas dan pengemasan konten siaran yang lebih professional, agar siaran yang dihadirkan mampu menarik minat pemirsa dan pendengar yang lebih luas. “Dengan demikian nilai-nilai da’wah yang disyiarkan pun dapat diterima lebih banyak orang,” pungkasnya. 

 

 

 

 

 

Makassar - Koordinator Bidang PS2P KPI Pusat, Mohamad Reza, didampingi Ketua KPID Sulawesi Selatan, Muhammad Hasrul Hasan, Minggu (20/12/2020) bertemu Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, di Rumah Jabatan Gubernur, Jalan Jenderal Sudirman, Makassar. Pertemuan ini membicarakan persiapan Analog Switch Off (ASO ) pada November 2022 mendatang.

Di awal pertemuan, Mohamad Reza menjelaskan proses transformasi televisi analog ke digital. Dimana kualitas siaran televisi makin jernih dan lembaga penyiaran swasta digital akan tumbuh. Dia mencontohkan, jika di Makassar saat ini ada 24 televisi analog, nantinya akan bisa bertambah hingga tiga kali lipat.

“Ke depan konten siaran akan lebih beragam saat digitalisasi penyiaran. Selain itu jumlah lembaga penyiarannya juga akan bertambah pula. Bahkan, konten kreator bisa berkolaborasi dengan penyelenggara siaran digital," ujar Reza.

Terkait itu, lanjut Reza, Pemerintah Provinsi khususnya Sulsel harus menangkap peluang itu dengan membentuk kurator konten dimana daerah dapat menjadi penyelenggara, baik itu melalui perusahaan rumah produksi lokal Sulsel atau pun dikelola oleh perusahaan milik daerah.

Sementara itu, Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah, antusias menyambut rencana Pemerintah Pusat tersebut. Menurutnya, dengan digitalisasi penyiaran konten-konten terkait daerah bisa lebih dimaksimalkan dan Sulsel siap mendukung penuh KPI dan Pemerintah dalam proses transformasi tersebut.

"Kita tentu mendukung penuh rencana digitalisasi tersebut. Karena dengan digitalisasi tentunya biaya operasional teknologinya jadi lebih murah dan Sulsel saat ini sudah mulai melakukan proses digital di sejumlah sektor," ujar Gubernur.

Dalam kesempatan itu, Reza mengingatkan, digitalisasi sektor penyiaran, khususnya digitalisasi televisi Indonesia di sistem terestrial akan menjadi tantangan tersendiri di Sulawesi Selatan. Saat ini, lanjutnya, Pemerintah Pusat sedang mengupayakan percepatan digitalisasi penyiaran nasional dengan sangat serius. 

Saat ini, jumlah penyiaran televisi analog di Sulawesi Selatan ada 24 lembaga penyiaran, baik swasta maupun lembaga penyiaran publik. Dan, saat analog switch off (ASO) pada 2 November 2022 nanti, ke 24 stasiun TV  ini menjadi prioritas utama untuk beralih teknologi ke siaran digital.

Reza juga mengingatkan, bahwa disrupsi teknologi nantinya menuntut pelaku industri untuk menyesuaikan pola bisnis agar selaras dengan perkembangan pada era digital.

Hal ini penting, untuk menjaga keberlangsungan usaha pelaku bisnis dan investor bidang penyiaran khususnya media lokal di Sulawesi Selatan dan digitalisasi televisi secara signifikan akan meningkatkan efisiensi dalam industri penyiaran tanah air. (*)

 

 

Pasal 72 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah menambahkan norma baru dalam regulasi penyiaran. Yaitu penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital. Ini merupakan dasar hukum dimulainya proses migrasi pemancaran siaran khususnya televisi dari modulasi analog menjadi modulasi digital. 

Indonesia sebenarnya telah tertinggal dalam penerapan teknologi siaran digital. Berdasar kesepakatan International Telecommunication Union (ITU) di Jenewa pada 2006, batas akhir dihentikannya siaran analog (analog switch off/ASO) kemudian penyiaran digital dilaksanakan sepenuhnya oleh seluruh negara anggota ITU adalah 17 Juni 2015. Karena itu, UU 11/2020 memberikan tenggat waktu paling lambat dua tahun. Artinya, seluruh siaran televisi harus sudah dipancarkan dengan modulasi digital pada November 2022.

Alih teknologi modulasi penyiaran ini merupakan keniscayaan agar terjadi efisiensi penggunaan frekuensi yang merupakan sumber daya alam terbatas. Pada modulasi analog, setiap pemancaran siaran televisi membutuhkan lebar pita frekuensi sebesar 8 Mhz. Dengan menggunakan modulasi digital, pita frekuensi 8 Mhz dapat digunakan untuk memancarkan sekaligus 5 siaran TV dengan kualitas gambar high definition (HD) atau 13 siaran TV dengan kualitas gambar standard definition (SD). Sehingga, penggunaan frekuensi siaran analog dibandingkan siaran digital adalah minimal 1:5 dan maksimal 1:13.

Dalam penyiaran digital, frekuensi akan digunakan oleh 5 sampai 13 stasiun TV secara bersama-sama melalui sistem siaran multipleksing. Lembaga penyiaran tidak perlu lagi melakukan investasi untuk membangun infrastruktur pemancar. Sebab, hal tersebut akan dilakukan oleh penyelenggara multipleksing. Lembaga penyiaran dapat fokus pada proses produksi konten siaran, yang proses pemancarannya akan dilakukan melalui sewa saluran multipleksing.

Dengan mekanisme seperti itu, biaya investasi (capex) infrastruktur penyiaran akan semakin murah karena pada dasarnya ditanggung secara bersama-sama oleh beberapa lembaga penyiaran. Diharapkan pembangunan infrastruktur penyiaran akan semakin masif dan dapat menjangkau daerah yang selama ini belum dapat menerima siaran televisi tidak berbayar (free to air/FTA).

Beberapa kelebihan siaran televisi digital, menurut Oktariza dkk (2015), adalah: 1) Kualitas siaran yang lebih stabil dan tahan terhadap gangguan (interferensi, suara dan/atau gambar rusak, berbayang, dsb). 2) Memungkinkan siaran dengan resolusi HDTV secara lebih efisien. 3) Kemampuan penyiaran multichannel dan multiprogram dengan pemakaian kanal frekuensi yang lebih efisien. 4) Kemampuan transmisi audio, video, serta data sekaligus.

Melalui siaran digital, masyarakat akan mendapat manfaat berupa kualitas gambar dengan resolusi tinggi dan suara yang lebih jernih. Selain itu, akan lebih banyak pilihan saluran televisi yang bisa dinikmati. Semua manfaat tersebut akan dinikmati masyarakat secara gratis karena proses digitalisasi penyiaran ini dilakukan pada penyiaran tetap tidak berbayar (free to air/FTA).

Walaupun sama-sama menggunakan teknologi digital, siaran televisi digital bukanlah siaran televisi melalui internet atau streaming. Sebagaimana diketahui, untuk mengakses informasi dan hiburan melalui siaran streaming, masyarakat harus memiliki layanan data internet. Sementara itu, untuk dapat menikmati siaran televisi digital, hanya diperlukan antena ultra high frequency (UHF) serta perangkat televisi yang selama ini digunakan untuk menerima siaran televisi analog.

Televisi yang belum memiliki saluran penerimaan siaran digital juga tidak harus melakukan penggantian perangkat dengan televisi baru. Cukup dengan menambahkan alat bantu penerima siaran digital berupa kotak decoder yang disebut set top box (STB). Kabel dari antena UHF terlebih dahulu disambungkan dengan STB. Lalu, kabel dari STB dikoneksikan pada perangkat televisi analog. Maka, masyarakat sudah dapat menerima siaran modulasi digital, sepanjang siaran digital telah dipancarkan.

Meski siaran televisi digital menjanjikan berbagai kemanfaatan, dibutuhkan perencanaan yang meliputi berbagai aspek agar dapat membawa kemanfaatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Jika siaran televisi digital hanya dipahami sebagai proses menambahkan STB pada perangkat televisi, hal tersebut dapat dilakukan dengan mudah di wilayah-wilayah yang selama ini telah menerima siaran televisi analog dengan baik. Bagaimana dengan wilayah yang hingga saat ini belum dapat menerima sama sekali siaran televisi FTA? Bagaimana dengan kelompok masyarakat kurang mampu yang tidak dapat membeli STB?

Selain sosialisasi teknis penyiaran digital, pemerintah perlu memublikasikan secara transparan berbagai rancangan regulasi, tahapan perencanaan, maupun kemajuan implementasi di berbagai wilayah. Bahkan, pemerintah perlu membentuk tim kerja atau gugus tugas agar dapat merespons dengan cepat berbagai masukan dari masyarakat. Dalam proses transisi sistem penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai perwujudan peran serta masyarakat dalam bidang penyiaran perlu memberikan pemahaman yang komprehensif agar masyarakat dapat memahami kemanfaatan maupun tantangan siaran televisi digital.

Masyarakat harus didorong untuk berpartisipasi. Mulai proses perencanaan, mengawasi setiap tahapan pelaksanaan, hingga memberikan masukan kepada pemerintah. KPI pusat maupun daerah perlu berkolaborasi dengan berbagai pihak dan menjadi ruang publik (public sphere) di mana seluruh pemangku kepentingan dapat menyampaikan masukan terkait proses digitalisasi penyiaran.

Efisiensi pengelolaan infrastruktur dan berbagai kemanfaatan penyiaran digital harus disertai dengan kebijakan yang memungkinkan industri penyiaran tumbuh dan berkembang di seluruh wilayah Indonesia. Dengan begitu, semua masyarakat dari Sabang sampai Merauke dapat menikmati informasi dan hiburan yang berkualitas melalui siaran televisi secara gratis.

 

*Hardly Stefano Fenelon Pariela, Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan

(Opini ini sudah diterbitkan pada: https://www.jawapos.com/opini/16/12/2020/manfaat-dan-tantangan-siaran-tv-digital/?amp)

Semarang -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta seluruh Lembaga penyiaran, TV dan radio, mendukung upaya pemerintah dalam menanggulangi penyebaran dan penghentian pandemi Covid-19 di tanah air. Salah satunya dengan menyiarkan informasi yang baik dan positif terkait rencana pemerintah memberi vaksin Covid-19 secara gratis dalam waktu dekat.

Demikian disampaikan Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, disela-sela wawancara dengan salah satu radio swasta berjaringan dalam rangka ulang tahun Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) ke 46 di Semarang, Kamis (17/12/2020).

“Kami mengingatkan agar lembaga penyiaran tidak berspekulasi dalam menghadirkan topik dan narasumber yang meragukan atau bahkan menolak vaksin. Karena vaksinasi telah menjadi program pemerintah dan presiden telah menyiapkan diri untuk divaksin lebih awal dan maka masyarakat harus seiring pula,” katanya.

Menurut Mulyo, dalam wawancara tersebut, meskipun vaksin tersebut dihasilkan dalam waktu yang relatif cepat, vaksin ini telah dibuat dengan penelitian laboratorium dan uji coba yang sangat ketat dan bertahap. “Jika ada pihak-pihak yang khawatir, para pakar bisa menyampaikan apa yang perlu diperhatikan oleh masyarakat. Misalnya dengan menyampaikan upaya apa yang perlu dilakukan setelah proses divaksin atau hal apa yang penting diperhatikan dalam kurun waktu tertentu setelah divaksin,” ujarnya. 

Dalam kesempatan itu, Mulyo mengapresiasi PRSSNI atas kerjasama dan dukungannya pada seluruh program dan kebijakan KPI. Menurutnya, PRSSNI sangat responsif dan cepat menyampaikan informasi kebijakan dari KPI kepada radio anggotanya.

Karenanya, lanjut Mulyo, radio harus juga bisa meyakinkan masyarakat bahwa vaksinasi yang dilaksanakan pemerintah dengan penuh tanggung jawab. “Selain tetap menjalankan protokol kesehatan dengan baik agar wabah bisa diminimalisir, vaksin adalah harapan untuk Indonesia sehat dan bangkit dengan cepat. Di tengah banyak negara yang kesulitan untuk mendapatkan vaksin, Indonesia berhasil mendapatkan kepercayaan dari produsen. Maka karena itu kita harus positif dan optimis terkait rencana ini,” paparnya.

KPI juga mengapresiasi peran radio di bawah keanggotaan PRSSNI dalam mensosialisasikan protokol kesehatan Covid-19. Hal ini tidak hanya melalui ILM (iklan layanan masyarakat) tapi juga melalui kicauan (adlips) serta pesan-pesan sisipan para penyiar. “KPI berharap lembaga penyiaran terus mengingatkan masyarakat untuk tetap menerapkan protokol kesehatan agar wabah covid-19 bisa ditekan dan dituntaskan sehingga masyarakat dapat beraktivitas secara normal dan ekonomi makin membaik,” tutup Mulyo. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.