Jakarta - Konglomerasi media penyiaran adalah sebuah pelanggaran atas undang-undang dasar 1945 pasal 33 yang menyebutkan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Karenanya, frekuensi sebagai kekayaan alam yang ada di wilayah udara Indonesia, tidak boleh dimonopoli oleh siapapun. Hal tersebut disampaikan Iswandi Syahputra, saat ditanya oleh anggota Komisi I DPR RI tentang konglomerasi media, pada hari kedua uji kepatutan dan kelayakan calon anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat periode 2013-2016 di Komisi I DPR-RI (3/7).

 

Pada hari kedua ini, sebanyak 17 orang calon anggota KPI Pusat menyampaikan visi dan misi mereka di hadapan anggota Komisi I DPR RI. Ke-17 orang tersebut dibagi dalam tiga sesi yang dimulai pada pukul 10.00. Sesi pertama di hari kedua ini, diikuti oleh Fakhri Wardani, Freddy Melmambessy, Idy Muzayyad, Irvan Senjaya dan Iswandi Syahputra. Sesi kedua diikuti oleh: Iwan Kesumajaya, Judhariksawan,  Komang Suarsana, Nina Muthmainah, Muhammad Zein Al Faqih, dan Muhibbudin. Sedangkan untuk sesi ketiga diikuti oleh Mutiara Dara Utama Mauboi, Ririt Yuniar, Rommy Fibri, Rusdin Tompo, Syamsul Rani dan Sujarwanto Rahmat Arifin.

 

Pada hari kedua, anggota Komisi I DPR banyak menyoroti tentang pelaksanaan digitalisasi penyiaran. Hal ini dijawab oleh Judhariksawan bahwa pelaksanaan digitalisasi penyiaran adalah sebuah keniscayaan yang akan dijalani oleh masyarakat.  Namun demikian pelaksanaannya harus menunggu undang-undang penyiara yang baru. Mengingat dalam undang-undang saat ini tidak dikenal Lembaga Penyiaran Penyelenggaran Program Siaran (LP3S) dan Lembaga Penyiaran Penyelenggaran Penyiaran Multiplexing (LP3M).

 

Bahkan, dalam pandangan Judha, pelaksanaan digitalisasi penyiaran saat ini berpotensi menumbuhkan pemusatan kepemilikan.  Dalam catatan Judha, syarat yang diajukan pemerintah dalam tender penyiaran digital adalah harus memiliki Izin Penyiaran Prinsip (IPP). Menurutnya, hal ini justru membatasi masyarakat untuk ikut serta dalam keberagaman kepemilikan. Apalagi kenyataan saat ini, dalam beberapa zona yang sudah dilaksanakan tender digitalisasi, sebagian besar dikuasai oleh lembaga penyiaran yang telah exist.

 

Evita Nursanti, anggota Komisi I DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan mempertanyakan tentang kewenangan yang seharusnya diberikan kepada KPI. Menurut pendapat yang masuk padanya, seharusnya, perizinan penyiaran tetap di tangan negara, dalam hal ini pemerintah. Mengingat anggota komisi bersifat sementara, sedangkan pengelolaan negara permanen.  Jawaban dari beberapa calon anggota KPI Pusat masih sepakat bahwa KPI tetap harus diberikan kewenangan dalam hal perizinan. Sementara ada pula yang mengusulkan pembagian kewenangan berupa izin siaran di tangan KPI, sementara izin alokasi frekuensi di tangan negara.

 

Hal lain yang mengemuka pada hari kedua ini adalah mekanisme penjatuhan sanksi yang diusulkan secara berjenjang. Sanksi pada lembaga penyiaran hanya dikeluarkan oleh KPI Daerah, sedangkan KPI Pusat hanya memberikan sanksi bila ada banding dari lembaga penyiaran. Hal ini dianggap memberikan ruang mendapatkan keadilan bagi lembaga penyiaran untuk menyampaikan keberatannya atas sanksi yang dijatuhkan.

 

Secara umum, komisi I DPR-RI menekankan kembali soal pemanfaatan media penyiaran oleh pemilik. Hal tersebut disampaikan Max Sopacua dari Fraksi Partai Demokrat sambil menunjukkan artikel di surat kabar yang menyebutkan, “Televisi Ditunggangi”, dengan gambar tiga pemilik media penyiaran. Sekali lagi, KPI diminta bersikap tegas atas pemanfaatan media penyiaran ini. Bahkan Helmy Fauzi, dari Fraksi PDI-Perjuangan meminta KPI memilki perangkat untuk melakukan content analysis atas program-program jurnalistik, untuk dapat diketahui keberimbangan dan kenetralan programnya.

 

Sebelum keputusan untuk menentukan sembilan nama anggota KPI Pusat periode 2013-2016, Komisi I DPR-RI meminta komitmen dari anggota yang akan terpilih untuk tidak melakukan rangkap jabatan, bahkan diminta berhenti dari kewajiban mengajar sebagai dosen. Evita mengatakan, tugas sebagai komisioner KPI dalam mengurus dunia penyiaran sangat berat, tidak mungkin dilakukan optimal jika membagi perhatian dengan tanggung jawab yang lain.

 

Ketua Komisi I DPR-RI, Mahfudz Siddiq, sebelum menutup sesi penyampaian visi misi, meminta anggota Komisi I mempertimbangkan komposisi anggota KPI periode 2013-2016. Mahfudz mengingatkan kesepakatan Komisi I untuk memasukkan unsur petaha minimal tiga orang demi menjaga  kesimbungan kerja KPI serta keberimbangan gender.

 

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.