Medan – Kekhawatiran penyelenggara Pemilu dan pengawas media termasuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada Pemilu 2024 mendatang adalah maraknya peredaran berita-berita hoaks terutama di media sosial dan internet. Guna mempersempit peredaran sekaligus dampak negatif dari pemberitaan hoaks, selain pengawasan diperlukan penguatan program literasi berkelanjutan untuk masyarakat .

Dalam acara Gerakan Cerdas Memilih dengan tema “Menangkal Hoaks di Tahun Politik” yang berlangsung di Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Republik Indonesia (RRI) Medan, pekan lalu, mengemuka pentingnya literasi bagi publik ini. Apalagi, tidak semua media seperti media sosial dan streaming masuk dalam pengawasan dan dipayungi regulasi yang jelas.

Seperti yang disampaikan Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid, bahwa fungsi utama literasi adalah untuk menanamkan sikap kritis terhadap media. Sikap ini akan menghidupkan alarm sensor pribadi atau self of sensorship dalam diri setiap orang yang terpapar literasi. 

“Jadi yang paling penting di sini untuk media sosial adalah usernya, teman-teman pengguna yang bisa melakukan self of sensorship. Jadi mensensor dirinya sendiri. Apa yang harus dibaca. Tentunuya membaca yang bermutu. Pasalnya, rata-rata pengguna internet menghabis 8 jam sehari dan anak muda lebih banyak lagi hingga 10 jam sehari. Jadi pilah pilihlah yang baik,” kata Meutya. 

Selain itu, lanjut Meutya, cara bijak lainnya saat mengkonsumsi berita media sosial adalah memastikan kebenaran berita dengan memverifikasinya di media mainstream seperti RRI dan TV. Informasi dari media ini dipastikan jelas dan dapat dipertanggungjawabkan juga diawasi oleh KPI. 

“Di tahun Pemilu, tensi akan naik. Nah, ini harus dilihat mana yang benar dan tidak. Jangan ikut-ikutan men-share. Kita harus bertangggungjawab, cros cek dulu ke media mainstream supaya hoaks jelang Pemilu bisa kita lawan bersama,” pintanya. 

Pentingnya literasi juga disampaikan Anggota KPU Provinsi Sumatera Utara, Herdensi. Menurutnya, permasalahan yang ditimbulkan akibat maraknya berita hoaks membuat jurang ideologis yang tak kunjung tersambung. Hal ini berkaca dari kasus Pemilu sebelumnya yang pada akhirnya tidak menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat. 

“Pemilunya sudah selesai, tapi masyarakatnya belum selesai karena hoaks. Masih berbeda, belum satu padu lagi,” katanya. 

Pada Pemilu tahun depan, KPU akan melakukan literasi kepada pemilih yang salah satu tujuannya membangkitkan kesadaran untuk jeli dan pandai menyikapi dari setiap informasi yang diterima. “Salah satunya upaya literasi ini agar mereka paham mana yang hoaks dan bagaimanan cara mengatasinya,” tuturnya. 

Di lain pihak, Anggota KPI Pusat, Mohamad Reza mengatakan, pihaknya (KPI) tidak memiliki wewenang untuk mengawasi media di luar media penyiaran seperti media sosial dan streaming internet. Karena belum diawasi, langkah yang paling tepat untuk mengurangi dampak informasinya adalah dengan memberi literasi kepada masyarakat.  

“Kami baru mengurusi konten atau program  yang ada di TV dan radio,” jelasnya dalam acara tersebut.

Terkait pengawasan TV, Reza menjelaskan pihaknya telah melakukan riset terhadap penonton TV. Bahkan, riset yang telah berjalan di Jawa Barat (Tasikmalaya, Cirebon dan Bandung) dan Gorotalo ini, memetakan kebiasan masyarakat dalam menonton TV.

“Dari riset itu, kami bertanya selain menggunakan media TV dan radio, media apalagi yang masyarakat gunakan. Ternyata kami menemukan banyak masyarakat yang menonton TV sambil menggunakan gadget. Angkanya mencapai angka 82%,” kata Reza. 

Namun begitu, Reza memastikan hasil riset KPI menintikberatkan pada perbaikan kualitas pada dua kategori program siaran yakni infotainment dan sinetron. Artinya, secara kualitas program di luar itu dinilai baik dan aman dikonsumsi. “Memang ada PR yang harus KPI laksanakan di periode beikutnya adalah soal infotainmen dan sinteron,” tutupnya. ***

Bogor -- Tantangan berat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ke depan adalah melakukan pengawasan media baru. Demikian dikatakan Wakil Ketua Komisi 1 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, Abdul Kharis Almasyhari, dalam pengantar Evaluasi Pengawasan Isi Siaran di Bogor, Senin (13/12/2023) lalu. Saat ini, kewenangan KPI mengacu Undang-Undang (UU) Penyiaran tahun 2002 hanya mengawasi isi siaran lembaga penyiaran.

Abdul Kharis menambahkan, revisi UU Penyiaran pada akhir tahun 2023 direncanakan selesai. Sehingga tahun depan regulasi ini menjadi landasan KPI dalam melakukan pengawasan termasuk media baru. “KPI juga harus siap dalam tahun Pemilu 2024. Lembaga penyiaran harus dapat menjaga situasi agar tetap kondusif,” tambahnya.

Senada dengan Wakil Ketua DPR RI di atas, Guru Besar Universitas Hasanuddin, Prof. Judhariksawan berpendapat, pengawasan KPI harus lebih fokus khususnya di dalam tahun politik tersebut.

Dia juga menyampaikan akar masalah KPI ada di UU Penyiaran. “Kebijakan yang landasannya UU Penyiaran harus tertahan karena menunggu regulasi baru disahkan. Peningkatan peran KPI karena tuntutan zaman juga menunggu keluarnya hasil revisi UU Penyiaran,” ujar Ketua KPI Pusat periode 2013-2016.

Dalam diskusi, Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo berharap, hasil pengawasan KPI menjadi catatan mencakup seluruh instrumen seperti pengawasan, pengaduan, penjatuhan sanksi dan indeks kualitas program siaran.

Menurut Mulyo, terindikasi kinerja perbaikan terkait kepatuhan terhadap P3SPS. Sepanjang 2019 hingga 2022, angka yang ditunjukkan terlihat baik dan harus dipertahankan. Namun begitu, ada beberapa catatan yang penting diperhatikan dalam beberapa kategori program siaran.

Sementara Koordinator Bidang Pengawasan isi Siaran KPI Pusat, Mimah Susanti mengatakan, maraknya konten dalam platform media di luar penyiaran membuat KPI harus bersiap, salah satunya dengan melakukan penguatan infrastruktur dan kelembagaan KPI Pusat dan KPI Daerah.

Ia menyampaikan, hasil indeks kualitas program siaran tahun 2022 dan hasil pengawasan KPI terhadap program Sinetron, Infotainment dan Variety Show masih ditemukan konten yang belum memenuhi standar P3SPS.

Kegiatan evaluasi dihadiri pula oleh narasumber Ketua Asosiasi Televisi Digital Indonesia, Eris Munandar dan Tokoh Pemuda, Afdhal Mahatta, serta peserta seluruh KPID dan lembaga penyiaran baik secara online dan offline. (IK)

Jakarta - Hari Radio Sedunia atau Wolrd Radio Day diperingati setiap tanggal 13 Februari di setiap tahunnya. Momen di balik sejarah penentuan Hari Radio Sedunia ini diinisiasi oleh negara-negara anggota UNESCO alias organisasi internasional PBB yang membidangi pendidikan, pengetahuan, dan kebudayaan pada 2011 lalu. 

Bagaimana kronologis lahirnya Hari Radio Sedunia ini. Dilansir dari laman resmi Unesco.org, secara resmi Majelis Umum PBB kemudian mengesahkan 13 Februari sebagai hari internasional pada 14 Januari 2013. Pengesahan ini didasarkan pada proposal yang diajukan oleh perwakilan anggota UNESCO dari negara Spanyol. 

Dewan Eksekutif UNESCO lalu merekomendasikan proposal tersebut pada forum Konferensi Umum PBB ke-36. Berdasarkan studi kelayakan yang telah dilakukan oleh UNESCO, maka dalam forum tersebut ditetapkanlah proklamasi Hari Radio Sedunia. 

Disebutkan, sejumlah pemangku kepentingan dilibatkan dalam forum penetapan Hari Radio Sedunia tersebut. Beberapa di antaranya, yakni asosiasi penyiaran-publik, swasta, komunitas dan lembaga penyiaran internasional, badan-badan PBB, dana dan program, LSM terkait topik, akademisi, yayasan dan lembaga pembangunan serta Delegasi Tetap UNESCO dan Komisi Nasional. 

Sembilan puluh satu persen dari mereka percaya bahwa Hari Radio Sedunia dapat berkontribusi pada promosi Piagam PBB dan pembangunan manusia. Pemimpin proyek perintis, Academia Española de la Radio, menerima lebih dari 46 surat dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk Uni Penyiaran Negara Arab (ASBU), Persatuan Penyiaran Asia-Pasifik (ABU), Persatuan Penyiaran Afrika ( AUB), dan lainnya. 

Keputusan untuk menetapkan Hari Radio Sedunia pada tanggal 13 Februari, hari didirikannya Radio Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berbasis di Markas Besar PBB pada tahun 1946, diusulkan oleh Direktur Jenderal UNESCO pada saat itu. 

Pada prinsipnya, Hari Radio Sedunia bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan media akan pentingnya radio. Pun mendorong para pengambil keputusan untuk membangun dan menyediakan akses informasi melalui radio. Serta, Hari Radio Sedunia untuk meningkatkan jaringan dan kerjasama internasional antar lembaga penyiaran. 

Pada momen peringatan Hari Radio Sedunia pada 13 Februari 2023 edisi ke-12 ini, UNESCO mengambil tema “Radio dan Perdamaian”. Dilansir dari India Today, Hari Radio Sedunia 2023 kali ini UNESCO menyoroti radio independen sebagai pilar pencegahan konflik dan pembangunan perdamaian.  Red dari berbagai sumber

 

 

London - Pengaturan terhadap lembaga yang mengukur pemeringkatan televisi atau rating televisi harus diakomodir dalam revisi undang-undang penyiaran yang tengah dibahas oleh Komisi I DPR RI saat ini. Hal tersebut menjadi bagian dari usaha menjaga iklim industri penyiaran tetap sehat dan kepentingan masyarakat terhadap konten siaran berkualitas juga terpenuhi. Hal ini disampaikan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis, usai melakukan audiensi dengan Kantar Media selaku lembaga survey multinasional yang berpusat di London, Inggris, (10/2). 

Dalam pertemuan tersebut, Yuliandre diterima oleh Mark Wisbey selaku Product Director TAM,  Stuart Wilkinson selaku Business Development, dan Laurence Chausson selaku International Business Development Director, Media Division. Perkembangan ekosistem media dalam perspektif flonal dan perkembangan regulasi konten digital di negara-negara Eropa menjadi bahasan utama.

Laurence mengungkap, pada era sekarang ini adalah tahunnya Smart TV. “Hampir semua masyarakat di dunia menggunakan Smart TV, meskipun masih ada yang menggunakan teknologi televisi analog,” ujarnya. Untuk itu, tambahnya, yang perlu dilakukan vendor-vendor perangkat teknologi adalah memastikan produk yang dibuat dapat terintegrasi dengan smartphone ataupun smart TV

Sedangkan Stuart memaparkan nilai investasi media secara global. Untuk langganan Pay TV, misalnya, sudah mencapai nilai $ 173 juta. Sedangkan untuk Video on Demand (VoD), nilai berlangganan mencapai $61 juta. Adapun untuk produksi konten menghasilkan $ 220 juta, iklan $ 543 juta dan teknologi infrastruktur senilai $ 21 juta. 

Terkait kebiasaan menonton dalam dunia penyiaran, pihak Kantar Media menjelaskan tentang beberapa hal yang harus dipahami. Integrasi antara layanan Video on Demand dan media penyiaran yang linear dan penonton layanan streaming, masih menjadi kebiasaan yang bayak dilakukan. Layanan streaming masih menjadi favorit konsumen, karena biasanya masyarakat lokal senang menonton konten global dan internasional. Jadi layanan ini dinilai sebagai jembatan antara penduduk lokal dan global.

Dalam dunia periklanan sendiri, menurut Mark Wisbey didapati beberapa kebiasaan yang berubah. Misalnya, pengiklan yang awalnya mencari alternatif dalam penempatan iklan. Saat ini, justru pengiklan berusaha meningkatkan kebutuhan integrasi dan pengukuran iklan melalui cross-platform. Iklan yang ditempatkan dalam platform digital dinilai lebih menguntungkan dibanding iklan yang ditempatkan dalam media penyiaran analog. Hal ini dikarenakan pengiriman IP akan mempercepat penempatan produk. Ditambah lagi sudah ada televisi yang dapat memberikan fasilitas pembelian produk melalui internet, dan e-niaga atau pun e-commerce sudah dapat melakukan aktivitas periklanan melalui streaming

Laurence juga memaparkan tentang pemberlakuan rating di Eropa. Menurutnya, di zaman digital saat ini, rating harus menjadji hal yang wajib karena media juga menerapkan “act of freedom”. Menurutnya, dunia sudah berubah dan pengukuran nilai kepemirsaan atau rating dalam media penyiaran, harus diatur dalam regulasi yang kuat. 

Menyambung Laurence, Yuliandre menjelaskan bahwa rating penyiaran di Indonesia hanya dilakukan oleh satu lembaga rating. Perusahaan multinasional itu mengukur rating dengan memasang alat khusus, people meter, pada setiap televisi di 2.273 rumah tangga. Panel itu tersebar di 11 kota besar di Indonesia. Ada beberapa hal yang mempengaruhi rating, misalnya ada durasi program karena rating itu dihasilkan setiap menit. “Kalau punya program 15 menit dan yang lain 60 menit, tentu menjaga pemirsa untuk 15 menit itu lebih gampang dibandingkan dari pada menjaga pemirsa untuk 60 menit,” ujar Yuliandre. Hal ini menjadikan program siaran yang lebih panjang tentu makin sulit mendapatkan rating yang tinggi.

Menurutnya hal ini yang seharusnya tidak terjadi di Indonesia. “Tidak ada lembaga yang ditugaskan menjadi pengawas dari lembaga rating, rating terhadap penyiaran juga hanya dilakukan oleh satu lembaga rating,” tambahnya. Laurence menimpali bahwa Kantar Media di Inggris juga memiliki tools sebagai lembaga rating di Inggris. Kantar saat ini sudah memiliki ribuan people meter, sama seperti yang dilakukan oleh Nielsen di Indonesia. Bahkan Kantar dapat bekerja sama dengan lembaga lain untuk melakukan riset untuk rating. Misalnya, Kantar saat ini bekerjasama dengan Mediametrie untuk melakukan pengukuran konsumsi penonton saat mereka sedang bepergian dan kapan saja, baik itu konten TV, video, audio dengan alat seperti jam atau smartwatch.

Dalam audiensi itu Yuliandre pun menyampaikan penilaiannya tentang kualitas film dan drama seri di Inggris yang lebih baik dibandingkan Indonesia, khususnya Jakarta. Bahkan, Yuliandre yang juga pernah mengetuai Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) menyebut kualitas film dan serial dari Inggris tidak kalah keren dari Hollywood. Karena itulah, dirinya sangat  mengharapkan dalam revisi undang-undang penyiaran ke depan, DPR dapat merumuskan pengaturan terhadap penyelenggaraan lembaga rating termasuk keberadaan dewan pengawas lembaga rating. Hal ini juga untuk mencegah terjadinya monopoli dan tafsir tunggal atas pemeringkatan program siaran, dari satu lembaga saja. “Muaranya tentu saja untuk kepentingan publik. Yakni hadirnya konten siaran berkualitas dan berkesinambungan lantaran mendapatkan dukungan dari para pengiklan lewat data kepemirsaan yang terpercaya,” pungkasnya. 

Medan - Kick Off Konferensi Penyiaran 2023 diselenggarakan di kota Medan, dengan menghadirkan Anggota KPI Pusat Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2), Mohammad Reza, (10/2). Dalam official launch  Konferensi Penyiaran itu, Mohammad Reza hadir sebagai pembicara talkshow dengan tema “Tantangan Pasca Digitalisasi Penyiaran di Indonesia”. Pembicara lain yang turut hadir dalam kegiatan yang dilaksanakan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara adalah Khariah Lubis (Daai TV), dan para akademisi Bono Setyo (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta) dan Yovita Sitepu (Universitas Sumatera Utara). 

Dalam penyiaran digital, saluran televisi akan hadir dengan jumlah yang lebih banyak, sebagai konsekuensi pemampatan frekuensi sehinggga dalam satu frekuensi yang digunakan untuk siaran analog, dapat digunakan hingga dua belas saluran dalam siaran digital. Menurut Reza, peran KPI dalam penyiaran digital sudah jelas.  Yakni koordinasi dan sosialisasi, mengawasi konten siaran digital, dan meneruskan pengaduan masyarakat. Selain itu, masih belum menjadi urusan KPI, termasuk pembagian set top box yang merupakan urusan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan lembaga penyiaran yang menjadi penyelenggara multiplekser. 

Pada perbincangan yang juga dihadiri Dekan FISIP USU Hatta Ridho dan Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Mazdalifah, Reza menyoroti setidaknya dua hal tentang tantangan penyiaran digital pasca analog switch off.  “Konten siaran dalam penyiaran digital tentu harus lebih berkualitas,” ujarnya. Dengan melimpahnya saluran televisi, tentunya tuntutan kehadiran konten-konten siaran menjadi lebih besar. Hal ini memberi peluang bagi para pembuat konten, content creator, untuk lebih banyak memproduksi karya-karyanya dalam rangka mengisi saluran televisi digital. Tentu saja ini menjadi peluang bagi konten lokal untuk hadir di tengah masyarakat lewat televisi. “Saya juga mengharapkan, kualitas konten-konten lokal menjadi lebih naik, memberi kesempatan peluang kerja yang pada akhirnya meningkatkan perekonomian daerah,” ujarnya. 

Kota Medan sendiri, ujar Reza, belum sepenuhnya melakukan migrasi penyiaran digital. “Prinsip saya, selama belum dilakukan ASO secara menyeluruh, jangan dulu dibuka peluang usaha,” tegas Reza. Menurutnya, untuk membuka peluang usaha, harus ada riset terlebih dahulu tentang kebutuhan masyarakat terhadap lembaga penyiaran. Hal ini juga mengantisipasi lonjakan pemain dalam industri penyiaran pada pembagian kue iklan yang justru tidak bertambah. “KPI juga harus memikirkan keberlangsungan dunia usaha dan sehatnya persaingan bisnis ini, sesuai ayat 3 Pasal 8 dalam Undang-Undang Penyiaran.” ujarnya. 

Reza berharap, KPI Daerah Sumatera Utara dapat melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi dalam melakukan riset kebutuhkan publik terhadap lembaga penyiaran. “Jika kondisinya memang sudah tidak sehat, kita dapat sampaikan kepada pemerintah untuk tidak membuka peluang usaha baru,” terangnya.

Konferensi Penyiaran 2023 akan dilaksanakan pada pertengahan tahun dengan beragam agenda termasuk “Call for Papper”. Reza berharap, konferensi dapat mengikutsertakan anggota Komisi I DPR RI yang tengah merumuskan revisi undang-undang penyiaran. “Saya berharap, para akademisi ini ikut memberikan sumbangsih pemikiran tentang definisi penyiaran. Apakah perlu diperluas sehingga penyiaran juga melingkupi media digital, atau cukup penyiaran seperti sekarang,” ujarnya. Harapannya, Universitas Sumatera Utara dapat menjadi pelopor bersama 11 perguruan tinggi lain yang bekerja sama dengan KPI dalam penyusunan Indeks Kualitas Program Siaran Televisi, untuk bersama-sama menyampaikan aspirasi dalam Undang-Undang Penyiaran. “Saat ini pengaturan internet ada dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), tapi aturan tentang penyiaran di internet, belum ada,” pungkas Reza.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.