Jakarta - Sejumlah pihak amat berharap akan keberadaan payung hukum yang melarang iklan rokok. Harapan ini sempat membuncah tatkala muncul butir larangan iklan rokok dalam draf revisi UU Penyiaran yang tengah digodok DPR. Namun belakangan diketahui larangan tersebut urung dicantumkan.

Jika disetujui, draf ini akan menggantikan UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran karena mengikuti perkembangan hukum dan norma terbaru. Sebenarnya, pelarangan iklan rokok secara menyeluruh sudah dimuat dalam draft awal revisi UU yang disiapkan oleh Komisi I DPR.

Namun menurut Direktur Eksekutif Lentera Anak, Hery Chariansyah, ketika draft RUU ini masuk dalam pembahasan di Badan Legislatif (Baleg) DPR sekitar bulan Oktober 2012, terjadi perubahan norma. "Yang awalnya melarang (iklan rokok) menjadi pembatasan. Sehingga tidak berbeda dengan norma pada UU Penyiaran yang lama," kata Hery dalam acara Media Briefing Menyoal Isu Iklan Rokok dalam RUU Penyiaran yang diselenggarakan di Yayasan Kanker Indonesia, Jl Dr. Sam Ratulangi No.35, Jakarta Pusat, Kamis, 4 Juli 2013.

Hal tersebut disampaikan Hery berdasar salinan draf revisi UU Penyiaran yang diperolehnya.

Menanggapi hal itu, Kartono Muhammad, ketua Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) menyebut Baleg tidak konsisten. "Apalagi Undang-undang Kesehatan menyatakan bahwa rokok itu adiktif," kata Kartono.

Pemerintah sebelumnya telah melakukan pembatasan iklan rokok, yaitu hanya membolehkan penayangannya di media penyiaran mulai pukul 21.30 sampai 05.00. Tujuannya untuk memberi perlindungan kepada anak-anak, dengan asumsi anak-anak sudah tertidur pada jam-jam tersebut.

Sayangnya, pembatasan jam penayangan tersebut dirasa tidak efektif. Global Youth Tobacco Survey tahun 2006 menunjukkan bahwa 83 persen anak dan remaja melihat iklan rokok di televisi. Demikian juga hasil penelitian Komnas Perlindungan Anak pada tahun 2007 yang menemukan bahwa 99,7 persen anak-anak melihat iklan rokok di televisi.

"Kalau alasannya karena belum ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa rokok boleh diiklankan, itu kan sebelum ada UU Kesehatan. Sekarang sudah ada keputusan MK bahwa rokok adalah zat adiktif, jadi harusnya diikuti," tegas Kartono.

Sebelumnya, uji materi mengenai pasal 113 dan 116 Undang-undang Kesehatan mengenai tembakau sebagai zat adiktif telah ditolak oleh MK. Dengan demikian, tembakau tetap digolongkan sebagai zat adiktif. Kartono lantas menyoroti bahwa berbagai zat adiktif lain di Indonesia sudah dilarang iklannya, kecuali rokok.

"Mengapa industri miras dan susu formula dilarang beriklan, tetapi rokok tidak? Padahal susu formula saja bukan zat adiktif. Mengapa Badan Legislatif mengurusi iklan rokok? Mengapa rokok diistimewakan dalam hal ini?" ucap Kartono mempertanyakan. Red dari detikhealth

 

Jakarta - Konglomerasi media penyiaran adalah sebuah pelanggaran atas undang-undang dasar 1945 pasal 33 yang menyebutkan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Karenanya, frekuensi sebagai kekayaan alam yang ada di wilayah udara Indonesia, tidak boleh dimonopoli oleh siapapun. Hal tersebut disampaikan Iswandi Syahputra, saat ditanya oleh anggota Komisi I DPR RI tentang konglomerasi media, pada hari kedua uji kepatutan dan kelayakan calon anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat periode 2013-2016 di Komisi I DPR-RI (3/7).

 

Pada hari kedua ini, sebanyak 17 orang calon anggota KPI Pusat menyampaikan visi dan misi mereka di hadapan anggota Komisi I DPR RI. Ke-17 orang tersebut dibagi dalam tiga sesi yang dimulai pada pukul 10.00. Sesi pertama di hari kedua ini, diikuti oleh Fakhri Wardani, Freddy Melmambessy, Idy Muzayyad, Irvan Senjaya dan Iswandi Syahputra. Sesi kedua diikuti oleh: Iwan Kesumajaya, Judhariksawan,  Komang Suarsana, Nina Muthmainah, Muhammad Zein Al Faqih, dan Muhibbudin. Sedangkan untuk sesi ketiga diikuti oleh Mutiara Dara Utama Mauboi, Ririt Yuniar, Rommy Fibri, Rusdin Tompo, Syamsul Rani dan Sujarwanto Rahmat Arifin.

 

Pada hari kedua, anggota Komisi I DPR banyak menyoroti tentang pelaksanaan digitalisasi penyiaran. Hal ini dijawab oleh Judhariksawan bahwa pelaksanaan digitalisasi penyiaran adalah sebuah keniscayaan yang akan dijalani oleh masyarakat.  Namun demikian pelaksanaannya harus menunggu undang-undang penyiara yang baru. Mengingat dalam undang-undang saat ini tidak dikenal Lembaga Penyiaran Penyelenggaran Program Siaran (LP3S) dan Lembaga Penyiaran Penyelenggaran Penyiaran Multiplexing (LP3M).

 

Bahkan, dalam pandangan Judha, pelaksanaan digitalisasi penyiaran saat ini berpotensi menumbuhkan pemusatan kepemilikan.  Dalam catatan Judha, syarat yang diajukan pemerintah dalam tender penyiaran digital adalah harus memiliki Izin Penyiaran Prinsip (IPP). Menurutnya, hal ini justru membatasi masyarakat untuk ikut serta dalam keberagaman kepemilikan. Apalagi kenyataan saat ini, dalam beberapa zona yang sudah dilaksanakan tender digitalisasi, sebagian besar dikuasai oleh lembaga penyiaran yang telah exist.

 

Evita Nursanti, anggota Komisi I DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan mempertanyakan tentang kewenangan yang seharusnya diberikan kepada KPI. Menurut pendapat yang masuk padanya, seharusnya, perizinan penyiaran tetap di tangan negara, dalam hal ini pemerintah. Mengingat anggota komisi bersifat sementara, sedangkan pengelolaan negara permanen.  Jawaban dari beberapa calon anggota KPI Pusat masih sepakat bahwa KPI tetap harus diberikan kewenangan dalam hal perizinan. Sementara ada pula yang mengusulkan pembagian kewenangan berupa izin siaran di tangan KPI, sementara izin alokasi frekuensi di tangan negara.

 

Hal lain yang mengemuka pada hari kedua ini adalah mekanisme penjatuhan sanksi yang diusulkan secara berjenjang. Sanksi pada lembaga penyiaran hanya dikeluarkan oleh KPI Daerah, sedangkan KPI Pusat hanya memberikan sanksi bila ada banding dari lembaga penyiaran. Hal ini dianggap memberikan ruang mendapatkan keadilan bagi lembaga penyiaran untuk menyampaikan keberatannya atas sanksi yang dijatuhkan.

 

Secara umum, komisi I DPR-RI menekankan kembali soal pemanfaatan media penyiaran oleh pemilik. Hal tersebut disampaikan Max Sopacua dari Fraksi Partai Demokrat sambil menunjukkan artikel di surat kabar yang menyebutkan, “Televisi Ditunggangi”, dengan gambar tiga pemilik media penyiaran. Sekali lagi, KPI diminta bersikap tegas atas pemanfaatan media penyiaran ini. Bahkan Helmy Fauzi, dari Fraksi PDI-Perjuangan meminta KPI memilki perangkat untuk melakukan content analysis atas program-program jurnalistik, untuk dapat diketahui keberimbangan dan kenetralan programnya.

 

Sebelum keputusan untuk menentukan sembilan nama anggota KPI Pusat periode 2013-2016, Komisi I DPR-RI meminta komitmen dari anggota yang akan terpilih untuk tidak melakukan rangkap jabatan, bahkan diminta berhenti dari kewajiban mengajar sebagai dosen. Evita mengatakan, tugas sebagai komisioner KPI dalam mengurus dunia penyiaran sangat berat, tidak mungkin dilakukan optimal jika membagi perhatian dengan tanggung jawab yang lain.

 

Ketua Komisi I DPR-RI, Mahfudz Siddiq, sebelum menutup sesi penyampaian visi misi, meminta anggota Komisi I mempertimbangkan komposisi anggota KPI periode 2013-2016. Mahfudz mengingatkan kesepakatan Komisi I untuk memasukkan unsur petaha minimal tiga orang demi menjaga  kesimbungan kerja KPI serta keberimbangan gender.

 

 

 

Jakarta – Usai melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap 27 calon Anggota KPI Pusat periode 2013-2016 selama dua hari berturut-turut. Komisi I DPR RI langsung memilih dan memutuskan 9 (Sembilan) Anggota KPI Pusat baru, Rabu malam, 3 Juli 2013. Proses pemilihan kesembilan Anggota KPI Pusat tersebut dilakukan secara voting diikuti semua Anggota Komisi I DPR RI yang berjumlah 53 orang anggota serta dipimpin langsung Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq. 

Berikut sembilan komisioner terpilih untuk masa bakti 2013-2016:
1. Bekti Nugroho, 47 suara
2. Judhariksawan, 46 suara
3. Agatha Lily, 44 suara
4. Azimah Subagijo, 39 suara
5. Idy Muzayyad, 31 suara
6. Amirudin, 29 suara
7. Sujarwanto Rahmat, 29 suara
8. Danang Sangga Buana, 27 suara
9. Fajar Arifianto Isnugroho, 27 suara

Sedangkan yang menjadi cadangan adalah:
1. Iswandi Syahputra , 26 suara
2. Ezki Tri Rezeki Widianti, 25 suara
3. Nina Mutmainnah Armando, 21 suara

Tiga anggota lama yang terpilih kembali adalah Idy Muzayyad, Judhariksawan, dan Azimah Subagijo. Dalam kesempatan itu, Mahfudz berharap, komisioner yang baru ini independen dan bisa bertindak tegas terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran. Red

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus bisa tegas pada lembaga-lembaga penyiaran yang melanggar regulasi dengan memberikan sanksi berefek jera. Posisi KPI ini seharusnya bisa seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang powerfull  dan berwibawa. Sebagai sebuah lembaga ad hoc, KPK yang diberikan kewenangan melakukan pencegahan, justru mampu lakukan penindakan yang tegas. Harusnya KPI dapat bersikap sama, sekalipun berakibatkan sepinya pemberitaan di media televisi. Hal tersebut disampaikan Chandra Tirta, anggota Komisi I DPR-RI, dalam acara Uji Kepatutan dan Kelayakan calon anggota KPI Pusat periode 2013-2016 di DPR, hari pertama (2/7).

Dalam kesempatan hari pertama itu, sebanyak sepuluh orang calon anggota KPI Pusat menyampaikan visi dan misinya yang dibagi dalam dua sesi. Mereka adalah, Agatha Lily, Anom Surya Putra, Amiruddin, Azimah Subagijo dan Bekti Nugroho pada sesi pertama. Selanjutnya, Dadang Rahmat Hidayat, Danang Sangga Buwana, Effy Zalfiana Rusfian, Ezki Tri Rezeki, Fajar Arifianto di sesi kedua.

Secara umum pada hari pertama, anggota Komisi I meminta komitmen anggota KPI terpilih nanti, untuk tegas atas segala bentuk pelanggaran aturan. Baik itu berupa pelanggaran atas isi siaran, perpindahan kepemilikan ataupun pemanfaatan penyiaran untuk kepentingan politik pemiliknya.   Selain itu, Tantowi Yahya dari Fraksi Golkar menyampaikan realitas dari lembaga negara bernama KPI ini. Di mata Tantowi, KPI adalah lembaga dengan otoritas yang minim, namun yang diatur oleh KPI adalah institusi yang sangat powerfull baik secara finansial, kekuasaan ataupun politik. Kenyataan inilah yang menjadikan anggota KPI terpilih nanti harus berjuang mengangkat marwah lembaga ini, dan untuk itu dibutuhkan komisioner yang berintegritas tinggi.

Diamputasinya otoritas KPI juga menjadi bahasan yang ditanyakan oleh anggota Komisi I DPR. Secara umum, calon anggota KPI meminta kewenangan pemberian izin siaran pada lembaga penyiaran diberikan pada KPI. Sedangkan penyediaan frekuensi tetap menjadi kewenangan negara. Pengembalian kewenangan KPI ini menjadi penting, agar wibawa KPI di hadapan lembaga penyiaran tetap terjaga.

Ketua Komisi I DPR-RI, Mahafudz Siddiq memberikan pertanyaan singkat tentang wajah penyiaran di Indonesia saat ini. Menurut calon anggota KPI, wajah penyiaran saat ini masih mengkhawatirkan, karena eksploitasi seksual, kekerasan, intimidasi dan hiburan yang tidak sehat masih mendominasi. Hal ini berdampak pada buruknya wajah Indonesia di mata negara-negara lain di dunia.

 

 

Jakarta - 10 calon Anggota KPI Pusat untuk masa jabatan 2013-2016 telah menjalani fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi I DPR RI, Selasa, 2 Juli 2013. Sesi ini dibagi menjadi 2 (dua). Sesi pertama pukul 14.00 WIB hingga pukul 16.30 WIB. Sesi kedua pukul 16.30 WIB hingga pukul 19.00 WIB.

Ke 10 calon Anggota KPI Pusat yang ikut dalam proses uji kelayakan dan kepatutan antara lain, Agatha Lily, Amirudin, Anom Surya Putra, Azimah Soebagijo, dan Bekti Nugroho (Sesi I). Kemudian di sesi II calon yang ikut yakni Dadang Rahmat Hidayat, Danang Sangga Buana, Effy Zalfiana Rusfian, Ezki Tri Rezeki Widianti dan Fajar Arifianto Isnugroho.

Masing-masing calon diminta oleh pimpinan Komisi I DPR RI menyampaikan presentasi visi dan misinya kurang dari 10 menit. Usai penyampaian materi presentasi, setiap perwakilan fraksi maupun individu anggota Komisi I memberikan pertanyaan kepada masing-masing calon untuk dijawab dengan tenggang waktu tertentu. Beberapa pertanyaan yang mencuat antara lain mengenai langkah dan komitmen setiap calon jika terpilih menjadi komisioner, pelaksanaan digitalisasi, dan isi siaran.

Salah satu Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Mac Sopacua, menyempatkan diri menanyakan bagaimana sikap dan komitmen dari masing-masing calon terkait konglomerasi media.

Besok hari, Rabu, 3 Juli 2013, Komisi I DPR RI kembali akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan pada 17 calon Anggota KPI Pusat. Uji akan dibagi dalam tiga sesi yang dimulai pukul 10.00 WIB pagi.

Sebelumnya, Senin, 1 Juli 2013, calon Anggota KPI Pusat menandatangani pakta integritas, yang diajukan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Dalam pakta tersebut diharapkan dalam dunia penyiaran bisa lebih baik lagi ke depannya.
 
IJTI menganggap bahwa KPI merupakan mitra dalam dunia penyiaran yang syarat tidak ada kepentingan. hal ini juga pakta integritas tersebut merupakan bentukan kawalan bagi komisioner KPI, periode 2013 hingga 2016, dalam menjalankan tugasnya dan tanggung jawab.

“Dalam Fakta Integritas ini bisa membantu juga bapak-bapak calon komisioner yang akan fit and proper test di Komisi I DPR, artinya bapak-bapak ini memiliki komitmen yang teruji," kata Ketua Umum IJTI Yadi, di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin lalu.

Kemudian, lanjut Yadi, ke depannya KPI adalah mitra strategis, karena untuk dunia penyiaran yang sehat, mau tidak mau melakukan koalisi yang positif khususnya di dunia penyiaran.

Menurutnya, dengan adanya pakta tersebut bisa memperkecil persoalan yang menimpa penyiaran Indonesia, diharapkan, komisioner terpilih dapat merubah penyiaran lebih baik. "Banyak sekali problem (masalah) yang dihadapi dunia penyiaran, kami terpanggil untuk mengawal kawan-kawan," tuturnya
 
Berikut ini 10 fakta integritas:
 
1. Bersama ini menyatakan janji sesuai dengan tugas saya, jika terpilih menjadi komisioner KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) akan melakukan hal-hal sebagai berikut:

2. Tidak akan melakukan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

3. Tidak akan meminta atau menerima suatu pemberian baik secara langsung atau tidak langsung berupa suap, hadiah, bantuan atau bentuk lainnya yang dia tahu atau patut dapat mengira, bahwa pemberi, atau yang akan memberi mempunyai hal yang bersangkutan atau mungkin berkaitan dengan jabatan saya atau pekerjaan saya.

4. Tidak akan memberia atau menjanjikan akan memberi secara langsung atau tidak langsung atau tidak langsung berupa suap, hadiah, bantuan, atau bentuk lainnya yang dia tahu atau patut dapat mengira, bahwa yang meminta, atau yang akan diberi mempunyai hal yang bersangkutan atau mungkin berkaitan dengan jabatan saya atau pekerjaan saya.

5. Saya memegang teguh komitmen, bahwa transparansi akan diterapkan diseluruh kegiatan yang diperbolehkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilaksanakan di bawah wewenang saya.

6. Saya akan menjaga integritas, netralitas dan independensi saya sesuai dengan jabatan saya.

7. Saya bersedia memberikan keterangan, baik lisan maupun tertulis kepada pengurus Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, apabila ada pengaduan yang menyangkut diri saya ataupun lembaga di bawah tanggung jawab saya.

8. Saya bersedia dengan kemampuan saya untuk memberikan bantuan/dukungan kepada pengungkapkan/sanksi yang menyangkut dengan pengungkapan adanya praktek suap, KKN ataupun yang sejenis di bawah wewenang saya.

9. Jika terpilih jadi anggota KPI, saya dengan sungguh-sungguh akan melaksanakan tugas saya sebagai anggota komisi penyiaran indonesia (KPI), berdasarkan undang-undang
yang berlaku.

10. Saya dengan kemampuan dan kewenangan yang saya miliki akan melaksanakan sanksi dan insentif/disinsentif bagi pengungkap suap/KKN atau pelanggar pakta integritas di bawah wewenang saya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Red

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.