- Detail
- Dilihat: 4831
Jakarta - Terkait dengan rencana revisi UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) berdasarkan evaluasi penyelengaraan Pilkada serentak 9 Desember lalu yang dianggap kurang semarak, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengusulkan agar pasangan calon diberikan juga hak untuk beriklan asalkan dalam batasan serta koridor yang jelas dan tegas.
“Itu hasil kajian kami setelah berdiskusi dengan sejumlah KPI Daerah. Banyak pertimbangan yang melatarinya, termasuk parisipasi pemilih yang agak menurun. Kalau dibandingkan dari sisi media, memang lebih semarak pileg dan pilpres, namun lebih tertib di pilkada. Bagaimana kita bisa menggabungkan pilkada yang semarak di media namun juga tertib,” kata Idy Muzayyad, Wakil Ketua KPI Pusat.
Menurut KPI, pembatasan iklan kampanye oleh KPU atas pembiayaan dari APBD ternyata sangat memberatkan. Keterbatasan anggaran seringkali menjadikan jangkauan sosialisasi melalui iklan tidak maksimal. “APBD yang terbatas berakibat kepada terbatasnya kemampuan KPU untuk mengiklankan pasangan calon dengan jangkauan media yang lebih banyak dan coverage yang lebih luas. Ini bukan salah KPU, tapi memang anggarannya terbatas,” kata Idy.
Bahkan Idy juga menemukan terjadi perbedaan yang signifikan antara satu daerah dengan daerah yang lain dalam hal penganggaran APBD untuk keperluan iklan pasangan calon. Di sejumlah daerah, TV dan radio juga mengeluhkan minimnya kesempatan mereka mendapatkan kue iklan pilkada.
Secara kongkrit, Idy mengusulkan agar pemasangan iklan pasangan calon tidak hanya bisa dilakukan KPU tetapi juga pasangan calon dengan batasan waktu, frekuensi dan durasi yang tegas. Aturan sekarang menyebutkan pemasangan iklan hanya oleh KPU dalam masa 14 hari sebelum masuk masa tenang dengan frekuensi 10 spot kali 30 detik (TV) dan 60 detik (radio) per hari.
“Kalau ke depan bisa juga pasangan calon diberikan kesempatan beriklan dengan batasan waktu yang jelas, misalnya dalam 14 hari sebelum masa 14 hari KPU memasang iklan pasangan calon. Jadi iklan bisa satu bulan, setengah bulan oleh KPU setengah bulannya oleh paslon misalnya,” ungkap Idy. Kekhawatiran bahwa kalau pasangan calon diberikan kesempatan beriklan akan terjadi ketidakpastian, itu tidak akan terjadi dengan batasan pengertian kampanye dan waktu pemasangan iklan yang tegas. “Kalau dulu (masa pilpres dan pileg) memang pengertian kampanye kurang tegas, sehingga banyak iklan yang sebenarnya iklan kampanye namun tidak dapat ditindak karena ternyata secara normatif tidak masuk kategori kampanye” tuturnya.
Dijelaskan idy, pengertian kampanye yang sekarang lebih jelas dan luas, karena mengandung unsur mengenalkan dan informasi lain apapun menyangkut pasangan calon sudah termasuk kamapnye. “Asal ada pasangan calon muncul di iklan media itu sudah dapat dikategorikan kampanye yang hanya boleh pada masa yang ditentukan. Ditambah dengan sanksi diskualifikasi yang membuat paslon tidak akan lagi main-main melanggar batasan waktu kampanye,” papar Idy.
Dari sisi keadilan kesempatan mengakses media terutama beriklan, bagi yang tidak berkemampuan lebih sudah difasilitasi oleh KPU. Namun kalau ada yang lebih mampu maka bisa beriklan sendiri sesuai dengan ketentuan. Lebih dari itu, iklan kampanye yang lebih luas itu sebenarnya juga menjadi wahana pendidikan politik bagi publik serta pemenuhan hak informasi pilkada masyarakat.(*)