- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 27864
Jakarta - Realisasi digitalisasi penyiaran harus diikuti dengan kesiapan regulasi pengawasan konten media baru. Hal ini diperlukan sebagai konsekuensi terbangunnya tol virtual dari hasil pelaksanaan digitalisasi penyiaran akan membuat internet semakin mudah diakses. Dengan adanya digital deviden sebesar 112 Mhz pada penggunaan frekuensi, memungkinkan pemerintah menggerakkan sektor telekomunikasi untuk membangun infrastruktur internet berkecepatan tinggi. Bahkan memungkinkan untuk diterapkannya teknologi 5G, maupun perkembangan teknologi di masa depan. Akan tetapi keberadaan tol virtual juga akan berakibat pada luberan konten di media baru.
Jika selama ini televisi teresterial mendapatkan pengawasan, maka pengawasan serupa harus diberlakukan pada semua platform media baru. Karena perkembangan teknologi dan keberadaan tol virtual akan membuat penetrasi informasi dan hiburan melalui internet akan jauh lebih dominan dibandingkan televisi.
Hardly Stefano Pariela, Komisioner Bidang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyampaikan hal tersebut dalam diskusi Forum Legislasi bertema “RUU Penyiaran: Bagaimana Masa Depan Digitalisasi Penyiaran di Indonesia?”di Media Center DPR RI, Jakarta (11/08).
Pada prinsipnya KPI mendukung digitalisasi penyiaran, ujar Hardly. Namun yang terpenting menurutnya bagaimana pengaturan konten media ketika digital deviden yang diharapkan pemerintah sudah terealisasi melalui digitalisasi. “Harus ada treatment yang equal antara telekomunikasi dan penyiaran ketika penyiaran sudah menjalankan analog switch off (ASO),” tegasnya.
(Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Prof. Dr. Henry Subiakto)
Senada dengan Hardly, Staf Menteri Komunikasi dan Informatika Prof Henry Subiakto yang menjadi narasumber pada acara tersebut menegaskan bahwa pengawasan di media baru juga harus diperhatikan. “Bagaimana pun juga masa depan anak cucu kita tergantung pada pengawasan konten di ranah internet yang sampai saat ini belum ada pengaturannya,”ujar Henry.
Secara rinci Henry menjelaskan tentang perencanaan pemerintah dalam merealisasikan penyiaran digital. Terlambatnya Indonesia melakukan digitalisasi penyiaran ternyata telah menghilangkan potensi pemasukan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). “Negara kehilangan potensi pendapatan hingga sepuluh triliun per bulan lantaran tertundanya digitalisasi ini,” ujar Henry.
Seharusnya, tambah Henry, dalam Omnibus Law tentang penyiaran hanya mengatur soal ASO saja. Mengingat Mahkamah Agung memang memerintahkan pelaksanaan digitalisasi hanya dapat dilakukan jika ada landasan hukum dalam Undang-Undang. Sedangkan kalau berharap pengaturan ASO melalui RUU Penyiaran, dibutuhkan waktu yang lebih panjang lantaran RUU tersebut dihapus dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020.
Sementara itu terkait posisi RUU Penyiaran, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Al Masyhari menyampaikan bahwa digitalisasi merupakan sebuah kemestian yang harus dilaksanakan dan negara ini dapat segera melakukan ASO. Selain itu, Kharis juga menegaskan bahwa frekuensi yang ada di negara Indonesia adalah sumber daya terbatas yang mestinya dipergunakan untuk kepentingan rakyat Indonesia secara luas. Sedangkan untuk pengawasan terhadap konten harus dilakukan dengan memperkuat lembaga pengawasan yang ada sekarang.
Lebih jauh Kharis melihat pengawasan konten siaran dibutuhkan sebagai upaya perlindungan terhadap anak-anak dan generasi muda. Menurutnya beberapa pengaturan mandiri seperti klasifikasi program dan juga kunci parental (parental lock), tetap harus didukung dengan pengawasan yang lebih utuh. Untuk itu penguatan terhadap KPI sebagai lembaga pengawas konten siaran, harus diberikan.
Kharis juga menegaskan bahwa model siaran baru yang berbasiskan pada internet harus juga diawasi sebagaimana siaran teresterial. “Kalau siaran terrestrial diawasi sedemikian rupa dalam menjaga generasi muda dari pengaruh negatif, maka pengawasan juga harus dilakukan sama terhadap seluruh platform siaran yang baru,”pungkasnya. (Foto: Agung Rahmadiansyah/ KPI)