Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendukung penuh langkah Presiden RI, Joko Widodo, yang menginginkan percepatan transformasi digital di tanah air termasuk sektor penyiaran. Percepatan ini akan mempercepat migrasi dari TV analog ke TV digital yang lama tertunda karena menunggu revisi UU Penyiaran tahun 2002.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo mengatakan, perintah Presiden agar segera mempercepat transformasi digital di semua sektor strategis termasuk penyiaran dapat menjadi solusi dari mandeknya peralihan teknologi penyiaran dari analog ke digital (switch off) di Indonesia. Pasalnya, di antara negara-negara ASEAN, hanya Indonesia dan Timor Leste yang belum melakukan peralihan tersebut.

“Hal itu membuat kita makin tertinggal di banding negara tetangga lainnya termasuk dalam urusan penyiaran. Mestinya, masyarakat sudah bisa memanfaatkan keuntungan dari alih teknologi tersebut. Termasuk akses untuk mendapatkan informasi khususnya untuk masyarakat di wilayah-wilayah terpencil dan terluar serta tertinggal,” kata Mulyo, Selasa (4/8/2020).

Kemudahan akses itu hanya sebagian kecil dari keuntungan jika kita berdigitalisasi. Kelebihan lainnya, akan banyak tersedia slot kanal digital yang bisa dimanfaatkan untuk memperkaya khazanah konten siaran nasional. Tidak ada lagi permasalahan ketersediaan kanal karena dalam sistem digital, satu kanal siaran, dapat diisi lebih dari 12 slot,” katanya.

Namun begitu, percepatan digital di sektor penyiaran ini, akan menjadi tantangan bagi KPI dan KPID. Menurut Mulyo, beberapa hal itu yakni bagaimana memberikan keadilan dalam pengelolaan multiplaxer agar tidak terjadi perselisihan dan pihak yang dirugikan. Selain itu, soal pemerataan siaran di seluruh wilayah tanah air. Pasalnya, ada banyak daerah di Indonesia yang belum terjangkau siaran nasional. Masyarakat punya hak yang sama untuk mendapatkan informasi.

“Digitalisasi akan menambah keberagaman konten kita. Dan, ini akan berimplikasi terhadap pengawasan isi siaran. Model pengawasan atau pemantauan isi siaran jika sudah beralih digital dan kaya akan konten tidak akan sama dengan pengawasan model sekarang. Artinya, perlu  peningkatan kualitas dan kuantitas pengawasan. Teknologi digital seperti Artificial Intelegence harus dimanfaatkan dalam pengawasan,” jelas Mulyo.

Hal lain yang akan dilakukan KPI dalam upaya mendukung keputusan tersebut adalah melakukan sosialisasi secara masif tentang siaran digital ke masyarakat. “Masyarakat tentutnya butuh informasi mengenai teknologi baru ini dan itu harus melalui sosialisasi. KPI bekerja sama dengan Kominfo Kabupaten/Kota dan Provinsi dapat mengambil peran memberi sosialisasi tersebut. Banyak masyarakat di daerah yang memahami siaran digital sebagai siaran berbayar. Kami juga perlu melakukan literasi masyarakat jika tranformasi ini sudah berjalan. Karena semakin banyak siaran akan semakin banyak potensi dampak. Masyarakat harus lebih kritis dan peduli,” tandas Mulyo. ***

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memutuskan menjatuhkan sanksi teguran  tertulis kedua untuk program siaran “Silet” di iNews TV. Program infotainmen ini dinilai telah melanggar aturan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012 dengan menampilkan koleksi barang mewah milik an. Helena Lim seperti jam tangan, kalung, tas, baju, sepatu dan mobil dilengkapi dengan menyebutkan harganya. 

Menurut Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, adegan memamerkan koleksi barang mewah dengan menyebutkan harganya sangat bertentangan dengan nilai-nilai kesederhanaan dalam hidup bermasyarakat. Selain itu, tayangan memamerkan kekayaan tidak memiliki value dan juga pembelajaran yang baik terutama bagi anak dan remaja. Seolah mengajarkan ukuran nilai diri dari materi.

“Program berklasifikasi R dilarang menampilkan materi yang mengganggu perkembangan kesehatan fisik dan psikis remaja seperti gaya hidup konsumtif, hedonistis.  Kami sangat menyesalkan munculnya konten yang mengajarkan pola hidup demikian dalam program siaran. Ini tidak memberi contoh yang baik terlebih dalam kondisi seperti sekarang di saat banyak orang sedang mengalami kesulitan ekonomi akibat pademi,” jelas Mulyo, Senin (3/8/2020).

Berdasarkan keterangan dalam surat teguran kedua tersebut, temuan pelanggaran itu terjadi pada acara “Silet” tanggal 8 Juli 2020 pukul 08.53 WIB. Sebanyak 6 (enam) Pasal di P3SPS telah ditabrak akibat adegan tersebut. 

Dalam kesempatan itu, Mulyo mengingatkan iNews dan seluruh lembaga penyiaran untuk lebih memperhatikan dan menjadikan P3SPS KPI sebagai acuan sebelum menayangkan sebuah acara. Mestinya, program siaran dengan klasifikasi R mengandung muatan, gaya penceritaan dan tampilan yang sesuai dengan perkembangan psikologis remaja. 

“Pasti ada cara dan kreasi bagaimana membuat isi konten infotainment itu menjadi lebih bermanfaat, penuh informasi mendidik dan tentunya dapat menggugah dan memicu publik untuk berbuat sesuatu yang baik. Kan bisa dilakukan dengan mengabarkan prestasi dan juga hal positif dari artis-artis tersebut,” usul Mul, panggilan akrabnya.

Komisioner bidang Isi Siaran ini juga meminta seluruh lembaga penyiaran untuk memperhatikan Surat Edaran KPI Nomor 591/K/KPI/31.2/12/2019 tertanggal 17 Desember 2019 tentang Program Siaran Infotainment di Lembaga Penyiaran Televisi. “Surat edaran di atas dapat menjadi acuan untuk membuat seperti apa penayangan siaran infotainment,” tandas Mulyo. ***

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Film (LSF) sepakat melakukan penguatan dan peningkatan skala kerjasama yang akan dituangkan dalam nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) pembaruan yang rencananya ditandatangani dalam waktu dekat.

Kesepakatan untuk memperbarui nota kesepahaman yang pertama kali ditandatangani pada 2012 lalu menguat pada saat pertemuan KPI Pusat dan LSF di Kantor LSF, Kamis (30/7/2020) lalu.

Dalam pertemuan tersebut, dibahas hal-hal yang kerap menjadi masalah dua lembaga ini dalam menerapkan aturan yang satu sama lain berbeda. KPI mengacu pada UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran), sedangkan LSF merujuk pada UU Perfilman No.33 tahun 2009. 

Hal ini membuat sudut pandang masing-masing lembaga tidak sama, salah satu contohnya mengenai batas usia dewasa (D) bagi penonton film atau tayangan di televisi. Berdasarkan ketentuan UU Penyiaran, batas usia dewasa yakni 18 tahun ke atas. Adapun dalam UU Perfilman, berusia 17 tahun ke atas.

Soal berapa batas usia dewasa ini, menjadi salah satu sorotan dalam presentasi yang disampaikan Anggota LSF, Ahmad Yani, saat pertemuan tersebut. Menurutnya, banyak temuan terkait ketidaksesuaian klasifikasi usia bagi penonton film di TV. 

“Film yang telah lolos LSF ternyata tidak sesuai klasifikasi usianya karena ada undang-undang yang berbeda. Dalam UU Perfilman klasifikasi usia untuk dewasa adalah 17 tahun plus. Hal ini akan menjadi masalah ketika film tersebut muncul atau ditayangkan di televisi,” kata Yani.

Belum lagi perbedaan waktu atau jam tayang untuk penonton dewasa di televisi. Yani menyatakan LSF berpatokan jam dewasa yaitu di atas pukul 23.00 atau 11 malam. Sedangkan KPI di atas jam 22.00 atau 10 malam. Karenanya, Yani berharap kolaborasi kedua lembaga ini bisa menyelesaikan sengkarut tersebut.

Persoalan beda sudut pandang (regulasi) ini diakui Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia dan hal menjadi kendala kedua lembaga dalam menjalankan fungsi pengawasan. Karenanya, pertemuan ini diharapkan dapat meningkatkan dan menguatkan isi perjanjian baru. 

Selain itu, lanjut Irsal, MoU ini menjadi batu pijakan bagi kedua lembaga menyelesaikan soal beda regulasi tanpa harus menunggu terlebih dulu revisi UU Penyiaran. “Kita dapat selesaikan dalam tataran teknis melalui nota kesepahaman dan saya rasa ini bisa menyelesaikan hal-hal tadi. Tapi tahap awalnya kita harus menguatkan landasan MoU dan soal teknis yang detail setelahnya,” jelas Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat ini.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti, menilai hasil inventarisir masalah antara KPI dan LSF menjadi acuan untuk meninjau kembali perjanjian kerjasama antara LSF dan KPI sebelumnya. Menurutnya, pembaruan kerjasama ini dalam upaya memperbaiki kualitas program siaran di TV. “Refleksi ini penting dan sinergi ini harus tetap berjalan,” katanya di awal pertemuan.

Lima poin usulan

Untuk lebih mempertajam isi kerjasama kedua lembaga ini, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, mengusulkan isi MoU merujuk pada persoalan pengawasan siaran, literasi, pembinaan stakeholder, media baru atau lain, serta dinamika industri TV dan film. “Kerjasama ke depan yang utama adalah soal bagaimana menghadapi dinamika film dan juga media baru. Kita harus dorong lahirnya kebijakan dan instrumen untuk media baru ini,” katanya di tempat yang sama.

Perihal media baru ini juga disinggung Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, dalam pertemuan. Menurutnya, konten yang dihadirkan platform OTT (over the top) ini menjadi keresahan karena banyak yang tidak sesuai dengan budaya, etika dan norma di Indonesia. 

“Jika regulasi yang menaungi media ini belum ada, kita harus duduk bersama. Kita harus ajak akademisi, orangtua membahas soal ini. Perlu ada juga literasi dan FGD mengenai hal ini. Kita perlu dorong bersama soal ini,” tegasnya.  

Di awal perrtemuan, Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto, berharap pertemuan kedua lembaga ini dapat memberi hasil yang positif dan menyelesaikan masalah yang ada. Menurutnya, kerjasama ini tidak lain untuk memberikan sumbangsih bagi negara dan masyarakat agar tontonan menjadi lebih baik. ***

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendukung penyederhanaan proses perijinan penyiaran, sebagaimana yang menjadi amanat dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Dengan  adanya kemajuan teknologi, penyederhanaan proses perijinan menjadi jauh lebih mudah.  Namun yang terpenting, buat KPI penyederhanaan tersebut tidak menghapus nilai-nilai substantif, diantaranya tentang pemberian Rekomendasi Kelayakan bagi lembaga penyiaran yang menjadi kewenangan KPI. Ketua KPI Pusat Agung Suprio menyampaikan hal tersebut dalam Seminar Daring Satu Tahun Pelaksanaan Penyiaran Simulcast, yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika, (30/7).

Sebagai lembaga yang merupakan perwakilan publik, KPI berkepentingan untuk mengawal proses perijinan penyiaran sejak awal. “Proses tetap sederhana, tapi secara substansi tentang konten siaran tetap menjadi ranah KPI,”’ujar Agung.

Penyederhanaan proses perijinan ini menurut Direktur Penyiaran dari Kemenkominfo, Geryantika, merupakan salah satu bahasan penting yang akan diatur melalui rancangan undang-undang Cipta Kerja. Dalam kesempatan seminar ini, ditegaskan pula arah kebijakan pemerintah tentang digitalisasi.  Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate dalam kesempatan berbeda menyampaikan bahwa digitalisasi televisi adalah sebuah keharusan.

Beberapa pertimbangan disampaikan Johnny diantaranya dari sektor ekonomi, kepentingan publik, serta hubungan bilateral antar-negara di daerah perbatasan. DIgitalisasi ini, menurut Johny, dapat menghasilkan digital deviden atau keuntungan digital yang didapat negara dari pemampatan frekuensi dari analog ke digital. “Dengan migrasi penyiaran digital, dari 382 mhz yang digunakan penyiaran analog, akan dihasilkan efisiensi frekuensi sebanyak112 Mhz,” ujar Johnny. Penghematan frekuensi inilah yang nantinya akan digunakan oleh sektor lain, termasuk untuk menambah kapasitas dan jangkauan internet broadband di tanah air. Terkait digitalisasi ini, Geryantika juga menyampaikan model proses perijinan yang harus dijalani lembaga penyiaran ke depan.   

Secara konten, penyiaran digital ini dinilai memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat. Selain mendapatkan kualitas teknis siaran yang lebih bagus dan lebih jernih, masyarakat juga berkesempatan mengakses konten siaran yang lebih variatif yang disajikan para pengelola televisi digital.

Terkait keragaman konten, Ketua KPI juga mengingatkan agar para pelaku industri yang akan mengajukan ijin untuk siaran digital mengambil format siaran yang khas dan spesifik.  Dalam penentuan segmentasi penonton ataupun format siaran, Agung memberikan contoh praktek penyelenggaraan siaran televisi digital di luar negeri. Untuk meneliti selera masyarakat, industri penyiaran di sana memanfaatkan big data yang sangat presisi, ujar Agung. Sehingga dari data tersebut televisi berusaha menyajikan konten siaran yang sesuai dengan selera masyarakat. Tentu harapannya adalah untuk meningkatkan jumlah penonton yang berdampak pada angka rating.

Bagi KPI sendiri, digitalisasi ini juga menjadi sebuah jalan bagi hadirnya diversifikasi konten siaran. “DIgitalisasi menghadirkan konten yang semakin variatif, berarti masyarakat punya banyak pilihan konten siaran,”ujarnya.

Dalam seminar tersebut, DIrektur Penataan Frekuensi dari Kemenkominfo menyampaikan tentang penataan spektrum frekuensi radio migrasi TV analog ke digital. Narasumber lain yang hadir adalah dari TVRI, Trans Media, Metro TV dan BSTV yang memaparkan tentang pelaksanaan penyiaran simulcast. Peserta seminar yang juga berasal dari pengelola TV lokal, berkesempatan mendapatkan penjelasan secara rinci tentang migrasi siaran dari analog ke digital. Termasuk soal pembiayaan yang harus disiapkan untuk sewa multiplekser, untuk tetap dapat bersiaran digital.

 

Jakarta – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, menilai hadirnya etika pariwara Indonesia akan memberi dampak baik terutama dalam kaitan perlindungan terhadap masyarakat dari iklan yang tidak pantas khususnya bagi anak dan remaja. Hal itu disampaikannya saat menjadi salah satu narasumber kegiatan Webinar Swakrama Periklanan dengan tema Menjaga Marwah Etika Dalam Kepungan Teknologi serta Peluncuran Kitab  “Etika Pariwara Indonesia – Amandemen 2020” yang diselenggarakan Dewan Periklanan Indonesia  (DPI), Kamis (30/7/2020).

Menurutnya, acuan ini akan memberi proteksi pada program acara di media penyiaran dan media baru jika mengacu pada perlindungan budaya lokal dari terpaan budaya asing. “Berbeda dengan media terestrial, media baru belum memiliki regulator serta aturan yang jelas untuk pengaturannya. Oleh karena itu, etika periklanan ini memiliki peran yang vital dalam melindungi masyarakat,” tambah Agung.

Salah satu contoh, media terestrial  seperti TV memiliki aturan yang melarang tampilan visual rokok dan larangan iklan rokok di bawah Pukul  22.00 WIB. Aturan ini tidak ditemukan pada media baru. “Kita masih sering melihat iklan rokok di media baru tanpa adanya batasan waktu. Ini berpotensi dilihat anak -anak karenanya dibutuhkan adanya aturan yang jelas,” tutur Agung.

Sebelumnya, diawal acara, Wakil Menteri  Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Angela Tanoesudibjo mengapresiasi diluncurkannya etika pariwara Indonesia versi baru. Menurutnya, aturan ini akan mendorong industri kreatif yang ada di Indonesia. 

“Etika ini akan mendorong kemajuan UMKM di Indonesia khususnya di bidang industri kreatif. Dengan makin majunya UMKM, hal ini akan meningkatkan perekonomian nasional,” kata Angela sekaligus membuka kegiatan ini.

Ketua Umum Aosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution, mengatakan kepungan teknologi adalah sebuah keniscayaan. Menurutnya, mau tidak mau hal itu harus diikuti dan diadaptasi.

“Aturan periklanan dibutuhkan agar konten yang ditampilkan sesuai dengan norma yang ada di Indonesia serta melindungi masyarakat dari pengaruh buruk budaya asing. Namun akan lebih baik jika dibuat Undang-undang yang mengatur tentang periklanan,” jelasnya.

Dia juga menyakinkan jika televisi telah menjalankan fungsinya dengan baik dalam melindungi masyarakat dari pengaruh budaya asing. Hal ini dapat dilihat dari tayangan televisi yang sebagaian besar didominasi konten dalam negeri. 

Namun disisi lain, lanjut Syafril, terjadi fenomena pengiklan dalam negeri lebih memilih mengiklankan produk mereka di media luar. “Kejadian ini tentu sangat berdampak pada industri televisi. Oleh karena itu, akan lebih baik jika pemerintah membuat aturan terkait ini. Dengan demikian tentu akan meningkatkan pendapatan negara,” usulnya. 

Pada sesi tanya jawab, Agung berkesempatan menjawab pertanyaan salah satu peserta tentang perihal aturan iklan rokok yang ada di televisi yang berpotensi membunuh kreatifitas. Menurutnya, aturan iklan rokok yang ada di P3SPS KPI tahun 2012 sudah sesuai dengan aturan Kementerian Kesehatan tentang rokok. 

“Oleh karena itu, rokok baru dapat diiklankan di atas jam 10 malam itupun tanpa menampilkan visual atau wujud rokoknya. Larangan ini justri akan mendorong pengiklan untuk menciptakan iklan yang kreatif dan berbeda,” tutup Agung. *

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.