Jakarta -- Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, mengingatkan seluruh lembaga penyiaran untuk tidak menayangkan atau menampilkan konten-konten berbau radikalisme, terorisme serta kata-kata kasar dalam siaran. Ini untuk meminimalisir terjadinya efek negatif di masyarakat yang dikhawatirkan mengganggu kenyamanan publik.

Hal itu disampaikannya ketika menjadi salah satu narasumber acara yang diselenggarakan Humas Polisi Republik Indonesia (Polri) dengan tema “Peran Humas Polri dalam Manajemen Media Guna Menciptakan Pilkada 2020 yang Kondusif” di Bidakara, Jakarta, Senin (23/11/2020).

Saat ini, lanjut Agung, hampir di sejumlah daerah di tanah air sedang berlangsung kegiatan kampanye untuk Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) pada 9 Desember 2020. Kondisi ini membutuhkan persiapan dan antisipasi yang maksimal agar tidak terjadi hal buruk yang tidak diinginkan.

“Rasa aman dan damai harus dijaga agar proses Pilkada dapat berjalan dengan aman dan lancar. Hal ini tentunya membutuhkan dukungan dan bantuan semua pihak termasuk media penyiaran lewat penyiaran yang menyejukan sekaligus berimbang dan adil bagi semua calon,” kata Agung. 

Terkait Pilkada ini, Agung juga menyampaikan upaya lembaganya dalam mengawasi isi siaran kampanye di lembaga penyiaran. Pengawasan ini untuk memastikan tidak adanya pelanggaran oleh lembaga penyiaran sehingga isi siarannya dapat adil, berimbang dan proporsional.

“Bedanya dengan bawaslu itu bila ada pelanggaran dalam kampanye langsung ke kontestan (calonnya) tetapi kalau KPI yang ditegur itu lembaga penyiarannya. Kami sudah mengadakan MOU dan membentuk gugus tugas antara KPI, Bawaslu, KPU dan Dewan Pers,” ujarnya di depan peserta acara tersebut.

Dalam kesempatan itu, Agung menyampaikan, permasalahan belum adanya pengawasan di media baru. Menurutnya, KPI belum ada kewenangan untuk mengatur media seperti youtube, netflix dan media sosial lainnya. “Undang-undang No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran hanya mengatur lembaga penyiaran. KPI itu belum mempunyai mandat untuk mengatur media baru tersebut,” katanya.

Menurut Agung, saat ini siaran TV relatif lebih bersih dibandingkan dengan media baru. Selain itu, lembaga penyiaran seperti TV dan radio ini masih menjadi referensi utama masyarakat mengkonfirmasi berita. “Konsumsi media baru terus meningkat tapi masyarakat masih mempercayai dan mengkonfirmasi ke TV. Jadi kesimpulannya masyarakat masih mempercayai TV,” tutupnya.  

Dalam acara itu, turut hadir narasumber antara lain Staf Ahli Menteri Kominfo, Henry Subiakto, Anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa, dan Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar. ***

 

 

Jakarta –- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI), Lestari Moerdijat menilai, sistem siaran digital dapat memberikan banyak manfaat dan keuntungan khususnya dalam hidup berbangsa dan bernegara. Salah satunya adalah membentuk sistem keamanan dan pertahanan nasional di wilayah perbatasan berbasis penguatan nasionalisme melalui pemerataan informasi.

“Lewat penyiaran digital yang sampai ke perbatasan dengan kualitas yang baik dari segi konten, visual dan audio maka sama dengan menjaga NKRI dari perbatasan. Pengembangan kawasan perbatasan ini sangat penting sebagai upaya untuk mewujudkan hak kedaulatan NKRI sebagai sebuah negara yang merdeka,” katanya saat menjadi narasumber acara Sosialisasi dan Publikasi bertema “Menjaga Indonesia dan Perbatasan Melalui Penyiaran Televisi Digital” yang diselenggarakan secara daring dari Bekasi, Jawa Barat, Senin (23/11/2020). 

Menurut Lestari, kondisi geografis Indonesia sangat luas dan banyak berbatasan langsung dengan sejumlah negara tetangga. Hal ini menyebabkan tantangan terutama dalam kaitan menyelenggarakan siaran di wilayah perbatasan.Tantangan itu, lanjut dia, salah satunya berupa luberan atau spill over siaran asing di wilayah tersebut. Ditambah lagi persoalan ekonomi dan kurangnya infrastruktur.

Dia mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia di perbatasan sering menggunakan siaran negara tetangga sehingga akibatnya mereka tidak tahu lagu kebangsaan Indonesia Raya. Hal itu dapat mengancam pertahanan dan ketahanan sekaligus rasa nasionalisme.

“Segala tantangan besar tersebut, perlu komitmen kuat untuk menyelenggarakan penyiaran di perbatasan sebagai wujud peran serta mendukung pemerintah dalam pemerataan informasi. Bentuk-bentuk propaganda diera modern seperti saat ini tidak lagi menggunakan kekuatan fisik, tetapi menggunakan berbagai strategi yang mengandalkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dan komunikasi. Untuk itu, peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal ini sangat penting ditinjau dari aspek tekonologi informasi dan komunikasi (TIK) termasuk digitalisasi penyiaran,” kata Lestari.

Dia menambahkan, daerah perbatasan merupakan beranda atau teras NKRI, di mana daerah perbatasan memiliki peran dan fungsi yang sangat vital untuk menjaga NKRI dari propaganda negara tetangga. Dan, penyiaran digital yang akan mulai pada 2022 nanti tentunya punya manfaat besar khususnya bagi masyarakat di daerah perbatasan.

“Berlakunya sistem siaran digital akan menutup ruang kosong atau blank spot siaran di tanah air, termasuk di wilayah perbatasan. Masyarakat yang tinggal di daerah 3T pun (tertinggal, terdepan, terluar) akan mudah mengakses siaran domestik sehingga ketahanan nasional di wilayah tersebut tetap terjaga,” katanya.

Selain itu, penyiaran digital bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kemanusiaan seperti bencana alam, mencerdaskan dan meningkatkan nasionalisme serta dapat menjaga tatanan ekonomi dan tataran budaya. Masyarakat akan meniktmati kualitas layanan siaran yang baik dan lebih bagus serta pilihan program beragam.

“Jadi tidak ada lagi putar-putar antena dan parabola. Masyarakat juga jadi punya banyak pilihan konten,” ucap Lestari seraya meminta KPI untuk memperkuat semangat kebangsaan melalui penyiaran digital ini. ***

Jakarta - Proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak telah memasuki tahapan kampanye di media elektronik, sejak 22 November hingga 5 Desember2020. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengingatkan lembaga penyiaran agar tetap menjaga prinsip keberimbangan dan netralitas dalam menghadirkan siaran Pilkada. Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran, Mimah Susanti menyampaikan, KPI sudah mengeluarkan surat edaran tentang pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye pemilihan umum kepala daerah serentak tahun 2020 di lembaga penyiaran. Dalam surat edaran tersebut, ujar Santi, mengatur secara rinci tentang materi kampanye, durasi dan spot iklan kampanye serta iklan layanan masyarakat Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak Tahun 2020.

Dalam melakukan pengawasan penyiaran Pilkada Serentak di tahun 2020, KPI senantiasa bersikap pro aktif atas setiap temuan konten siaran yang berpotensi melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Santi mengungkap, hari ini (23/11) KPI telah memanggil tiga lembaga penyiaran dalam rangka meminta keterangan atas konten siaran yang menghadirkan calon kepala daerah yang sedang berkompetisi. Hal ini merupakan upaya KPI untuk memberikan evaluasi kepada lembaga penyiaran atas penyiaran pilkada yang sedang dilakukan. 

Pada prinsipnya, keterlibatan lembaga penyiaran di masa kampanye ini untuk memberikan kesempatan pada publik mengenal lebih jauh tentang kandidat kepala daerah yang akan dipilih. “Tentunya ini merupakan kontribusi dunia penyiaran atas hadirnya demokratisasi di Indonesia,” tutur Santi. Namun demikian, KPI merasa perlu terus mengingatkan agar konten siaran Pilkada baik berupa kampanye ataupun siaran jurnalistik,  tetap mengutamakan keberimbangan dan proporsionalitas. 

Selama Pilkada serentak ini, upaya peningkatan kualitas pengawasan terus dilakukan oleh KPI. Termasuk dengan melakukan bimbingan teknis terhadap analis pemantauan siaran langsung.  Selain itu, koordinasi intensif antara KPI dan KPI Daerah juga senantiasa dilakukan untuk memaksimalkan pengawasan. “Peran KPID ini sangat besar, karena pelaksanaan Pilkada serentak pada 270 daerah dari berbagai provinsi, dan kabupaten/ kota, tentunya teman-teman KPID yang lebih paham situasi di lapangan” tuturnya. KPI juga berkoordinasi dengan lembaga penyelenggara pemilu, seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU). “Koordinasi antar lembaga ini terjalin dengan baik, termasuk ketika ada potensi pelanggaran dari beberapa stasiun televisi,” ujar Santi. Selain itu, KPI juga siap memberikan keterangan yang dibutuhkan sebagai dukungan pada penyelenggara Pilkada agar pesta demokrasi ini dapat berjalan secara adil, pungkas Santi.  

 

 

Bekasi - Penyiaran digital seharusnya bukan sekedar alih teknologi yang membuka lebih banyak peluang bisnis. Tetapi penyiaran digital harus memungkinkan masyarakat mendapat informasi yang berkualitas dan hiburan yang sehat. Selain itu, siaran digital yang mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia, dapat menjadi instrumen merawat nasionalisme di era digital. Hal tersebut dikatakan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Bidang Kelembagaan, Hardly Stefano Pariela, dalam acara “Sosialisasi dan Publikasi Menjaga Indonesia dan Perbatasan Melalui Penyiaran Digital” yang digelar secara virtual untuk masyarakat Sulawesi Utara, (23/11). 

Dalam pemaparannya, Hardly mengatakan, melalui penyiaran digital ini paling tidak dapat diwujudkan tiga ketahanan. Yaitu ketahanan informasi yang didapat dari hadirnya lembaga-lembaga penyiaran sebagai tempat masyarakat melakukan verifikasi informasi yang didapat dari berbagai platform media. “Pada era disrupsi ini ada banyak informasi yang diperoleh masyarakat, siaran televisi menjadi sarana bagi masyarakat untuk melakukan verifikasi,” paparnya. Selanjutnya adalah ketahanan budaya, terang Hardly. Berbagai penetrasi budaya asing yang masuk melalui berbagai saluran media khususnya internet akan memiliki daya tangkal. Yakni lewat siaran digital yang mencapai seluruh wilayah Indonesia, dan memberi ruang lebih besar untuk menyiarkan budaya yang berakar pada masyarakat Indonesia, ujarnya.  Dengan adanya ketahanan informasi dan ketahanan wilayah ini, penyiaran digital juga memberi kontribusi untuk mewujudkan keutuhan wilayah. Hal ini dikarenakan, tidak ada lagi masyarakat di wilayah tertentu yang merasa bukan bagian dari Indonesia. 

Selain memaparkan hal tersebut, Hardly juga menyampaikan tentang tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital. Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengamanatkan analog switch off (ASO) maksimal pada dua tahun ke depan. Untuk itu dibutuhkan roadmap atau peta jalan dari setiap tahapan menuju ASO tersebut. Saat ini terdapat 34 provinsi yang dapat mengakses siaran digital lewat multiplekser TVRI. Namun hanya 12 provinsi saja yang sudah ada siaran digital dengan konten dari televisi swasta. Hardly melihat pemerintah harus didorong agar di semua wilayah ini dapat mengakses siaran digital dari seluruh televisi swasta. 

Hardly juga menyinggung tentang partisipasi masyarakat dalam realisasi penyiaran digital. Partisipasi itu dapat dilakukan mulai dari keterlibatan pada proses perumusan kebijakan, ikut mensosialisasikan, mengawasi implementasi, dan memberikan masukan sebagai umpan balik kepada pemerintah. Saat ini sudah ada peraturan menteri komunikasi dan informatika tentang rencana induk frekuensi radio untuk siaran televisi digital pada frekuensi UHF. Masyarakat dapat berpartisipasi dengan ikut memastikan daerahnya sudah mendapat layanan digital sebagaimana yang ditetapkan dalam rencana induk. 

KPI sendiri, ujar Hardly, telah menyiapkan strategi menyongsong penyiaran digital. Yakni konsolidasi dan penataan kelembagaan, pengembangan infrastruktur pengawasan, pembaharuan regulasi penyiaran, peningkatan kapasitas SDM penyiaran, serta penguatan peran serta masyarakat melalui gerakan literasi sejuta pemirsa. Gerakan ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki kapasitas literasi yang baik dan semakin kritis dalam memilih serta memilah tontonan. Dengan begitu, akan menjadi sebuah ekosistem untuk tumbuh dan berkembangnya konten siaran yang baik pula. 

Sosialisasi ini juga dihadiri oleh Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat, Ketua Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia Eris Munandar, Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran Mohamad Reza, serta Ketua KPID Sulawesi Utara Olga Pelleng yang menjadi moderator.  Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama KPI dengan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kemenkominfo. 

 

 

Bandung – Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari, mengatakan pemanfaatan teknologi informasi melalui media sosial membuka peluang bagi seniman dan pekerja kreatif untuk berproses dan berkarya dalam era digital. Di masa pandemi ini, pekerja seni dan kreatif turut ditantang untuk bisa menghadirkan konten yang lebih kreatif yang tidak mengurangi substansi seninya.

"Sekarang media digital untuk keperluan eksistensi para pekerja seni, kultural, harus mendapatkan porsi yang lebih,” kata Abdul Kharis saat menjadi pemateri dalam diskusi berbasis daring yang di selenggarakan oleh “Badan Aksesbilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) dengan tema “Eksistentsi Dunia Seni Di Masa Pandemi Dan Revolusi Industri 4.0” di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (21/11/2020).

Menurut Kharis, hal positif dari perkembangan teknologi bagi para seniman adalah dapat dengan mudah menyebarluaskan karyanya ke seluruh dunia melalui Internet. Seniman tidak perlu bernaung di bawah perusahaan pendistribusi karya agar karya mereka dapat diterima khalayak luas.

“Dengan berkembangnya teknologi informasi, seniman juga lebih mudah dalam proses berkarya. Tentu saja di balik hal positif tersebut ada dampak yang kurang menyenangkan bagi masyarakat atau seniman,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis, mengatakan tahun ini menjadi tahun yang penuh dengan ujian bagi kesabaran. Menurutnya, ruang yang tercipta karena pandemi Covid-19 menuntut setiap elemen masyarakat lebih mendalami pengetahuan tentang penggunaan teknologi informasi yang tepat guna. 

“Masa covid-19 ini bukan berarti kita harus berpasrah diri, tetapi, kita harus lebih bijak dalam memanfaatkan peluang yang ada. Keterbatasan yang terjadi harus dimaksimalkan,” kata Yuliandre Darwis.

Menurut Yuliandre, salah satu subsektor kreatif yang terdampak oleh covid-19 adalah para pekerja seni yang kehilangan pekerjaan, khususnya pekerja seni pertunjukan. Musikus, pekerja film, seniman teater, dan seniman tari merupakan kalangan yang sempat berhenti melakoni profesi mereka karena pandemi. 

Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI ada 37.000 seniman dan pekerja seni kehilangan sumber pendapatan selama pandemi covid-19. “Hal itu membuat seniman dan musikus berupaya agar terus berkarya meski harus lewat ranah virtual ataupun tampil di panggung dengan keharusan protokol kesehatan yang telah ditentukan,” tuturnya. Man/*

 

 

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.