- Detail
- Dilihat: 9309
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat kembali mendiskusikan batasan dan larangan peliputan investigasi langkah-langkah kejahatan secara detail dan interogasi terhadap pelaku kejahatan bersama tim redaksi semua stasiun televisi yang berjaringan secara nasional pada Selasa, 7 Juni 2016 di kantor KPI Pusat. Upaya ini diharapkan dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran dan dampak yang ditimbulkan baik terhadap korban dan keluarganya serta masyarakat yang menonton tayangan tersebut.
Diskusi ini juga melibatkan narasumber terkait bidang jurnalistik yakni Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dan Ketua Umum IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) Yadi Hendriyana.
Angggota KPI Pusat Sujarwanto Rahmat Arifin di awal diskusi mengatakan, pembahasan jurnalistik paling berkaitan dengan liputan investigasi yang ada dilapangan. Menurutnya, apa yang dilakukan beberapa tim investigasi media di stasiun televisi dengan membuat tayangannya terlalu detail menyebabkan hal-hal yang tidak pantas jadi turut masuk. “Batasan kedetailan itu sampai mana dan ini harus jelas,” katanya di depan puluhan peserta FGD yang hadir.
Hal lain menurut Rahmat yang juga penting dibahas yakni mengenai kekerasan seksual terhadap anak dan remaja. KPI mendapati banyak liputan soal ini mengemuka di tayangan berita. Rahmat menegaskan perlindungan terhadap korban (anak dan remaja) menjadi prioritas pihaknya. Karenanya, informasi terkait identitas korban misalnya harus benar-benar dijaga kerahasiaannya. “Di dalam P3SPS memang baru bicara identitas, bicara soal batasan identitasnya memang belum ada. Kita harus memikirkan bagaimana konsep detail dalam program jurnalistik.”
Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran sekaligus Komisioner bidang Isi Siaran KPI Pusat Agatha Lily mengatakan, lembaga penyiaran harus menyadari bahwa peliputan investigasi kejahatan yang dimaksudkan untuk memberikan informasi dan meningkatkan kehati-hatian jangan malah menjadi inspirasi buat orang yang menonton untuk meniru tindak kejahatan tersebut. "Kalau ini yang terjadi, maka fungsi dan peran TV menjadi keliru karena detail informasi langkah kejahatan justru menginspirasi penonton untuk meniru" katanya.
Kemudian mengenai liputan media mengenai interogasi, sesungguhnya Polisi telah berkoordinasi dengan KPI pada April lalu dan Kepolisian telah menyampaikan adanya telegram internal kepolisian bahwa media tidak boleh ada di ruang interogasi, yang berhak memberikan keterangan adalah Kabid Humas Polisi dan tersangka tidak boleh diwawancara mengenai detail kejatahatan yang dilakukan. Tapi sayangnya hingga hari ini, pelanggaran semacam ini masih ditemukan di televisi.
Mengenai ini, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengemukakan bahwa modus operandi suatu kejahatan itu tidak boleh diungkapkan atau ditayangkan di televisi. Stanley, panggilan akrab Yosep, mengungkapkan butir–butir penting yang perlu diperhatian kalangan media antara lain soal kehati-hatian dengan pemberitaan yang membuka identitas korban. Kemudian, jangan melakukan ekspose yang berlebihan dan detail karena ditakutkan memunculkan inspirasi dan peniruan. Selain itu, dalam melakukan wawancara jurnalistik jangan berlebihan.
Bahkan, Ketua Umum IJTI Yadi menyesalkan masih adanya tayangnya berita mengerikan yang lolos dari news room media penyiaran. Padahal, hal ini tidak boleh terjadi karena dampak yang ditimbulkan akibat tayangannya tersebut terhadap diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.
Namun, Yadi tidak menerima jika yang terjadi saat ini semata-mata hanya kesalahan pers. Dia berharap khususnya pada polisi untuk tidak memberi peluang pada jurnalis di ruang interogasi. “Itu kesalahan bukan pada jurnalis tapi juga ruang yang diberikan oleh polisi. Kesadaran internal news room kita sekarang makin baik sebetulnya,” katanya.
Beberapa hal yang menurut Yadi untuk diperhatikan media yakni soal larangan menayangkan rekonstruki karena akan menginspirasi. Lalu, menghindari wawancara langsung dengan korban. Hindari kekerasan verbal. Berhati-hati dengan tayangan langsung atau live dan gambar CCTV jangan detail ditayangkan.
Mengenai posisi polisi, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Agus Riyanto yang hadir dalam diskusi mengatakan, pihaknya terbuka untuk dikoreksi. Menurutnya, ini bukan hanya salah wartawan tapi juga polisi. “Telegram sudah kita sampaikan dan kita tampilkan. Karena itu saya mohon bantuannya. Kami tidak menutup atas koreksi. Apabila ada teman-teman saya yang salah jangan diikuti. Karena saya tidak bisa menjangkau yang lebih jauh,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad menyatakan pertemuan ini sangat penting untuk KPI sebagai bahan penegasan dan penekanan. Idy pun menekankan solusi kedepannya dengan kolaborasi. “Kita harus bangun kembali konsensus semua pihak mengenai hal ini,” papar Idy. ***