Bogor - Animo pemerintah daerah dalam mendirikan Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) kini terus meningkat. Bahkan ada satu kabupaten yang mengusulkan membuat dua Perda untuk pendirian dua LPPL. Semangat ini perlu direspon sebagai bagian dari perhatian daerah terhadap arti penting penyiaran sebagai entitas yang strategis di daerah. 

Hal ini terungkap pada pelaksanaan Forum Rapat Bersama (FRB) antara KPI dengan Kemenkominfo RI di Hotel Salak, Bogor. (17/7). Pada kesempatan itu komisioner KPI Pusat Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran, Amirudin mengatakan, "maraknya kehadiran media penyiaran komersial saat ini di daerah perlu diimbangi dengan kehadiran LPPL sebagai penyeimbang yang berfungsi sebagai perekat yang menghubungkan kepentingan publik dan pemerintah. Di dalam Peraturan Penyiaran, LPPL diarahkan sebagai media yang memiliki fungsi informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta pelestari budaya bangsa dengan senantiasa berorientasi kepada kepentingan seluruh lapisan masyarakat," ujar Amirudin.

Amir menambahkan, "masalahnya adalah, semangat ini tidak diimbangi dengan distribusi pembagian kanal frekuensi atas alokasi dari angka 20 persen di setiap wilayah layanan yang sebelumnya diperuntukan untuk LPP (RRI dan LPPL). Kebanyakan dari alokasi kanal itu sudah diplot LPP-RRI untuk pengembangan stasiun relai. Padahal untuk kepentingan pengembangan sistem dan fungsi penyiaran di era desentralisasi, LPP-RRI sebagai bagian dari LPP sebenarnya bisa memanfaatkan LPPL untuk bekerjasama program siaran maupun relai siaran. Oleh sebab itu, perlu segera dilakukan koordinasi terkait pemanfaatan alokasi frekuensi itu sebelum FRB berikutnya yang didalamnya membahas permohonan izin LPPL dilaksanakan, yakni koordinasi antara Direktorat Telekomunikasi Khusus (Telsus) Ditjen PPI, Ditjen SDPPI, KPI, dan RRI, ” tambahnya.   

Menurut Amirudin, pihaknya juga merasa perlu untuk segera mendapatkan gambaran dari LPP-RRI tentang rencana induk pengembangan stasiun relai yang selama ini telah disusun dan menjadi dasar rencana kerja mereka sehingga dapat menjadi pijakan bagaimana sebaiknya mengembangkan kemungkinan pola hubungan dan kerjasama siaran dengan LPPL di suatu daerah Kabupaten/Kota. 

FRB antara KPI dan Kemenkominfo RI diikuti oleh KPID provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah ini berlangsung lancar. (Int)

 

Jakarta - Dalam dialog Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dengan Lembaga Penyiaran Publik – Radio Republik Indonesia (LPP – RRI) Direktur Utama Lembaga RRI Rosarita Niken Widiastuti mengatakan hasil quick count lembaganya sebatas potret kondisi lapangan. Menurut Niken, hasil perhitungan bisa akurat dan tidak.

“Namanya saja potret lapangan, hasilnya bisa akurat dan tidak. Hasil resmi tetap menunggu pengumuman dari KPU,” kata Niken dalam dialog di Ruang Rapat KPI, Senin, 14 Juli 2014. Meski begitu, menurut Niken, data hasil quick count Pilpres 2014 yang dilakukan RRI banyak digunakan oleh berbagai kalangan yang seolah-olah untuk mendukung salah satu pasangan calon.

“Kami menyayangkan data hasil quick count RRI dimanfaatkan sebagai legitimasi politik oleh pihak-pihak tertentu,” ujar Niken. Lebih lanjut Niken menjelaskan, adanya pemanfaatan data hasil quick count itu membuat lembaganya menyurati pihak-pihak terkait pada 10 Juli agar tidak menggunakan datanya “Bahkan ada beberapa pihak yang saya telpon berulang kali, agar tidak menggunakan bahan RRI sebagai bahan legitimasi.”

Menurut Niken, penggunaan data RRI oleh pihak-pihak tertentu seperti ingin membawa RRI ke pusaran politik. Padahal menurutnya, RRI adalah lembaga penyiaran publik yang harus netral. Tidak hanya sebatas saat melakukan quick count, juga dalam siarannya untuk menjaga netralitas dan independensi.

Dalam salah satu pemberitaan capres, menurut Niken, harus seimbang, baik dari segi waktu, durasi hingga konten. Dia mencontohkan, jika ada pemberitaan Capres Nomor 1 akan sebuah isu, berarti dalam masa tayang yang sama juga harus menyertakan berita tentang pasangan Nomor 2. Hal ini juga berlaku sama dengan pemasangan iklan kampanye Capres.

“Saya pernah menegur Kepala program, karena berita analisa tentang Capres nomor urut 1 menggunakan pengamat tingkat nasional. Sedangkan Capres nomor urut 2 pengamat di daerah. Itu tidak imbang, kalau mau imbang pengamatnya harus selevel,” kata Niken. 

Mendengar semua penjelasan dari RRI, Komisioner KPI Pusat Bidang Isi Siaran Sujarwanto Rahmat Arifin mengatakan, mengapreasi seluruh penjelasan RRI tentang quick count dan informasi di balik redaksi serta upaya netralitas yang telah dilakukan. Menurut Rahmat RRI sebagai lembaga penyiaran publik sudah seharusnya netral dan tidak memihak kepada pihak tertentu.

“Prinsip lembaga penyiaran publik adalah menjadi lembaga penyiaran untuk semua warga negara, harus merefleksikan keberagaman, menegakkan independensi dan netralitas, menjadi flag carriet dari bangsa Indonesia, mencerminkan identitas bangsa, perekat dan pemersatu bangsa,” ujar Rahmat.

Adanya perang opini di lembaga penyiaran, membuat KPI menghimbau seluruh lembaga penyiaran agar menghentikan penyiaran tentang quick count, ucapan selamat, dan klaim kemenangan. Menurut Rahmat, hal ini dilakukan akibat pemberitaan hasil quick count dari masing-masing pendukung calon bisa membuat kondisi di masyarakat menjadi terbelah dan mengancam integritas bangsa.

Sambil menunggu pengumuman hasil perhitungan resmi dari KPU, 22 Juli nanti, Rahmat meminta kepada RRI membuat dan menyiarkan iklan layanan masyarakat berisi himbauan agar masyarakat sabar menunggu rekapitulasi resmi dari KPU. “Sambil menunggu KPU, RRI bisa membuat iklan layanan masyarakat untuk menenangkan kondisi sebelumnya, agar masyarakat tetap menjaga kedamaian dan kerukunan setelah pelaksanaan Pilpres,” papar Rahmat.

Pekanbaru - Komisi Penyiaran Indonesia kembali melaksanakan kegiatan Evaluasi Uji Coba Siaran (EUCS) terhadap 19 lembaga penyiaran radio dan televisi. Kegiatan berlangsung  di Hotel Grand Zuri, Pekanbaru, Riau, 10-12 Juli 2014. EUCS ini merupakan tahapan terakhir bagi lembaga penyiaran sebelum memperoleh Izin Penyelenggaraan Penyiaran Tetap (IPP Tetap).
Pelaksanan EUCS kali ini didominasi dari peserta lembaga penyiaran berlangganan bila dibandingkan dari jenis lembaga penyiaran lainnya, yakni 10 lembaga penyiaran TV Kabel, sisanya, 6 Lembaga Penyiaran Swasta Radio, 1 Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) TV dan 2 Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) Radio.    

Banyaknya LPB yang menjadi peserta ini sempat mendapat perhatian Agatha Lily, yang juga komisioner Bidang Isi Siaran dan pimpinan tim EUCS. Lily mempertanyakan bagaimana upaya LPB dalam mengatasi persaingan ke depannya, terutama komitmen menjaga isi siarannya tetap berada pada koridor peraturan penyiaran. “Meskipun LPB bekerjasama dengan lembaga penyiaran lain atau penyedia konten, apapun yang disiarkan akan tetap menjadi tanggung jawab masing-masing LPB yang bersangkutan,” kata Lily. Ia pun mengingatkan agar lembaga penyiaran mematuhi UU Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Selain itu, menurut Lily, LPB harus melakukan sensor internal terhadap semua isi siaran yang akan disiarkan atau disalurkan.

Hal senada juga dikemukakan Komisioner Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran Amirudin mengatakan, bahwa ada perbedaan secara filosofi antara TV Kabel dengan TV Free to Air. TV Kabel itu bebannya terletak pada penontonnya, sementara kalau Free to Air, bebannya pada TV itu sendiri melalui iklan. “Tetapi bukan berarti kalau penonton yang membayar lantas TV bisa sewenang-wenang memberikan hiburan lewat kanal-kanalnya secara bebas. Tetap ada suatu kewajiban untuk melindungi khalayak. Sensor internal menjadi wajib keberadaannya bagi LPB,” ujar Amir.

Sedangkan Ketua KPID Riau Zainul Ikhwan mengatakan, agar lebih menekankan pentingnya panduan yang dikeluarkan masing-masing LPB untuk pelanggan. Menurutnya, panduan ini strategis sebagai acuan pelanggan untuk mengetahui beberapa hal, seperti: profil, nomor kontak, nomor rekening pembayaran, nomor pengaduan, alamat, jadwal dan daftar program acara, parental lock, dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya pembinaan dan penanggulangan preventif bagi penonton LPB.

Kewajiban lembaga penyiaran untuk tunduk terhadap UU Penyiaran dan P3SPS juga berlaku bagi semua peserta EUCS sebagai syarat utama untuk mendapatkan IPP Tetap. Dengan demikian KPID Riau pun siap melakukan pembinaan dalam bentuk inhouse training P3SPS bagi seluruh lembaga penyiaran yang ada di Provinsi Riau. (Int)

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melakukan dialog dengan Radio Republik Indonesia (RRI). Bahasan dialog terkait quick count yang diselenggarakan RRI pada pelaksanaan pemilihan presiden 9 Juli lalu. Dalam pertemuan itu, rombongan RRI diterima oleh Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyat dan komisioner lainnya, yakni Fajar Arifianto Isnugroho, Rakhmat Arifin, dan Agatha Lily.

Saat membuka dialog, Idy mengatakan, pertemuan itu bukan pemanggilan RRI atau mempertanyakan hasil surveinya. Menurut Idy, ini tidak lain, karena simpang siur hasil perhitungan cepat RRI sudah bias dalam pemberitaan dari berbagai media. “Dengan pertemuan ini, kita ingin tahu seperti apa yang sebenarnya, bukan melalui pihak lain. Ini demi RRI selaku lembaga penyiaran publik, agar kami tahu duduk perkaranya,” kata Idy membuka pertemuan di Ruang Rapat KPI, Senin, 14 Juli 2014.

Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI Rosarita Niken Widiastuti mengatakan, heran dengan pemberitaan berbagai media akan hasil surveinya yang dianggap pesanan. Dia juga mengeluhkan tudingan berbagai kalangan, kalau hasil survei RRI dibiayai pihak sponsor. “Sejak pemilu legislatif kami melakukan perhitungan cepat dan tidak ada yang mempermasalahkan. Bahkan hasil survei kami saat itu mendekati hasil yang dilansir KPU,” kata Niken yang ditemani beberapa direktur program dan bagian teknologi RRI.

Niken menuturkan, sejarah quick count di RRI dilakukan bukan hanya pada Pemilu 2014. Dari penuturannya, quick cout yang dilakukan RRI dilakukan sejak pemilu 2009 yang konsepnya laporan cepat (quick report) pelaksanaan pemilu dan perhitungan suaranya di lokasi oleh reporter lapangan dan tiap tahun terus ditingkatkan.

Pada 2009, menurut Niken, relawan Quick Report RRI sebanyak 7000 orang yang menjangkau sebagian besar TPS seluruh Indonesia. “Saat itu hasilnya tidak akurat seperti pada pelaksanaa Pemilu tahun ini, ,” kata Niken. Niken menerangkan, RRI sejak saat itu terus memperbaiki sistem dan butuh lembaga khusus penelitian untuk mendukung program riset pendukung, “Setelah pelaksanaan quick report itu didirikan Pusat Penelitian, Pengembangan dan Diklat LPP-RRI. Itu sudah sebagai kebutuhan RRI akan perkembangan zaman. Jadi kalau ada yang bilang quick count kami dadakan dan disponsori pihak luar, itu salah.”

Dalam penjelasan Niken, RRI selaku lembaga penyiaran milik publik netral, baik dalam pemberitaan hingga quick count. Dia mencontohkan tak segan menegur kepala program yang dalam satu sesi menyiarkan satu pasangan calon tanpa diikuti dengan pesaingnya. “Dalam iklan juga harus sama. Kalau hanya satu calon, mending ditunda sampai masuk materi iklan dari kedua pasangan calon. Quick count juga sesuai kaidah ilmiah. Saya jamin netralitas RRI. Kami siap dipanggil dan diaudit siapapun untuk pemberitaan dan quick count,” papar Niken.

Di akhir dialog, Wakil Ketua KPI Idy Muzayyad mengapreasiasi upaya netralitas yang dilakukan RRI selama pelaksanaan pemilu 2014. “Usaha-usaha itu seharunya yang perlu diketahui publik. Dengan penjelasan seperti ini kami juga jadi tahu situasinya,” ujar Idy.

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengingatkan tentang potensi pelanggaran terhadap pasal 36 (5) huruf a Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran yang berbunyi: “Isi siaran dilarang: a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau berbohong.”dalam penyiaran quick count, real count, atau klaim kemenangan dari calon presiden dalam Pemilihan Presiden 2014. Demikian disampaikan Ketua KPI Pusat Judhariksawan, di kantor KPI Pusat, di Jakarta (11/7).


Penayangan informasi quick count terus menerus dan berlebihan telah mengakibatkan munculnya persepsi masyarakat tentang hasil pemilihan presiden yang berpotensi menimbulkan situasi yang tidak kondusif. Padahal quick count yang berasal dari lembaga-lembaga survei saat ini menghasilkan perbedaan hasil yang signifikan disebabkan oleh sejumlah hal yang perlu diuji keabsahannya. Di sisi lain, lembaga penyiaran mempunyai kewajiban untuk menyiarkan data yang akurat di tengah masyarakat, agar tidak terjadi penyesatan informasi. Sedangkan untuk real count merupakan kewenangan penuh dari penyelenggara Pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum. Lembaga Penyiaran tidak pantas menyiarkan hasil yang diperoleh selain dari KPU, karena tentu saja informasi tersebut menyesatkan masyarakat.
 
KPI juga menilai bahwa siaran klaim kemenangan sepihak dari pasangan calon presiden dan calon wakil presiden serta pemberian ucapan selamat merupakan penyesatan informasi. Masyarakat seakan dipaksa menerima seolah-oleh proses pemilihan presiden ini telah selesai dan negeri ini sudah memiliki presiden baru. Padahal, hasil dari proses demokrasi langsung ini baru diumumkan oleh KPU pada 22 Juli mendatang.
 
Oleh karena itu seluruh lembaga penyiaran harus  menghentikan siaran quick count, real count, klaim kemenangan dan ucapan selamat secara sepihak kepada pasangan calon presiden dan calon wakil presiden sampai tanggal 22 Juli 2014. Langkah ini diambil KPI dengan pertimbangan kepentingan publik yang lebih besar dan menjaga integrasi nasional. KPI juga memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya terhadap lembaga penyiaran yang berusaha netral dan tidak lagi menyiarkan hasil quick count, real count dan saling klaim kemenangan serta mengucapkan selamat kepada salah satu calon. Selain itu KPI juga meminta lembaga penyiaran turut membantu KPU agar dapat bekerja dengan tenang menyelesaikan tugasnya menyelesaikan semua proses pemilu.
 
KPI mengingatkan bahwa lembaga penyiaran menggunakan frekuensi yang merupakan sumber daya alam terbatas yang harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Sehingga lembaga penyiaran tidak boleh menyampaikan muatan siaran yang mengarah pada adu domba, merusak integritas berbangsa dan bernegara, serta  cenderung membela kepentingan golongan dan kelompok tertentu.


Ketua KPI Pusat



DR. Judhariksawan, SH., MH.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.